Pernahkah kamu bertanya, mengapa susunan huruf dalam keyboard mesin
ketik, komputer, hingga PDA kita berupa “QWERTYUIOP” dan seterusnya?
Mengapa tidak dibuat saja berurutan seperti “ABCDEFGH” dan seterusnya?
Mungkin sebagian dari kamu sudah tahu ceritanya, tetapi kalau kamu
belum tahu ini dia jawaban dari pertanyaan tadi.
Awalnya mereka membuatnya berurutan sesuai abjad.
Namun, lambat laun seiring dengan meningkatnya kemampuan (kebiasaan)
user, kecepatan mengetik menjadi lebih cepat padahal mekanisme mesin
saat itu masih sederhana.
Akibatnya, (baris) tombol tertentu menjadi
sering macet dan menghambat pekerjaan.
Berdasar pengalaman mereka, akhirnya disusunlah keyboard yang sengaja
dipersulit dan dibuat tidak efisien agar keyboard tidak mudah jammed.
Desain mesin ketik itu kemudian dijual ke Remington untuk diproduksi
secara massal tahun 1873. Susunannya terbagi dalam empat baris, baris
teratas berupa “23456789-”,
baris kedua “QWE.TYIUOP”,
baris ketiga
“XDFGHJKLM”,
dan baris terbawah “AX&CVBN?;R”.
Seiring berjalannya waktu, teknologi berkembang pesat dan masalah
tombol keyboard yang sering macet sudah teratasi dengan desain mekanik
yang lebih baik.
Sejumlah desain keyboard alternatif juga muncul di
pasaran.
Salah satu yang cukup populer adalah Dvorak Simplified Keyboard
(DSK) yang dibuat oleh August Dvorak tahun 1936. Desain itu diklaim
merupakan desain yang lebih efisien, cepat, dan egronomis.
QWERTY sebenarnya punya banyak kelemahan seperti membuat tangan kiri
Anda overload terutama ketika menulis dalam bahasa Inggris (hal serupa
saya rasakan ketika menulis dalam bahasa Indonesia). QWERTY juga membuat
kelingking Anda overload. Penelitian menunjukkan bahwa distribusi huruf
tidak merata sehingga jari Anda harus menyeberang dari baris ke baris
bila dihitung jari tukang ketik tipikal akan berjalan lebih dari 20 mil
per hari dibandingkan dengan DSK yang hanya 1 mil.
Sayangnya, orang tetap ogah berpaling dari desain “QWERTY” kendati
desain tersebut bukan merupakan desain yang terbaik.
Sekalipun teknologi
sudah bisa mengatasi problem tombol yang nge-jam, orang tetap bertahan
dengan desain “QWERTY” bukannya desain lain yang lebih superior.
Alih-alih, QWERTY malah dinobatkan menjadi standar internasional di
tahun 1966.
Hal yang sama juga terjadi di Microsoft Windows.
Kita tentu tahu
bahwa Windows bukanlah sistem operasi terbaik, entah itu dari segi
keamanan, kemudahan, kinerja, sampai soal keindahan. Namun, karena
penetrasi pasar Windows sudah begitu deras, orang mulai terbiasa
menggunakan Windows dan sistem operasi tersebut menjadi
terstandardisasi.
Apakah tidak ada yang lebih baik dari Windows?
Tentu saja tidak.
Namun orang perlu pikir-pikir beberapa kali sebelum berpaling dari
standar tersebut. Mereka harus menghadapi barrier seperti faktor biaya,
isu kompatibilitas, proses pembelajaran, faktor waktu, dan masih banyak
lagi.
Akibatnya jumlah mereka yang setia jauh lebih besar daripada yang
murtad.
Inilah yang menjadikan Windows atau QWERTY kemudian menjadi
standar kendati mereka bukan yang terbaik.
Dalam dunia ilmiah, fenomena ini dijelaskan sebagai konsep path
dependency dan network externality. Intinya, inovasi tidak menghasilkan
outcome yang out of the blue, tetapi merupakan perkembangan yang bisa
diprediksi dari yang sudah-sudah. Selain itu, value dari inovasi
tersebut akan makin tinggi bila digunakan oleh makin banyak orang. Pada
tahap tertentu, inovasi tersebut akan menjadi standar yang digunakan
oleh umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar