Kamis, 26 Juli 2012

Dalam Mihrab Cinta 2











Sejak itu ia mendekam di penjara Polsek Semarang Tugu. Ia satu sel dengan dua orang narapida yang tertangkap karena mencuri sepeda motor. Dua narapidana itu mengajaknya untuk bergabung dalamkomplotannya. Ia pura-pura mengiyakan, sebab ia takut jadi bulan-bulanan mereka. Ia diberi tahu trik-trik mencuri sepeda motor yang canggih. Juga trik-trik mencuri rumah orang kaya.



"Di daerah Papandayan dan Candi, Semarang atas, banyak rumah mewah. Jika kita berhasil menggasak satu rumah saja. Kita bisa kaya mendadak." Kata napi berkumis tebal. Ia lalu diberi tahu peta daerah-daerah strategis untuk beroperasi. Ia masih bimbang bagaimana meneruskan hidup. Ia teringat cita-citanya. Ingin jadi mubaligh ternama sekaligus pengusaha Muslim yang berhasil. Maka setelah lulus SMA ia minta masuk pesantren sambil kuliah. Ia memilih pesantren di Kediri. Waktu di SMA memang ia agak nakal. Tapi dalam hati terkecil, cita-citanya adalah jadi mubaligh. Dan kejadian di pesantren itu mengubah segalanya. Ia teringat Burhan. Anak pengusaha dari Jakarta itulah sumber petakanya. Ia dijebak Burhan, saat pesantren sedang panas oleh kejadian beberapa pencurian. Uang santri hilang. Ia jadi kambing hitam. Dan kini ia benar-benar mendekam jadi pencuri.Sudah satu minggu ia dipenjara. Ia mulai bosan. Napi berkumis tebal berkata padanya,"Kau tenang saja Bur. Minggu depan bos kami akan datang. Dia akan menebus kami. Kau akan kami usahakan ikut ditebus. Tapi konsekuensinya, kau harus ikut memperkuat kami." Ia mengangguk. Jika itu benar-benar terjadi, ia memang benar-benar akan masuk di dunia hitam. Ia berdoa semoga ada mukjizat yang mengeluarkannya dari penjara. Tapi ia tidak bisa mengelak dari kejahatan-nya mencopet. Ia diputuskan mendekam di sel selama enam bulan. Satu bulan pertama ia akan menjalaninya di Polsek Tugu. Dan ada kemungkinan dipindah ke Penjara Kedungpane.
Siang itu ia baru saja menyantap jatahnya makan siang. Seorang polisi datang dan membawanya keluar. Di ruang tamu ia melihat seorang gadis berjilbab. Hatinya berdesir. Nadia. Antara gembira dan sedih terbit dalam hatinya. Gembira bertemu adiknya, sedih karena kini adiknya tahu ia benar-benar seorang kriminil. 


"Nadia!" Serunya pada adiknya. Nadia menoleh ke arahnya. Kaget. Tidak percaya.
"Kau.. .kau bukan Kak Ss.. .s..." Nadia gagap tidak percaya.
"Tenang. Aku kakakmu, Nadia." Nadia menggeleng-gelengkan kepala dan menangis.
"Tidak.. .tidak.. .tidak, Kak!"
"Tenang Nadia, beri kesempatan aku bercerita. Mari kita bicara dengan tenang.
"Nadia duduk tenang. Airmatanya bercucuran.
"Kau sendirian, Nadia?" Nadia mengangguk.
"Keluarga semua baik?" Nadia kembali mengangguk.
"Apa mereka sudah tahu aku disel?"
"Begitu membaca Koran Suara Mahardika dan menonton berita di televisi mereka semua yakin yang tertangkap adalah kakak, meskipun memakai nama Burhan. Hanya aku yang tidak percaya, maka aku kemari. Ternyata dugaanku salah. Kakak memang seorang penjahat!"
Syamsul menangis.

"Maafkan aku Nadia. Demi Allah ini yang pertama kali aku lakukan. Dan aku berharap yang terakhir kalinya."
Syamsul lalu menjelaskan perjalanan hidupnya sejak pergi dari rumah sampai kehabisan uang. Dan kejadian di Ngaliyan itu.
"Tolonglah aku, Adikku." Nadia diam. Rasa kasihannya keluar setelah mendengar cerita kakaknya.
"Hanya kau yang kuharapkan, Adikku.Tolonglah!"
"Bagaimana aku bisa menolongmu Kak?""Tebuslah aku biar aku bisa keluar dari sini."
"Berapa Kak?"
"Kau bawa kartu ATM?"
"Iya."
"Isinya berapa?"
"Tiga juta."
"Baik. Biar aku negosiasi dengan polisi dulu. Baru kauambil uang di ATM ya."
"Baik Kak." la lalu bernegosiasi dengan polisi. Karena ia sudah belajar cara negosiasi dengan polisi, maka urusannya mudah. Apalagi ia menyebut seorang nama yang ia dapat dari kedua napi itu. Nama itu dikenal sebagai beking para kriminal. Akhirnya ia bisa keluar dari penjara dengan menebus cuma dua juta lima ratus.
Ia berterima kasih kepada adiknya. Dan ketika adiknya mengajaknya pulang, ia tidak mau.
"Mereka pasti sudah tidak sudi melihat mukaku."

"Tenang, Kak. Mereka akan Nadia yakinkan bahwa yang dipenjara itu bukan kakak. Tapi Burhan. Orang yang mirip kakak. Mereka kan tidak tahu kalau kakak sudahbebas. Kakak bilang saja tidak pernah dipenjara.Nadia tidak akan membocorkan hal ini pada mereka.” la tetap tidak mau. Nadia memberinya uang lima ratus ribu, lalu kembali ke Pekalongan dengan perasaan sedih.
Syamsul berharap akan menemukan cahaya yang terang dalam hidupnya.
Syamsul merasa tidak bisa bertahan di Semarang.
la ingin mengadu nasib yang lebih baik di tempat lain. Maka dengan bus ekonomi ia nekat pergi ke Jakartasetelah mengambil barang-barangnya di masjid dekat PasarBulu.Sampai di Jakarta ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tiba di Lebak Bulus pagi buta. Bingung mau ke mana.Setelah shalat Subuh ia berjalan-jalan di terminal melihat-lihat. Ia merasa karena terlanjur nekat maka ia harus nekat. Akhirnya ia nekat naik angkot jurusan Parung. Ia ingin mencari masjid. Ia ingin tinggal di masjid. Sampai di Parung ia turun, lalu berjalan kaki mencari masjid. Bertemu dengan sebuah masjid ia utarakan keinginannya untuk tinggal.
"Mungkin saya bisa bantu-bantu menjaga dan membersihkan masjid. Kebetulan saya dulu dari pesantren." Katanya pada orang yang ada di masjid.
"Maaf Dik, kebetulan sudah ada yang tinggal di sini.Dua orang malah. Juga dari pesantren. Sekarang sedang kuliah di UIN Syarif Hidayatullah. Maaf kami tidak nambah orang."
la kecewa. Berkali-kali ia temukan masjid. lautarakan niatnya. Dan jawabannya mirip: tidak menerima tambahan orang. Di masjid yang terakhir, saat itu menjelang Ashar, dan dia sangat kelelahan, takmir masjid menyarankan agar dia mengontrak rumah saja.
"Adik kan bisa mencari kerja. Tidak harus tinggal dimasjid. Adik cari saja kontrakan di dekat masjid ini. Kalau kami perlu bantuan, Adik, kami bisa panggil Adik. Kalau tinggal di masjid tidak bisa. Kamarnya cuma satu dan telah ditempati Pak Ali, imam masjid ini, bersama isteri dan anaknya. Gimana Dik? Nanti saya bantu cari yang murah. Oh ya siapa tadi nama Adik?"
Pada bapak yang halus budi itu, ia tidak berani berdusta, "Nama saya Syamsul Pak."
"Ya jadi begitu saran saya Dik Syamsul. Oh ya nama saya Abbas. Panggil saja Pak Abbas. Kebetulan saya Ketua RT 2 di perumahan ini."
Akhirnya ia ikut saran Bapak itu. Ia mendapatkan rumah satu kamar. Sewa per tahunnya dua juta. Ia menggigit bibir.
"Saya cuma punya empat ratus ribu, Pak."
"Baik. Pemilik rumah ini mengatakan katanya bisa dicicil empat kali. Sekali cicil berarti lima ratus ribu. Kamu ada empat ratus, bagaimana kalau yang seratus ribu saya usahakan. Adik bisa bayar kapan saja adik ada. Tapi cicilan selanjutnya adik usaha sendiri."
"Saya pinjam tiga ratus ya Pak. Biar saya ada pegangan bulan ini."
"O…..boleh."
Jadilah ia menyewa rumah. Sejak hari itu ia tinggal di sebuah perumahan tak jauh dari Parung. Ia mulai kenal dengan masyarakat. Namun sudah satu bulan ia belum juga dapat kerjaan. Uang pegangannya tinggal lima kali makan. Ia bingung. Ia harus berbuat apa. Cicilan rumah bulan depan juga belum ada. Akhirnya ia berkata pada diri sendiri,
"Aku harus nekat. Minta belas kasihan orang itu mental pecundang!"
Hari itu ia naik anggot ke Lebak Bulus. Lalu naik Kopaja yang sesak penumpang. Ia nekat mengamalkan'ilmu' yang didapat dari dua napi saat ia dipenjara. Berhasil! Seorang cewek berambut keriting jadi korban. Ia lalu beroperasi di bus yang lain.
Berhasil! Seorang ibu-ibu setengah baya berpakaian modis jadi korban."
Kalau mencopet jangan terlalu tamak. Sehari dapat dua itu bagus. Yang ketiga dan keempat biasanya hilang konsentrasi." Ia teringat kata-kata napi berkumis tebal. Ia merasa harus pulang. Sampai di kontrakan ia menghitung hasil jarahannya.
Dari dompet cewek keriting cuma lima puluh ribu.Tapi ada kartu ATM-nya. Dari dompet ibu-ibu setengah baya modis, lumayan, enam ratus ribu. Semuanya serarus ribuan, enam. Ada KTP dan SIM-nya. Ia ambil uang itu, ia masukkan ke dalam dompetnya. Sementara dompet korbannya ia simpan di laci almari.
Meskipun diliputi rasa berdosa ia merasa lebih tenang. Malam harinya ia pergi ke pemilik rumah nyicil kontrakan.
Hari berikutnya ia melakukan hal yang sama. Dapat cuma satu korban. Ia pulang. Ia tak mau ambil risiko. Korbannya kali ini seorang cewek berjilbab modis, kelihatannya mahasiswi. Ya, mahasiswi setelah ia lihat ada kartu mahasiswanya. Cantik juga, katanya dalam hati ketika melihat fotonya. Ada foto yang lain. Foto mahasiswi itu dengan seorang pria. Mungkin pacarnya, gumamnya. Ia terkesiap.
"Tunggu, agaknya aku kenal dengan lelaki ini." Katanya. Ia amati dengan seksama, "Benar. Ini si Bajingan Burhan itu. Oo.. jadi ini pacar atau calon isterinya yang lain."
Ia semakin yakin ketika membaca tulisan di balik foto berukuran 6x8 itu.
"Silvie bersama Mas Burhan di Sby."I a tersenyum. Ia penasaran. Ia lihat KTP cewek itu.
"Ini saatnya perhitunganku berlaku." Ia ingat Burhan sudah serius dengan Dalmayanti, santriwati dari Tulungagung. Putri seorang kepala KUA.
"Burhan ini benar-benar buaya! Tidak bisa dibiarkan!" Setelah mengambil uang dan KTP dari dompet korbannya ia melangkah keluar sambil menenteng tas ranselnya. Sekalian shalat Ashar ia hendak pinjam kendaraan pada Pak Abbas. Ia ingin mencari alamat yang ada di KTP itu yang kelihatannya tidak jauh dari tempat ia tinggal. Cewek itu ringgal di Villa Gratia, Parung bagian timur. Sementara dirinya ada di Parung bagian barat .Bakda Ashar ia meluncur dengan sepeda motor Pak Abbas. Tak lama ia temukan Villa Gratia itu. Perumahan elite. Pintu masuknya dijaga satpam. Ia tak jadi masuk. Ia terus saja jalan. Ia harus berpenampilan yang tidak mencurigakan. Ia teringat di ranselnya ada kopiah putih yang biasa ia pakai kalau shalat. Ia pakai kopiah itu baru pakai helm. Ia lihat alamat rumah cewek itu. Jl.Flamboyan 19. Ia tersenyum. Ia sudah mantap menghadapi satpam. Ia kembali ke Villa Gratia.
Ketika mau masuk satpam menghentikannya. Ia lepas helmnya, sehingga tampak ia pakai kopiah.Seketika satpam bersikap lebih ramah."Mau ke mana Pak Ustadz? Ke rumah siapa?" Tanya satpam itu.I a tersenyum dalam hati. "Baru pakai kopiah saja langsung dipanggil ustadz. Wah boleh juga ini, aku ternyata bakat jadi ustadz juga." Batinnya.
"Mm. Saya mau ke Flamboyan 17." Jawabnya mantap. Sengaja ia tidak bilang Flamboyan 19. Ia teringat pada nasihat napi berkumis tebal, "Jangan pernah mengatakan sasaran kita sebenarnya kepada siapapun saat observasi! Termasuk ketika bertanya atau menjawab pertanyaan.""O mau ke rumah Pak Broto ya. Jadi si Kecil Dela itu sudah mau ngaji ya Ustadz. Cepat sekali Pak Broto dapat ustadz, padahal baru kemarin sore bilang ke saya." Kata satpam itu.
"Iya. Alhamdulillah. Nanti kalau dengar ada yang mencari guru ngaji bisa bilang saya ya." Ia tersenyum.
"Ya, insya Allah, Ustadz, tapi komisinynya, Ustadz."
"Beres, Pak." Ia lalu masuk dengan tenang. Rumah-rumah diperumahan itu mewah semua. Seperti istana. Ia masuk Jalan Flamboyan. Rumah bernomor 19, luar biasa besar. Dalam hati ia berkata, "Si Burhan bajingan itu beruntung punya mertua tajir begini." Ia lalu mencari masjid.
Ketemu masjidnya juga mewah dan bagus. Ia teringat kata-kata satpam tadi, "Jadi si Kecil Dela itu sudah mau ngaji ya Ustadz. Cepat sekali Pak Broto dapat ustadz,padahal baru kemarin sore bilang ke saya."
Ia ter-senyum. Ia berharap Pak Broto belum menemukan guru ngaji. Ia merasa harus nekat. "Mau nyopet aja perlu nekat, masak mau ngajar ngaji tidak nekat. Tak ada salahnya toh copet ngajar ngaji biar dosanya terhapus dikit-dikit." Batinnya dalam hati. Lalu dengan mantap ia memarkir sepeda motornya di depan rumah di Jalan Flamboyan no. 17. Ia pencet bel.Seorang pembantu wanita agak tua membuka pintu."Oh, Pak Ustadz. Mau ketemu siapa?"
"Pak Broto ada, Bu?"
"Ada. Silakan masuk Pak Ustadz."
Dengan tenang ia masuk. Tak lama seorang lelaki gemuk bersarung dan berbaju koko keluar.
"Oh Ustadz. Di mana kita pernah bertemu ya Pak Ustadz?" Pak Broto merasa kenal."
Mungkin di suatu masjid. Saya juga lupa Pak Broto. Gini Pak Broto langsung saja, ada yang memberitahu saya, katanya Pak Broto perlu guru privat ngaji untuk si Kecil Delia. Apa betul?" Syamsul menjawab dengan sangat tenang.
"Benar Pak Ustadz. Sudah ada seorang guru ngaji yang datang tadi pagi tapi saya tidak cocok, sebab dia tidak ada background pesantrennya. Saya ingin guru ngaji yang pernah belajar di pesantren."
"Kebetulan saya dulu pernah nyantri di Kediri. Asli saya dari Pekalongan Pak Broto. Sekarang saya tinggal di perumahan di Parung bagian barat."
"O ya...ya...ya. Alhamdulillah kalau begitu. Semoga si Delia mau. Sekarang tinggal Delia-nya ni. Ohya nama Pak Ustadz siapa ya? Saya lupa?" Syamsul ingin tertawa. Belum pernah bertemu tapi merasa sudah kenal. Kadang orang kaya itu aneh.
"Nama saya Syamsul, Pak Broto."
"O ya..ya...ya. Saya panggilkan Delia dulu. Biar segera clear urusannya."
Pak Broto lalu masuk memanggil-manggil anaknya. Tak lama, ia kembali keluar bersama anak putri berumur enam tahun.
"Ini Dik Delia ya?" sapa Syamsul dengan ramah.
"Iya." Jawab Delia acuh tak acuh.
"Kenalkan nama kakak Syamsul, panggil Kak Syamsul."
"Kak Syamsul mau jadi ustadz Delia ngaji ya?"
"Iya. Itu jika Delia mau berteman dengan Kak Syamsul."
"Kak Syamsul bisa nyanyi nggak. Soalnya Delia inginnya tuh ustadz Delia juga yang pinter nyanyi."
"Udah Delia ingin, Kak Syamsul nyanyi apa?"
"Coba Kak Syamsul nyanyi lagu daerah dari Kalimantan!
"Wah kalau itu mah kecil. Nih dengerin baik-baik ya Delia:
Ampar-ampar pisang pisangku belum masak. Masak bigi dihubung bari-bari. Mangga lepak mangga lepak Patah kayu bengkok..
Syamsul lalu menyanyi dengan semangat. Delia lalu ikut bernyanyi. Begitu lagu selesai, Delia langsung berkata pada ayahnya,
"Saya mau ayah. Kak Syamsul pinter." Pak Broto tersenyum,
"Ya sudah kalau begitu. Ayah mau bicara sama Kak Syamsul dulu ya. Kamu masuk sana!"
Delia lalu masuk dengan berlari dan berteriak, "Hore aku punya ustadz pinter nyanyi...!"
"Alhamdulillah Pak Ustadz. Seperti yang Ustadz dengar sendiri. Delia mau. Terus kontrak kita bagaimana?"
"Saya ikut aturan bapak saja. Saya tidak meragukan profesionalitas Pak Broto."
Kening Pak Broto berkerut."Hmm baiklah. Saya samakan dengan privat pianonya Delia saja ya Ustadz?"
"Saya ikut. Tolong dijelaskan detilnya."
"Satu minggu empat kali pertemuan. Satu pertemuan satu setengah jam. Sehingga satu minggu ada enam jam.Satu jamnya saya hargai seratus ribu. Jadi satu minggu enam ratus ribu. Dan satu bulannya dua juta empat ratus ribu. Kalau ada jam tambahan maka harga per jamnya seratus ribu. Begitu Ustadz, bagaimana?"
"Sepakat."
"Terus pengaturan jamnya bagaimana, Ustadz?"
"Begini saja. Pak Broto saja yang bikin dengan melihat jam kegiatan Delia. Insya Allah habis ini saya kemasjid. Saya shalat Maghrib di masjid perumahan ini, Insya Allah. Setelah shalat kita bicarakan di masjid jadwalnya. Bagaimana Pak?"
"Baik Pak Ustadz. Baik."
"Kalau begitu saya pamit dulu." Syamsul meninggalkan rumah itu dan pergi ke masjid.
Sambil menunggu ia berbincang-bincang dengan penjaga masjid. Ia banyak mendapatkan info yang berharga. Termasuk tentang penghuni rumah no.19 Jalan Flamboyan. Silvie ternyata mahasiswi jurusan ekonomi UI. Silvie anak tunggal. Ayahnya seorang pengusaha dibidang travel dan pariwisata. Namanya Pak Heru.
"Pak Heru itu bisa dikatakan yang paling kaya diperumahan ini. Ia punya travel yang sudah punya cabang di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Cabang travel-nya juga ada di Singapura, Malaysia dan Arab Saudi."
Begitulah penjaga masjid itu menerangkan.
"Hanya saja Pak Heru sedikit pelit. Kalau membantu masjid sedikit. Masih bagusan Pak Broto yang tak pernah hitungan kalau membantu."
Waktu Maghrib tiba. Jamaah berdatangan.Penjaga itu yang azan dan iqamat. Saat shalat mau didirikan penjaga masjid itu mempersilakan Syamsul jadi imam. Syamsul ragu dan tidak mau. Tapi Pak Broto yang sudah hadir memaksanya agar ia mau. Akhirnya ia pun jadi imam. Dalam hati ia beristighfar sebelum maju dan berkata, "Ya Rabbi apakah kau mau menerima shalat hamba-hamba-Mu yang di imami seorang pencopet?"
Ia shalat dengan membaca surat-surat pendek. Bacaannya tartil. Satu tahun di pesantren cukup baginya untuk membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Usai shalat ia berbincang-bincang dengan Pak Broto.
Kesepakatan-kesepakatan tentang hari dan jam dengan cepat tercapai. Di tengah asyiknya berbincang, Pak Heru ikut nimbrung. Pak Heru bercerita tentang musibah yang menimpa putrinya semata wayang,
"Sekali ini dia naik bus kota langsung kecopetan.SIM, STNK, KTP, Kartu Mahasiswa hilang. Untung pas tidak bawa ATM. Ia juga kehilangan empat ratus ribu."
Pak Broto diam mendengarkan. Demikian juga Syamsul. Dalam hati Syamsul berkata, "Pak, si Copet yang mencopet putri Bapak ada di depan Bapak."
Seorang jamaah yang mendengar dari kejauhan mendekat sambil berkata, "Mungkin karena kurang zakat kali, Pak."
"Masak? Kan tiap tahun harta saya sudah saya zakati 2,5 persen."
"Mungkin yang kurang infak shadaqahnya. Shadaqah kan tolak balak. Bener nggak, Ustadz?" Syamsul mengangguk.
Pak Heru terdiam. Syamsul harus minta diri pulang. Sebab ia pinjam kendaraan Pak Abbas hanya sampai jam delapan malam. Dalam perjalanan ia berniat untuk taubat dan jadi manusia baik sungguhan.

*******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar