Kamis, 26 Juli 2012

Mahkota Cinta 5 - 6

EPISODE 5.....

Dua hari pertama di Pantai Dalam Kuala Lumpur, Zul sibuk mengurus berkas-berkas pendaf tarannya ke Universiti Malaya. Dengan sabar Sugeng menemani dan mengantar ke sana kemari. Sugeng juga yang mengusahakan rekomendasi dari dua orang guru besar di Universiti Malaya (UM). Dan di hari ketiga berkas itu berhasil dimasukkan ke Institute Postgraduate Program (IPS). Zul mengambil program kerja kursus dan tesis di Fakultas Pendidikan Jurusan Sosiologi Pendidikan.

"Kita tinggal menunggu surat panggilan dari UM. Jika diterima nanti pihak IPS UM akan mengirim offer letter ke alamat kita. Dengan offer letter itulah nanti kamu mengurus registrasi dan lain sebagainya." Jelas Sugeng pada Zul setelah berhasil memasukkan berkas ke IPS.

"Berapa lama kita menunggu offer letter Mas?"
"Mungkin dua bulan lagi sudah kita terima. Sekarang yang paling penting kamu mempersiapkan biaya untuk registrasi jika diterima nanti. 

Jika ditotal paling tidak nanti kamu harus keluar uang tiga ribu ringgit lebih."
"Besar sekali ya Mas."

"Ini untuk pertama kali saja. Setelah itu tiap semester biaya SPP-nya terus turun. Kalau ditotal biaya kuliah di sini dengan di Indonesia kurang lebih sama. Namun jika kita bandingkan f asilitasnya, rasanya di sini lebih murah.
Hanya saja biaya hidupnya di sini cukup tinggi. Tetapi dengan menyempatkan diri sambil bekerja, semua biaya bisa ditutupi. Sekali lagi yang agak berat itu memang biaya masuk awalnya."

"Saya harus menyiapkan tiga ribu ringgit lebih ya Mas."
"Iya."
Zul mengerutkan keningnya. Dalam waktu sekitar tiga bulan ia harus mencari uang sebanyak itu. Ia agak gamang, apakah ia bisa.
"Jangan kuatir, yang penting Zul berusaha dulu. Jika nanti masih kurang, saya akan bantu mencarikan pinjaman dulu. Yang penting, Zul bisa mulai kuliah untuk sesi Juli yang akan datang."

"Iya Mas, terima kasih atas segalanya. Saya akan berusaha keras. Tadi pagi setelah shalat Subuh Mas Rizal mengajak saya untuk kerja lembur di restoran sebuah hotel nanti malam."

"Kalau begitu ayo kita pulang sekarang Zul. Kau perlu istirahat untuk persiapan nanti malam. Sementara nanti pukul dua saya ada jadwal mengajar budak-budak Malaysia di Damansara."

"Ayo Mas, berarti kita shalat Zuhur di surau di bawah flat kita."
"Iya."


* * *


Sore itu menjelang Maghrib, Zul telah siap-siap untuk mulai kerja pertama kalinya di negeri Jiran. Ia begitu bersemangat. Sebab ia punya tujuan yang jelas untuk apa bekerja. Rizal senang melihat Zul bersemangat. Ia senang, sebab malam itu ada yang menemaninya.

Selama ini ia biasanya sendirian saja.

"Kita harus sampai di Hotel Grand Season sebelum pukul setengah delapan. Pesta ulang tahun selebriti Malaysia ini akan berlangsung dari pukul delapan sampai pukul sebelas malam. Kita mungkin akan pulang sekitar pukul satu malam. Sebab selain kita bertugas menjadi pelayan yang menghidangkan makanan. Kita juga bertugas membersihkan peralatan setelah acara itu. Bagaimana kau siap Zul?"

"Siap Mas."
"Ayo kita berangkat."

Mereka berdua lalu turun dari flat. Lalu dengan sepeda Honda tua tahun tujuh puluhan mereka meluncur menyisiri jalan raya Kuala Lumpur.

"Kenapa tadi tidak memakai motornya Pak Muslim saja Mas? Lebih cepat." Kata Zul saat melihat Rizal berkali-kali melihat jam tangannya sambil mengendari sepeda motor tuanya.

"Memakai milik sendiri meskipun tua seperti ini rasanya lebih nyaman. Insya Allah tidak terlambat kok."

Jawab Rizal.
"Semoga Mas."

Mereka berdua akhirnya sampai di Hotel Grand Season yang berada di kawasan Chow Kit tepat pukul 19.15. Mereka langsung shalat Maghrib. Selesai shalat Maghrib mereka mendapat briefing dari penanggung jawab restoran. Dan malam itu Zul bekerja dengan penuh hati-hati dan dedikasi. Ia begitu semangat, seolah tidak terasa lelah.

Dalam acara yang serba mewah dan glamour itu ia bisa melihat dari dekat selebritis-selebritis papan Malaysia. Termasuk diva pop Malaysia yang sangat terkenal di Indonesia. Hanya saja ia tidak berani kenalan, minta tanda tangan atau minta foto bersama. Dalam hati kecil ada juga sebenarnya keinginan untuk sekadar menyapa bahkan minta tanda tangan. Ia hanya membayangkan jika bisa foto bersama artis paling populer di Malaysia dan Indonesia itu, lalu bisa memasang foto itu di kamarnya, atau mengirim foto itu pada teman-temannya di Batam, pastilah ia akan merasa bahagia. Namun ia tak memiliki keberanian untuk melakukan itu semua. la juga merasa, sebagai pelayan, sangat tidak etis jika sampai berani melakukan hal itu.

Di akhir acara, ia sempat diajak bicara oleh seorang wartawati sebuah stasiun televisi Malaysia. Cantik. Ia sangat tersanjung. Wartawati itu, entah iseng entah serius menanyakan ia berasal dari mana? Lulusan apa? Dan apa motivasinya kerja di restoran hotel itu? Ia menjawab semuanya dengan jujur. Bahwa ia berasal dari Indonesia. Lulus S.l dari sebuah universitas di Semarang. Dan kerja di situ karena harus survive dan harus bisa membayar biaya SPP-nya di UM. Wartawati itu agak terkejut.

"Jadi awak sekarang sedang buat master di UM?"
"Iya."
"Dan awak ini bekerja untuk bayar studi awak?"
"Iya."

"Wah boleh. Awak boleh dikata seorang wira sejati. Saya takjub sama awak. Kalau boleh tahu ambil fakulti apa?"
"Fakulti Pendidikan, spesialisasi Sosiologi Pendidikan."
"Terima kasih. Saya sangat kagum dengan awak. Semoga berjaya. Ini kad nama saya. Suatu masa nanti kita lanjutkan pembualan kita ya? O ya lupa lagi, siapa nama awak tadi?"

"ZulHadi."
"Zul Hadi. Ada number yang bisa dikontak tidak?"
"Wah tak ada. Tapi saya ada alamat email mau?"
"A...boleh,boleh."

Zul lalu menyebutkan alamat emailnya. Wartawati itu mencatatnya di note book-nya. Lalu wartawati itu pergi sambil menganggukkan kepala dan melempar senyum kepadanya. Zul balas mengangguk dan tersenyum.
Pengalaman pertamanya kerja di Kuala Lumpur malam itu sangat mengesankan. Malam itu, ia pulang pukul setengah dua malam.

Di tengah perjalanan hujan deras turun. Rizal nekat menerobos hujan itu. Dan malangnya, rantai sepeda motor tua itu putus. Jadilahmereka berdua jalan kaki sepanjang empat kilometer sambil menunrun motor. Mereka sampai di Pantai Dalampukul lima. Rizal minta maaf kepada Zul,

"Sorry Zul ya. Jika pakai sepeda Pak Muslim, mungkin kita tidak perlu jalan kaki sejauh itu."

"Tak apa-apa Mas. Malah jadi kenangan indah tak terlupakan."
"Ya. Nanti bisa kita ceritakan ini pada anak cucu kita hahaha."
"Hahaha."

Begitulah. Sejak itu Zul larut dalam dunia kerjanya.

Ia benar-benar mati-matian bekerja. Siang dan malam.
Demi bertahan hidup dan demi bisa membayar uang kuliahnya. Selain bekerja insidentil di hotel-hotel kalau ada acara-acara besar, secara rutin siang hari Zul bekerja di pom bensin selama enam jam. Rizal jugalah yang mencarikan kerja di pom bensin itu. Dan malam hari ia ikut Arif bekerja sebagai pelayan Jamaliah Cafe di daerah Taman Seputeh. Biasanya ia berangkat pukul tujuh malam dan pulang pukul tiga pagi. Nyaris ia hanya istirahat beberapa jam saja setiap hari. Karena kesibukannya itu, ia belum juga sempat mengambil barangbarangnya yang ia tinggal di rumah Mari, di Subang Jaya. Ia bahkan nyaris melupakannya.

Suatu hari ia hanya bisa mengirim SMS kepada Mari:

"Assalamu'alaikum Mbak Mari.

Maaf ya, sy blm bs ke tmpt Mbak.
Juga maaf pada wkt itu tdk smpt pamitan.

Alhamdulillah sy sdh dpt kerja. Dan sdh dpt tmpt tnggl yg nyaman. Trs trng sy sdng sngt sibuk. Nnti jk sdh agak longgar sy k tmpt mbak untk ambil barang insya Allah. Terima kasih atas sgl kebaikannya ya. Dari adikmu: Zul."
Dalam SMS itu ia mengatakan sebagai adik Mari. Karena ia merasa Mari memang tepat dijadikan kakaknya. Dan saat bertemu untuk pertama kali ia merasakan Mari begitu baik. Dan seolah Mari menganggap dirinya sebagai adiknya.

Smsnya itu langsung dibalas oleh Mari,

"Wassalamu'alaikum wr wb. Alhdulillah kau ternyata masih hidup :)

Aku smpat khwtir krn kau pergi dan dua bulan tdk ada kbrnya. Ya, smg sehat dan sukses. Barangbarangmu masih terjaga dgn baik di sini. Oh ya skdr informasi, jk nnti ke sini mngkn tak akan bertm Mbak Iin lagi. Dia sdh pulang ke Indonesia tiga hari yang lalu. Dan kemngkinan besar tidak akan kembali lagi ke sini. Terima kasih telah menganggapku sebagai kakak. Selamat bekerja. O ya apakah ini nomor hpmu? Salam sayang dari kakakmu: Mari."

Ia bahagia sekali membaca SMS itu. Ia merasakan bahwa Mari memang orang yang tulus. Menolong dirinya tanpa pamrih apapun. Terkadang terbersit dalam pikirannya andai saja Mari masih gadis dan umurnya lebih muda darinya. la merasa bisa jatuh cinta padanya.
Cepat-cepat ia menepis pikiran yang tidak-tidak itu. la lalu menjawab pertanyaan Mari,

"Mbak ini bukan nomor hp saya. Tapi nomor teman saya. Tapi saya punya alamat email. Jika ingin mengabarkan sesuatu kpd sy, ini alamatnya: zoel_guanteng@okaymail.com
. Terima kasih."
Ia lalu menerima jawaban singkat dari Mari,
"Ya. Baik."

* * *

Zul terus berjuang dan bekerja. Suatu hari datanglah surat dari Universiti Malaya. Zul benar-benar diterima di perguruan tinggi tertua di Malaysia itu. Dan setelah mati-matian bekerja siang dan malam selama tiga bulan, ia bisa membayar registrasi pascasarjananya. Namun uangnya habis untuk registrasi dan mengurus student pass. Padahal ia harus segera aktif kuliah. Ia tidak bisa lagi kerja full time seperti dulu.

Tapi pemasukannya harus tetap seperti dulu. Ia agak bingung menyikapi hal itu. Apalagi jika ia harus naik bus setiap hari dari Pantai Dalam ke UM. Ongkos hidupnya jadi semakin bertambah.

Apa yang ia hadapi itu ia sampaikan kepada Yahya, orang saat ini ia anggap paling dekat dengannya. Sebab Yahya tinggal satu kamar dengannya. Yahya menyimak apa yang disampaikan Zul dengan penuh perhatian. Ia menjadi pendengar yang baik. Setelah Zul menyampaikan masalahnya secara tuntas, Yahya menanggapi,

"Bisa disiasati. Sesungguhnya setiap kali Allah menghadapkan manusia pada satu masalah, sebenarnya Allah juga menyiapkan jalan keluarnya. Inna ma'al 'usriyusra. Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada kemudahan.
Begitulah Al-Quran membahasakan. Apa yang kaualami sekarang ini pernah saya alami. Kau masih lebih beruntung Zul, sebab bisa bayar registrasi tanpa berhutang. Saya dulu sampai berhutang. Mari kita petakan apa yang kauhadapi satu per satu.

"Jika kau aktif kuliah artinya waktumu untuk bekerja di siang hari sangat sedikit. Tapi kau bisa bekerja Sabtu dan Minggu. Sebab masa aktif kuliah cuma lima hari.

Tapi saya sering lihat juga, bahwa untuk pascasarjana fakulti pendidikan sering masuk sore hari. Sebab mahasiswa dari pribumi Malaysia banyak yang dari kalangan guru. Pagi mereka mengajar, baru mereka bisa masuk kuliah sore hari. Yang paling penting, kau harus pastikan jadwal kuliah secepatnya. Baru bisa menata kapan dan di mana kau bisa kerja. Dan ada lagi yang juga sangat penting Zul, yaitu mulai sekarang kau harus memiliki sepeda motor sendiri. Selama ini kau bisa pinjam Rizal, Pak Muslim, atau siapa saja yang sepeda motornya nganggur. Tapi sekarang tidak bisa Zul. Kau sudah punya jadwal kuliah. Dan kau akan punya jadwal kerja sendiri, yang berbeda dengan Rizal sekalipun. Kalau kemarin kau bisa berangkat kerja bersama Rizal, sekarang belum tentu bisa.

"Menurut saya, sepeda motor sudah kebutuhan primer bagi mahasiswa UM. Tidak sekunder lagi. Bahkan kalau disuruh memilih penting mana sepeda motor sama komputer? Saya akan langsung jawab; penting sepeda motor. Kita tidak akan leluasa bergerak tanpa sepeda motor. Tapi kita masih bisa mengerjakan tugas dengan baik meskipun tidak memiliki komputer. Sebab di kampus fasilitas komputer sangat berlebih. Di mana-mana ada komputer dan internet. Itu yang bisa saya sarankan Zul."

Zul memikirkan dan merenungi saran Yahya benarbenar. Apa yang disarankan Yahya ia rasakan banyak benarnya. Ia harus punya sepeda motor meskipun tua dan butut. Akhirnya dengan memberanikan diri, ia meminjam uang pada Pak Muslim untuk membeli sepeda motor. Ia membeli sepeda motor yang murah, Suzuki tahun tujuh puluhan akhir.

"Yang penting bisa jalan dan mengantarkan sampai tujuan." Gumamnya dalam hati.

Setelah itu ia melihat jadwal kuliahnya. Dan menata jadwal kerjanya. Dengan terpaksa kerja di pom bensin ia tinggalkan. Sebab kerja di pom bensin itu banyak bertabrakan dengan jadwal kuliahnya. Sebagai gantinya ia kerja di warung runcit. Berangkat pukul delapan sampai pukul dua siang. Setiap hari. Jadwal kuliahnya banyak di sore hari. Mulai pukul tiga atau pukul empat.

Dan seringkali selesai pukul sembilan malam. Di atas pukul sembilan masih ia gunakan untuk bekerja di kedai Jamaliah Cafe. Hanya dua jam setengah saja. Dari pukul setengah sepuluh sampai pukul dua belas malam. Ia hanya punya waktu untuk belajar setelah shalat Subuh.

Dan itu ia gunakan sebaik-baiknya. Jika setelah Subuh ia tidak belajar itu artinya ia tidak punya waktu lagi untuk belajar. Maka baginya waktu setelah shalat Subuh sangat mahal. Ia merasa beruntung tinggal satu kamar bersama Yahya. Sebab Yahya punya kebiasaan belajar setelah shalat Subuh.
"Saya belajar setelah shalat Subuh ini sejak di SD.

Saya ini aneh, untuk buku-buku yang serius saya hanya bisa konsentrasi jika membacanya pada pagi hari. Ya setelah shalat Subuh itu. Biasanya kalau yang saya baca setelah shalat Subuh itu banyak melekatnya di otak." Kata Yahya pada Zul suatu ketika.

"Dan lagi setelah shalat Subuh itu waktu yang penuh barakah. Baginda Nabi sudah menjelaskan bahwa barakah untuk umatnya diturunkan pada waktu pagi. Jika kita ingin dapat banyak barakah ya berarti kita harus menghidupkan waktu pagi kita. Waktu Subuh dan setelah Subuh kita." Sambung Yahya.

"Wah cocok sekali apa yang Mas Yahya sampaikan dengan fenomena yang saya amati. Itu orang-orang China yang kaya-kaya. Baik di Indonesia atau di Malaysia, mereka itu selalu membuka toko dan dagangannya pagi-pagi sekali. Saya punya teman di Batam, dia pernah menjadi pembantunya orang China di Jakarta. Dia cerita, tuannya itu sudah bangun pagi sejak pukul empat pagi. Begitu bangun pagi langsung melihat siaran televisi dunia. Melihat indeks harga saham dunia. O jadi nyambung sama barakahnya waktu pagi."

"Iya Zul. Semestinya kita harus bangun lebih pagi dari orang China."
"Benar Mas."

***********************************

Episode 6.....

Tak terasa Zul telah melewati satu semester. Selama itu ia seperti tidak mengenal siang dan malam. Hariharinya ia lewati dengan bekerja dan belajar. Bekerja dan belajar. Ia tampak lebih kurus dari hari pertama saat ia tiba di Malaysia. Hidup setengah tahun lebih bersama Yahya membuatnya lebih banyak tahu tentang ajar an agamanya. Ia yang selama ini tidak mendapat pengajaran agama secara mendalam, banyak mendapat masukan-masukan tentang keindahan Islam. Sedikit demi sedikit Yahya memberikan pencerahan, tanpa terasa.

Tidak ada waktu khusus mengaji pada Yahya. Cukuplah interaksi harian menjadi tempatnya menimba ilmu.

Malam itu Kuala Lumpur hujan deras. Zul bangun dan shalat Tahajjud. Di keheningan malam itu ia memuhasabahi dirinya sendiri. Ia merenungi perjalanan hidupnya selama ini. Banyak sekali tingkah lakunya yang jauh dari perilaku yang dibenarkan oleh agama. Ia jadi teringat masa SMA-nya dulu. Ia pernah pacaran dengan anak SMA tetangga desa. Ia pacaran diam-diam. Pakdenya, yang menjadi pengasuhnya, tidak pernah tahu. Ia pernah pergi dengan pacamya itu malam mingguan di Simpang Lima Semarang.

Dan astaghfirullah ia bergandeng tangan dan duduk berpelukan mesra dengan pacarnya itu sambil nonton ramainya kawasan Simpang Lima. Ia putus dengan pacarnya, setelah lulus SMA. Pacarnya itu dikawinkan paksa oleh orangtuanya. Dan ia tidak memberitahukan hal itu kepadanya. Tahu-tahu ia mendapat kabar pacarnya sudah kawin dan hidup bersama suaminya di luar Jawa. Ia sempat sakit hati. Lalu saat kuliah di IKIP ia sempat pacaran lagi. Hanya bertahan dua bulan. Ia putuskan pacarnya itu setelah ia tahu pacarnya itu temyata punya pacar selain dia. Ia sakit hati.

Setelah itu ia tidak pernah pacaran lagi. Dua kali ia dikhianati perempuan, dan baginya itu cukup. Ia tak mau lagi.

Ia bersyukur kepada Allah yang menjaganya, hanya dua kali saja pacaran. Dan tidak sampai melakukan yang lebih dari sekadar bergandeng tangan dan berpelukan. Ia tidak bisa membayangkan jika Allah tidak menjaganya. Mungkin ia telah berbuat maksiat yang lebih besar lagi madharatnya.

Dari Yahya ia tahu bahwa tidak halal menyentuh tubuh perempuan yang bukan mahramnya. Tidak halal berasyik-masyuk dengan perempuan yang bukan isterinya. Pacaran adalah cara setan menggiring umat manusia agar jatuh pada perbuatan nista yang dikutuk semua agama, yaitu zina. Banyak orang melakukan pacaran yang—karena masih disayang Allah—diselamatkan oleh Allah dari dosa besar itu. Namun tidak terhitung jumlahnya manusia yang melakukan pacaran dan akhirnya jatuh ke lembah nista itu, yaitu melakukan perzinahan berulang-ulang kali.

Zul jadi merinding mengingat hal itu. Berulang-ulang kali ia mengucapkan istighfar. Ia membayangkan seperti apa besar dosanya. Berapa kali ia bermesraan danberpelukan dengan perempuan yang tidak halal baginya.

"Astaghfirullahal adhim. Ya Allah ampuni dosadosaku. Ampuni kebodohanku. Ampuni perbuatanperbuatan jahiliyahku."

Ia menangis bila mengingat yang terjadi pada teman satu kelasnya di SMA. Dua sejoli si Fulan dan si Fulanah. Mereka berpacaran dan kebablasan. Si Fulanah hamil.

Keduanya mengakui perbuatan keji itu pada pihak sekolah. Akhirnya keduanya dinikahkan oleh keluarga mereka. Dan tepat satu minggu sebelum ujian akhir keduanya dikeluarkan dari sekolah. Sebelum pergi ke Jakarta ia mendengar kabar keduanya cerai. Lebih menyedihkan lagi si Fulanah kabarnya bekerja di Sunan Kuning10 dan si Fulan dipenjara karena terlibat curanmor. 10 Sunan Kuning adalah nama sebuah lokalisasi di Kota Semarang, lebih dikenal dengan singkatan SK.

Jika Allah tidak mengasihinya, bisa jadi nasibnya lebih buruk dari si Fulan dan si Fulanah. Sebab saat ia pacaran ia nyaris pernah melakukan perbuatan yang dilarang itu dengan pacarnya. Zul kembali menangis mengingat hal itu,

"Ya Allah kalau tidak Kauselamatkan diriku. Akan jadi apakah diriku ini? Akan jadi budak setankah? Akan jadi makhluk yang durhaka kepada-Mu kah? Ya Allah,

terima kasih ya Allah telah menyelamatkan diriku. Ya Allah aku ingin hidup lurus di jalan-Mu. Ampunilah dosa-dosaku yang telah lalu. Limpahkanlah hidayah-Mu dan jagalah diriku dari perbuatan maksiat dengan penjagaan- Mu yang tidak pernah luput sekejap pun juga."

Di akhir muhasabahnya ia teringat kebersamaannya dengan Man dan teman-temannya. Juga perjumpaannya dengan Linda. Ia mohon ampun kepada Allah jika ada perbuatannya yang dosa, juga memintakan ampun kepada Allah untuk Mari, Iin, Sumi dan Linda. Walau bagaimanapun Mari telah memberikan pertolongan padanya.

Pagi harinya entah kenapa ia merasa ingin bersilaturrahmi ke rumah Mari di Subang Jaya. Beberapa kali ia menepis keinginan itu. Ia katakan pada dirinya bahwa besok-besok masih ada waktu untuk mengambil barangbarangnya.

Namun keinginannya untuk pergi ke rumah Mari entah kenapa terus mendesaknya.

Pada akhirnya ia tetap merasa harus bersilaturrahmi hari itu dan pagi itu juga. Ya, bersilaturrahmi sekadarnya saja. Sambil mengambil barang-barangnya yang masih tertinggal di sana. Ia belum mengucapkan terima kasih secara langsung pada Mari. Selain itu ia masih memegang kunci rumah itu. Ia benar-benar lupa kalau memegang kunci milik Linda. Ia harus mengembalikan kunci itu segera.

Pagi itu tepat jam delapan, setelah sarapan roti canai ia langsung ke stasiun KTM. Ia tidak membawa apa-apa.

Kecuali tas cangklong hitamnya. Ia bahkan tidak memakai sepatu, hanya memakai sandal jepit hitam. Dari stasiun Pantai Dalam ia ke KL Sentral. Lalu dari KL Sentral ia naik bus ke Subang Jaya. Di tengah perjalanan ketika bus baru keluar dari KL Sentral hujan turun dengan deras.

Bus tetap melaju dengan tenang. Zul menikmati indahnya kota Kuala Lumpur dalam siraman air hujan. Air mengalir dengan teratur ke selokan-selokan yang diatur rapi. Paru-paru kota yang ada di hampir setiap sudut kota menyerap air hujan dengan segera. Tak ada banjir tak ada air menggenang. Zul boleh salut pada tata kota Kuala Lumpur. Bus melaju dengan kecepatan sedang dan sampai di Subang Jaya pukul sepuluh siang.

Zul turun dari bus. Hujan masih turun rintik-rintik. Ia menutup kepalanya dengan tas hitamnya. Iaberjalan sambil mengingat-ingat jalan menuju rumah Mari. Sambil berjalan ia meraba saku celananya untuk meyakinkan bahwa kunci yang dulu dipinjamkan oleh Linda telah terbawa. Ia meraba dan menemukannya. Ia melangkah dengan cepat. Ia telah memasuki kawasan Taman Subang Permai. Ia ingat jalan depan belok kanan.

Rumah keempat dari ujung jalan itulah rumah Mari.
Tiba-tiba hatinya berdegup kencang. Ia teringat Linda. Yang ada di rumah itu pada waktu siang biasanya adalah Linda. Yang lain pergi kerja. Dan hujan-hujan begini ia akan mengetuk rumah itu dan bertemu Linda. Yang bisa jadi ia akan mengenakan pakaian yang tidak menjaga susila seperti dulu lagi. Ia jadi ragu. Antara meneruskan langkah atau pulang. Sementara rinai hujan masih terus turun. Akhirnya ia nekat tetap maju meneruskan langkah. Niatnya adalah mengembalikan kunci, mengambil barang-barangnya, dan menyampaikan rasa terima kasih. Bukan yang lain. Ia meniatkan diri untuk tidak lama di rumah itu. Mungkin cuma dua atau tiga menit saja. Ia bisa beralasan sibuk pada Linda. Sejurus kemudian Zul sudah sampai di depan rumah Mari. Ada mobil Proton Saga berwarna merah hati di depan gerbang. Pintu besi rumah itu terbuka. Namun pintu kayunya tertutup rapat. Artinya ada orang di dalam.

Tiba-tiba ia mendengar suara barang dibanting.
Seperti piring. Hujan kembali turun semakin lebat. Ia mempercepat langkah menuju teras. Bersama suara guntur yang menggelegar ia mendengar suara perempuan menjerit-jerit minta tolong dari dalam rumah. Ia kaget. Spontan ia lari ke pintu. Ia menggedor-gedor pintu. Pintu terkunci.
Ia ingat, bahwa ia membawa kunci rumah itu. Suara perempuan dari dalam rumah kembali menjerit-jerit minta tolong.

"Toloong, tolooong! Jangan! Jangan!"

Halilintar kembali menyambar. Ia menyangka suara itu adalah suara Linda yang mungkin hendak dianiaya oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Walaupun ia tidak suka dengan perbuatan dan cara berpikir Linda, tapi ia merasa perempuan itu tetap harus ditolong. la membuka pintu.

Dan...

Alangkah terkejutnya ia. Di ruang tamu itu ia melihat Mari tengah bergelut melawan seorang lelaki gundul bertubuh besar yang hendak merogolnya.11 Mari merontaronta sekuat-kuatnya. Kedua kakinya menendangnendang.
Pakaiannya bagian atas tidak sempurna lagi menutupi tubuhnya.

Ia melihat Mari mati-matian mempertahankan celana jeansnya yang hendak dilepas paksa. Melihat kemungkaran itu emosi Zul tidak tertahankan lagi. Darahnya mendidih. Ia langsung membentak dengan sekeras-kerasnya,

"Hai bajingan! Berhenti kau! Kurang ajar!"

Bersama dengan meluncurnya bentakan keras dari mulutnya ia langsung melompat menendang lelaki itu, tepat saat lelaki itu kaget dan menoleh ke arahnya.

Tendangan itu mengenai muka lelaki gundul itu. Tepat di hidungnya. Tak ayal tubuh lelaki gundul itu terpelanting dari atas tubuh Mari. Mari langsung bangkit dan lari ke pojok ruangan sambil mendekap tubuhnya yang gemetar ketakutan.

"Bangsat! Siapa kau berani mencampuri urusanku!"

Lelaki itu berdiri dengan amarah memuncak di ubunubunnya. Ia memegangi hidungnya yang terasa sakit. Zul tidak gentar. Ia pernah dikeroyok oleh preman Pulo Gadung dan tidak mat! meskipun saat itu tidak bisa dikatakan ia menang atau kalah. Yang jelas ia tidak mati.

Zul balik menggertak,
"Justru seharusnya aku yang harus bertanya. Siapa kau bajingan berani kurang ajar sama kakakku!"

"Apa? Mari itu kakakmu! Dasar penjahat. Rupanya kau ya yang membawa lari Mari kemari. Ketahuilah aku adalah Warkum, suami Mari yang sah. Aku ingin membawa dia kembali ke rumahku!"

"Dasar bajingan iblis! Kau bukan suamiku lagi! Aku tidak sudi melihatmu apalagi kembali padamu!"

"Tutup mulutmu perempuan sundal! Mau tidak mau kau tetap isteriku! Dan kau kucing alas, jangan ikut campur urusan rumah tangga orang lain ya! Atau...."

"Atau apa? Aku sudah tahu semuanya. Kau dan Mari
tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kau boleh bawa Mari ke mana saja asal bisa melangkahi mayatku!"

"Kurang ajar!"

Lelaki botak itu mengayunkan pukulan tangannya dengan sekuat tenaga. Jika pukulan itu mengenai dada Zul, bisa jadi dada yang tipis itu akan rontok. Tapi Zul yang sudah pernah belajar karate saat kuliah dan pernah berkelahi dengan preman dengan tenang mengelit sambil menyarangkan tendangan ke perut Warkum. Warkum terhuyung. Emosinya semakin menghebat.

"Setan alas!"

Ia langsung mengambil kursi plastik dan mengayunkan ke kepala Zul. Zul menghindar. Warkum terus memburu. Satu sabetan Warkum mengenai pelipis Zul.

Langsung berdarah.

Di pojok ruangan Mari menjerit histeris. Zul berusaha tetap tenang. Ia mencopot sandalnya yang ia rasa mengganggu gerakannya. Ia mencari peluang untuk menyarangkan serangan yang telak. Warkum terus memburunya dengan ganas. Melihat darah mengalir di pelipis Zul, semangat Warkum untuk membunuh semakin membara. Pada saat Warkum merasa bisa menghantam Zul dengan kursi plastiknya ia langsung mengerahkan segenap tenaganya.

Sabetan itu sangat keras. Pada saat menyabet kaki Warkum tidak kokoh menapak di bumi. Dengan gesit Zul mengelak dengan menjatuhkan diri ke lantai. Lalu ia melakukan tendangan memutar sekeras-kerasnya ke arah kemaluan Warkum. Tendangan itu sangat cepat dan keras. Tendangan itu yang tak lain adalah jurus buaya mengibaskan ekor yang pernah ia pelajari dari Mbah Tarmidi yang dikenal sebagai guru silat di desanya.
Kekuatan yang digunakan menyerang dalam tendangan itu adalah kekuatan putaran kaki dan senjata untuk melakukan serangan adalah kerasnya tumit kaki.

Tendangan Zul sangat akurat.

Akibatnya...
"Plakk!"

Tendangan Zul tepat mengenai sasaran. Tumitnya menghantam kemaluan Warkum dengan sekeraskerasnya.

Warkum langsung terjengkang dan mengerang kesakitan. Kursi plastik itu terlepas dari tangan Warkum. Zul tidak mau membuang kesempatan. Ia langsung menyarangkan tendangan keras ke rahang Warkum. Warkum kembali mengaduh.' Ia berusaha bangkit. Namun Zul langsung memukulnya dengan kursi kayu sekeras-kerasnya. Warkum mengerang sambil mengucapkan kata-kata kotor. Zul melihat televisi yang telah hancur. la angkat televisi itu dan ia tumpukkan ke muka Warkum. Muka itu langsung luka dan berdarah.

Seketika itu Warkum mengaum minta ampun.

"Sudan aku mengaku kalah! Aku tidak akan mengganggu kalian lagi. Tolong maafkan aku!" teriak Warkum sambil memegangi kemaluannya.
Zul melihat ke arah Mari.

"Mbak mau memaafkan dia?" tanya Zul.

Mari menggelengkan kepala.

Zul melangkah ke kamar Mari yang terduduk gemetar di pojok ruangan. Ia pernah melihat ada palu di bawah meja rias. Jika tidak dipindah palu itu pasti masih ada di sana. Dan benar palu itu masih ada di sana. Zul langsung memungutnya. Sementara Mari masih mematung di pojok ruang tamu. Warkum berusaha bangkit. Pada saat ia mau bangkit Zul telah kembali ke ruang itu dan langsung menendang kepala Warkum yang gundul itu sekeras-kerasnya. Warkum langsung mengaduh,

"Ampun tolong. Aku mengaku kalah! Biar aku pergi! Ampuni aku!"
Kini tangan kanan Zul memegang palu erat-erat.

"Bagaimana Mbak Mari, mau mengampuni penjahat ini?"

Mari menggelengkan kepala. Begitu melihat Mari menggelengkan kepala, Zul langsung memukulkan palu yang ada di tangan kanannya itu ke jari kaki kanan Warkum sekeraskerasnya. Zul memukulnya dengan cepat tiga kali berturut-turut. Warkum merasakan tulang jari kakinya remuk. Ia menjerit sekuat-kuatnya minta ampun.

"Bagaimana Mbak Mari mau memberi ampun?" tanya Zul.
Mari diam saja. Warkum memandang Zul yang saat itu berwajah sangat dingin. Ia berusaha menyeret tubuhnya ke belakang.

"Berhenti di tempat! Atau aku pukul gundulmu sampai pecah. Aku tahu kau bajingan dan punya anak buah banyak. Tapi kau harus tahu aku ini tahu bagaimana cara memecah dan meremuk tulang kepala seorang penjahat seperti kamu. Tahu!" Zul membentak,
Warkum seketika diam tak berani bergerak. Ia sudah benar-benar tidak berdaya.

"Bagaimana Mbak Mari, mau mengampuni penjahat ini?" Zul kembali bertanya pada Mari.

Mari kembali menggelengkan kepala. Zul langsung mendekati Warkum. Warkum mengaduh minta ampun.

"Letakkan tangan kananmu di lantai!" Perintah Zul. Warkum malah menggenggam tangan kanannya dan tangan kirinya seolah-olah hendak melindunginya.

"Dengar, sekali lagi letakkan tangan kananmu di lantai atau aku akan menghancurkan kemaluanmu dan kau akan mampus saat ini juga!" Gertak Zul dengan muka merah padam. Warkum yang tak punya nyali itu dengan tubuh gemetar meletakkan tangan kanannya di lantai.

"Hmm itu ya tangan yang selama ini digunakan untuk menjahati dan menodai kaum perempuan. Baik nihrasakan!"

Zul memukulkan palunya ke jari-jari Warkum dengan keras beberapa kali. Warkum merasakan sakit luar biasa. Sampai ia tidak bisa lagi menjerit.

"Ini pertanyaan saya terakhir, Mbak Mari mau mengampuni penjahat ini? Jika tidak palu ini akan mengeluarkan otak penjahat ini dari batok kepalanya. Biar dia mampus di sini dan tidak akan mengganggu Mbak Mari lagi!"

Mendengar kata-kata itu Warkum kembali memohon ampun. Warkum melihat bahwa ancaman Zul bukan gertak sambal saja. Ia melihat pemuda kurus yang menghajarnya ini punya nyali yang luar biasa dan jika nekat matanya seolah buta.

"Mari, to... tolong maafkan aku! Aku tak ingin mari.

A... aku khilaf. A... aku janji tidak akan mengganggumu

lagi dan tidak akan menampakkan wajah di hadapanmu lagi!" Kata Warkum mengiba dengan suara terbata-bata. "Bagaimana Mbak Mari? Ini pertanyaan saya terakhir!" tanya Zul dengan wajah dingin.
Mari bangkit dan melangkah lalu meludahi Warkum.

"Saat ini aku belum bisa memaafkan dia Zul. Tapi biarkan dia pergi. Biarkan dia hidup. Jika kau bunuh dia nanti urusannya panjang!"
"Aku tahu dunia preman. Urusannya tidak akan panjang Mbak. Kalau mau biar kubereskan dia. Sampah seperti dia inilah yang merusak kesucian anak gadis di mana-mana. Dia tak pantas hidup!"

"Biarkan dia pergi Zul!"
"Baik Mbak."
Warkum langsung berkata,
"Te... terima kasih Mari!"

"Hei, cepat pergi. Sebelum aku berubah pikiran! Ingat, hari ini kau berhutang nyawa pada Mbak Mari. Sebab jika tidak karena dia menyuruh membiarkanmu pergi, gundulmu itu pasti sudah hancur! Cepat pergi!" Bentak Zul dengan mata dipelototkan.

Dengan susah payah Warkum bangkit. Zul mengambil kain penutup meja dan melempar ke muka Warkum.

"Hei, usap lukamu dengan ini!"

Warkum berdiri. Ia mengusap darah yang mengalir dimukanya. Juga darah yang keluar dari jari-jari tangan kanannya yang hancur. Dengan langkah pincang tertatihtatih ia berjalan keluar rumah. Di luar hujan tinggal menyisakan gerimis. Zul mengikuti sampai di pintu. Ia mengamati Warkum dengan pandangan dingin. Susah payah Warkum masuk ke dalam mobilnya. Ia lalu menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan rumah itu. Begitu deru mobil itu tidak terdengar lagi Zul masuk dan langsung duduk di sofa.
Mari langsung menghambur bersimpuh menangis di kaki Zul. Mari menangis terisak-isak mengucapkan rasa terima kasih dengan terbata-bata. Zul terpana sesaat seakan hilang kesadaran. Ia mematung tak tahu harus berbuat apa menerima luapan keharuan Mari yang ditumpahkan sepenuhnya kepadanya. Beberapa saat kemudian kesadarannya pulih kembali.

"Mbak Mari sudahlah. Tolong Mbak bangkit ke kamar dan merapikan pakaian Mbak!" Ucap Zul pelan.
Mari menghentikan isakannya. la melihat tubuhnya sendiri. Barulah ia menyadari ada bagian tubuhnya yang seharusnya tertutupi tapi tidak tertutupi. Baju yang seharusnya menutupi aurat itu sobek. Dan penutup aurat di bawah baju telah putus dan tidak lagi menempel di badannya. Ia tidak menyadari hal itu sebelumnya karena ketegangan dan ketakutan luar biasa.

Begitu sadar muka dan perasaannya berubah seketika, dari haru menjadi malu. Mari langsung melindungi bagian itu dengan menutupkan bajunya yang sobek, lalu menyilangkan kedua tangannya ke dada. Kemudian ia bangkit dan bergegas ke kamarnya. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, menunjukkan bahwa ia malu luar biasa.

Zul menarik nafas dalam-dalam. Ia memejamkan kedua matanya. Punggungnya ia sandarkan sepenuhnya ke sofa. Ia tak membayangkan akan pernah berkelahi dengan penjahat yang hendak memperkosa seorang wanita seperti yang baru saja terjadi. Ia jadi teringat keinginannya yang sangat kuat untuk pergi ke rumah ini. Keinginan yang tidak bisa ditepisnya sama sekali.

Rupanya ia harus datang untuk membela orang yang pernah berbuat baik padanya.

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar