episode ….7
Zul menarik nafas dalam-dalam. Ia masih memejamkan kedua matanya sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. Inilah untuk kedua kalinya ia bertarung dengan penjahat. Dan kali ini ia menang. Ia merasa puas karena bisa memberi ganjaran setimpal pada penjahat berkepala gundul itu.
Mari masih berada di dalam kamarnya. Zul kembali menarik nafas. Tiba-tiba ia merasa ada yang mengalir di ujung mata kanan turun ke pipi. Ia raba. Darah. Darah itu mengalir dari pelipisnya yang luka. Namun ia yakin luka itu tidak parah. Paling hanya sobek beberapa senti saja. Ia merasa itu hanya luka kecil yang dalam beberapa hari akan sembuh.
Mari keluar dari kamarnya dengan wajah yang lebih cerah. Pakaiannya rapi. Blues merah muda lengan panjang dengan bawahan celana kulot merah marun. Jika diperhatikan dengan sedikit serius penampilannya tampak anggun. Ia menggelung rambutnya dengan sederhana. Sehingga tidak lagi awut-awutan. Tampaknya ia telah membasuh mukanya, dan telah berusaha menghapus bekas-bekas tangis dari wajahnya. Meskipun tidak benar-benar berhasil.
Zul masih memejamkan mata sehingga tidak menyadari ketika Mari keluar dari kamarnya dan memandangnya beberapa saat lamanya. Posisi Zul membelakangi pintu kamar Mari. Sehingga Mari tidak melihat Zul dari depan. Mari mendekat. Dan ketika melihat wajah Zul ia kaget.
"Zul, kau luka Zul! Kau berdarah Zul, ya Allah ya Rabbi!" Ucap Mari setengah berteriak.
Zul mengerjapkan matanya. Dan langsung menyahut,
"Ah tidak apa-apa kok Mbak. Cuma luka kecil saja."
"Tapi darahnya sampai mengalir ke dagu begitu. Harus segera diusap dan dibersihkan. Sebentar Zul."
Mari kembali ke kamarnya. Ia mengambil kapas dan obat merah.
"Sini Zul biar aku bersihkan dan aku obati!" Kata Mari lagi sambil membawa kapas dan obat merah.
"Tidak usah Mbak. Sini kapas dan obat merahnya biar aku obati sendiri. Sekalian aku mau ke kamar kecil."
Sergah Zul.
Mau tidak mau Mari menyerahkan kapas dan obat merah pada Zul. Saat itu Mari ingin sekali mengusapkan dan membersihkan darah orang yang telah membela kehormatannya. Ia rasanya ingin langsung membalas segala kebaikan Zul. Mari memandangi Zul yang melangkah ke kamar kecil dengan pandangan yang susah untuk diartikan. Pandangan merasa berhutang budi, sayang, kagum, kasihan, juga cinta.
Zul mengusap lukanya dengan kapas. Lalu membasuh dengan air. Darah dari lukanya mulai berhenti.
Setelah mengeringkan lukanya itu dengan kapas, ia mengobatinya dengan obat merah. Setelah itu ia keluar. Mari menunggunya di sofa. Ia duduk tak jauh dari Mari.
"Harus bagaimana aku berterima kasih padamu Zul?" Mari mengawali pembicaraan.
"Tak perlu berterima kasih pada saya Mbak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Itulah kewajiban manusia jika melihat kemungkaran."
Tiba-tiba Mari terisak-isak,
"Kau telah menyelamatkan kehormatanku Zul. Kalau tadi tidak ada kau, entah apa jadinya diriku saat ini. Mungkin aku telah bunuh diri Zul!"
"Berterima kasihlah pada Allah Mbak. Allahlah yang menggerakkan kedua kaki saya untuk bertandang ke sini pagi ini."
Mari sepertinya tidak mendengar kalimat yang diucapkan Zul. la menundukkan mata dan larut dalam tangisnya. Dadanya dipenuhi rasa haru dan rasa syukur yang membuncah-buncah. Beberapa saat lamanya hanya isak tangis Mari yang terdengar. Zul hanya bisa diam di tempatnya.
"Terima kasih Zul, kau telah menyelamatkan kehormatan dan kesucianku. Kehormatan yang selama ini aku jaga mati-matian. Tanpa kehormatan itu aku merasa akan hidup sia-sia. Aku sangat berhutang budi padamu."
Mari kembali mengucapkan rasa terima kasih dengan sepenuh jiwanya pada Zul. Zul bisa merasakan itu. la hanya bisa menjawab pelan,
"Ingatlah Allah Mbak. Berterima kasihlah pada Allah."
"Iya Zul, iya. Allah masih menyayangiku Zul. Allah masih menyayangiku."
"Iya Allah masih menyayangi Mbak. Dan semoga terus menyayangi Mbak."
"Allahlah yang mengatur kau datang tepat pada wakrunya."
"Iya Allahlah pengatur kehidupan ini Mbak."
"Aku tak pernah menyangka penjahat itu bisa datang ke rumah ini. Sungguh aku sama sekali tidak menyangka."
Guman Mari sambil mengangkat muka dan menghapus airmatanya.
"Bagaimana ceritanya, semua ini bisa terjadi Mbak.
Dan Mbak kok di rumah? Apa Mbak sedang libur?"
"Begini lho Zul ceritanya. Sebenarnya aku tidak libur. Pagi ini aku mencuci sampai jam delapan. Aku mau berangkat kerja jam sembilan. Teman-teman sudah berangkat pukul setengah delapan. Kira-kira jam sembilan kurang seperempat aku sudah siap untuk berangkat. Tiba-tiba hujan turun deras sekali. Aku mencari-cari payung tidak ada. Aku baru ingat kalau payungku dipinjam sama temanku yang tinggal di Kelana Jaya. Akhirnya aku telpon ke kantor tempat aku kerja untuk dijemput. Ternyata tidak ada mobil yang nganggur. Semuanya sedang dipakai. Tapi pihak kantor juga bilang, jika ada mobil nganggur akan segera "Karena hujan sangat deras, aku diminta tetap di rumah saja. Jika terpaksa tidak ada mobil, aku diberi ijin untuk datang setelah Zuhur. Bahkan boleh libur.
Akhirnya aku santai di ruang tamu ini dengan tetap memakai pakaian yang biasa aku gunakan kerja. Pukul sepuluh kurang sepuluh menit aku mendengar mobil menderu. Lalu orang mengetuk pintu. Aku tidak curiga sedikit pun. Kukira itu adalah orang kantor yang datang menjemputku.
"Tanpa curiga, aku langsung membuka pinta lebarlebar. Alangkah terkejutnya diriku ternyata yang datang adalah si Warkum. Aku hendak menutup pintu kembali, tapi sudah terlambat. la berhasil menerobos masuk bahkan langsung mengunci pintu itu. Lalu ia memintaku untuk menuruti keinginan nafsunya. Jelas aku menolak. Aku lebih baik mati daripada menyerahkan kehormatanku padanya. Ia kalap. Amarahnya memuncak. Pandanganya buas bagaikan serigala liar yang kelaparan. la berusaha memangsaku. Aku terus melawan sekuat tenaga. Aku berusaha mempertahankan kehormatanku sekuat tenaga. Prinsipku lebih baik mati daripada diperkosa.
"Aku terus melawan. Namun aku adalah seorang perempuan, tenagaku tak sebanding dengan tenaganya.
Kekuatanku tak mampu menandingi kekuatannya. Aku nyaris tidakberdaya karena kehabisan tenaga. Dan dia nyaris mendapatkan apa yang diinginkannya. Tiba-tiba kau datang.
"Kau datang dan membuat bajingan itu terpelanting. Awalnya aku kira kau adalah malaikat utusan Tuhan yang menyambar penjahat itu dengan cemeti mahasaktinya. Malaikat yang diturunkan Tuhan karena rintihan doaku di saat paling kritis. Malaikat dalam arti sebenarnya. Ternyata bukan, yang datang bukan malaikat tapi manusia. Mahakuasa Allah."
Mari kembali terisak-isak.
Zul diam mematung di tempatnya.
"Dik bagaimana ceritanya kok kau bisa kemari pagi ini dan bagaimana kau bisa membuka pintu itu? Dengan apa kau membukanya?"
Zul menarik nafas, lalu dengan tenang menceritakan kronologisnya bisa sampai di rumah itu. Tentang keinginannya untuk datang ke rumah itu. Keinginan yang muncul tiba-tiba pagi itu dan seolah tidak bisa ditolaknya. la juga bercerita tentang kunci Linda yang masih di tangannya.
Mari mendengarkan cerita Zul dengan seksama dan dengan mata berkaca-kaca. la merasakan kasih sayang yang dicurahkan oleh Allah kepadanya.
"Siapakah yang menghadirkan keinginan untuk datang kemari itu kalau bukan Allah Mbak? Dan siapakah yang menghadirkan keberanian dalam dada ini untuk bertarung dengan penjahat itu kalau bukan Allah? Dan siapa yang menolong saya memenangkan pertarungan tadi kalau bukan Allah?"
Airmata Mari kembali meleleh.
Zul diam. Sesaat lamanya ruangan itu diselimuti kesunyian.
"Tetapi Zul, walau bagaimana pun aku sangat berhutang budi padamu Zul. Bagaimana aku harus membalasnya?" Lirih Mari seraya mengangkat muka memandang wajah Zul. Zul memandang ke arah Mari, lalu menarik pandangannya ke lantai.
"Sudahlah Mbak. Aku merasa tidak berbuat apa-apa selainmelakukan kewajibanku sebagai seorang manusia yang melihat kezaliman di depan mata. Mbak jangan mengatakan hal seperti itu lagi."
"Kau harus tahu sesuatu Zul. Agar kau tahu betapa aku sangat berhutang padamu."
"Sesuatu itu apa Mbak?"
"Si W tadi itu, ia datang mengatakan ingin meminta haknya sebagai seorang suami. Haknya yang katanya belum pernah aku berikan padanya setelah dia menikahi aku dan membayar mas kawin padaku."
"Aku tidak paham maksudnya Mbak."
"Maaf, biar aku perjelas. Pada hari aku menikah dengannya itu, aku sedang datang bulan. Jadi ia tidak menjamah kesucianku. Biasanya aku datang bulan lebih satu minggu. Lha seminggu kemudian, artinya seminggu setelah akad nikah ia pergi ke Jakarta, dan saat itu aku masih dalam kondisi datang bulan. Jadi ia sama sekali belum menjamah kesucianku.
"Seperti yang dulu pernah kuceritakan kepadamu. Kalau tidak salah aku pernah cerita padamu Zul. Dia pergi ke Jakarta dengan alasan bisnis. Ternyata beberapa hari kemudian ia tertangkap dalam kondisi over dosis di sebuah hotel. Ia masuk penjara. Dan aku kemudian tahu semua kejahatannya. Saat itu aku mengajukan gugatan cerai.
Tak bisa ditawar lagi, karena aku tidak mau punya suami seorang penjahat yang kejahatannya benar-benar telah melampaui batas. Jadi meskipun aku telah menikah sejatinya kesucianku belum pernah dijamah oleh suamiku. Dan sampai hari ini mahkota kesucianku belum tersentuh oleh siapapun. Statusku memang janda, tapi kesucianku masih utuh. Sumpah demi Allah, Zat Yang Mahatahu. "Kau harus tahu Zul, selama ini betapa mati-matian aku menjaga mahkota ini. Betapa mati-matian aku menjaga iman ini. Godaan, bujuk rayu datang setiap saat. Alhamdulillah aku kuat. Tiba-tiba si W itu datang mau merenggut mahkota itu. Dan mahkota kesucian yang lebih berharga dari nyawaku sendiri itu nyaris ternistakan, kalau saja kau tidak datang. Inilah Zul sesungguhnya yang aku alami. Inilah Zul yang kau harus tahu, kau telah menyelamatkan kesucianku, kegadisanku. Aku benar-benar berhutang padamu."
Mendengar cerita Mari, hati Zul bergetar.
Tanpa ia sadari airmatanya meleleh. Ada rasa kebahagiaan yang sangat halus yang menyusup begitu saja ke dalam hatinya. Rasa bahagia sekaligus rasa bangga karena ia bisa menyelamatkan kesucian seorang wanita. Ia berharap apa yang dilakukannya itu dinilai ibadah oleh Allah. Dan apa yang dilakukannya itu bisa menghapuskan dosa-dosanya saat ia masih remaja dulu. Ia kembali teringat saat SMA, saat ia pacaran dengan gadis tetangga desa. Saat itu ia nyaris melakukan perbuatan yang menistakan kesucian gadis itu. Untunglah saat itu tidak terjadi, karena terhalang oleh keadaan yang tidak memungkinkan. Ia meneteskan airmata, bersyukur kepada Allah, bahwa kesucian dirinya pun masih belum ternista.
"Mintalah apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa dan aku mampu aku akan memenuhinya." Ucap Mari dengan suara jelas tanpa isak tangis.
'Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia."
"Baik Zul, aku akan berusaha sebisanya. O ya sampai lupa, aku buatkan minuman ya? Mau minum apa Zul?"
"M...tidak usah repot-repot Mbak."
'Ah tidak repot kok Zul."
Zul melihat jam di dinding. Ia merasa sudah terlalu lama di rumah itu. Ia teringat bahwa ia harus ke kampus. Ada janji dengan seorang teman. la bangkit dan memanggil Mari yang sudah melangkah ke dapur.
"Mbak Mari!"
"Ya." Mari menghentikan langkah dan menoleh.
"Tak usah bikin minum Mbak. Saya harus pamitan. Saya ada janji dengan seorang teman habis Zuhur."
"Tidak bisa ditunda barang satu dua menit Zul."
"Maaf Mbak. Saya benar-benar harus pamit. O ya saya hampir lupa saya mau mengambil barang-barang saya. Dan ini kuncinya Linda."
"Ya sudah kalau begitu. Sebentar saya ambilkan barang-barangmu."
Mari masuk ke dalam dan mengeluarkan barangbarang milik Zul dari kamarnya.
"Ini kan Zul? Ada yang lain?"
"Tidak Mbak, itu saja."
Zul mengambil tas jinjing yang berisi kekayaan pribadinya yang sebenarnya jika dilihat tidaklah terlalu berharga. Hanya beberapa pakaian, handuk, dan mushaf kecil Al-Quran pemberian Pak Hasan.
"Aku tidak akan pernah melupakan jasamu ini Zul."
"Ah Mbak, kok bicara seperti itu lagi. Sudah lupakan saja Mbak, anggap saja saya tidak pernah berjasa apaapa pada Mbak. Baik, saya pamit dulu ya Mbak. Jaga diri baik-baik."
Zul melangkah keluar rumah. Mari mengikuti sampai pintu. Ketika Zul sampai di gerbang, Mari memanggil namanya.
"Zul!"
Zul menghentikan langkah dan menoleh ke bela kang. Mari memandanginya lekat-lekat. Zul meman dang Mari. Wajah Mari tampak pucat dan sayu.
"Ya ada apa Mbak?"
Mari ingin mengatakan sesuatu tapi ia urungkan. la lalu pura-pura bertanya,
"M..m...kau ada nomor hp Zul?"
"Pakai nomor teman saya yang dulu saya gunakan SMS Mbak saja. Masih tersimpan kan?"
"Ya baik. Masih tersimpan."
"Ada yang lain Mbak?"
"Zul, aku takut."
"Takut apa? Takut kalau dia datang lagi?"
"Iya."
"Percayalah padaku Mbak, dia tidak akan berani datang lagi. Dia sudah kapok! Dia menganggap aku ini juga preman seperti dia. Jari-jari tangan kanan dan kaki kanannya sudah hancur! Kalau pun berniat datang mungkin satu bulan lagi, setelah ia sembuh dari lukanya."
"Tapi aku kuatir dia punya teman."
"Dan dia juga anggapan aku punya teman banyak. Mbak tidak usah kuatirlah. Kalau Mbak kuatir, kunci rumah baik-baik. Dan siapkan nomor telpon polisi. Atau Mbak pindah saja dulu ke rumah teman yang aman. Maaf Mbak ya saya buru-buru."
"Iya Zul, terima kasih ya."
"Ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Mari berdiri memandangi Zul sampai hilang dari pandangan. Setelah itu ia memandang ke arah langit yang mulai terang. Hujan telah reda. Gerimis pun sudah tiada. Mendung mulai pudar. Dan matahari seolah ingin menyibak awan. Mari berulang kali memuji kekuasaan Tuhan. Ia lalu masuk rumah. Menutup pintu dengan rapat. Sayup-sayup, dari surau lirih terdengar suara azan
**********
EPISODE….. 8
Zul mondar-mandir di ruang tamu. Penghuni flat itu semua telah tidur. Namun Zul tidak bisa tidur. Malam itu setelah kejadian di rumah Mari, Zul selalu terbayang wajah Mari. Ia kembali merasakan apa yang dulu pernah ia rasakan saat remaja. Sejak pertama bertemu dengan Mari, ia sebetulnya telah terpikat oleh kehalusan tutur katanya. Juga perhatian, kepekaan dan jiwa sosialnya.
Namun itu semua tidak berpengaruh apa-apa dalam hatinya. Mari masih ia anggap sebagai perempuan biasa yang ia kenal di jalan. Tapi setelah kejadian siang itu.
Setelah apa yang ia alami, ia lihat dan ia ketahui rasa sayangnya pada Mari merasuk begitu saja ke dalam hatinya. Rasa sayang yang lebih dari biasa. Bahwa Mari begitu teguh menjaga kesuciannya itulah yang paling membekas di dalam hatinya. Ia sudah banyak mendengar cerita tentang tenaga kerja wanita Indonesia di Malaysia yang tidak lagi menjaga kehormatannya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak sedikit tenaga kerja wanita yang bekerja di kilangkilang12 juga berprofesi menjajakan tubuhnya selepas bekerja. Tapi Mari tetap menjaga kehormatan dan kesuciannya. Dengan label janda yang dilekatkan pada dirinya, dan parasnya yang tidak bisa dikatakan jelek, tentulah itu perjuangan yang luar biasa. Ia sangat yakin, bahkan haqqul yakin, kalau Mari tidaklah berkata dusta. Dalam kondisi shock seperti itu kejujuranlah yang lazim keluar dari diri anak manusia. Ia merasa Mari adalah perempuan yang berkarakter, dan sanggup menjadi perempuan yang luar biasa. Itulah yang membuat hatinya condong pada Mari.
Ia bingung harus berbuat apa? Ia sudah dewasa. Dan Mari juga sudah dewasa. Tidak mungkin lagi ia hanya mengutarakan bahwa hatinya condong pada Mari.
Mengutarakan itu artinya siap berumah tangga. Ia sudah tahu hukum bermain hati pada perempuan yang tidak halal dari Yahya. Itu dosa.
"Hati pun, kata Nabi, bisa berzina." Kata-kata Yahya itu seolah berdengung-dengung dalam pikirannya. Tapi bayangan Mari, juga suaranya, seolah terus menghampirinya. Sempat terbersit dalam pikirannya untuk berterus terang pada Mari dan mengajaknya menikah. Lalu hidup sederhana apa adanya di Kuala Lumpur sambil kuliah. Toh, banyak mahasiswa yang berkeluarga dan hidup apa adanya di Kuala Lumpur.
Tapi tiba-tiba ada semacam keraguan dalam hatinya.
Ia kuatir jika ia menikah akhirnya kuliahnya tidak selesai.
Ia jadi sibuk memikirkan hidup keluarga. Apalagi kalau nanti punya anak. Ia bisa hidup nekat. Makan sehari pun bisa, tapi anak yang masih bayi apa bisa? Sementara ia masih hidup sangat pas-pasan untuk makan, membayar sewa aparteman dan kuliah. Padahal jika berkeluarga ialah yang harus menanggung sepenuhnya sewa rumahnya. Sekarang ia yang menyewa bersama teman temannyasaja, masih terasa berat membayarnya.
Hutangnya pada Pak Muslim untuk membeli sepeda motor juga belum lunas.
Ia sempat berpikir bahwa Mari juga bekerja dan bisa meringankan beban. Ia langsung menjawab sendiri bahwa tugas memberi nafkah adalah tugas suami. Andai pun Mari bekerja ia tidak tahu berapa gajinya. Ia juga tidak tahu sanggupkah Mari tetap bekerja jika misalnya hamil. Ia sampai sudah begitu jauhnya memikirkan jika Mari hamil segala. Ia menegaskan pada dirinya jika ia menikahi Mari ia tidak bisa menggantungkan nasibnya pada Mari. Alangkah jahatnya dia jika menikahi Mari karena merasa aman, sebab Mari juga bekerja. Apakah itu namanya bukan eksploitasi? Mari nanti bekerja.
Mengerjakan pekerjaan rumah tangga lazimnya perempuan di Indonesia. Mengurus anak. Jika itu yang terjadi ia merasa tidak menjadi seorang suami yang benar.
Ia juga sempatberpikir untuk mengajak Mari pulang ke Indonesia dan hidup apa adanya di Indonesia. Buat apa hidup lama-lama di negeri orang. Tapi akal logikanya seolah mencercanya habis-habisan: "Buat apa susah payah datang ke negeri orang? Katanya mau mengubah takdir? Menyiapkan masa depan yang gemilang? Kalau kau pulang hanya dengan berhasil menikahi perempuan seperti Mari, tidak harus jauh-jauh ke Malaysia. Tidak harus berdarah-darah melewati pergulatan hidup di Semarang, Jakarta, Batam dan Kuala Lumpur. Perempuan seperti Mari di desamu juga banyak! Kalau kau pulang dengan belum meraih kegemilangan yang dicitakan, maka kelak kau akan ditertawakan oleh anak turunmu. Mereka akan mengingatmu dengan sinis; 'Kakek kita gagal menyelesaikan studinya karena tergoda oleh seorang tenaga kerja wanita di Malaysia. Inilah yang membuat kita tetap sengsara! Coba kalau kakek kita dulu orang yang teguh, tekun dan tidak mudah digoda wanita, mungkin kita akan bernasib lebih baik! "
Zul termenung. Dialog batinnya tidak membuat bayang-bayang Mari hilang. Wajah sayu yang memancarkan aura ketulusan itu, cerita hidupnya, ucapan terima kasih kepadanya yang diulang berkali-kali dari hati yang dalam. Itu semua sangat membekas di dalam hatinya.
Jarum jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul dua. Zul tidak tahan. Malam itu ia mem bangunkan Rizal, ingin meminjam hand phonenya. Ia ingin menelpon Mari. Ia tidak kuasa membendung bara cinta yang membuncah di dalam dadanya.
Rizal bangun sambil mengucek-ucek kedua matanya.
"Ada apa Zul?"
"Hand phone-mu mana? Aku mau pinjam?"
"Aduh Zul, hand phone-ku hilang tadi siang."
"Hilang?"
"Iya. Mungkin jatuh atau dicopet orang di Pur duraya. Pinjam Mas Yahya saja."
"Segan."
"Ya udah kalau begitu menelpon di wartel saja besok pagi."
"Iya dah."
Zul kecewa berat. Ia harus menunggu pagi untuk bisa menghubungi Mari. Malam itu ia hanya mondarmandir di ruang tamu. Sesekali membuka koran usang yang sudah berkali-kali ia baca. Atau membaca-baca Majalah I, majalah Islam terbitan Malaysia yang sudah lusuh, yang ia hampir hafal isinya. Itulah yang dilakukannya malam itu sampai Subuh tiba.
* * *
Setelah shalat Subuh Zul langsung mencari wartel yang buka. Semua masih tutup. Di flatnya selain Rizal dan Yahya, Pak Muslim juga punya hand phone. Tapi ia segan meminjamnya. Selama ini jika ia ingin nelpon ke mana saja ia selalu menggunakan wartel. Ia sudah merencanakan untuk membeli hand phone tapi belum juga kesampaian. Dengan langkah gontai Zul kembali ke flat. Wajahnya pucat. Auranya sayu. la tampak seperti orang yang sedang sakit. Yahya yang sangat peka bisa menangkap perubahan yang terjadi pada teman satu kamarnya. Dengan ketulusan seorang sahabat ia mengajak Zul bicara.
"Sepertinya kau sedang ada masalah atau kau sedang sakit Zul?"
"Tidak ada apa-apa kok Mas?"
"Kalau kau tidak menganggapku sebagai orang lain bicaralah padaku. Tapi kalau kau masih menganggapku orang lain, orang asing bagimu, ya berpura-puralah tidak ada masalah padaku." Yahya langsung terus terang.
Akhirnya Zul berterus terang bahwa ia sedang merasakan rasa rindu dan cinta pada seorang perempuan. "Siapa perempuan itu? Mahasiswi UM kah?"
"Namanya Mar. Siti Martini. Dia bukan mahasiswi tapi seorang karyawati sebuah perusahaan."
"TKW maksudmu?" Yahya berusaha memperjelas. Pertanyaan itu agak menyinggung Zul. Ia seperti tidak rela Mari dilabeli TKW. Tapi memang itu kenyataan yang ia tahu. Jadi ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengiyakan.
"Iya Mas."
"O, Siti Martini yang pernah kauceritakan dulu itu. Yang satu bus dari Larkin ke Purduraya itu?"
"IyaMas."
"Di sini mahasiswi banyak lho Zul, kenapa kaupilih TKW?"
Pertanyaan Yahya itu kembali menggores hatinya.
Ia ingin menjelaskan semuanya, tapi tidak sampai. Ia tidak bisa menjelaskan detil apa yang ia alami dengan Mari pada sahabatnya yang paling dekat itu. Ia tidak sampai hati untuk membuka kejadian kemarin siang di rumah Mari. Ia juga tidak bisa menjelaskan pesona dan aura yang dimiliki Mari. Ia akhirnya menjawab dengan jawaban yang klasik,
"Tidak tahu Mas. Namanya juga jatuh cinta. Aku melihat dia baik. Dan menurutku mahasiswi tidak secara otomatis lebih baik dari TKW. Banyak yang sekarang TKW, mungkin kelak jadi orang yang memberi penghidupan pada mahasiswa atau mahasiswi. Dan banyak mahasiswi yang akhirnya jadi TKW. Itu kan cuma label-label saja Mas."
Yahya tersenyum,
"Kau memang sedang jatuh cinta. Dari jawabanmu aku tahu kau sangat membela dia. Ya sah-sah saja kau mencintai dia. Siapapun dia. Asal menurutmu cocok dan baik ya sah-sah saja. Memang benar manusia tidak bisa dinilai dari label atau julukan yang disandangnya. Yang menentukan manusia itu ini lho. Ininya!" Kata Yahya sambil menunjuk dadanya.
"Iman dan takwanya. Agamanya." Lanjut Yahya.
"Itu tukang sapu di jalan yang setiap hari bergelut dengan sampah bisa jadi ia lebih baik di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir jebolan universitas terkenal di Timur Tengah. Di mata Allah belum tentu. Keikhlasan seseorang hanya Allah yang tahu. Bisa jadi tukang sapu itu sangat tahu diri kedhaifan dirinya sebagai makhluk Allah maka tidak ada rasa sombong dalam hatinya. Dan Guru Besar Tafsir bisa jadi karena merasa hebat, ada satu zarrah rasa sombong dalam hatinya. Ketika ketemu tukang sapu Guru Besar itu merasa lebih terhormat dari tukang sapu. Itu kan sombong. Sebaliknya tukang sapu justru menghormati Guru Besar itu karena tahu dirinya tidak berilmu dan Guru Besar itu punya ilmu. Berarti tukang sapu itu tahu kadar dirinya. Tidak sombong. Jika seperti itu bisajadi tukang sapu lebih mulia di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir itu." Terang Yahya panjang lebar.
"Jadi tidak salah saya jatuh cinta pada TKW itu Mas?"
"Jatuh cinta tidak salah. Kau mau memilih siapa pun tidak salah. Asalkan tetap menjaga diri di jalan yang diridhai Allah. Apa kau sudah benar-benar siap untuk menikah Zul?
Zul diam mendengar pertanyaan itu. la tidak bisa menjawab mantap. Akhirnya Zul menjelaskan kebimbangan hatinya. Antara mantap dan tidak mantap. Halhal yang berkelebat dalam hati dan pikirannya ia sampaikan kepada Yahya.
"Jadi kemarin kau ke rumah Siti Martini itu?"
"Iya, mengambil barang-barang saya yang masih tertinggal di sana?"
"Kau bertemu dia dan setelah itu kau merasa jatuh cinta?"
Zul mengangguk malu. Ia seperti sedang dihakimi. Yahya malah tersenyum.
"Kau sedang terkena sihir Zul."
"Terkena sihir apa Mas?"
"Kau sedang terkena sihir nafsu syahwatmu. Aku bisa memastikan kau agak berlama-lama berbicara dengan dia. Aku yakin itu."
"Benar."
"Wajar."
"Maksudnya wajar, wajar bagaimana?"
"Setan telah menghiasi perempuan itu sehingga tampak olehmu pesonanya, keindahannya, auranya, kebaikannya dan lain sebagainya yang membuatmu cenderung kepadanya. Tahukah kau Zul, saya pun bisa lebih parah darimu. Bahkan seseorang yang kuat imannya jika berduaan dengan perempuan yang ia tahu perempuan ia berpenyakit sekalipun bisa luntur imannya. Bahkan bisa melakukan perbuatan nista dengan perempuan itu. Karena apa? Karena perempuan itu dirias dan dihiasi oleh setan. Ditambah nafsu yang ada dalam diri lelaki itu. Maka terjadilah apa yang seharusnya tidak terjadi."
"Jadi apa yang aku rasakan ini nafsu syahwat?"
"Betul. Jujurlah pada dirimu. Kau pasti telah melihat hal yang semestinya tidak kau lihat pada perempuan itu, iya kan?"
Zul malu mengakuinya.
"Ingat Zul seluruh tubuh perempuan yang sudah akil balig itu aurat kecuali muka dan tepak tangannya. Jika ia perempuan yang cantik, yang kecantikannya itu menarik lawan jenisnya maka mukanya juga jadi aurat yang harus ditutupi. Artinya tidak boleh dilihat. Jikalau engkau mencintai wanita karena melihat yang seharusnya ditutupi maka berarti kau ada nafsu dengannya. Yang bergerak dalam aliran darahmu dan syaraf-syarafmu itu adalah nafsu dan syahwat. Jika seperti itu, kau tidak jauh berbeda dengan ayam jago yang langsung mengejar ayam betina setelah melihat keelokan ayam betina."
"Tapi bukankah manusia hampir semuanya begitu Mas?"
"Ya benar. Maka tidak berlebihan jika para filosof menyebut manusia sebagai hayawanun nathiqun. Binatang yang berbicara. Manusia itu binatang, hanya saja ia bisa bicara. Bisa berkata-kata. Itulah definisi manusia yang hanya mengutamakan nafsunya saja. Nafsu jadi panglimanya. Nafsu jadi timbangannya. Dan nafsu itu tidak hanya nafsu pada perempuan saja. Termasuk juga nafsu pada kemewahan dunia.
Al-Quran menjuluki manusia yang seperti itu dengan kalimat:
'Mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.'13 Orang-orang yang dikendalikan oleh nafsunya adalah orang yang lengah. Orang yang tidak memiliki rusyd, atau kesadaran penuh. Orang seperti itu yang akan rugi di mana pun dia berada. Ia akan mudah dicocok hidungnya oleh setan untuk dijerumuskan ke dalam jurang kebinasaan dan kenestapaan."
"Terus bagaimana cara mencintai lawan jenis yang benar menurut Sampeyan?"
"Mencintai dengan timbangan fithrah dan bashirah. Mencintai dengan kesucian dan mata hati. Fithrah dan bashirah yang jadi timbangannya. Yaitu, jika kau mencintai wanita bukan karena tertipu oleh kecantikan paras wajahnya dan keelokan benruk tubuhnya. Bukan karena tersihir oleh matanya yang berkilat-kilat indah seperti bintang kejora. Bukan pula terpikat karena bibirnya yang ranum segar seperti mawar merekah. Juga bukan karena keindahan suaranya yang susah dilupakan. Bukan karena hartanya yang melimpah ruah. Bukan karena kehormatannya, yang kau akan jadi ikut terhormat karena menikahinya. Jika bukan karena itu semua kau mencintainya. Tapi kau mencintai dengan memakai timbangan fitrahmu, dan matabatinmu. Kau mencintai dia karena merasakan kesucian jiwanya dan agamanya, dan mata batinmu condong karena kecantikan akhlak dan wataknya. Hatimu terpikat karena harumnya kalimat-kalimat yang keluar dari lidahnya. Saat itu kau telah mencintai lawan jenis dengan benar."
"Tapi sulit rasanya Mas aku memakai timbangan fithrah dan bashirah. Hati ini sepertinya telah tertawan dan terbelenggu oleh sihir Mari."
"Ya aku tahu. Memang sangat susah membebaskan diri dari belenggu cinta syahwati. Aku bukannya tidak pernah mengalaminya, aku pernah mengalaminya. Dan aku nyaris binasa karenanya. Jika bukan karena rahmat Allah aku mungkin saat ini sudah hancur berbaur tanah di kubur."
"Bagaimana ceritanya Mas. Mungkin bisa jadi cambuk bagiku."
"Malu aku mengingatnya."
"Apa Sampeyan tidak kasihan padaku. Apa Sampeyan ingin aku binasa Mas?"
"Singkat saja ya. Saat itu aku masih kelas tiga SMA Al Islam Batu, Malang. Ayahku seorang lurah. Tahun itu ada rombongan KKN dari Unibraw, berjumlah sepuluh orang. Empat mahasiswa, enam mahasiswi. Tiga mahasiswi menginap di rumahku. Tiga lain di tempat Pak Carik. Dan empat mahasiswa menginap di Balai Desa. Di antara tiga mahasiswi yang menginap di rumahku itu ada yang membuatku tergila-gila. Sebut saja namanya F Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Aku coba tahan untuk menyimpannya dalam hati diam-diam. Aku tidak tahan. Akhirnya aku ungkapkan padanya. Ternyata dia menanggapi. Aku kirim surat cinta padanya. Dia membalasnya dengan surat cinta yang lebih romantis. Sebab dia sudah mahasiswi. Sudah jauh lebih berpengalaman.
Aku seperti buta. Aku sudah merasa dia adalah segalanya. Sampai tiba saat perpisahan, karena masa KKN-nya habis. Sebelum pergi ia berterus terang padaku, bahwa selama ini cuma main-main.
Sebenarnya dia sudah punya tunangan di SURABAYA.
Hatiku seperti dibetot dan kepalaku seperti dihantam palu godam. Aku langsung jatuh sakit. Dua bulan aku dirawat di rumah sakit. Aku bahkan sempat mencoba bunuh diri. Orang- orang menganggap aku sakit terkena santet. Aku seperti orang gila Zul. Itulah ceritanya Zul."
"Terus sembuhnya bagaimana Mas?"
"Akhirnya orangtuaku tahu juga masalahnya. Saat orangtuaku tahu gadis itu sudah menikah dan bekerja di Jakarta. Kakak perempuankulah yang dengan sabar menemaniku dan menguatkan aku. Karena sakit itu aku tidak bisa ikut ujian akhir. Aku benar-benar sembuh setelah aku dibawa ke sebuah pesantren.
Di pesantren itulah karena disibukkan dengan ibadah, zikir, olah raga dan lain sebagainya lambat laun, ingatanku akan F hilang. Dan sekarang aku baru menyesal, kenapa dulu aku bisa begitu bodoh dan tolol. Itulah Zul cinta yang semu sangat menyiksa dan menyakitkan."
Mendengar cerita Yahya, Zul merasa mendapat sedikit pencerahan. Namun cerita itu tidak juga bisa mengusir kuatnya pesona Mari yang menempel di dinding-dinding hatinya. Tapi dari pembicaraannya dengan Yahya ia memiliki seberkas cahaya yang menerangi gulitanya akal pikirannya karena diselimuti bayangan Mari.
***
Nun jauh di Subang Jaya sana. Mari merasakan hal yang tidak jauh berbeda dengan Zul. Bahkan lebih parah. Jika Zul didampingi Yahya, maka Mari tidak punya pendamping dan tempat untuk mengungkapkan gelisahnya. Teman-teman satu rumahnya sibuk bekerja dan ia pandang tidak bisa dijadikan tempat berbagi perasaan. Mari telah berulang kali menelpon nomor yang pemah diberikan oleh Zul kepadanya. Nomor itu adalah nomor Rizal. Karena hp Rizal hilang, maka usaha Mari menelpon Zul jadi sia-sia.
Mari hanya bisa berharap Zul datang lagi ke sana dan ia akan mengungkapkan perasaan cintanya kepada Zul. Ia sudah siap menerima apapun keputusan Zul. Menerimanya ataukah menolaknya. Jika Zul menerimanya, ia berjanji akan menjadi abdi bagi Zul selama hidupnya.
Ia merasa hanya Zul-lah yang paling berhak mendapatkan pengabdiannya.
Mari selalu mengingat perkataan Zul saat menanggapi ucapannya, "Mintalah apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa dan aku mampu memenuhinya."
Zul saat itu berkata, "Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia."
Kata-kata Zul itu seolah ia jadikan pedoman hidup. Ia berjanji pada diri sendiri untuk terus mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi wanita salehah yang sebenarnya. Ia mengawali dengan menutup rambutnya dengan jilbab. Jilbabnya modis. Cara berpakaiannya pun masih modis. Masih memakai celana jeans dan kaos ketat. Tapi ia terus berusaha. Ia rajin datang ke majelis taklim yang ia ketahui. Setiap ia mendapatkan tambahan ilmu agama, ia berusaha mengamalkan sebaik-baiknya. Berminggu-minggu setelah itu, ia masih terus berusaha menelpon nomor yang ia terima dari Zul, tapi tidak juga berhasil. Dan Zul tidak juga muncul, tidak pula menelpon. Ia tetap bertahan dan sabar. Ia tetap berusaha untuk sedekat mungkin dengan Allah. Sesuai dengan pesan Zul yang telah terpahat kuat dalam relung hatinya.
************************** *
EPISODE….. 8
Zul mondar-mandir di ruang tamu. Penghuni flat itu semua telah tidur. Namun Zul tidak bisa tidur. Malam itu setelah kejadian di rumah Mari, Zul selalu terbayang wajah Mari. Ia kembali merasakan apa yang dulu pernah ia rasakan saat remaja. Sejak pertama bertemu dengan Mari, ia sebetulnya telah terpikat oleh kehalusan tutur katanya. Juga perhatian, kepekaan dan jiwa sosialnya.
Namun itu semua tidak berpengaruh apa-apa dalam hatinya. Mari masih ia anggap sebagai perempuan biasa yang ia kenal di jalan. Tapi setelah kejadian siang itu.
Setelah apa yang ia alami, ia lihat dan ia ketahui rasa sayangnya pada Mari merasuk begitu saja ke dalam hatinya. Rasa sayang yang lebih dari biasa. Bahwa Mari begitu teguh menjaga kesuciannya itulah yang paling membekas di dalam hatinya. Ia sudah banyak mendengar cerita tentang tenaga kerja wanita Indonesia di Malaysia yang tidak lagi menjaga kehormatannya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak sedikit tenaga kerja wanita yang bekerja di kilangkilang12 juga berprofesi menjajakan tubuhnya selepas bekerja. Tapi Mari tetap menjaga kehormatan dan kesuciannya. Dengan label janda yang dilekatkan pada dirinya, dan parasnya yang tidak bisa dikatakan jelek, tentulah itu perjuangan yang luar biasa. Ia sangat yakin, bahkan haqqul yakin, kalau Mari tidaklah berkata dusta. Dalam kondisi shock seperti itu kejujuranlah yang lazim keluar dari diri anak manusia. Ia merasa Mari adalah perempuan yang berkarakter, dan sanggup menjadi perempuan yang luar biasa. Itulah yang membuat hatinya condong pada Mari.
Ia bingung harus berbuat apa? Ia sudah dewasa. Dan Mari juga sudah dewasa. Tidak mungkin lagi ia hanya mengutarakan bahwa hatinya condong pada Mari.
Mengutarakan itu artinya siap berumah tangga. Ia sudah tahu hukum bermain hati pada perempuan yang tidak halal dari Yahya. Itu dosa.
"Hati pun, kata Nabi, bisa berzina." Kata-kata Yahya itu seolah berdengung-dengung dalam pikirannya. Tapi bayangan Mari, juga suaranya, seolah terus menghampirinya. Sempat terbersit dalam pikirannya untuk berterus terang pada Mari dan mengajaknya menikah. Lalu hidup sederhana apa adanya di Kuala Lumpur sambil kuliah. Toh, banyak mahasiswa yang berkeluarga dan hidup apa adanya di Kuala Lumpur.
Tapi tiba-tiba ada semacam keraguan dalam hatinya.
Ia kuatir jika ia menikah akhirnya kuliahnya tidak selesai.
Ia jadi sibuk memikirkan hidup keluarga. Apalagi kalau nanti punya anak. Ia bisa hidup nekat. Makan sehari pun bisa, tapi anak yang masih bayi apa bisa? Sementara ia masih hidup sangat pas-pasan untuk makan, membayar sewa aparteman dan kuliah. Padahal jika berkeluarga ialah yang harus menanggung sepenuhnya sewa rumahnya. Sekarang ia yang menyewa bersama teman temannyasaja, masih terasa berat membayarnya.
Hutangnya pada Pak Muslim untuk membeli sepeda motor juga belum lunas.
Ia sempat berpikir bahwa Mari juga bekerja dan bisa meringankan beban. Ia langsung menjawab sendiri bahwa tugas memberi nafkah adalah tugas suami. Andai pun Mari bekerja ia tidak tahu berapa gajinya. Ia juga tidak tahu sanggupkah Mari tetap bekerja jika misalnya hamil. Ia sampai sudah begitu jauhnya memikirkan jika Mari hamil segala. Ia menegaskan pada dirinya jika ia menikahi Mari ia tidak bisa menggantungkan nasibnya pada Mari. Alangkah jahatnya dia jika menikahi Mari karena merasa aman, sebab Mari juga bekerja. Apakah itu namanya bukan eksploitasi? Mari nanti bekerja.
Mengerjakan pekerjaan rumah tangga lazimnya perempuan di Indonesia. Mengurus anak. Jika itu yang terjadi ia merasa tidak menjadi seorang suami yang benar.
Ia juga sempatberpikir untuk mengajak Mari pulang ke Indonesia dan hidup apa adanya di Indonesia. Buat apa hidup lama-lama di negeri orang. Tapi akal logikanya seolah mencercanya habis-habisan: "Buat apa susah payah datang ke negeri orang? Katanya mau mengubah takdir? Menyiapkan masa depan yang gemilang? Kalau kau pulang hanya dengan berhasil menikahi perempuan seperti Mari, tidak harus jauh-jauh ke Malaysia. Tidak harus berdarah-darah melewati pergulatan hidup di Semarang, Jakarta, Batam dan Kuala Lumpur. Perempuan seperti Mari di desamu juga banyak! Kalau kau pulang dengan belum meraih kegemilangan yang dicitakan, maka kelak kau akan ditertawakan oleh anak turunmu. Mereka akan mengingatmu dengan sinis; 'Kakek kita gagal menyelesaikan studinya karena tergoda oleh seorang tenaga kerja wanita di Malaysia. Inilah yang membuat kita tetap sengsara! Coba kalau kakek kita dulu orang yang teguh, tekun dan tidak mudah digoda wanita, mungkin kita akan bernasib lebih baik! "
Zul termenung. Dialog batinnya tidak membuat bayang-bayang Mari hilang. Wajah sayu yang memancarkan aura ketulusan itu, cerita hidupnya, ucapan terima kasih kepadanya yang diulang berkali-kali dari hati yang dalam. Itu semua sangat membekas di dalam hatinya.
Jarum jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul dua. Zul tidak tahan. Malam itu ia mem bangunkan Rizal, ingin meminjam hand phonenya. Ia ingin menelpon Mari. Ia tidak kuasa membendung bara cinta yang membuncah di dalam dadanya.
Rizal bangun sambil mengucek-ucek kedua matanya.
"Ada apa Zul?"
"Hand phone-mu mana? Aku mau pinjam?"
"Aduh Zul, hand phone-ku hilang tadi siang."
"Hilang?"
"Iya. Mungkin jatuh atau dicopet orang di Pur duraya. Pinjam Mas Yahya saja."
"Segan."
"Ya udah kalau begitu menelpon di wartel saja besok pagi."
"Iya dah."
Zul kecewa berat. Ia harus menunggu pagi untuk bisa menghubungi Mari. Malam itu ia hanya mondarmandir di ruang tamu. Sesekali membuka koran usang yang sudah berkali-kali ia baca. Atau membaca-baca Majalah I, majalah Islam terbitan Malaysia yang sudah lusuh, yang ia hampir hafal isinya. Itulah yang dilakukannya malam itu sampai Subuh tiba.
* * *
Setelah shalat Subuh Zul langsung mencari wartel yang buka. Semua masih tutup. Di flatnya selain Rizal dan Yahya, Pak Muslim juga punya hand phone. Tapi ia segan meminjamnya. Selama ini jika ia ingin nelpon ke mana saja ia selalu menggunakan wartel. Ia sudah merencanakan untuk membeli hand phone tapi belum juga kesampaian. Dengan langkah gontai Zul kembali ke flat. Wajahnya pucat. Auranya sayu. la tampak seperti orang yang sedang sakit. Yahya yang sangat peka bisa menangkap perubahan yang terjadi pada teman satu kamarnya. Dengan ketulusan seorang sahabat ia mengajak Zul bicara.
"Sepertinya kau sedang ada masalah atau kau sedang sakit Zul?"
"Tidak ada apa-apa kok Mas?"
"Kalau kau tidak menganggapku sebagai orang lain bicaralah padaku. Tapi kalau kau masih menganggapku orang lain, orang asing bagimu, ya berpura-puralah tidak ada masalah padaku." Yahya langsung terus terang.
Akhirnya Zul berterus terang bahwa ia sedang merasakan rasa rindu dan cinta pada seorang perempuan. "Siapa perempuan itu? Mahasiswi UM kah?"
"Namanya Mar. Siti Martini. Dia bukan mahasiswi tapi seorang karyawati sebuah perusahaan."
"TKW maksudmu?" Yahya berusaha memperjelas. Pertanyaan itu agak menyinggung Zul. Ia seperti tidak rela Mari dilabeli TKW. Tapi memang itu kenyataan yang ia tahu. Jadi ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengiyakan.
"Iya Mas."
"O, Siti Martini yang pernah kauceritakan dulu itu. Yang satu bus dari Larkin ke Purduraya itu?"
"IyaMas."
"Di sini mahasiswi banyak lho Zul, kenapa kaupilih TKW?"
Pertanyaan Yahya itu kembali menggores hatinya.
Ia ingin menjelaskan semuanya, tapi tidak sampai. Ia tidak bisa menjelaskan detil apa yang ia alami dengan Mari pada sahabatnya yang paling dekat itu. Ia tidak sampai hati untuk membuka kejadian kemarin siang di rumah Mari. Ia juga tidak bisa menjelaskan pesona dan aura yang dimiliki Mari. Ia akhirnya menjawab dengan jawaban yang klasik,
"Tidak tahu Mas. Namanya juga jatuh cinta. Aku melihat dia baik. Dan menurutku mahasiswi tidak secara otomatis lebih baik dari TKW. Banyak yang sekarang TKW, mungkin kelak jadi orang yang memberi penghidupan pada mahasiswa atau mahasiswi. Dan banyak mahasiswi yang akhirnya jadi TKW. Itu kan cuma label-label saja Mas."
Yahya tersenyum,
"Kau memang sedang jatuh cinta. Dari jawabanmu aku tahu kau sangat membela dia. Ya sah-sah saja kau mencintai dia. Siapapun dia. Asal menurutmu cocok dan baik ya sah-sah saja. Memang benar manusia tidak bisa dinilai dari label atau julukan yang disandangnya. Yang menentukan manusia itu ini lho. Ininya!" Kata Yahya sambil menunjuk dadanya.
"Iman dan takwanya. Agamanya." Lanjut Yahya.
"Itu tukang sapu di jalan yang setiap hari bergelut dengan sampah bisa jadi ia lebih baik di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir jebolan universitas terkenal di Timur Tengah. Di mata Allah belum tentu. Keikhlasan seseorang hanya Allah yang tahu. Bisa jadi tukang sapu itu sangat tahu diri kedhaifan dirinya sebagai makhluk Allah maka tidak ada rasa sombong dalam hatinya. Dan Guru Besar Tafsir bisa jadi karena merasa hebat, ada satu zarrah rasa sombong dalam hatinya. Ketika ketemu tukang sapu Guru Besar itu merasa lebih terhormat dari tukang sapu. Itu kan sombong. Sebaliknya tukang sapu justru menghormati Guru Besar itu karena tahu dirinya tidak berilmu dan Guru Besar itu punya ilmu. Berarti tukang sapu itu tahu kadar dirinya. Tidak sombong. Jika seperti itu bisajadi tukang sapu lebih mulia di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir itu." Terang Yahya panjang lebar.
"Jadi tidak salah saya jatuh cinta pada TKW itu Mas?"
"Jatuh cinta tidak salah. Kau mau memilih siapa pun tidak salah. Asalkan tetap menjaga diri di jalan yang diridhai Allah. Apa kau sudah benar-benar siap untuk menikah Zul?
Zul diam mendengar pertanyaan itu. la tidak bisa menjawab mantap. Akhirnya Zul menjelaskan kebimbangan hatinya. Antara mantap dan tidak mantap. Halhal yang berkelebat dalam hati dan pikirannya ia sampaikan kepada Yahya.
"Jadi kemarin kau ke rumah Siti Martini itu?"
"Iya, mengambil barang-barang saya yang masih tertinggal di sana?"
"Kau bertemu dia dan setelah itu kau merasa jatuh cinta?"
Zul mengangguk malu. Ia seperti sedang dihakimi. Yahya malah tersenyum.
"Kau sedang terkena sihir Zul."
"Terkena sihir apa Mas?"
"Kau sedang terkena sihir nafsu syahwatmu. Aku bisa memastikan kau agak berlama-lama berbicara dengan dia. Aku yakin itu."
"Benar."
"Wajar."
"Maksudnya wajar, wajar bagaimana?"
"Setan telah menghiasi perempuan itu sehingga tampak olehmu pesonanya, keindahannya, auranya, kebaikannya dan lain sebagainya yang membuatmu cenderung kepadanya. Tahukah kau Zul, saya pun bisa lebih parah darimu. Bahkan seseorang yang kuat imannya jika berduaan dengan perempuan yang ia tahu perempuan ia berpenyakit sekalipun bisa luntur imannya. Bahkan bisa melakukan perbuatan nista dengan perempuan itu. Karena apa? Karena perempuan itu dirias dan dihiasi oleh setan. Ditambah nafsu yang ada dalam diri lelaki itu. Maka terjadilah apa yang seharusnya tidak terjadi."
"Jadi apa yang aku rasakan ini nafsu syahwat?"
"Betul. Jujurlah pada dirimu. Kau pasti telah melihat hal yang semestinya tidak kau lihat pada perempuan itu, iya kan?"
Zul malu mengakuinya.
"Ingat Zul seluruh tubuh perempuan yang sudah akil balig itu aurat kecuali muka dan tepak tangannya. Jika ia perempuan yang cantik, yang kecantikannya itu menarik lawan jenisnya maka mukanya juga jadi aurat yang harus ditutupi. Artinya tidak boleh dilihat. Jikalau engkau mencintai wanita karena melihat yang seharusnya ditutupi maka berarti kau ada nafsu dengannya. Yang bergerak dalam aliran darahmu dan syaraf-syarafmu itu adalah nafsu dan syahwat. Jika seperti itu, kau tidak jauh berbeda dengan ayam jago yang langsung mengejar ayam betina setelah melihat keelokan ayam betina."
"Tapi bukankah manusia hampir semuanya begitu Mas?"
"Ya benar. Maka tidak berlebihan jika para filosof menyebut manusia sebagai hayawanun nathiqun. Binatang yang berbicara. Manusia itu binatang, hanya saja ia bisa bicara. Bisa berkata-kata. Itulah definisi manusia yang hanya mengutamakan nafsunya saja. Nafsu jadi panglimanya. Nafsu jadi timbangannya. Dan nafsu itu tidak hanya nafsu pada perempuan saja. Termasuk juga nafsu pada kemewahan dunia.
Al-Quran menjuluki manusia yang seperti itu dengan kalimat:
'Mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.'13 Orang-orang yang dikendalikan oleh nafsunya adalah orang yang lengah. Orang yang tidak memiliki rusyd, atau kesadaran penuh. Orang seperti itu yang akan rugi di mana pun dia berada. Ia akan mudah dicocok hidungnya oleh setan untuk dijerumuskan ke dalam jurang kebinasaan dan kenestapaan."
"Terus bagaimana cara mencintai lawan jenis yang benar menurut Sampeyan?"
"Mencintai dengan timbangan fithrah dan bashirah. Mencintai dengan kesucian dan mata hati. Fithrah dan bashirah yang jadi timbangannya. Yaitu, jika kau mencintai wanita bukan karena tertipu oleh kecantikan paras wajahnya dan keelokan benruk tubuhnya. Bukan karena tersihir oleh matanya yang berkilat-kilat indah seperti bintang kejora. Bukan pula terpikat karena bibirnya yang ranum segar seperti mawar merekah. Juga bukan karena keindahan suaranya yang susah dilupakan. Bukan karena hartanya yang melimpah ruah. Bukan karena kehormatannya, yang kau akan jadi ikut terhormat karena menikahinya. Jika bukan karena itu semua kau mencintainya. Tapi kau mencintai dengan memakai timbangan fitrahmu, dan matabatinmu. Kau mencintai dia karena merasakan kesucian jiwanya dan agamanya, dan mata batinmu condong karena kecantikan akhlak dan wataknya. Hatimu terpikat karena harumnya kalimat-kalimat yang keluar dari lidahnya. Saat itu kau telah mencintai lawan jenis dengan benar."
"Tapi sulit rasanya Mas aku memakai timbangan fithrah dan bashirah. Hati ini sepertinya telah tertawan dan terbelenggu oleh sihir Mari."
"Ya aku tahu. Memang sangat susah membebaskan diri dari belenggu cinta syahwati. Aku bukannya tidak pernah mengalaminya, aku pernah mengalaminya. Dan aku nyaris binasa karenanya. Jika bukan karena rahmat Allah aku mungkin saat ini sudah hancur berbaur tanah di kubur."
"Bagaimana ceritanya Mas. Mungkin bisa jadi cambuk bagiku."
"Malu aku mengingatnya."
"Apa Sampeyan tidak kasihan padaku. Apa Sampeyan ingin aku binasa Mas?"
"Singkat saja ya. Saat itu aku masih kelas tiga SMA Al Islam Batu, Malang. Ayahku seorang lurah. Tahun itu ada rombongan KKN dari Unibraw, berjumlah sepuluh orang. Empat mahasiswa, enam mahasiswi. Tiga mahasiswi menginap di rumahku. Tiga lain di tempat Pak Carik. Dan empat mahasiswa menginap di Balai Desa. Di antara tiga mahasiswi yang menginap di rumahku itu ada yang membuatku tergila-gila. Sebut saja namanya F Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Aku coba tahan untuk menyimpannya dalam hati diam-diam. Aku tidak tahan. Akhirnya aku ungkapkan padanya. Ternyata dia menanggapi. Aku kirim surat cinta padanya. Dia membalasnya dengan surat cinta yang lebih romantis. Sebab dia sudah mahasiswi. Sudah jauh lebih berpengalaman.
Aku seperti buta. Aku sudah merasa dia adalah segalanya. Sampai tiba saat perpisahan, karena masa KKN-nya habis. Sebelum pergi ia berterus terang padaku, bahwa selama ini cuma main-main.
Sebenarnya dia sudah punya tunangan di SURABAYA.
Hatiku seperti dibetot dan kepalaku seperti dihantam palu godam. Aku langsung jatuh sakit. Dua bulan aku dirawat di rumah sakit. Aku bahkan sempat mencoba bunuh diri. Orang- orang menganggap aku sakit terkena santet. Aku seperti orang gila Zul. Itulah ceritanya Zul."
"Terus sembuhnya bagaimana Mas?"
"Akhirnya orangtuaku tahu juga masalahnya. Saat orangtuaku tahu gadis itu sudah menikah dan bekerja di Jakarta. Kakak perempuankulah yang dengan sabar menemaniku dan menguatkan aku. Karena sakit itu aku tidak bisa ikut ujian akhir. Aku benar-benar sembuh setelah aku dibawa ke sebuah pesantren.
Di pesantren itulah karena disibukkan dengan ibadah, zikir, olah raga dan lain sebagainya lambat laun, ingatanku akan F hilang. Dan sekarang aku baru menyesal, kenapa dulu aku bisa begitu bodoh dan tolol. Itulah Zul cinta yang semu sangat menyiksa dan menyakitkan."
Mendengar cerita Yahya, Zul merasa mendapat sedikit pencerahan. Namun cerita itu tidak juga bisa mengusir kuatnya pesona Mari yang menempel di dinding-dinding hatinya. Tapi dari pembicaraannya dengan Yahya ia memiliki seberkas cahaya yang menerangi gulitanya akal pikirannya karena diselimuti bayangan Mari.
***
Nun jauh di Subang Jaya sana. Mari merasakan hal yang tidak jauh berbeda dengan Zul. Bahkan lebih parah. Jika Zul didampingi Yahya, maka Mari tidak punya pendamping dan tempat untuk mengungkapkan gelisahnya. Teman-teman satu rumahnya sibuk bekerja dan ia pandang tidak bisa dijadikan tempat berbagi perasaan. Mari telah berulang kali menelpon nomor yang pemah diberikan oleh Zul kepadanya. Nomor itu adalah nomor Rizal. Karena hp Rizal hilang, maka usaha Mari menelpon Zul jadi sia-sia.
Mari hanya bisa berharap Zul datang lagi ke sana dan ia akan mengungkapkan perasaan cintanya kepada Zul. Ia sudah siap menerima apapun keputusan Zul. Menerimanya ataukah menolaknya. Jika Zul menerimanya, ia berjanji akan menjadi abdi bagi Zul selama hidupnya.
Ia merasa hanya Zul-lah yang paling berhak mendapatkan pengabdiannya.
Mari selalu mengingat perkataan Zul saat menanggapi ucapannya, "Mintalah apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa dan aku mampu memenuhinya."
Zul saat itu berkata, "Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia."
Kata-kata Zul itu seolah ia jadikan pedoman hidup. Ia berjanji pada diri sendiri untuk terus mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi wanita salehah yang sebenarnya. Ia mengawali dengan menutup rambutnya dengan jilbab. Jilbabnya modis. Cara berpakaiannya pun masih modis. Masih memakai celana jeans dan kaos ketat. Tapi ia terus berusaha. Ia rajin datang ke majelis taklim yang ia ketahui. Setiap ia mendapatkan tambahan ilmu agama, ia berusaha mengamalkan sebaik-baiknya. Berminggu-minggu setelah itu, ia masih terus berusaha menelpon nomor yang ia terima dari Zul, tapi tidak juga berhasil. Dan Zul tidak juga muncul, tidak pula menelpon. Ia tetap bertahan dan sabar. Ia tetap berusaha untuk sedekat mungkin dengan Allah. Sesuai dengan pesan Zul yang telah terpahat kuat dalam relung hatinya.
************
Zul menarik nafas dalam-dalam. Ia masih memejamkan kedua matanya sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. Inilah untuk kedua kalinya ia bertarung dengan penjahat. Dan kali ini ia menang. Ia merasa puas karena bisa memberi ganjaran setimpal pada penjahat berkepala gundul itu.
Mari masih berada di dalam kamarnya. Zul kembali menarik nafas. Tiba-tiba ia merasa ada yang mengalir di ujung mata kanan turun ke pipi. Ia raba. Darah. Darah itu mengalir dari pelipisnya yang luka. Namun ia yakin luka itu tidak parah. Paling hanya sobek beberapa senti saja. Ia merasa itu hanya luka kecil yang dalam beberapa hari akan sembuh.
Mari keluar dari kamarnya dengan wajah yang lebih cerah. Pakaiannya rapi. Blues merah muda lengan panjang dengan bawahan celana kulot merah marun. Jika diperhatikan dengan sedikit serius penampilannya tampak anggun. Ia menggelung rambutnya dengan sederhana. Sehingga tidak lagi awut-awutan. Tampaknya ia telah membasuh mukanya, dan telah berusaha menghapus bekas-bekas tangis dari wajahnya. Meskipun tidak benar-benar berhasil.
Zul masih memejamkan mata sehingga tidak menyadari ketika Mari keluar dari kamarnya dan memandangnya beberapa saat lamanya. Posisi Zul membelakangi pintu kamar Mari. Sehingga Mari tidak melihat Zul dari depan. Mari mendekat. Dan ketika melihat wajah Zul ia kaget.
"Zul, kau luka Zul! Kau berdarah Zul, ya Allah ya Rabbi!" Ucap Mari setengah berteriak.
Zul mengerjapkan matanya. Dan langsung menyahut,
"Ah tidak apa-apa kok Mbak. Cuma luka kecil saja."
"Tapi darahnya sampai mengalir ke dagu begitu. Harus segera diusap dan dibersihkan. Sebentar Zul."
Mari kembali ke kamarnya. Ia mengambil kapas dan obat merah.
"Sini Zul biar aku bersihkan dan aku obati!" Kata Mari lagi sambil membawa kapas dan obat merah.
"Tidak usah Mbak. Sini kapas dan obat merahnya biar aku obati sendiri. Sekalian aku mau ke kamar kecil."
Sergah Zul.
Mau tidak mau Mari menyerahkan kapas dan obat merah pada Zul. Saat itu Mari ingin sekali mengusapkan dan membersihkan darah orang yang telah membela kehormatannya. Ia rasanya ingin langsung membalas segala kebaikan Zul. Mari memandangi Zul yang melangkah ke kamar kecil dengan pandangan yang susah untuk diartikan. Pandangan merasa berhutang budi, sayang, kagum, kasihan, juga cinta.
Zul mengusap lukanya dengan kapas. Lalu membasuh dengan air. Darah dari lukanya mulai berhenti.
Setelah mengeringkan lukanya itu dengan kapas, ia mengobatinya dengan obat merah. Setelah itu ia keluar. Mari menunggunya di sofa. Ia duduk tak jauh dari Mari.
"Harus bagaimana aku berterima kasih padamu Zul?" Mari mengawali pembicaraan.
"Tak perlu berterima kasih pada saya Mbak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Itulah kewajiban manusia jika melihat kemungkaran."
Tiba-tiba Mari terisak-isak,
"Kau telah menyelamatkan kehormatanku Zul. Kalau tadi tidak ada kau, entah apa jadinya diriku saat ini. Mungkin aku telah bunuh diri Zul!"
"Berterima kasihlah pada Allah Mbak. Allahlah yang menggerakkan kedua kaki saya untuk bertandang ke sini pagi ini."
Mari sepertinya tidak mendengar kalimat yang diucapkan Zul. la menundukkan mata dan larut dalam tangisnya. Dadanya dipenuhi rasa haru dan rasa syukur yang membuncah-buncah. Beberapa saat lamanya hanya isak tangis Mari yang terdengar. Zul hanya bisa diam di tempatnya.
"Terima kasih Zul, kau telah menyelamatkan kehormatan dan kesucianku. Kehormatan yang selama ini aku jaga mati-matian. Tanpa kehormatan itu aku merasa akan hidup sia-sia. Aku sangat berhutang budi padamu."
Mari kembali mengucapkan rasa terima kasih dengan sepenuh jiwanya pada Zul. Zul bisa merasakan itu. la hanya bisa menjawab pelan,
"Ingatlah Allah Mbak. Berterima kasihlah pada Allah."
"Iya Zul, iya. Allah masih menyayangiku Zul. Allah masih menyayangiku."
"Iya Allah masih menyayangi Mbak. Dan semoga terus menyayangi Mbak."
"Allahlah yang mengatur kau datang tepat pada wakrunya."
"Iya Allahlah pengatur kehidupan ini Mbak."
"Aku tak pernah menyangka penjahat itu bisa datang ke rumah ini. Sungguh aku sama sekali tidak menyangka."
Guman Mari sambil mengangkat muka dan menghapus airmatanya.
"Bagaimana ceritanya, semua ini bisa terjadi Mbak.
Dan Mbak kok di rumah? Apa Mbak sedang libur?"
"Begini lho Zul ceritanya. Sebenarnya aku tidak libur. Pagi ini aku mencuci sampai jam delapan. Aku mau berangkat kerja jam sembilan. Teman-teman sudah berangkat pukul setengah delapan. Kira-kira jam sembilan kurang seperempat aku sudah siap untuk berangkat. Tiba-tiba hujan turun deras sekali. Aku mencari-cari payung tidak ada. Aku baru ingat kalau payungku dipinjam sama temanku yang tinggal di Kelana Jaya. Akhirnya aku telpon ke kantor tempat aku kerja untuk dijemput. Ternyata tidak ada mobil yang nganggur. Semuanya sedang dipakai. Tapi pihak kantor juga bilang, jika ada mobil nganggur akan segera "Karena hujan sangat deras, aku diminta tetap di rumah saja. Jika terpaksa tidak ada mobil, aku diberi ijin untuk datang setelah Zuhur. Bahkan boleh libur.
Akhirnya aku santai di ruang tamu ini dengan tetap memakai pakaian yang biasa aku gunakan kerja. Pukul sepuluh kurang sepuluh menit aku mendengar mobil menderu. Lalu orang mengetuk pintu. Aku tidak curiga sedikit pun. Kukira itu adalah orang kantor yang datang menjemputku.
"Tanpa curiga, aku langsung membuka pinta lebarlebar. Alangkah terkejutnya diriku ternyata yang datang adalah si Warkum. Aku hendak menutup pintu kembali, tapi sudah terlambat. la berhasil menerobos masuk bahkan langsung mengunci pintu itu. Lalu ia memintaku untuk menuruti keinginan nafsunya. Jelas aku menolak. Aku lebih baik mati daripada menyerahkan kehormatanku padanya. Ia kalap. Amarahnya memuncak. Pandanganya buas bagaikan serigala liar yang kelaparan. la berusaha memangsaku. Aku terus melawan sekuat tenaga. Aku berusaha mempertahankan kehormatanku sekuat tenaga. Prinsipku lebih baik mati daripada diperkosa.
"Aku terus melawan. Namun aku adalah seorang perempuan, tenagaku tak sebanding dengan tenaganya.
Kekuatanku tak mampu menandingi kekuatannya. Aku nyaris tidakberdaya karena kehabisan tenaga. Dan dia nyaris mendapatkan apa yang diinginkannya. Tiba-tiba kau datang.
"Kau datang dan membuat bajingan itu terpelanting. Awalnya aku kira kau adalah malaikat utusan Tuhan yang menyambar penjahat itu dengan cemeti mahasaktinya. Malaikat yang diturunkan Tuhan karena rintihan doaku di saat paling kritis. Malaikat dalam arti sebenarnya. Ternyata bukan, yang datang bukan malaikat tapi manusia. Mahakuasa Allah."
Mari kembali terisak-isak.
Zul diam mematung di tempatnya.
"Dik bagaimana ceritanya kok kau bisa kemari pagi ini dan bagaimana kau bisa membuka pintu itu? Dengan apa kau membukanya?"
Zul menarik nafas, lalu dengan tenang menceritakan kronologisnya bisa sampai di rumah itu. Tentang keinginannya untuk datang ke rumah itu. Keinginan yang muncul tiba-tiba pagi itu dan seolah tidak bisa ditolaknya. la juga bercerita tentang kunci Linda yang masih di tangannya.
Mari mendengarkan cerita Zul dengan seksama dan dengan mata berkaca-kaca. la merasakan kasih sayang yang dicurahkan oleh Allah kepadanya.
"Siapakah yang menghadirkan keinginan untuk datang kemari itu kalau bukan Allah Mbak? Dan siapakah yang menghadirkan keberanian dalam dada ini untuk bertarung dengan penjahat itu kalau bukan Allah? Dan siapa yang menolong saya memenangkan pertarungan tadi kalau bukan Allah?"
Airmata Mari kembali meleleh.
Zul diam. Sesaat lamanya ruangan itu diselimuti kesunyian.
"Tetapi Zul, walau bagaimana pun aku sangat berhutang budi padamu Zul. Bagaimana aku harus membalasnya?" Lirih Mari seraya mengangkat muka memandang wajah Zul. Zul memandang ke arah Mari, lalu menarik pandangannya ke lantai.
"Sudahlah Mbak. Aku merasa tidak berbuat apa-apa selainmelakukan kewajibanku sebagai seorang manusia yang melihat kezaliman di depan mata. Mbak jangan mengatakan hal seperti itu lagi."
"Kau harus tahu sesuatu Zul. Agar kau tahu betapa aku sangat berhutang padamu."
"Sesuatu itu apa Mbak?"
"Si W tadi itu, ia datang mengatakan ingin meminta haknya sebagai seorang suami. Haknya yang katanya belum pernah aku berikan padanya setelah dia menikahi aku dan membayar mas kawin padaku."
"Aku tidak paham maksudnya Mbak."
"Maaf, biar aku perjelas. Pada hari aku menikah dengannya itu, aku sedang datang bulan. Jadi ia tidak menjamah kesucianku. Biasanya aku datang bulan lebih satu minggu. Lha seminggu kemudian, artinya seminggu setelah akad nikah ia pergi ke Jakarta, dan saat itu aku masih dalam kondisi datang bulan. Jadi ia sama sekali belum menjamah kesucianku.
"Seperti yang dulu pernah kuceritakan kepadamu. Kalau tidak salah aku pernah cerita padamu Zul. Dia pergi ke Jakarta dengan alasan bisnis. Ternyata beberapa hari kemudian ia tertangkap dalam kondisi over dosis di sebuah hotel. Ia masuk penjara. Dan aku kemudian tahu semua kejahatannya. Saat itu aku mengajukan gugatan cerai.
Tak bisa ditawar lagi, karena aku tidak mau punya suami seorang penjahat yang kejahatannya benar-benar telah melampaui batas. Jadi meskipun aku telah menikah sejatinya kesucianku belum pernah dijamah oleh suamiku. Dan sampai hari ini mahkota kesucianku belum tersentuh oleh siapapun. Statusku memang janda, tapi kesucianku masih utuh. Sumpah demi Allah, Zat Yang Mahatahu. "Kau harus tahu Zul, selama ini betapa mati-matian aku menjaga mahkota ini. Betapa mati-matian aku menjaga iman ini. Godaan, bujuk rayu datang setiap saat. Alhamdulillah aku kuat. Tiba-tiba si W itu datang mau merenggut mahkota itu. Dan mahkota kesucian yang lebih berharga dari nyawaku sendiri itu nyaris ternistakan, kalau saja kau tidak datang. Inilah Zul sesungguhnya yang aku alami. Inilah Zul yang kau harus tahu, kau telah menyelamatkan kesucianku, kegadisanku. Aku benar-benar berhutang padamu."
Mendengar cerita Mari, hati Zul bergetar.
Tanpa ia sadari airmatanya meleleh. Ada rasa kebahagiaan yang sangat halus yang menyusup begitu saja ke dalam hatinya. Rasa bahagia sekaligus rasa bangga karena ia bisa menyelamatkan kesucian seorang wanita. Ia berharap apa yang dilakukannya itu dinilai ibadah oleh Allah. Dan apa yang dilakukannya itu bisa menghapuskan dosa-dosanya saat ia masih remaja dulu. Ia kembali teringat saat SMA, saat ia pacaran dengan gadis tetangga desa. Saat itu ia nyaris melakukan perbuatan yang menistakan kesucian gadis itu. Untunglah saat itu tidak terjadi, karena terhalang oleh keadaan yang tidak memungkinkan. Ia meneteskan airmata, bersyukur kepada Allah, bahwa kesucian dirinya pun masih belum ternista.
"Mintalah apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa dan aku mampu aku akan memenuhinya." Ucap Mari dengan suara jelas tanpa isak tangis.
'Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia."
"Baik Zul, aku akan berusaha sebisanya. O ya sampai lupa, aku buatkan minuman ya? Mau minum apa Zul?"
"M...tidak usah repot-repot Mbak."
'Ah tidak repot kok Zul."
Zul melihat jam di dinding. Ia merasa sudah terlalu lama di rumah itu. Ia teringat bahwa ia harus ke kampus. Ada janji dengan seorang teman. la bangkit dan memanggil Mari yang sudah melangkah ke dapur.
"Mbak Mari!"
"Ya." Mari menghentikan langkah dan menoleh.
"Tak usah bikin minum Mbak. Saya harus pamitan. Saya ada janji dengan seorang teman habis Zuhur."
"Tidak bisa ditunda barang satu dua menit Zul."
"Maaf Mbak. Saya benar-benar harus pamit. O ya saya hampir lupa saya mau mengambil barang-barang saya. Dan ini kuncinya Linda."
"Ya sudah kalau begitu. Sebentar saya ambilkan barang-barangmu."
Mari masuk ke dalam dan mengeluarkan barangbarang milik Zul dari kamarnya.
"Ini kan Zul? Ada yang lain?"
"Tidak Mbak, itu saja."
Zul mengambil tas jinjing yang berisi kekayaan pribadinya yang sebenarnya jika dilihat tidaklah terlalu berharga. Hanya beberapa pakaian, handuk, dan mushaf kecil Al-Quran pemberian Pak Hasan.
"Aku tidak akan pernah melupakan jasamu ini Zul."
"Ah Mbak, kok bicara seperti itu lagi. Sudah lupakan saja Mbak, anggap saja saya tidak pernah berjasa apaapa pada Mbak. Baik, saya pamit dulu ya Mbak. Jaga diri baik-baik."
Zul melangkah keluar rumah. Mari mengikuti sampai pintu. Ketika Zul sampai di gerbang, Mari memanggil namanya.
"Zul!"
Zul menghentikan langkah dan menoleh ke bela kang. Mari memandanginya lekat-lekat. Zul meman dang Mari. Wajah Mari tampak pucat dan sayu.
"Ya ada apa Mbak?"
Mari ingin mengatakan sesuatu tapi ia urungkan. la lalu pura-pura bertanya,
"M..m...kau ada nomor hp Zul?"
"Pakai nomor teman saya yang dulu saya gunakan SMS Mbak saja. Masih tersimpan kan?"
"Ya baik. Masih tersimpan."
"Ada yang lain Mbak?"
"Zul, aku takut."
"Takut apa? Takut kalau dia datang lagi?"
"Iya."
"Percayalah padaku Mbak, dia tidak akan berani datang lagi. Dia sudah kapok! Dia menganggap aku ini juga preman seperti dia. Jari-jari tangan kanan dan kaki kanannya sudah hancur! Kalau pun berniat datang mungkin satu bulan lagi, setelah ia sembuh dari lukanya."
"Tapi aku kuatir dia punya teman."
"Dan dia juga anggapan aku punya teman banyak. Mbak tidak usah kuatirlah. Kalau Mbak kuatir, kunci rumah baik-baik. Dan siapkan nomor telpon polisi. Atau Mbak pindah saja dulu ke rumah teman yang aman. Maaf Mbak ya saya buru-buru."
"Iya Zul, terima kasih ya."
"Ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Mari berdiri memandangi Zul sampai hilang dari pandangan. Setelah itu ia memandang ke arah langit yang mulai terang. Hujan telah reda. Gerimis pun sudah tiada. Mendung mulai pudar. Dan matahari seolah ingin menyibak awan. Mari berulang kali memuji kekuasaan Tuhan. Ia lalu masuk rumah. Menutup pintu dengan rapat. Sayup-sayup, dari surau lirih terdengar suara azan
**********
EPISODE….. 8
Zul mondar-mandir di ruang tamu. Penghuni flat itu semua telah tidur. Namun Zul tidak bisa tidur. Malam itu setelah kejadian di rumah Mari, Zul selalu terbayang wajah Mari. Ia kembali merasakan apa yang dulu pernah ia rasakan saat remaja. Sejak pertama bertemu dengan Mari, ia sebetulnya telah terpikat oleh kehalusan tutur katanya. Juga perhatian, kepekaan dan jiwa sosialnya.
Namun itu semua tidak berpengaruh apa-apa dalam hatinya. Mari masih ia anggap sebagai perempuan biasa yang ia kenal di jalan. Tapi setelah kejadian siang itu.
Setelah apa yang ia alami, ia lihat dan ia ketahui rasa sayangnya pada Mari merasuk begitu saja ke dalam hatinya. Rasa sayang yang lebih dari biasa. Bahwa Mari begitu teguh menjaga kesuciannya itulah yang paling membekas di dalam hatinya. Ia sudah banyak mendengar cerita tentang tenaga kerja wanita Indonesia di Malaysia yang tidak lagi menjaga kehormatannya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak sedikit tenaga kerja wanita yang bekerja di kilangkilang12 juga berprofesi menjajakan tubuhnya selepas bekerja. Tapi Mari tetap menjaga kehormatan dan kesuciannya. Dengan label janda yang dilekatkan pada dirinya, dan parasnya yang tidak bisa dikatakan jelek, tentulah itu perjuangan yang luar biasa. Ia sangat yakin, bahkan haqqul yakin, kalau Mari tidaklah berkata dusta. Dalam kondisi shock seperti itu kejujuranlah yang lazim keluar dari diri anak manusia. Ia merasa Mari adalah perempuan yang berkarakter, dan sanggup menjadi perempuan yang luar biasa. Itulah yang membuat hatinya condong pada Mari.
Ia bingung harus berbuat apa? Ia sudah dewasa. Dan Mari juga sudah dewasa. Tidak mungkin lagi ia hanya mengutarakan bahwa hatinya condong pada Mari.
Mengutarakan itu artinya siap berumah tangga. Ia sudah tahu hukum bermain hati pada perempuan yang tidak halal dari Yahya. Itu dosa.
"Hati pun, kata Nabi, bisa berzina." Kata-kata Yahya itu seolah berdengung-dengung dalam pikirannya. Tapi bayangan Mari, juga suaranya, seolah terus menghampirinya. Sempat terbersit dalam pikirannya untuk berterus terang pada Mari dan mengajaknya menikah. Lalu hidup sederhana apa adanya di Kuala Lumpur sambil kuliah. Toh, banyak mahasiswa yang berkeluarga dan hidup apa adanya di Kuala Lumpur.
Tapi tiba-tiba ada semacam keraguan dalam hatinya.
Ia kuatir jika ia menikah akhirnya kuliahnya tidak selesai.
Ia jadi sibuk memikirkan hidup keluarga. Apalagi kalau nanti punya anak. Ia bisa hidup nekat. Makan sehari pun bisa, tapi anak yang masih bayi apa bisa? Sementara ia masih hidup sangat pas-pasan untuk makan, membayar sewa aparteman dan kuliah. Padahal jika berkeluarga ialah yang harus menanggung sepenuhnya sewa rumahnya. Sekarang ia yang menyewa bersama teman temannyasaja, masih terasa berat membayarnya.
Hutangnya pada Pak Muslim untuk membeli sepeda motor juga belum lunas.
Ia sempat berpikir bahwa Mari juga bekerja dan bisa meringankan beban. Ia langsung menjawab sendiri bahwa tugas memberi nafkah adalah tugas suami. Andai pun Mari bekerja ia tidak tahu berapa gajinya. Ia juga tidak tahu sanggupkah Mari tetap bekerja jika misalnya hamil. Ia sampai sudah begitu jauhnya memikirkan jika Mari hamil segala. Ia menegaskan pada dirinya jika ia menikahi Mari ia tidak bisa menggantungkan nasibnya pada Mari. Alangkah jahatnya dia jika menikahi Mari karena merasa aman, sebab Mari juga bekerja. Apakah itu namanya bukan eksploitasi? Mari nanti bekerja.
Mengerjakan pekerjaan rumah tangga lazimnya perempuan di Indonesia. Mengurus anak. Jika itu yang terjadi ia merasa tidak menjadi seorang suami yang benar.
Ia juga sempatberpikir untuk mengajak Mari pulang ke Indonesia dan hidup apa adanya di Indonesia. Buat apa hidup lama-lama di negeri orang. Tapi akal logikanya seolah mencercanya habis-habisan: "Buat apa susah payah datang ke negeri orang? Katanya mau mengubah takdir? Menyiapkan masa depan yang gemilang? Kalau kau pulang hanya dengan berhasil menikahi perempuan seperti Mari, tidak harus jauh-jauh ke Malaysia. Tidak harus berdarah-darah melewati pergulatan hidup di Semarang, Jakarta, Batam dan Kuala Lumpur. Perempuan seperti Mari di desamu juga banyak! Kalau kau pulang dengan belum meraih kegemilangan yang dicitakan, maka kelak kau akan ditertawakan oleh anak turunmu. Mereka akan mengingatmu dengan sinis; 'Kakek kita gagal menyelesaikan studinya karena tergoda oleh seorang tenaga kerja wanita di Malaysia. Inilah yang membuat kita tetap sengsara! Coba kalau kakek kita dulu orang yang teguh, tekun dan tidak mudah digoda wanita, mungkin kita akan bernasib lebih baik! "
Zul termenung. Dialog batinnya tidak membuat bayang-bayang Mari hilang. Wajah sayu yang memancarkan aura ketulusan itu, cerita hidupnya, ucapan terima kasih kepadanya yang diulang berkali-kali dari hati yang dalam. Itu semua sangat membekas di dalam hatinya.
Jarum jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul dua. Zul tidak tahan. Malam itu ia mem bangunkan Rizal, ingin meminjam hand phonenya. Ia ingin menelpon Mari. Ia tidak kuasa membendung bara cinta yang membuncah di dalam dadanya.
Rizal bangun sambil mengucek-ucek kedua matanya.
"Ada apa Zul?"
"Hand phone-mu mana? Aku mau pinjam?"
"Aduh Zul, hand phone-ku hilang tadi siang."
"Hilang?"
"Iya. Mungkin jatuh atau dicopet orang di Pur duraya. Pinjam Mas Yahya saja."
"Segan."
"Ya udah kalau begitu menelpon di wartel saja besok pagi."
"Iya dah."
Zul kecewa berat. Ia harus menunggu pagi untuk bisa menghubungi Mari. Malam itu ia hanya mondarmandir di ruang tamu. Sesekali membuka koran usang yang sudah berkali-kali ia baca. Atau membaca-baca Majalah I, majalah Islam terbitan Malaysia yang sudah lusuh, yang ia hampir hafal isinya. Itulah yang dilakukannya malam itu sampai Subuh tiba.
* * *
Setelah shalat Subuh Zul langsung mencari wartel yang buka. Semua masih tutup. Di flatnya selain Rizal dan Yahya, Pak Muslim juga punya hand phone. Tapi ia segan meminjamnya. Selama ini jika ia ingin nelpon ke mana saja ia selalu menggunakan wartel. Ia sudah merencanakan untuk membeli hand phone tapi belum juga kesampaian. Dengan langkah gontai Zul kembali ke flat. Wajahnya pucat. Auranya sayu. la tampak seperti orang yang sedang sakit. Yahya yang sangat peka bisa menangkap perubahan yang terjadi pada teman satu kamarnya. Dengan ketulusan seorang sahabat ia mengajak Zul bicara.
"Sepertinya kau sedang ada masalah atau kau sedang sakit Zul?"
"Tidak ada apa-apa kok Mas?"
"Kalau kau tidak menganggapku sebagai orang lain bicaralah padaku. Tapi kalau kau masih menganggapku orang lain, orang asing bagimu, ya berpura-puralah tidak ada masalah padaku." Yahya langsung terus terang.
Akhirnya Zul berterus terang bahwa ia sedang merasakan rasa rindu dan cinta pada seorang perempuan. "Siapa perempuan itu? Mahasiswi UM kah?"
"Namanya Mar. Siti Martini. Dia bukan mahasiswi tapi seorang karyawati sebuah perusahaan."
"TKW maksudmu?" Yahya berusaha memperjelas. Pertanyaan itu agak menyinggung Zul. Ia seperti tidak rela Mari dilabeli TKW. Tapi memang itu kenyataan yang ia tahu. Jadi ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengiyakan.
"Iya Mas."
"O, Siti Martini yang pernah kauceritakan dulu itu. Yang satu bus dari Larkin ke Purduraya itu?"
"IyaMas."
"Di sini mahasiswi banyak lho Zul, kenapa kaupilih TKW?"
Pertanyaan Yahya itu kembali menggores hatinya.
Ia ingin menjelaskan semuanya, tapi tidak sampai. Ia tidak bisa menjelaskan detil apa yang ia alami dengan Mari pada sahabatnya yang paling dekat itu. Ia tidak sampai hati untuk membuka kejadian kemarin siang di rumah Mari. Ia juga tidak bisa menjelaskan pesona dan aura yang dimiliki Mari. Ia akhirnya menjawab dengan jawaban yang klasik,
"Tidak tahu Mas. Namanya juga jatuh cinta. Aku melihat dia baik. Dan menurutku mahasiswi tidak secara otomatis lebih baik dari TKW. Banyak yang sekarang TKW, mungkin kelak jadi orang yang memberi penghidupan pada mahasiswa atau mahasiswi. Dan banyak mahasiswi yang akhirnya jadi TKW. Itu kan cuma label-label saja Mas."
Yahya tersenyum,
"Kau memang sedang jatuh cinta. Dari jawabanmu aku tahu kau sangat membela dia. Ya sah-sah saja kau mencintai dia. Siapapun dia. Asal menurutmu cocok dan baik ya sah-sah saja. Memang benar manusia tidak bisa dinilai dari label atau julukan yang disandangnya. Yang menentukan manusia itu ini lho. Ininya!" Kata Yahya sambil menunjuk dadanya.
"Iman dan takwanya. Agamanya." Lanjut Yahya.
"Itu tukang sapu di jalan yang setiap hari bergelut dengan sampah bisa jadi ia lebih baik di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir jebolan universitas terkenal di Timur Tengah. Di mata Allah belum tentu. Keikhlasan seseorang hanya Allah yang tahu. Bisa jadi tukang sapu itu sangat tahu diri kedhaifan dirinya sebagai makhluk Allah maka tidak ada rasa sombong dalam hatinya. Dan Guru Besar Tafsir bisa jadi karena merasa hebat, ada satu zarrah rasa sombong dalam hatinya. Ketika ketemu tukang sapu Guru Besar itu merasa lebih terhormat dari tukang sapu. Itu kan sombong. Sebaliknya tukang sapu justru menghormati Guru Besar itu karena tahu dirinya tidak berilmu dan Guru Besar itu punya ilmu. Berarti tukang sapu itu tahu kadar dirinya. Tidak sombong. Jika seperti itu bisajadi tukang sapu lebih mulia di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir itu." Terang Yahya panjang lebar.
"Jadi tidak salah saya jatuh cinta pada TKW itu Mas?"
"Jatuh cinta tidak salah. Kau mau memilih siapa pun tidak salah. Asalkan tetap menjaga diri di jalan yang diridhai Allah. Apa kau sudah benar-benar siap untuk menikah Zul?
Zul diam mendengar pertanyaan itu. la tidak bisa menjawab mantap. Akhirnya Zul menjelaskan kebimbangan hatinya. Antara mantap dan tidak mantap. Halhal yang berkelebat dalam hati dan pikirannya ia sampaikan kepada Yahya.
"Jadi kemarin kau ke rumah Siti Martini itu?"
"Iya, mengambil barang-barang saya yang masih tertinggal di sana?"
"Kau bertemu dia dan setelah itu kau merasa jatuh cinta?"
Zul mengangguk malu. Ia seperti sedang dihakimi. Yahya malah tersenyum.
"Kau sedang terkena sihir Zul."
"Terkena sihir apa Mas?"
"Kau sedang terkena sihir nafsu syahwatmu. Aku bisa memastikan kau agak berlama-lama berbicara dengan dia. Aku yakin itu."
"Benar."
"Wajar."
"Maksudnya wajar, wajar bagaimana?"
"Setan telah menghiasi perempuan itu sehingga tampak olehmu pesonanya, keindahannya, auranya, kebaikannya dan lain sebagainya yang membuatmu cenderung kepadanya. Tahukah kau Zul, saya pun bisa lebih parah darimu. Bahkan seseorang yang kuat imannya jika berduaan dengan perempuan yang ia tahu perempuan ia berpenyakit sekalipun bisa luntur imannya. Bahkan bisa melakukan perbuatan nista dengan perempuan itu. Karena apa? Karena perempuan itu dirias dan dihiasi oleh setan. Ditambah nafsu yang ada dalam diri lelaki itu. Maka terjadilah apa yang seharusnya tidak terjadi."
"Jadi apa yang aku rasakan ini nafsu syahwat?"
"Betul. Jujurlah pada dirimu. Kau pasti telah melihat hal yang semestinya tidak kau lihat pada perempuan itu, iya kan?"
Zul malu mengakuinya.
"Ingat Zul seluruh tubuh perempuan yang sudah akil balig itu aurat kecuali muka dan tepak tangannya. Jika ia perempuan yang cantik, yang kecantikannya itu menarik lawan jenisnya maka mukanya juga jadi aurat yang harus ditutupi. Artinya tidak boleh dilihat. Jikalau engkau mencintai wanita karena melihat yang seharusnya ditutupi maka berarti kau ada nafsu dengannya. Yang bergerak dalam aliran darahmu dan syaraf-syarafmu itu adalah nafsu dan syahwat. Jika seperti itu, kau tidak jauh berbeda dengan ayam jago yang langsung mengejar ayam betina setelah melihat keelokan ayam betina."
"Tapi bukankah manusia hampir semuanya begitu Mas?"
"Ya benar. Maka tidak berlebihan jika para filosof menyebut manusia sebagai hayawanun nathiqun. Binatang yang berbicara. Manusia itu binatang, hanya saja ia bisa bicara. Bisa berkata-kata. Itulah definisi manusia yang hanya mengutamakan nafsunya saja. Nafsu jadi panglimanya. Nafsu jadi timbangannya. Dan nafsu itu tidak hanya nafsu pada perempuan saja. Termasuk juga nafsu pada kemewahan dunia.
Al-Quran menjuluki manusia yang seperti itu dengan kalimat:
'Mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.'13 Orang-orang yang dikendalikan oleh nafsunya adalah orang yang lengah. Orang yang tidak memiliki rusyd, atau kesadaran penuh. Orang seperti itu yang akan rugi di mana pun dia berada. Ia akan mudah dicocok hidungnya oleh setan untuk dijerumuskan ke dalam jurang kebinasaan dan kenestapaan."
"Terus bagaimana cara mencintai lawan jenis yang benar menurut Sampeyan?"
"Mencintai dengan timbangan fithrah dan bashirah. Mencintai dengan kesucian dan mata hati. Fithrah dan bashirah yang jadi timbangannya. Yaitu, jika kau mencintai wanita bukan karena tertipu oleh kecantikan paras wajahnya dan keelokan benruk tubuhnya. Bukan karena tersihir oleh matanya yang berkilat-kilat indah seperti bintang kejora. Bukan pula terpikat karena bibirnya yang ranum segar seperti mawar merekah. Juga bukan karena keindahan suaranya yang susah dilupakan. Bukan karena hartanya yang melimpah ruah. Bukan karena kehormatannya, yang kau akan jadi ikut terhormat karena menikahinya. Jika bukan karena itu semua kau mencintainya. Tapi kau mencintai dengan memakai timbangan fitrahmu, dan matabatinmu. Kau mencintai dia karena merasakan kesucian jiwanya dan agamanya, dan mata batinmu condong karena kecantikan akhlak dan wataknya. Hatimu terpikat karena harumnya kalimat-kalimat yang keluar dari lidahnya. Saat itu kau telah mencintai lawan jenis dengan benar."
"Tapi sulit rasanya Mas aku memakai timbangan fithrah dan bashirah. Hati ini sepertinya telah tertawan dan terbelenggu oleh sihir Mari."
"Ya aku tahu. Memang sangat susah membebaskan diri dari belenggu cinta syahwati. Aku bukannya tidak pernah mengalaminya, aku pernah mengalaminya. Dan aku nyaris binasa karenanya. Jika bukan karena rahmat Allah aku mungkin saat ini sudah hancur berbaur tanah di kubur."
"Bagaimana ceritanya Mas. Mungkin bisa jadi cambuk bagiku."
"Malu aku mengingatnya."
"Apa Sampeyan tidak kasihan padaku. Apa Sampeyan ingin aku binasa Mas?"
"Singkat saja ya. Saat itu aku masih kelas tiga SMA Al Islam Batu, Malang. Ayahku seorang lurah. Tahun itu ada rombongan KKN dari Unibraw, berjumlah sepuluh orang. Empat mahasiswa, enam mahasiswi. Tiga mahasiswi menginap di rumahku. Tiga lain di tempat Pak Carik. Dan empat mahasiswa menginap di Balai Desa. Di antara tiga mahasiswi yang menginap di rumahku itu ada yang membuatku tergila-gila. Sebut saja namanya F Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Aku coba tahan untuk menyimpannya dalam hati diam-diam. Aku tidak tahan. Akhirnya aku ungkapkan padanya. Ternyata dia menanggapi. Aku kirim surat cinta padanya. Dia membalasnya dengan surat cinta yang lebih romantis. Sebab dia sudah mahasiswi. Sudah jauh lebih berpengalaman.
Aku seperti buta. Aku sudah merasa dia adalah segalanya. Sampai tiba saat perpisahan, karena masa KKN-nya habis. Sebelum pergi ia berterus terang padaku, bahwa selama ini cuma main-main.
Sebenarnya dia sudah punya tunangan di SURABAYA.
Hatiku seperti dibetot dan kepalaku seperti dihantam palu godam. Aku langsung jatuh sakit. Dua bulan aku dirawat di rumah sakit. Aku bahkan sempat mencoba bunuh diri. Orang- orang menganggap aku sakit terkena santet. Aku seperti orang gila Zul. Itulah ceritanya Zul."
"Terus sembuhnya bagaimana Mas?"
"Akhirnya orangtuaku tahu juga masalahnya. Saat orangtuaku tahu gadis itu sudah menikah dan bekerja di Jakarta. Kakak perempuankulah yang dengan sabar menemaniku dan menguatkan aku. Karena sakit itu aku tidak bisa ikut ujian akhir. Aku benar-benar sembuh setelah aku dibawa ke sebuah pesantren.
Di pesantren itulah karena disibukkan dengan ibadah, zikir, olah raga dan lain sebagainya lambat laun, ingatanku akan F hilang. Dan sekarang aku baru menyesal, kenapa dulu aku bisa begitu bodoh dan tolol. Itulah Zul cinta yang semu sangat menyiksa dan menyakitkan."
Mendengar cerita Yahya, Zul merasa mendapat sedikit pencerahan. Namun cerita itu tidak juga bisa mengusir kuatnya pesona Mari yang menempel di dinding-dinding hatinya. Tapi dari pembicaraannya dengan Yahya ia memiliki seberkas cahaya yang menerangi gulitanya akal pikirannya karena diselimuti bayangan Mari.
***
Nun jauh di Subang Jaya sana. Mari merasakan hal yang tidak jauh berbeda dengan Zul. Bahkan lebih parah. Jika Zul didampingi Yahya, maka Mari tidak punya pendamping dan tempat untuk mengungkapkan gelisahnya. Teman-teman satu rumahnya sibuk bekerja dan ia pandang tidak bisa dijadikan tempat berbagi perasaan. Mari telah berulang kali menelpon nomor yang pemah diberikan oleh Zul kepadanya. Nomor itu adalah nomor Rizal. Karena hp Rizal hilang, maka usaha Mari menelpon Zul jadi sia-sia.
Mari hanya bisa berharap Zul datang lagi ke sana dan ia akan mengungkapkan perasaan cintanya kepada Zul. Ia sudah siap menerima apapun keputusan Zul. Menerimanya ataukah menolaknya. Jika Zul menerimanya, ia berjanji akan menjadi abdi bagi Zul selama hidupnya.
Ia merasa hanya Zul-lah yang paling berhak mendapatkan pengabdiannya.
Mari selalu mengingat perkataan Zul saat menanggapi ucapannya, "Mintalah apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa dan aku mampu memenuhinya."
Zul saat itu berkata, "Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia."
Kata-kata Zul itu seolah ia jadikan pedoman hidup. Ia berjanji pada diri sendiri untuk terus mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi wanita salehah yang sebenarnya. Ia mengawali dengan menutup rambutnya dengan jilbab. Jilbabnya modis. Cara berpakaiannya pun masih modis. Masih memakai celana jeans dan kaos ketat. Tapi ia terus berusaha. Ia rajin datang ke majelis taklim yang ia ketahui. Setiap ia mendapatkan tambahan ilmu agama, ia berusaha mengamalkan sebaik-baiknya. Berminggu-minggu setelah itu, ia masih terus berusaha menelpon nomor yang ia terima dari Zul, tapi tidak juga berhasil. Dan Zul tidak juga muncul, tidak pula menelpon. Ia tetap bertahan dan sabar. Ia tetap berusaha untuk sedekat mungkin dengan Allah. Sesuai dengan pesan Zul yang telah terpahat kuat dalam relung hatinya.
**************************
EPISODE….. 8
Zul mondar-mandir di ruang tamu. Penghuni flat itu semua telah tidur. Namun Zul tidak bisa tidur. Malam itu setelah kejadian di rumah Mari, Zul selalu terbayang wajah Mari. Ia kembali merasakan apa yang dulu pernah ia rasakan saat remaja. Sejak pertama bertemu dengan Mari, ia sebetulnya telah terpikat oleh kehalusan tutur katanya. Juga perhatian, kepekaan dan jiwa sosialnya.
Namun itu semua tidak berpengaruh apa-apa dalam hatinya. Mari masih ia anggap sebagai perempuan biasa yang ia kenal di jalan. Tapi setelah kejadian siang itu.
Setelah apa yang ia alami, ia lihat dan ia ketahui rasa sayangnya pada Mari merasuk begitu saja ke dalam hatinya. Rasa sayang yang lebih dari biasa. Bahwa Mari begitu teguh menjaga kesuciannya itulah yang paling membekas di dalam hatinya. Ia sudah banyak mendengar cerita tentang tenaga kerja wanita Indonesia di Malaysia yang tidak lagi menjaga kehormatannya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak sedikit tenaga kerja wanita yang bekerja di kilangkilang12 juga berprofesi menjajakan tubuhnya selepas bekerja. Tapi Mari tetap menjaga kehormatan dan kesuciannya. Dengan label janda yang dilekatkan pada dirinya, dan parasnya yang tidak bisa dikatakan jelek, tentulah itu perjuangan yang luar biasa. Ia sangat yakin, bahkan haqqul yakin, kalau Mari tidaklah berkata dusta. Dalam kondisi shock seperti itu kejujuranlah yang lazim keluar dari diri anak manusia. Ia merasa Mari adalah perempuan yang berkarakter, dan sanggup menjadi perempuan yang luar biasa. Itulah yang membuat hatinya condong pada Mari.
Ia bingung harus berbuat apa? Ia sudah dewasa. Dan Mari juga sudah dewasa. Tidak mungkin lagi ia hanya mengutarakan bahwa hatinya condong pada Mari.
Mengutarakan itu artinya siap berumah tangga. Ia sudah tahu hukum bermain hati pada perempuan yang tidak halal dari Yahya. Itu dosa.
"Hati pun, kata Nabi, bisa berzina." Kata-kata Yahya itu seolah berdengung-dengung dalam pikirannya. Tapi bayangan Mari, juga suaranya, seolah terus menghampirinya. Sempat terbersit dalam pikirannya untuk berterus terang pada Mari dan mengajaknya menikah. Lalu hidup sederhana apa adanya di Kuala Lumpur sambil kuliah. Toh, banyak mahasiswa yang berkeluarga dan hidup apa adanya di Kuala Lumpur.
Tapi tiba-tiba ada semacam keraguan dalam hatinya.
Ia kuatir jika ia menikah akhirnya kuliahnya tidak selesai.
Ia jadi sibuk memikirkan hidup keluarga. Apalagi kalau nanti punya anak. Ia bisa hidup nekat. Makan sehari pun bisa, tapi anak yang masih bayi apa bisa? Sementara ia masih hidup sangat pas-pasan untuk makan, membayar sewa aparteman dan kuliah. Padahal jika berkeluarga ialah yang harus menanggung sepenuhnya sewa rumahnya. Sekarang ia yang menyewa bersama teman temannyasaja, masih terasa berat membayarnya.
Hutangnya pada Pak Muslim untuk membeli sepeda motor juga belum lunas.
Ia sempat berpikir bahwa Mari juga bekerja dan bisa meringankan beban. Ia langsung menjawab sendiri bahwa tugas memberi nafkah adalah tugas suami. Andai pun Mari bekerja ia tidak tahu berapa gajinya. Ia juga tidak tahu sanggupkah Mari tetap bekerja jika misalnya hamil. Ia sampai sudah begitu jauhnya memikirkan jika Mari hamil segala. Ia menegaskan pada dirinya jika ia menikahi Mari ia tidak bisa menggantungkan nasibnya pada Mari. Alangkah jahatnya dia jika menikahi Mari karena merasa aman, sebab Mari juga bekerja. Apakah itu namanya bukan eksploitasi? Mari nanti bekerja.
Mengerjakan pekerjaan rumah tangga lazimnya perempuan di Indonesia. Mengurus anak. Jika itu yang terjadi ia merasa tidak menjadi seorang suami yang benar.
Ia juga sempatberpikir untuk mengajak Mari pulang ke Indonesia dan hidup apa adanya di Indonesia. Buat apa hidup lama-lama di negeri orang. Tapi akal logikanya seolah mencercanya habis-habisan: "Buat apa susah payah datang ke negeri orang? Katanya mau mengubah takdir? Menyiapkan masa depan yang gemilang? Kalau kau pulang hanya dengan berhasil menikahi perempuan seperti Mari, tidak harus jauh-jauh ke Malaysia. Tidak harus berdarah-darah melewati pergulatan hidup di Semarang, Jakarta, Batam dan Kuala Lumpur. Perempuan seperti Mari di desamu juga banyak! Kalau kau pulang dengan belum meraih kegemilangan yang dicitakan, maka kelak kau akan ditertawakan oleh anak turunmu. Mereka akan mengingatmu dengan sinis; 'Kakek kita gagal menyelesaikan studinya karena tergoda oleh seorang tenaga kerja wanita di Malaysia. Inilah yang membuat kita tetap sengsara! Coba kalau kakek kita dulu orang yang teguh, tekun dan tidak mudah digoda wanita, mungkin kita akan bernasib lebih baik! "
Zul termenung. Dialog batinnya tidak membuat bayang-bayang Mari hilang. Wajah sayu yang memancarkan aura ketulusan itu, cerita hidupnya, ucapan terima kasih kepadanya yang diulang berkali-kali dari hati yang dalam. Itu semua sangat membekas di dalam hatinya.
Jarum jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul dua. Zul tidak tahan. Malam itu ia mem bangunkan Rizal, ingin meminjam hand phonenya. Ia ingin menelpon Mari. Ia tidak kuasa membendung bara cinta yang membuncah di dalam dadanya.
Rizal bangun sambil mengucek-ucek kedua matanya.
"Ada apa Zul?"
"Hand phone-mu mana? Aku mau pinjam?"
"Aduh Zul, hand phone-ku hilang tadi siang."
"Hilang?"
"Iya. Mungkin jatuh atau dicopet orang di Pur duraya. Pinjam Mas Yahya saja."
"Segan."
"Ya udah kalau begitu menelpon di wartel saja besok pagi."
"Iya dah."
Zul kecewa berat. Ia harus menunggu pagi untuk bisa menghubungi Mari. Malam itu ia hanya mondarmandir di ruang tamu. Sesekali membuka koran usang yang sudah berkali-kali ia baca. Atau membaca-baca Majalah I, majalah Islam terbitan Malaysia yang sudah lusuh, yang ia hampir hafal isinya. Itulah yang dilakukannya malam itu sampai Subuh tiba.
* * *
Setelah shalat Subuh Zul langsung mencari wartel yang buka. Semua masih tutup. Di flatnya selain Rizal dan Yahya, Pak Muslim juga punya hand phone. Tapi ia segan meminjamnya. Selama ini jika ia ingin nelpon ke mana saja ia selalu menggunakan wartel. Ia sudah merencanakan untuk membeli hand phone tapi belum juga kesampaian. Dengan langkah gontai Zul kembali ke flat. Wajahnya pucat. Auranya sayu. la tampak seperti orang yang sedang sakit. Yahya yang sangat peka bisa menangkap perubahan yang terjadi pada teman satu kamarnya. Dengan ketulusan seorang sahabat ia mengajak Zul bicara.
"Sepertinya kau sedang ada masalah atau kau sedang sakit Zul?"
"Tidak ada apa-apa kok Mas?"
"Kalau kau tidak menganggapku sebagai orang lain bicaralah padaku. Tapi kalau kau masih menganggapku orang lain, orang asing bagimu, ya berpura-puralah tidak ada masalah padaku." Yahya langsung terus terang.
Akhirnya Zul berterus terang bahwa ia sedang merasakan rasa rindu dan cinta pada seorang perempuan. "Siapa perempuan itu? Mahasiswi UM kah?"
"Namanya Mar. Siti Martini. Dia bukan mahasiswi tapi seorang karyawati sebuah perusahaan."
"TKW maksudmu?" Yahya berusaha memperjelas. Pertanyaan itu agak menyinggung Zul. Ia seperti tidak rela Mari dilabeli TKW. Tapi memang itu kenyataan yang ia tahu. Jadi ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengiyakan.
"Iya Mas."
"O, Siti Martini yang pernah kauceritakan dulu itu. Yang satu bus dari Larkin ke Purduraya itu?"
"IyaMas."
"Di sini mahasiswi banyak lho Zul, kenapa kaupilih TKW?"
Pertanyaan Yahya itu kembali menggores hatinya.
Ia ingin menjelaskan semuanya, tapi tidak sampai. Ia tidak bisa menjelaskan detil apa yang ia alami dengan Mari pada sahabatnya yang paling dekat itu. Ia tidak sampai hati untuk membuka kejadian kemarin siang di rumah Mari. Ia juga tidak bisa menjelaskan pesona dan aura yang dimiliki Mari. Ia akhirnya menjawab dengan jawaban yang klasik,
"Tidak tahu Mas. Namanya juga jatuh cinta. Aku melihat dia baik. Dan menurutku mahasiswi tidak secara otomatis lebih baik dari TKW. Banyak yang sekarang TKW, mungkin kelak jadi orang yang memberi penghidupan pada mahasiswa atau mahasiswi. Dan banyak mahasiswi yang akhirnya jadi TKW. Itu kan cuma label-label saja Mas."
Yahya tersenyum,
"Kau memang sedang jatuh cinta. Dari jawabanmu aku tahu kau sangat membela dia. Ya sah-sah saja kau mencintai dia. Siapapun dia. Asal menurutmu cocok dan baik ya sah-sah saja. Memang benar manusia tidak bisa dinilai dari label atau julukan yang disandangnya. Yang menentukan manusia itu ini lho. Ininya!" Kata Yahya sambil menunjuk dadanya.
"Iman dan takwanya. Agamanya." Lanjut Yahya.
"Itu tukang sapu di jalan yang setiap hari bergelut dengan sampah bisa jadi ia lebih baik di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir jebolan universitas terkenal di Timur Tengah. Di mata Allah belum tentu. Keikhlasan seseorang hanya Allah yang tahu. Bisa jadi tukang sapu itu sangat tahu diri kedhaifan dirinya sebagai makhluk Allah maka tidak ada rasa sombong dalam hatinya. Dan Guru Besar Tafsir bisa jadi karena merasa hebat, ada satu zarrah rasa sombong dalam hatinya. Ketika ketemu tukang sapu Guru Besar itu merasa lebih terhormat dari tukang sapu. Itu kan sombong. Sebaliknya tukang sapu justru menghormati Guru Besar itu karena tahu dirinya tidak berilmu dan Guru Besar itu punya ilmu. Berarti tukang sapu itu tahu kadar dirinya. Tidak sombong. Jika seperti itu bisajadi tukang sapu lebih mulia di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir itu." Terang Yahya panjang lebar.
"Jadi tidak salah saya jatuh cinta pada TKW itu Mas?"
"Jatuh cinta tidak salah. Kau mau memilih siapa pun tidak salah. Asalkan tetap menjaga diri di jalan yang diridhai Allah. Apa kau sudah benar-benar siap untuk menikah Zul?
Zul diam mendengar pertanyaan itu. la tidak bisa menjawab mantap. Akhirnya Zul menjelaskan kebimbangan hatinya. Antara mantap dan tidak mantap. Halhal yang berkelebat dalam hati dan pikirannya ia sampaikan kepada Yahya.
"Jadi kemarin kau ke rumah Siti Martini itu?"
"Iya, mengambil barang-barang saya yang masih tertinggal di sana?"
"Kau bertemu dia dan setelah itu kau merasa jatuh cinta?"
Zul mengangguk malu. Ia seperti sedang dihakimi. Yahya malah tersenyum.
"Kau sedang terkena sihir Zul."
"Terkena sihir apa Mas?"
"Kau sedang terkena sihir nafsu syahwatmu. Aku bisa memastikan kau agak berlama-lama berbicara dengan dia. Aku yakin itu."
"Benar."
"Wajar."
"Maksudnya wajar, wajar bagaimana?"
"Setan telah menghiasi perempuan itu sehingga tampak olehmu pesonanya, keindahannya, auranya, kebaikannya dan lain sebagainya yang membuatmu cenderung kepadanya. Tahukah kau Zul, saya pun bisa lebih parah darimu. Bahkan seseorang yang kuat imannya jika berduaan dengan perempuan yang ia tahu perempuan ia berpenyakit sekalipun bisa luntur imannya. Bahkan bisa melakukan perbuatan nista dengan perempuan itu. Karena apa? Karena perempuan itu dirias dan dihiasi oleh setan. Ditambah nafsu yang ada dalam diri lelaki itu. Maka terjadilah apa yang seharusnya tidak terjadi."
"Jadi apa yang aku rasakan ini nafsu syahwat?"
"Betul. Jujurlah pada dirimu. Kau pasti telah melihat hal yang semestinya tidak kau lihat pada perempuan itu, iya kan?"
Zul malu mengakuinya.
"Ingat Zul seluruh tubuh perempuan yang sudah akil balig itu aurat kecuali muka dan tepak tangannya. Jika ia perempuan yang cantik, yang kecantikannya itu menarik lawan jenisnya maka mukanya juga jadi aurat yang harus ditutupi. Artinya tidak boleh dilihat. Jikalau engkau mencintai wanita karena melihat yang seharusnya ditutupi maka berarti kau ada nafsu dengannya. Yang bergerak dalam aliran darahmu dan syaraf-syarafmu itu adalah nafsu dan syahwat. Jika seperti itu, kau tidak jauh berbeda dengan ayam jago yang langsung mengejar ayam betina setelah melihat keelokan ayam betina."
"Tapi bukankah manusia hampir semuanya begitu Mas?"
"Ya benar. Maka tidak berlebihan jika para filosof menyebut manusia sebagai hayawanun nathiqun. Binatang yang berbicara. Manusia itu binatang, hanya saja ia bisa bicara. Bisa berkata-kata. Itulah definisi manusia yang hanya mengutamakan nafsunya saja. Nafsu jadi panglimanya. Nafsu jadi timbangannya. Dan nafsu itu tidak hanya nafsu pada perempuan saja. Termasuk juga nafsu pada kemewahan dunia.
Al-Quran menjuluki manusia yang seperti itu dengan kalimat:
'Mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.'13 Orang-orang yang dikendalikan oleh nafsunya adalah orang yang lengah. Orang yang tidak memiliki rusyd, atau kesadaran penuh. Orang seperti itu yang akan rugi di mana pun dia berada. Ia akan mudah dicocok hidungnya oleh setan untuk dijerumuskan ke dalam jurang kebinasaan dan kenestapaan."
"Terus bagaimana cara mencintai lawan jenis yang benar menurut Sampeyan?"
"Mencintai dengan timbangan fithrah dan bashirah. Mencintai dengan kesucian dan mata hati. Fithrah dan bashirah yang jadi timbangannya. Yaitu, jika kau mencintai wanita bukan karena tertipu oleh kecantikan paras wajahnya dan keelokan benruk tubuhnya. Bukan karena tersihir oleh matanya yang berkilat-kilat indah seperti bintang kejora. Bukan pula terpikat karena bibirnya yang ranum segar seperti mawar merekah. Juga bukan karena keindahan suaranya yang susah dilupakan. Bukan karena hartanya yang melimpah ruah. Bukan karena kehormatannya, yang kau akan jadi ikut terhormat karena menikahinya. Jika bukan karena itu semua kau mencintainya. Tapi kau mencintai dengan memakai timbangan fitrahmu, dan matabatinmu. Kau mencintai dia karena merasakan kesucian jiwanya dan agamanya, dan mata batinmu condong karena kecantikan akhlak dan wataknya. Hatimu terpikat karena harumnya kalimat-kalimat yang keluar dari lidahnya. Saat itu kau telah mencintai lawan jenis dengan benar."
"Tapi sulit rasanya Mas aku memakai timbangan fithrah dan bashirah. Hati ini sepertinya telah tertawan dan terbelenggu oleh sihir Mari."
"Ya aku tahu. Memang sangat susah membebaskan diri dari belenggu cinta syahwati. Aku bukannya tidak pernah mengalaminya, aku pernah mengalaminya. Dan aku nyaris binasa karenanya. Jika bukan karena rahmat Allah aku mungkin saat ini sudah hancur berbaur tanah di kubur."
"Bagaimana ceritanya Mas. Mungkin bisa jadi cambuk bagiku."
"Malu aku mengingatnya."
"Apa Sampeyan tidak kasihan padaku. Apa Sampeyan ingin aku binasa Mas?"
"Singkat saja ya. Saat itu aku masih kelas tiga SMA Al Islam Batu, Malang. Ayahku seorang lurah. Tahun itu ada rombongan KKN dari Unibraw, berjumlah sepuluh orang. Empat mahasiswa, enam mahasiswi. Tiga mahasiswi menginap di rumahku. Tiga lain di tempat Pak Carik. Dan empat mahasiswa menginap di Balai Desa. Di antara tiga mahasiswi yang menginap di rumahku itu ada yang membuatku tergila-gila. Sebut saja namanya F Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Aku coba tahan untuk menyimpannya dalam hati diam-diam. Aku tidak tahan. Akhirnya aku ungkapkan padanya. Ternyata dia menanggapi. Aku kirim surat cinta padanya. Dia membalasnya dengan surat cinta yang lebih romantis. Sebab dia sudah mahasiswi. Sudah jauh lebih berpengalaman.
Aku seperti buta. Aku sudah merasa dia adalah segalanya. Sampai tiba saat perpisahan, karena masa KKN-nya habis. Sebelum pergi ia berterus terang padaku, bahwa selama ini cuma main-main.
Sebenarnya dia sudah punya tunangan di SURABAYA.
Hatiku seperti dibetot dan kepalaku seperti dihantam palu godam. Aku langsung jatuh sakit. Dua bulan aku dirawat di rumah sakit. Aku bahkan sempat mencoba bunuh diri. Orang- orang menganggap aku sakit terkena santet. Aku seperti orang gila Zul. Itulah ceritanya Zul."
"Terus sembuhnya bagaimana Mas?"
"Akhirnya orangtuaku tahu juga masalahnya. Saat orangtuaku tahu gadis itu sudah menikah dan bekerja di Jakarta. Kakak perempuankulah yang dengan sabar menemaniku dan menguatkan aku. Karena sakit itu aku tidak bisa ikut ujian akhir. Aku benar-benar sembuh setelah aku dibawa ke sebuah pesantren.
Di pesantren itulah karena disibukkan dengan ibadah, zikir, olah raga dan lain sebagainya lambat laun, ingatanku akan F hilang. Dan sekarang aku baru menyesal, kenapa dulu aku bisa begitu bodoh dan tolol. Itulah Zul cinta yang semu sangat menyiksa dan menyakitkan."
Mendengar cerita Yahya, Zul merasa mendapat sedikit pencerahan. Namun cerita itu tidak juga bisa mengusir kuatnya pesona Mari yang menempel di dinding-dinding hatinya. Tapi dari pembicaraannya dengan Yahya ia memiliki seberkas cahaya yang menerangi gulitanya akal pikirannya karena diselimuti bayangan Mari.
***
Nun jauh di Subang Jaya sana. Mari merasakan hal yang tidak jauh berbeda dengan Zul. Bahkan lebih parah. Jika Zul didampingi Yahya, maka Mari tidak punya pendamping dan tempat untuk mengungkapkan gelisahnya. Teman-teman satu rumahnya sibuk bekerja dan ia pandang tidak bisa dijadikan tempat berbagi perasaan. Mari telah berulang kali menelpon nomor yang pemah diberikan oleh Zul kepadanya. Nomor itu adalah nomor Rizal. Karena hp Rizal hilang, maka usaha Mari menelpon Zul jadi sia-sia.
Mari hanya bisa berharap Zul datang lagi ke sana dan ia akan mengungkapkan perasaan cintanya kepada Zul. Ia sudah siap menerima apapun keputusan Zul. Menerimanya ataukah menolaknya. Jika Zul menerimanya, ia berjanji akan menjadi abdi bagi Zul selama hidupnya.
Ia merasa hanya Zul-lah yang paling berhak mendapatkan pengabdiannya.
Mari selalu mengingat perkataan Zul saat menanggapi ucapannya, "Mintalah apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa dan aku mampu memenuhinya."
Zul saat itu berkata, "Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia."
Kata-kata Zul itu seolah ia jadikan pedoman hidup. Ia berjanji pada diri sendiri untuk terus mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi wanita salehah yang sebenarnya. Ia mengawali dengan menutup rambutnya dengan jilbab. Jilbabnya modis. Cara berpakaiannya pun masih modis. Masih memakai celana jeans dan kaos ketat. Tapi ia terus berusaha. Ia rajin datang ke majelis taklim yang ia ketahui. Setiap ia mendapatkan tambahan ilmu agama, ia berusaha mengamalkan sebaik-baiknya. Berminggu-minggu setelah itu, ia masih terus berusaha menelpon nomor yang ia terima dari Zul, tapi tidak juga berhasil. Dan Zul tidak juga muncul, tidak pula menelpon. Ia tetap bertahan dan sabar. Ia tetap berusaha untuk sedekat mungkin dengan Allah. Sesuai dengan pesan Zul yang telah terpahat kuat dalam relung hatinya.
************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar