Kamis, 26 Juli 2012

Dalam Mihrab Cinta 3




Sejak itu Syamsul mulai menata hidupnya. la merasa jika gaji privat ngajinya cukup, maka tidak perlu lagi mencopet. Dan ia berjanji dalam hati akan mengembalikan dompet korban-korbannya ke alamatny masing-masing. Seminggu empat kali ia mengajar Delia. Dan agar tidak mengecewakan kala mengajar, ia pergi ke toko buku untuk membeli beberapa buku cerita anak Islami. Dongeng-dongeng anak. Buku-buku permainan anak. Juga psikologi anak. Syamsul berusaha sebisa mungkin menjadikan Delia keranjingan mengaji. Tempat ngajinya tidak melulu di ruang belajar Delia. Kadang di taman. Kadang di masjid. Bahkan terkadang ia ajak jalan pakai kendaraan dan mencari daerah yang enak untuk mengaji. Pak Broto senang sekali dengan kemajuan putrid bungsunya itu.Dari mulut Delia, Syamsul banyak tahu tentang Silvie. Sebab Delia diajar matematika oleh Silvie. Dan akhirnya Silvie pun kenal Syamsul. Selain mengajar Delia, Syamsul mulai mendapat tawaran mengajar anak yang lain. Ia merasa bisa hidup mandiri dari uang yang halal. Saat ia merasa ada uang lebih ia langsung menabung. Dan untuk menambah ilmu serta menguatkan statusnya, Syamsul masuk kuliah di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta. Dengan begitu statusnya adalah mahasiswa. Ia juga berani kredit kendaraan. Karena tanpa kendaraan ia tidak bisa ke mana-mana. 





Suatu ketika selesai mengajar Delia ia bertemu Pak Heru di masjid. Ayah Silvie itu mengajaknya berbincang-bincang.
"O jadi Ustadz Syamsul kenal dengan Burhan Faishal yang sekarang masih di Pesantren Al Furqon? Burhan itu calon menantu saya. Dia putra Pak Anwar pemilik percetakan besar di Pasar Rebo lho nak."
"O ya Pak. Saya kenal sekali dengan dia. Kebetulan saya dan dia satu pesantren. Tapi benar, Burhan itu calon menantu Bapak?"
"Benar Ustadz. Malah Nak Burhan sendiri sudah melamar Silvie."
"Sama keluarganya Pak?"
"Ya baru bicara bilateral dengan saya. Belum dengan orangtuanya. Tapi dia sudah kasih cincin sama Silvie."
"Agak aneh, yang Bapak maksud Burhan yang ada tahi lalatnya di jidatnya?"
"Iya benar."
"Aneh."
"Aneh apa Ustadz?"
"Saya akan memberikan informasi penting. Tapi Bapak mau bersumpah untuk tidak memberitahukan jati diri saya kepada Burhan Pak? Ini demi kebaikan keluarga Bapak dan keluarga Burhan?"
"Info apa Ustadz?"
"Info penting. Kalau Bapak tidak mau bersumpah tidak akan saya beritahu." Pak Heru penasaran. Akhirnya ia mau bersumpah menuruti syarat Syamsul.
"Baik Pak. Tolong dengar baik-baik. Burhan memang santri yang cerdas. Tapi menurut saya tidak cocok, maaf, jadi menantu Bapak. Kasihan Silvie nantinya."
"Kenapa bisa begitu Ustadz? Ustadz jangan lancangya!"
"Sabar dulu Pak. Tunggu saya selesai berbicara. Setahu saya Burhan Faishal itu sudah serius bertunangan dengan seorang santriwati namanya Damayanti binti Ustman. Santriwati asal Tulungagung. Saya tahu persis. Sayang saya tidak punya foto mereka berdua."
"Ustadz jangan memfitnah dong. Ustadz jangan main-main ya."
"Begini Pak Heru. Alamat tinggal saya saat ini jelas. Pak Broto tahu siapa saya. Jadi kalau saya macam-macam Bapak bisa menindak saya. Saya sarankan Pak Heru langsung membuktikan sendiri. Jangan beritahu Silvie. Kalau Silvie diberitahu pasti akan telpon atau SMS Burhan. Dan Burhan akan berusaha menutupi kebenaran. Saya sarankan Bapak langsung ke Tulungagung. Ke rumah tunangan Burhan. Saya punya alamatnya. Baru setelah itu Bapak boleh mengambil keputusan."
"Baik Ustadz. Kata-kata Ustadz saya pegang. Mana alamatnya." Syamsul menulis alamat kantor di mana ayah Damayanti kerja.
" Pak Utsman, ayah Damayanti itu kepala KUA, jadi mudah mencarinya. Saya juga akan pegang sumpah Bapak. Ini hanya Bapak yang tahu."
"Baik. Saya akan ke sana secepatnya. Kebetulan saya harus melihat travel saya di Surabaya." Dalam hati Syamsul berkata, "Saya tidak memfitnah Burhan. Saya hanya ingin menyelamatkan Silvie dari orang licik seperti Burhan. Ampuni saya jika ini salah wahai Tuhan." Meskipun dia juga mengakui ia melakukan ini juga karena didorong dendam.
* * *
Hari terus berjalan. Satu minggu kemudian, di suatu Ahad pagi, Syamsul sedang bincang-bincang dengan Pak Abbas mengenai kegiatan remaja masjid di dekat tempat tinggalnya untuk menyambut Ramadhan. Pak Heru datang. Syamsul kaget. Jangan-jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, hal-hal di luar yang ia per-hitungkan. Syamsul minta waktu pada Pak Abbas untuk menemui Pak Heru.
"Assalamu'alaikum." Sapa Pak Heru.
"Wa'alaikumussalam. Ada apa Pak Heru?" Jawab Syamsul.Pak Heru malah menangis, "Terima kasih Ustadz. Terima kasih. Kalau tidak karena info Ustadz mungkin saya akan menanggung malu besar. Dan anak saya akan tidak jelas masa depannya."
"Ada apa sebenarnya Pak Heru?"
"Saya sudah ke Tulung agung Ustadz. Saya sudah bertemu dengan Pak Utsman. Apa yang Ustadz sampaikan benar.” Pak Utsman bercerita panjang lebar tentang hubungan putrinya dengan Burhan. Sampai akhirnya, di akhir cerita Pak Utsman menangis. Karena pertunangan putrinya dengan Burhan itu harus dia putus karena akhlak Burhan yang ternyata sangat buruk. Akhir bulan kemarin Burhan dikeluarkan dari pesantren karena terbukti mencuri. Burhan sekarang sedang disel di Polres Kediri karena melukai pengurus pesantren dengan senjata tajam. Saya benar-benar menyesal percaya pada anak itu. Oleh anak itu saya dirugikan empat puluh juta. Dia bilang pinjam buat modal usaha buka toko buku di Kediri. Setelah saya cek toko itu fiktif."
"Saya tidak mengira sejauh itu Burhan tergelincir. Terus Silvie gimana Pak? Apa dia sudah tahu?"
"Ya. Silvie sudah tahu semuanya. Sebab saya ke Tulungagung langsung mengajak dia. Dia bersyukur tahu semuanya. Dan Silvie ingin pura-pura tidak tahu. Tidak usah berkata apa-apa pada Burhan. Dalam waktu cepat Burhan pasti bebas dan pasti akan langsung datang.Setelah keluarga Damayanti memutuskan hubungan, jelas Burhan akan langsung mengejar Silvie. Saat Burhan datang itulah Silvie ingin memberinya pelajaran atas kedustaannya selama ini." Syamsul hanya manggut-manggut. la merasa dalam hal itu tidak berhak turut campur. Sekarang dia merasa lega. la berharap berita yang dibawa Pak Heru benar. Dengan demikian namanya yang telah hitam di mata pesantren dan keluarganya kembali pulih.
" Meskipun Burhan itu temanku. Dalam masalah ini saya tidak bisa ikut campur. Dan saya tidak berhak berbicara apa-apa. Saya hanya berdoa semoga semuanya jadi baik." Pelan Syamsul.
"Iya Ustadz benar. Oh ya Ustadz, sekali lagi kami sekeluarga mengucapkan terima kasih atas informasinya. Kalau Ustadz ada waktu kapan-kapan setelah mengajar Delia, Ustadz bisa mampir ke rumah. Sebab ibunya Silvie ingin memberikan sesuatu pada Ustadz sebagai tandaterima kasih."
"Sama-sama Pak. Sudah menjadi kewajiban seorang Muslim untuk saling menjaga dan mengingatkan."
"Saya pamit dulu Ustadz."
"Mari Pak Heru."
"Assalamu 'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Begitu Pak Heru pergi, Syamsul langsung lari ke wartel untuk memastikan kabar itu. la langsungmenelpon ke Kediri, ke kantor pengurus pesantren. Yang menerima agaknya Lurah Pondok.
"Ini siapa ya?" tanya Lurah Pondok.Syamsul malah gantian bertanya,
"Ini Lurah Pondok Pesantren Al Furqon Pagu ya?"
"Iya benar. Ini siapa?"
"Ini alumni pesantren tahun kemarin, Kang. Aku dengar kabar ada santri yang di sel di Polres apa benar?"
"Ya benar. Karena dia mencuri dan menyerang pengurus yang akan meringkusnya."
"Dia itu yang namanya siapa itu, yang berambut gondrong yang dicurigai banyak orang. Saya kok lupa?" Syamsul menyelidik.
"O yang berambut gondrong itu namanya Syamsul. Yang disel bukan dia. Aduh kalau teringat dia kami jadi merasa sangat berdosa. Dia korban fitnah. Kami masih ceroboh dulu. Yang dipenjara itu Burhan."
"O ya yang berambut gondrong itu Syamsul ya. Saya kok lupa. Dia korban fitnah maksudnya bagaimana?"
"Dia korban fitnah perangkap si Burhan. Kami semua berdosa padanya. Kami ingin minta maaf padanya. Tapi tidak tahu dia di mana sekarang?"
"Sudah ke keluarganya?"
"Sudah. Kami minta maaf pada mereka. Keluarganya sangat marah pada kami. Dan keluarganya menyesal, karena Syamsul sudah lama minggat dari rumah."
"Minggat dari rumah?"
"Ya. Aduh saya jadi ingin menangis. Betapa kecerobohan kami telah menyengsarakannya."
"Masya Allah, betapa dahsyat ya dampak fitnah itu."
"Iya benar. Sangat besar. Makanya fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Oh ya siapa namamu?"
"Namaku Adi, Kang. Gitu dulu Kang ya. Assalamu'alaikum. Salam buat Pak Kiai." la tidak bohong. Nama lengkapnya Syamsul Hadi. Dan dia mengambil tiga huruf terakhir dari namanya, yaitu Adi. Padahal ada banyak nama Adi di pesantrennya. Lurah Pondok itu pasti tidak mengira kalau dia yang nelpon.
"Biarlah mereka mencariku. Dan akan aku maafkan jika mau mencium telapak kakiku." Gumamnya sambil matanya berkaca-kaca mengingat ketika ia dipukul hingga berdarah-darah. Tangan dan kaki diikat. Dicacimaki. Digunduli. Dan dikeluarkan dengan sangat tidak hormat. Ia juga ingat keluarganya. Nadia pasti sangat bahagia mendengarnya. Ibu dan ayahnya juga. Tidak tahu kedua kakaknya. Namun ia tidak akan menelpon mereka. Ia akan pulang jika telah sukses dan jadi orang. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa mandiri. Dan bisa berhasil. Namun tidak memungkiri ia sangat rindu pada adiknya itu. Sore itu juga ia memberi kabar singkat pada adiknya lewat telpon. Begitu adiknya mengangkat hp ia bertanya
"Ini Nadia ya?" Adiknya itu menjawab "Ini siapa ya?"
"Nadia ini aku. Syamsul kakakmu. Kakak memberitahu bahwa kakak masih hidup. Kau belajar yang rajin ya. Agar hidup mulia dan bahagia. Itu saja ya.Wassalam." Langsung ia tutup.
***
Jam lima sore usai mengajar Delia, Syamsul menyempatkan diri bertandang ke rumah Pak Heru. Ia ingin menghormati tawaran Pak Heru. Syamsul disambut ramah oleh anggota keluarga itu. Bu Heru menyampaikan banyak terima kasih. Dan banyak bertanya kepada Syamsul. Di antaranya mengenai asal-usul Syamsul.
"Saya dari Pekalongan Bu. Dari keluarga yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari saya dan keluarga saya. Saya termasuk orang yang terlambat kuliah. Baru tahun ini saya kuliah. Setelah lulus SMA saya masuk pesantren." Terang Syamsul. Ia tidak mau membuka lebih dari itu. Tidak juga bagaimana ia pernah difitnah Burhan. Juga tidak tentang dompet Silvie yang ia copet. Hanya dompet Silvie yang belum ia kembalikan. Ia berniat secepatnya mengembalikan.
"Ini Ustadz sebagai tanda terima kasih. Saya ingin memberikan hadiah untuk Ustadz. Karena bisnis kami ini di bidang travel. Kami punyanya tiket. Kami ingin memberikan hadiah tiket dan akomodasi umroh kepada Ustadz, Ramadhan ini."
Syamsul senang sekali mendengarnya. Tapi ia teringat dengan program Ramadhan untuk remaja masjid yang telah ia rancang bersama Pak Abbas. Ia tidak mau meninggalkannya. Dengan hati berat ia menjawab, "Bukannya saya menolak, Bu. Sungguh saya ingin umroh. Namun Ramadhan ini saya punya tanggung jawab penuh mengorganisir kegiatan remaja masjid di perumahan tempat saya tinggal. Jadi maaf saya tidak bisa."
Bu Heru kelihatan agak kecewa. Namun segera tersenyum, "Sebenarnya kami ingin Ustadz berangkat bersama kami. Kalau memang begitu ya tidak apa-apa.Nanti kami ganti lain kali yang lebih baik, insya Allah.""
Ibu tidak usah memaksakan diri. Sudah menjadikewajiban kita saling menjaga. Sudah kewajiban saya untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan semampu saya. Jadi ibu tidak usah repot-repot." Pembicaraan berlanjut hingga azan Maghrib berkumandang. Bakda Maghrib ia pulang. Dan ia kembali teringat adik dan ibunya di Pekalongan. Ia berdoa semoga mereka semua dalam keadaan baik. Ia berusaha memaafkan apa yang telah dilakukan keluarganya padanya. Termasuk kedua kakaknya yang memperlihatkan rasa tidak sukanya kepadanya. Ia berharap semuanya jadi baik dan bahagia. Ia yakin ibunya sekarang pasti ingin bertemu dengannya. Namun sekali lagi ia menegaskan dalam hati, ia belum ingin pulang. Karenanya, agar ibunya tenang ia akan kirim paket hadiah kejutan.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar