Membantu Orang Membayar Hutang
“Saudaraku,” kata Nasrudin kepada seorang tetangga, “aku sedang mengumpulkan uang untuk membayar utang seorang laki-laki yang amat miskin, yang tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya.”
“Sikap yang amat terpuji,” komentar tetangga itu, dan kemudian memberinya sekeping uang.
“Siapakah orang itu?”
“Aku,” kata Nasrudin sambil bergegas pergi. Beberapa minggu kemudian Nasrudin muncul lagi di depan pintu tetangganya itu. “Kupikir, kau mau membicarakan soal utang,” kata sang tetangga yang sekarang tampak sinis.
“Betul demikian.”
“Ada seseorang yang tidak bisa membayar utangnya dan engkau mengumpulkan sumbangan untuknya?”
“Ya. Memang demikian adanya.”
“Lalu engkau sendiri yang meminjam uang itu?”
“Tidak untuk saat ini.”
“Aku senang mendengarnya. Ini ambillah sumbangan ini.”
“Terima kasih…”
“Satu hal, Nasrudin. Apa yang membuatmu begitu bersikap manusiawi terhardap masalah yang khusus ini?”
“Oh, rupanya kamu tahu… akulah yang memberi pinjaman.”
“Sikap yang amat terpuji,” komentar tetangga itu, dan kemudian memberinya sekeping uang.
“Siapakah orang itu?”
“Aku,” kata Nasrudin sambil bergegas pergi. Beberapa minggu kemudian Nasrudin muncul lagi di depan pintu tetangganya itu. “Kupikir, kau mau membicarakan soal utang,” kata sang tetangga yang sekarang tampak sinis.
“Betul demikian.”
“Ada seseorang yang tidak bisa membayar utangnya dan engkau mengumpulkan sumbangan untuknya?”
“Ya. Memang demikian adanya.”
“Lalu engkau sendiri yang meminjam uang itu?”
“Tidak untuk saat ini.”
“Aku senang mendengarnya. Ini ambillah sumbangan ini.”
“Terima kasih…”
“Satu hal, Nasrudin. Apa yang membuatmu begitu bersikap manusiawi terhardap masalah yang khusus ini?”
“Oh, rupanya kamu tahu… akulah yang memberi pinjaman.”
Tidak Ikhlas Menolong
Tidak etis jika kita selalu menyebut-nyebut pertolongan yang kita berikan kepada orang lain. Nasrudin hampir saja terjatuh ke dalam sebuah kolam. Tapi seseorang yang tidak terlalu dikenalnya berada di dekat tempat itu dan kemudian menolongnya.
Setelah itu, setiap kali orang itu bertemu dengan Nasrudin, ia selalu mengingatkan kebaikan yang pernah dilakukannya terhadap sang Mullah.
Suatu kali, Nasrudin membawa laki-laki itu ke dekat kolam, kemudian sang Mullah menerjunkan dia ke dalam air. Dengan kepala menyembul di permukaan air, Nasrudin berteriak: “Kau lihat, sekarang aku sudah benar-benar basah, seperti yang seharusnya terjadi jika engkau dulu tidak menolongku! Sudah, pergi sana!”
Umur yang Konsisten
“Berapa umurmu, Nasrudin?”
“Empat puluh.”
“Lho? dulu, kau menyebut angka yang sama ketika aku menanyakan umurmu itu, dua tahun yang lalu?”
“Ya, aku memang selalu berusaha konsisten dengan apa yang pemah kukatakan.”
“Oh, begitukah cara menepati omongan?”
“Masa kau tak tahu?”
“Empat puluh.”
“Lho? dulu, kau menyebut angka yang sama ketika aku menanyakan umurmu itu, dua tahun yang lalu?”
“Ya, aku memang selalu berusaha konsisten dengan apa yang pemah kukatakan.”
“Oh, begitukah cara menepati omongan?”
“Masa kau tak tahu?”
Menghabiskan Halwa Masakan Istri
Suatu hari Nasrudin meminta istrinya untuk memasak halwa, masakan dari daging yang diberi bumbu dengan rasa manis. Istrinya memasak makanan itu dalam jumlah besar, dan Nasrudin hampir saja menyantap habis seluruhnya.
Malamnya, ketika mereka berdua sudah hampir lelap tertidur, Nasrudin mengguncang-guncang tubuh istrinya. “Eh, aku ada gagasan bagus.”
“Apa itu?”
“Bawa dulu ke sini sisa halwa yang masih ada. Baru setelah itu aku beri tahu gagasan yang ada di otakku.”
“Apa itu?”
“Bawa dulu ke sini sisa halwa yang masih ada. Baru setelah itu aku beri tahu gagasan yang ada di otakku.”
Istri Nasrudin segera bangkit dan mengambil sisa halwa yang langsung dilahap oleh sang Mullah.
“Sekarang,” kata istrinya, “aku tidak akan bisa tidur sebelum engkau ceritakan isi pikiranmu itu.”
“Idenya itu,” kata Nasrudin, “Jangan sekali-kali pergi tidur sebelum menghabiskan semua halwa yang telah dibuat pada hari itu juga.”
“Sekarang,” kata istrinya, “aku tidak akan bisa tidur sebelum engkau ceritakan isi pikiranmu itu.”
“Idenya itu,” kata Nasrudin, “Jangan sekali-kali pergi tidur sebelum menghabiskan semua halwa yang telah dibuat pada hari itu juga.”
Memberi Nasihat Gratis
Suatu hari Nasrudin pergi ke rumah hartawan untuk mencari dana. “Bilang sama tuanmu,” kata Nasrudin kepada penjaga pintu gerbang, “Mullah Nasrudin datang, mau minta uang.”
Sang penjaga masuk, dan kemudian ke luar lagi. “Aku khawatir, jangan-jangan, tuanku sedang pergi,” katanya.
“Ke sini. Ini ada pesan untuk tuanmu,” kata Nasrudin. “Meskipun ia belum memberi sumbangan, tapi tidak apa-apa, ini nasihat gratis buat tuanmu. Lain kali, kalau tuanmu pergi, jangan sampai ia meninggalkan wajahnya dijendela. Bisa-bisa dicuri orang nantinya.”
Nasrudin Ditangkap Waktu Perang
Ketika perang Salib, Nasrudin tertangkap dan dikenai kerja paksa di sebuah parit dekat benteng Aleppo. Kerja paksa itu, begitu melelahkan sehingga sang Mullah sering kali berkeluh kesah.
Suatu hari, seorang pedagang yang mengenalnya lewat di jalan tempatnya bekerja, dan kemudian menebus sang Mullah dengan tiga puluh uang keping perak. Nasrudin dibawa pulang oleh sang pedagang, dan diperlakukan dengan baik sekali. Sang pedagang, juga memberikan anak perempuannya kepada sang Mullah untuk diperistri.
Sekarang, hidup Nasrudin sudah lebih baik. Tapi tampaknya anak perempuan sang pedagang muiai suka marah-marah. “Engkau adalah laki-laki,” kata wanita itu suatu hari, “yang dibeli ayahku dengan harga tiga puluh keping perak. Ayahku kemudian memberikan engkau kepadaku.”
“Ya,” kata Nasrudin, “Ayahmu membayar tebusan sebanyak tiga puluh keping perak, lalu engkau tidak memperoleh apa-apa dari aku, dan aku sendiri sebenarnya juga sudah kehilangan otot-otot yang sudah kudapat sewaktu aku menggali parit-parit.”
“Ya,” kata Nasrudin, “Ayahmu membayar tebusan sebanyak tiga puluh keping perak, lalu engkau tidak memperoleh apa-apa dari aku, dan aku sendiri sebenarnya juga sudah kehilangan otot-otot yang sudah kudapat sewaktu aku menggali parit-parit.”
Sedih
“Huuu… huuuu…”
“Ada apa, Nasrudin?”
“Aku sedih sekali hari ini. Istriku sakit.”
“Oh, aku kira, keledaimu yang sakit.”
“Ya, memang betul. Tapi aku sedang melatih diriku agar terbiasa menghadapi kejutan dengan tahapan yang mudah dulu.”
“Ada apa, Nasrudin?”
“Aku sedih sekali hari ini. Istriku sakit.”
“Oh, aku kira, keledaimu yang sakit.”
“Ya, memang betul. Tapi aku sedang melatih diriku agar terbiasa menghadapi kejutan dengan tahapan yang mudah dulu.”
Memakai Pakaian Kabung
Nasrudin sedang berjalan di sepanjang jalan dengan mengenakan jubah berwarna biru tua ketika seseorang bertanya: “Mengapa engkau berpakaian seperti ini, Nasrudin? Apa ada yang meninggal?”
“Ya,” kata sang Mullah, “Kan bisa saja terjadi kematian, tanpa kita diberi tahu.”
Kehilangan Sorban
Suatu hari Nasrudin kehilangan sehelai sorbannya yang bagus dan berharga mahal.
“Kamu tidak sedih Nasrudin?” seseorang bertanya kepadarnya.
“Tidak. Aku optimistis, kok. Kau sendiri lihat, aku telah menawarkan hadiah setengah sekeping uang perak bagi siapa saja menemukannya.”
“Tapi penemunya, tentu, tidak akan mengembalikan sorbanmu. Habis, hadiahnya tidak sebanding dengan nilai sorban yang seratus kali lipat itu.”
“Sudah kupikirkan itu. Aku juga sudah membuat pengumuman bahwa sorban yang hilang itu kondisinya kotor sekali dan tua, berbeda dengan yang sebenarnya.”
“Tidak. Aku optimistis, kok. Kau sendiri lihat, aku telah menawarkan hadiah setengah sekeping uang perak bagi siapa saja menemukannya.”
“Tapi penemunya, tentu, tidak akan mengembalikan sorbanmu. Habis, hadiahnya tidak sebanding dengan nilai sorban yang seratus kali lipat itu.”
“Sudah kupikirkan itu. Aku juga sudah membuat pengumuman bahwa sorban yang hilang itu kondisinya kotor sekali dan tua, berbeda dengan yang sebenarnya.”
Siapa yang Salah Kalau Kecurian
Suatu hari Nasrudin dari istrinya pulang dan mendapati rumah mereka telah dimasuki pencuri. Segala sesuatu yang berguna dibawa kabur sang pencuri,
“Ini semua salahmu.” kata istrinya, “karena kamu selalu merasa yakin bahwa pintu rumah sudah terkunci sebelum kita pergi”
Para tetangga juga turut berkomentar: “Kamu sih tidak mengunci pintu-pintu,” ujar seorang tetangga.
“Heran. Kenapa kamu tidak membayangkan apa yang bakal terjadi?” ujar yang lain. “Kunci-kunci ternyata sudah rusak dan kamu tidak menggantinya,” kata orang ketiga.
“Sebentar,” kata Nasrudin, “tentunya, aku bukan satu-satunya orang yang bisa kalian salahkan.”
“Lalu, siapa yang harus kami salahkan kalau bukan engkau?” teriak orang-orang dengan gemas…
“Lho? Kok bukan para pencuri itu?” kata Nasrudin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar