Kamis, 26 Juli 2012

Nyanyian Cinta 10

“Jangan takut ini ularnya sudah tertangkap.”
Anak-anak gembira.
“Imam memang hebat. Di sini belum pernah ada seorang pun yang berani menangkap ular cobra. Kepala desa yang dulu meninggal katanya karena dipatuk ular cobra.” Kata anak yang tadi berteriak.
Sore itu kabar imam muda menangkap ular cobra langsung tersiar ke seluruh penjuru desa.
Seorang petani separo baya mendatangi Mahmud dan menasihati,
“Imam, jangan main-main dengan cobra. Lebih baik langsung di bunuh saja!”
“Saya tidak main-main kok, Paman. Ular ini sengaja tidak saya bunuh sebab besok pagi saya ingin membawanya ke dokter untuk diambil serumnya. Serum itu bisa jadi obat jika kelak ada penduduk desa ini digigit ular berbisa ini. Jangan kuatir, Paman.”
Setelah faham petani itu tersenyum dan minta diri. Mahmud memasukkan ular itu ke dalam kantong goni lalu mengikatnya dan meletakannya di ruang belakang rumahnya.


Setelah Maghrib, Mahmud membaca tafsir yang akan dia sampaikan untuk pengajian rutin.
Bakda Isya ia berangkat ke masjid selatan desa untuk menyampaikan pengajian.sementara kelompok mafia mulai menjalankan rencananya.
Sebagian mereka sudah mampu menyebar fitnah dan meyakinkan sebagian penduduk desa bahwa si imam muda itu tak lain adalah seekor srigala busuk.
Imam muda itu telah mengotori desa dan menodai kesucian gadis desa, di antara korban yang sedang dalam cengkeramannya adalah Sadia.Sebagian yang lain ada yang menyebar desas-desus ke kalangan ibu-ibu. Mereka minta ibu-ibu melihat apa yang akan terjadi malam nanti. Malam nanti akan ketahuan siapa sebenarnya imam muda yang selama ini dipuji-puji itu.
Di sebuah rumah, Sadia telah siap dengan segala fitnahnya.
“Suratku tak pernah ditanggapinya. Malam ini imam sok suci itu akan tahu siapa Sadia. Dia akan tunduk di telapak kakiku.” Gumamnya.



Tepat pukul sepuluh Sadia dan lelaki berambut keriting berhasil masuk rumah Mahmud lewat pintu belakang. Sadia berpakaian setengah telanjang. Ia benar-benar sudah kehilangan rasa malunya.
Di luar rumah ketua mafia bersiaga penuh dengan beberapa anak buahnya. Beberapa anak buah yang lain bertugas membawa para pemuda pada saat yang tepat.
Tepat pukul sebelas Mahmud pulang diantar oleh seorang pemuda. Setelah pemuda itu pamit, Mahmud masuk rumah.
Ia tidak masuk ke kamarnya tapi duduk di ruang tamu. Ia belum mengantuk. Ia ingin membaca Fiqhus Sunnah yang ditulis oleh Sayyid Sabiq.
Satu jam kemudian, terdengar teriakan yang sangat gaduh di luar rumahnya. Teriakan itu mencaci-maki dirinya. Pintu rumahnya digedor dengan sangat keras.
“Ayo seret imam pezina itu!”
“Telanjangi Mahmud serigala itu! Arak dia biar jadi pelajaran!”
Belum sempat ia beranjak dari tempat duduknya, pintu itu telah terbuka. Didobrak. Mahmud berdiri kaget. Kitab Fiqhus Sunnah masih ditangannya.
Orang-orang masuk dengan marah. Yang paling depan adalah ketua mafia. Mata Mahmud beradu dengan matanya. Ketua mafia agak gentar, tidak seperti yang direncanakn. Tidak ada suara merengek atau tangis Sadia. Ke mana Sadia? Namun ia tidak kehabisan akal. Ia langsung menggertak.
“Di mana Sadia kau sembunyikan, Bangsat!”
Mahmud tidak gentar, “Siapa Sadia?”
“Jangan sok tidak tahu. Sadia yang kau zinai setiap malam!”
Mahmud kaget, “Apa zina? Aku mezinai Sadia? Astagh-firullah. Na’udzubillah. Jangan sembarangan kau bicara! Menuduh zina adalah kriminal!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar