Selasa, 17 Juli 2012

Jadilah Istriku



Berapa banyak perempuan dalam hidupmu Bang? Berapa yang kau butuhkan?


Sebut aku naf, tapi dulu sekali, selain ibumu, ku kira hanya aku.
Maka bisa dibayangkan betapa harapanku melambung hingga menyentuh bintang,
ketika suatu hari dengan mata penuh cinta, kau berkata,


"Jadilah istriku!"


Cukup lama aku hanya terdiam. Bukan karena memikirkan bagaimana harus
merespon kalimatmu, namun karena aku memerlukan waktu untuk mengusir
rasa terkejut. Sungguhkah yang ku dengar?


Dibandingkan dirimu, aku bukan siapa-siapa. Kau dengan selangit
prestasi. Kau yang begitu popular tidak hanya di fakultas, bahkan seisi
kampus. Kau yang mantan ketua senat. Kau yang sudah mapan ketika kuliah
tingkat satu.


Sedang aku hanyalah gadis sederhana, yang tidak populer, tidak pernah
memenangkan satu piala pun dalam hidup, dan harus hengkang dari kuliah
karena ketiadaan biaya.


Matamu yang tajam tampak panik beberapa kejap, menyadari tak satu kata
pun kuucapkan, meski menit-menit berlalu.


"Jadilah istriku," ulangmu penuh kesungguhan.


Tuhan, ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan, batinku sambil
menatap rambutmu yang hitam berombak.


Ingatkah Bang, berapa lama kita mematung kala itu. Hanya terdengar
hela nafas masing-masing. Kau yang bingung akan diamku, dan aku yang harus
menata keyakinan diri.


Maafkan aku, sebab membiarkanmu mengulangi kalimat indah itu sampai
ketiga kalinya, sebelum aku yakin, aku tidak sedang bermimpi.


Berapa banyak perempuan dalam hidupmu Bang?


Dulu kukira hanya aku. Hingga resahmu memecahkan batu kediaman.
Pengakuan yang mengagetkan, dan rasanya akan sulit dipercayai siapapun yang
mengenalmu.


"Aku... pernah menikah sebelumnya, Tya," ujarmu dengan putus-putus.
Tiga hari menjelang pernikahan kita.


Kali ini aku berharap sedang tidur dan bermimpi. Nyatanya tidak.
Kepalaku yang menunduk, masih dapat menekuri butiran-butiran tanah merah
yang rekah di belakang rumah. Beberapa saat kita hanya berdiam diri,
menikmati deburan hati satu sama lain. Kau dengan perasaan bersalahmu, dan
aku dengan sebersit rasa kecewa. Ternyata aku bukan yang pertama.


"Tapi itu sebuah kesalahan," lanjutmu berusaha meyakinkan, dan
mengusir embun yang memberat di mataku.


"Kami masih muda Tya. Dan ketika itu aku tidak seperti sekarang.
Terlalu sering kami berdua hingga melakukan kesalahan itu. Maafkan aku."


Ego keperempuananku terusik. Begitu saja perasaanku melambungkan
sederet pertanyaan. Siapa perempuan itu? Bidadari pertama yang menghangatkan
hatimu. Cantikkah dia? Kenapa kalian berpisah?


"Belakangan kami sama-sama sadar, Tya. Tidak ada cinta. Yang ada hanya
gejolak anak muda. Kami bercerai setelah tiga bulan pernikahan dengan
kehangatan yang lama-lama meredup."


Aku masih diam. Dalam imajinasiku, tanah-tanah tempat kaki-kaki kita
menapak seakan rekah dan meninggalkan jurang yang lebar. Memisahkan kau
dan aku.

Tapi layakkah menghukum seseorang berdasarkan masa lalu?


"Maafkan aku," sesalmu lagi, dengan mata yang tampak memerah, ketika
sekilas tadi tatapanku melintasi wajahmu.


Betapapun, perasaan beruntung mendapatkan anugerah itu jauh lebih
besar dibandingkan badai yang kau bawa di hatiku hari itu. Jangan sombong
Tya, kau sendiri siapa? Masih banyak gadis yang akan mengejar bang,
meskipun tahu yang sebenarnya. Meski tahu kesalahan yang pernah
diperbuatnya, dan status yang pernah disandangnya.


Kubuang air mata yang sempat memberati kelopakku. Kutengadahkan wajah.
Kulihat wajahmu bercahaya, dan senyum lebar yang menghiasi di sana,
kala pernikahan kita terlaksana. Walaupun ego sebagai perempuan, kadang
sulit menghilangkan keingintahuan itu. Sebahagia ini jugakah kau dulu,
Bang?


"Terima kasih Tya. Terima kasih telah melengkapiku, Cinta."


Kata cinta yang kau ucapkan, tak lama setelah ijab kabul selesai dan
mengantarkan kita pada status yang baru. Kau suamiku, dan aku istrimu.


Setelah itu adalah hari-hari indah menjelajahi negeri peri. Berdua
kita menyelusuri dunia yang memberi bahagia tanpa batas. Tak ada kata-kata
yang bisa kutemukan untuk menjelaskan perasaanku saat itu, ketika aku
menjadi perempuan satu-satunya dalam hidup Bang.


Lalu hari membuahkan minggu, dan minggu melahirkan bulan. Begitu cepat
bilangan bulan berganti tahun. Waktu telah memberi kita bahagia yang
lain. Gadis kecil kita. Matanya mewarisi sipit matamu, dan bibirnya
mewarisi mungil bibirku. Setidaknya itulah komentar pertama yang keluar
darimu ketika melihat Aulia.


Hidup tak lagi menjadi milik berdua. Tapi aku tak pernah marah pada
makhluk ketiga yang hadir dalam hari-hari kita. Aulia yang begitu cepat
tumbuh dan semakin menggemaskan.


"Terima kasih telah memberiku kebahagiaan sebesar ini, Cinta."


Berulang-ulang kalimat itu kau tujukan padaku dengan mata yang semakin
dilekati cinta. Cinta yang bergulir dan kulihat semakin besar di mata
mu. Apalagi ketika sosok lain lahir dari rahimku. Gagah, lucu dan
montok. Kau memberikan nama Aditya utnuk bayi kedua kita.


Masih ingatkah Bang, saat kita duduk di teras rumah, dengan satu sosok
mungil di pangkuan masing-masing. Mengenalkan mereka kepada bulan,
bintang, dan langit. Juga benda-benda angkasa lain.


"Ayah akan bekerja lebih keras." Katamu sambil memandang wajah imut
Aulia, yang masih berceloteh, dan Adit yang terkantuk-kantuk dalam
buaianku.


"Tapi beri anak-anak waktu. Terutama ibunya," bisikku yang kau balas
dengan mendekatkan wajahmu, lalu mengecup dahiku. Penuh cinta, seperti
biasa.


Hari-hari kita tetap indah, betapapun kesibukan menjeratmu. Sebagai
istri, aku hanya bisa mendukung sebisanya. Menyiapkan kebutuhanmu
sehari-hari, sebelum pergi ke kantor, menyambutmu ketika pulang. Menjaga
tidurmu ketika anak-anak rewel minta bermain dengan ayah mereka yang pulang
menjelang pagi.


Di mataku kau tak pernah berubah. Masih laki-laki yangs ama yang
selalu jujur dalam setiap langkah.laki-laki yang mengangkatku pada kedudukan
para ratu. Begitu tinggi aku memandangmu, Bang. Sosok kukuh bertanggung
jawab yang tak pernah sedikit pun kehilangan pesona di mataku.


Maka seperti petir memekakkan telinga, ketika suatu hari seseorang
memberitahu kabar itu. Kau diam-diam menjalin hubungan dengan perempuan
lain.

Kupeluk anak-anak dalam tangis yang tak bisa kutahan. Sungguh, aku tak
habis pikir. Belum lagi hilang rasa sakit akibat opersi Caesar. Belum
lagi kembali bentuk tubuh setelah berat badanku melonjak saat mengandung
Aditya.


"Ibu kenapa?" tanya Aulia yang memasuki usia empat tahun. Jarinya yang
kecil menghapus air mata yang turun di pipiku, sebagian membasahi wajah
Adit, yang kuhapus dengan jemari bergetar.


Semua kebahagiaan yang kurasa lebih dari sempurna, tak cukupkah
bagimu? Dimana salahku?


Pada cermin lemari, kupandang tubuhku yang jauh dari bentuk ideal.
Inikah penyebabnya? Lemak menimbun di mana-mana. Pesona yang telah
mengendur dan layu. Inikah yang membuatmu berpaling?


"Sabar, Tya. Ini memang cobaan perempuan." Suara Ibu mertuaku parau,
saat memelukku. Belakangan, perempuan berusia enam puluhan itu menangis
makin keras. Barangkali seperti aku, Ibu bisa melihat kebahagiaan kita
yang pecah, seperti bintang di langit yang terbanting ke bumi.
Kepingan-kepingan nya melukai begitu banyak hati.


"Maafkan aku, Tya. Maafkan aku, Cinta. Ini salahku."


Malam itu kau memeluk kakiku. Sementara aku hanya termangu, tanpa bisa
bicara. Meski cairan bening hangat yang berasal dari matamu, membasahi
daster panjang yang kukenakan.


Berapa banyak perempuan dalam hidupmu Bang? Berapa yang kau butuhkan?


Permintaan maafmu tak mengubah keadaan. Berbulan aku larut dalam
kediaman yang membuat otak seakan berhenti berfungsi. Kecuali kewajiban
terhadap anak-anak, lainnya tak kupedulikan. Wajahku kuyu, dengan mata
bengkak karena setiap malam menangis. Kepercayaan diriku drop. Aku merasa
seperti bunga yang dipangkas dari tangkainya, dan layu sebelum waktu.


Berbulan pula kucari jawaban atas sebuah kenapa yang tak pernah bisa
kau jelaskan. Apakah karena aku sedah menjadi begitu tua, gembrot, dan
jelek? Bagaimana pun, melahirkan dua anak telah merenggut tubuh ramping
dan kesegaran perempuan muda.


Aku benar-benar kehilangan semangat untuk melakukan apa pun. Hingga
setahun berlalu, aku bahkan belum berani bercermin dan menatap tubuhku di
sana. Tubuh yang tak lagi menarik.


Pasti itulah alasan kenapa suamiku jatuh cinta pada perempuan lain.
Cantik, sudah kulihat foto mesra mereka berdua. Kemana sikapmu yangbegitu
terjaga semasa kuliah? Kenapa kini begitu mudah menyentuh, bahkan
memeluk mesra perempuan yang belum menjadi istrimu?

Tapi kalimat-kalimat itu tak pernah kusampaikan padamu. Hanya
menari-nari dalam pikiran yang kian kusut dari waktu ke waktu. Waktu yang kerap
membawa anganku berpindah-pindah, masa lalu, masa kini, masa lalu,
masa...


"Maafkan aku, Tya. Maafkan aku, Cinta."


Dihadapanmu aku masih larut dalam diam. Teringat satu hal yang kutelan
mentah-mentah pada hari penuh madu yang memabukkan.


"Pegang kata-kata ku, Tya. Selamanya, aku hanya akan memberimu
kebahagiaan. Bukan yang lain. Pegang itu, ya?"


Kebahagiaan? Kata itu telah melayang jauh diantara bintang-bintang,
bulan, dan langit yang dulu kita kenalkan pada anak-anak. Saat duduk
bersama di beranda rumah. Ketika cinta masih bisa ku percaya.


Selama dua tahun kemudian, aku hidup dengan perasaan kosong. Berulang
kali berusaha bangkit, untuk dua permata kecilku yang kini memasuki
usia sekolah. Tapi lebih sering gagal. Hingga suatu hari kulihat Aulia
tiba-tiba begitu dewasa. Waktu, telah begitu lama kah berlalu?


"Bu, Ibu harus tersenyum lagi." Begitu kalimat Aulia sambil tangannya
menarik ujung-ujung bibirku ke atas.


Ya Allah, hidup memang tak pernah mudah. Salahku yang melupakan
cobaan.


Tertatih kucoba bangun dari hampa. Semua menyambut baik dan mendukung,
juga suamiku. Tidak kupusingkan lagi hubungan Bang dengan perempuan
itu. Sampai suatu hari ibu mertuaku datang dan membawa kabar. "Mereka
sudah putus, Tya. Sudah putus. Alhamdulillah!"


Bibirku yang kering bergerak-gerak. Ada air mata yang jatuh disana.


"Kau tidak usah cemas, Tya," nasihat perempuan itu lagi, "waktu akan
menyembuhkan kesedihan."


Begitulah, pagi ini untuk yang pertama kali aku berani menatap tubuhku
di cermin. Entah bagaimana, sepertinya kesedihan juga telah
menghilangkan sebagian berat badanku. Tentu saja mustahil mengharapkan tubuhku
kembali dalam kondisi terbaik seperti dulu.


"Kau harus rajin minum jamu!" kata ibu mertuaku sambil menyodorkan
segelas air berwarna kecokelatan dan berbau seperti lumpur. "Laki-laki
suka dengan perempuan yang biasa minum jamu."


Sementara Ibuku yang sejak peristiwa itu seperti ingin menjaga jarak
dengan masalah pribadiku, kali ini datang dan memberiku sebuah nasihat.
"Ikut senam, Tya. Banyak ibu-ibu yang rajin senam sekarang."


Begitulah, kututup lembar kesedihanku dan berusaha bangkit. Bibirku
yang kering mulai kusapu dengan lipbalm. Aku semakin sering tersenyum.
Seiring waktu, jendela-jendela kamar kubuka dan kubiarkan terkena cahaya
matahari. Aku keluar dari sunyi.


Bang memperlakukanku lebih hati-hati. Masih ada cinta yang berpendar
di matanya. Kami mulai sering duduk berdua lagi, dan berbicara tentang
anak-anak. Barangkali Cuma anak-anaklah yang masih menyatukan kami
hingga saat ini.


Aku memang bukan siapa-siapa Bang, bukan seperti perempuan cantik dan
populer yang sempat merebut Abang dari sisiku. Tapi bahkan seorang
perempuan sederhana berhak merasa terluka. Walau demikian, kukayuh sebisaku
bahagia untuk mengembalikan senyum pada kami. Hari-hari mengalir. Bang
mendorongku untuk belajar lagi.


"Biar Tya punya kesibukan. Kenapa tidak kuliah lagi?" usul Bang suatu
hari.


Bayangan cantik yang tersenyum renyah dalam pelukan Bang, menyedot
ingatanku. Perempuan cantik yangterlihat elegan dan berpendidikan tinggi.
Bayangan itu membangkitkan rasa cemburu dan semangat kompetisiku. Maka
ku anggukkan kepala menyetujui usulnya untuk melanjutkan kuliah. Bahasa
Inggris menjadi pilihanku.


Untuk membantu menangani anak-anak di rumah, Bang memintaku
mempekerjakan seorang baby sitter. Aulia sudah besar, dan bisa mengurus diri
sendiri, tapi Aditya yang berusia empat tahun masih membutuhkan tangan
lain. Aku setuju. Bang sendiri yang mengurus semuanya karena aku sibuk
meyiapkan berbagai kelengkapan pendaftaran sebagai mahasiswa baru.


Syukurlah, aktivitas baru mengembalikan rasa percaya diriku. Kembali
belajar, bergaul dengan teman-teman yang berusia jauh lebih muda,
membawa kesegaran dalam hidupku. Ah, terkadang aku lupa usiaku yang tak lagi
remaja.


Kebahagiaan seolah kembali dalam genggaman. Bang yang pengertian dan
tidak pernah marah, bahkan meskipun tak jarang tugas-tugas kuliah
membuatku pulang terlambat. Aulia semakin besar, dan Aditya kian lucu dan
menggemaskan. Baby sitter yang baru telah mengurus anak kedua kami itu
dengan sangat terampil. Aku sungguh berterima kasih padanya.


Perlahan pula perasaan cintaku yang sempat menguap kepda Bang,
kembali. Dari situ aku tahu, sebetulnya perasaan itu tak pernah benar-benar
hilang.


"Aulia, Adit... lihat nih Ibu kalian pintar, kan?" pertanyaan Bang
yang dilemparkan pada kedua buah hati kami membuat perasaanku bungah.
Indeks prestasiku memamng cukup membanggakan. Diam-diam aku berterima kasih
pada sosok cantik yang tampak pintar, namun tak pernah ku kenal
namanya. Sosok yang membuat suamiku beralih dariku, namun menyadarkanku untuk
kembali memiliki cita-cita.


Aku ingin cerdas, ingin pintar. Ingin bisa menjawab pertanyaan apa
saja yang Bang lemparkan. Aku ingin bisa meladeni kebutuhan
intelektualitasnya sehari-hari. Keinginan itu sungguh menjadi bahan bakar dalam
menjalani hari-hari kuliahku. Juga dalam mempercantik dandananku yang
cenderung monoton dan tua.


"Duh, Ibu makin muda aja dandanannya ya, Aulia?" Begitu komentar Bang
kerap kali, yang disambut acungan jempol si sulung.


Namun luka yang berusaha kujahit rapat-rapat, pecah lagi malam itu.
Membuat bumi tempat berpijakku bergoyang, nafasku tersengal, dan kepalaku
berkunang-kunang. Ketika dengan map penuh dalam tas, aku berlari-lari
kecil menembus hujan lebat, memasuki perumahan tempat kami tinggal.


"Jadilah istriku." Suara itu terdengar seperti nyanyian masa lalu,
namun begitu jelas meski hujan tak sedikit pun menyisakan ruang buat
kesenyapan.


Di depan pintu, aku terpaku.


Kau berada tidak jauh dari hadapanku.


Seperti dulu, dengan penuh cinta menatap, bahkan kali ini dalam jarak
lebih dekat dari yang bisa kuingat. Pada jarak itu pasti aku bisa
mendengar gemuruh hatimu, bahkan mencium aroma nafasmu.


"Jadilah istriku," katamu lagi.


Dan perempuan di dalam rumah, yang kupercaya mengurus Adit saat
hari-hari kuliah menjeratku, mengangguk perlahan. Malu-malu. Begitu nyata
dalam pandangan, meski kabut kemudian menghalangi penglihatan ketika
tiba-tiba saja sesuatu pecah dari mataku.


Ah, berapa banyak perempuan yang ada dalam hidupmu, Bang? Berapa yang
kau butuhkan?


Dulu sekali, kukira Cuma aku.


Diambil dari kumpulan cerpen: Aku Ingin Menjadi Istrimu, Asma Nadia dan Biru laut, Lingkar Pena 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar