Kamis, 26 Juli 2012

Mahkota Cinta 9 - 10

Episode 9....

Dua bulan berlalu sejak Yahya mengajak Zul berbicara dari hati ke hati. Yahya berharap Zul bisa menemukan kesadaran prima dan semangat membaranya kembali seperti ketika awal-awal tinggal di flat itu. Namun harapan Yahya belum menjadi kenyataan. Kenyataannya Zul tetap banyak murung dan melamun. Tidak gesit dan semangat dalam bekerja, berusaha, dan belajar.

Seringkali Yahya menemukan Zul hanya tidur di kamar satu siang penuh, padahal ia yakin Zul ada jadwal kuliah dan kerja. Yahya biasanya mengingatkannya dengan bahasa sehalus mungkin, namun Zul seperti tidak mendengar apa-apa. Yahya beberapa kali menyarankan pada Zul jika memang harus mendapatkan Mari, kenapa tidak secara jantan menemui dan mengajaknya menikah. Obat paling mujarab untuk orang yang sakit karena cinta adalah menikah. Tapi Zul gamang dengan dirinya sendiri. Keraguan mengambil langkah telah membuatnya seperti orang yang kehilangan cahaya kehidupan. Keadaan Zul yang sedang sakit karena cinta itu menjadi perhatian dan keprihatian semua penghuni flat itu.

Pak Muslim merasa kuatir keadaan Zul semakin parah. Jika parah, maka bisa berpengaruh pada suasana rumah. Sudah dua bulan Zul tidak membayar uang sewa rumah. la minta dipinjami dulu. Namun ia bekerja tidak seserius dulu. Seolah bekerja seingatnya saja. 

Jika ingat bekerja, jika tidak ya tidak bekerja. Pak Muslim juga kuatir Zul tidak bisa mengikuti ujian semester depan jika sering bolos kuliah. Suasana rumah terasa mulai tidak nyaman. Maka Pak Muslim sebagai yang paling tua berinisiatif mempertegas sikap Zul. Jika ingin serius kuliah maka ia harus segera bangkit dan merubah sikap. Jika sudah tidak ingin kuliah, ia melihat Zul sebaiknya mencari tempat yang lain. 
Sebab kemalasan Zul bisa merusak situasi rumah yang selama ini nyaman dan kondusif untuk belajar.

Pak Muslim tidak mau perkataan najis satu tetes merusak kesucian air satu gentong terjadi di rumah itu. Dan tidak ada najis yang paling merusak kesucian umat yang ingin berprestasi kecuali kemalasan. Ia tidak mau Zul jadi najis itu. Zul harus diselamatkan. Jika Zul tetap memilih jadi najis itu maka ia harus disingkirkan agar tidak merusak kesucian semangat orang satu rumah.

Pagi itu setelah shalat Subuh Pak Muslim membangunkan Zul yang masih mendengkur di kamarnya.

Berbeda sekali Zul yang dulu dengan Zul saat itu. Zul saat awal-awal datang dulu sudah bangun sebelum Subuh tiba dan selalu di shaf pertama. Tapi Zul saat itu adalah Zul yang harus berkali-kali diingatkan dan dibangunkan baru shalat Subuh dengan wajah malas tanpa cahaya.
Begitu Zul selesai shalat Pak Muslim langsung memanggil Zul ke kamarnya. Dengan menunduk Zul masuk ke kamar dosen Universitas Negeri Yogyakarta yang mengagumi pemikiran-pemikiran Muhammad Iqbal.

"Duduk sini Zul!" Pak Muslim mempersilakan Zul duduk di kursi yang ada tepat di depannya. Setelah Zul duduk, Pak Muslim langsung menutup pintu kamarnya.
"Zul, sudah tiga bulan ini aku lihat kamu sangat berbeda dengan saat kau pertama datang. Apa sebenarnya masalahmu Zul?"
"M...tidak ada masalah Pak. Saya biasa-biasa saja."
"Zul kau masih ingin kuliah?"
"Ya tentu Pak."
"Kau sadar dengan yang kauucapkan?"
"Tentu saja sadar Pak."
"Bagus. Jika kau ingin tetap lanjut kuliah kau harus bangkit dan mengembalikan semangatmu. Cukup tiga bulan saja kamu sakit. Ingat Zul, setiap detik kau berada di Kuala Lumpur ini ada harganya. Dan kau harus membayarnya. Flat ini kita menyewa. Air yang kaugunakan untuk membersihkan dirimu saat buang air juga harus dibayar. Kau makan tidak gratis. Kuliah tidak gratis. Semua ada tagihannya. Jika kau terus malas dan murung seperti itu kau tidak akan bertahan hidup. Kalau pun kau tetap hidup kau tak lebih bernilai dari sampah. Sampah masih bisa didaur ulang. Tapi manusia yang telah mati sebelum mati jauh merepotkan daripada sampah.

"Aku ingin melihatmu berjaya. Meraih prestasi yang gemilang Zul. Sungguh aku sangat menginginkan itu. Aku akan membantumu semampuku. Itu jika kamu mau. Jika kamu tidak mau aku tidak berhak memaksamu. Kau lebih berhak menentukan jalan hidupmu.

'Aku tahu kau masih sakit. Hatimu masih dijajah oleh rasa cintamu pada wanita yang kaucintai itu. Ketahuilah Zul, tak ada dokter yang bisa menyembuhkanmu kecuali kamu sendiri. Sebagai orang tua, aku hanya bisa memberikan beberapa saran untuk kebaikanmu dan kebaikan kita bersama.
"Saranku yang pertama Zul, jika kamu ingin sukses dan berhasil lupakan wanita itu. Jodoh itu tanpa dikejar, tanpa dibuat bersakit-sakit seperti kau sekarang ini jika tiba saatnya akan datang juga. Jodohmu sudah ditulis oleh Allah. Kalau jodohmu memang wanita bernama Siti Martini itu ya nanti Allah pasti akan mempertemukan kamu dengan dia. Tapi jika jodohmu bukan dia, sampai kau minta banruan seluruh jin di jagad raya ini untuk membantumu mendapatkan dia ya kamu tidak akan mendapatkannya.

"Sementara ilmu dan prestasi juga amal ibadah. Jika tidak kauusahakan dengan serius tidak akan kauraih. Ilmu tidak bisa kauraih dengan tiduran dan malasmalasan. Prestasi dan kesuksesan tidak akan kauraih kecuali dengan pengorbanan penuh pikiran, tenaga dan perasaan. Kalau perlu bahkan nyawa. Tak ada dalam catatan sejarah ada orang sukses hanya dengan melamun, tidur, dan banyak angan-angan seperti yang kaulakukan tiga bulan ini. Tak ada seorang juara di bidang apapun kecuali ia pasti seorang pejuang yang ulung. Kalau ingin mendapatkan ilmu yang cukup, berprestasi dan hidup sukses kau harus bangkit, bersemangat, memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan gigih berjuang. Itulah jalannya orang-orang yang sukses.

"Zul, godaan wanita adalah godaan utama orang mencari ilmu. Dan fitnah perempuan adalah salah satu fitnah yang sangat dikuatirkan oleh Nabi akan melumpuhkan umatnya. Bahkan saat Nabi berdakwah di Makkah, di antara hal yang ditawarkan orang-orang kafir Quraisy untuk membujuk Nabi agar menghentikan dakwahnya adalah dengan mengiming-imingi Nabi akan dinikahkan dengan wanita paling cantik di Arab. Tapi Nabi menolaknya.
"Zul, siapa pun yang kasmaran, siapa pun yang jatuh cinta seperti kamu saat ini. Maka akal, pikiran dan perasaannya akan terus terfokus untuk mendapatkan yang dicintainya. Jika keadaan seperti itu terus berlarut, maka kewajiban-kewajibannya, tugas-tugas utamanya akan segera terlupakan. Dan saat itu hanya tinggal menunggu datangnya kebinasaan.

"Sudah tidak terhitung lagi jumlahnya pelajar dan mahasiswa yang gagal karena skandal cinta. Tidak terhitung jumlahnya pemimpin besar dunia yang terpuruk karena skandal cinta. Apakah kau mau menambah panjang daftar itu dengan memasukkan namamu.

"Penuntut ilmu jika jatuh cinta pada lawan jenisnya, maka ilmu itu tidak akan bisa melekat pada akal, pikiran dan hatinya. Sebab akal, pikiran dan hatinya telah dikotori oleh bayangan semu kekasih hatinya. Ada pujangga Arab yang menulis sajak begini Zul,
Jika aku sedang sibuk dengan gadisku Yang parasnya laksana cahaya pagi Maka aku enggan memikirkan yang lain

"Maka, aku ulangi lagi saranku yang pertama,

jika kamu ingin sukses dan berhasil lupakan wanita itu. Saat ini berkonsentrasilah sepenuhnya untuk menuntut ilmu. Jika ia jodohmu selesai S.2 aku doakan semoga bertemu. Dan bertemu dalam keadaan yang paling baik dan paling barakah. Jika dia tidak jodohmu, semoga kau dianugerai jodoh yang lebih baik dalam segalanya dari wanita itu."

Zul diam saja di tempatnya. Ia tidak membantah, juga tidak mengiyakan. Tapi ia mendengarkan dengan seksama. Pak Muslim jarang sekali bicara serius seperti ini. Jika Pak Muslim bicara seperti ini artinya masalah yang terjadi memang sudah parah.

Pak Muslim mengambil nafas sebentar lalu melanjutkan, "Saranku yang kedua Zul,

jika kau tidak bisa mengikuti saranku yang pertama,

Aaku sarankan kau untuk mendatangi wanita itu secara jantan. Dan nikahi dia. Luapkan seluruh cintamu padanya. Dan hiduplah dalam keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Menikah itu jauh lebih baik daripada kau hanya memikirkan dia siang malam sampai sayu seperti mayat hidup.

"Jika kau memilih saran yang kedua ini, aku akan membantumu semampuku. Aku akan meminjami modal untuk pernikahanmu semampuku. Aku bersedia mengantarmu menemui wanita itu, juga bersedia membantumu menemui keluarganya. Dan jika ini yang kauambil, aku minta kau jangan berhenti kuliah. Tetaplah lanjutkan kuliah. Hiduplah sehemat mungkin. Tetaplah bertahan sampai lulus. Kau harus lebih giatbekerja dan berusaha. Sebab kau tidak hanya menanggung beban hidup dirimu sendiri, tapi juga menanggung orang lain.

"Jika saranku yang kedua juga tidak bisa kauikuti, maka aku punya saran ketiga,

yaitu ya terserah kamu. Hiduplah sesukamu. Terus seperti sekarang juga boleh. Tapi dengan memohon pengertiannya aku minta kau meninggalkan rumah ini. Bukan kami tidak sayang dan tidak menghargai kamu. Sama sekali tidak. Kami menghargai kamu, dan cara hidupmu. Tapi perlu kamu ketahui juga, cara hidupmu yang hanya malas-malasan, banyak melamun dan berangan-agan itu dapat meracuni kesehatan lingkungan rumah ini. Cara hidupmu yang mulai tidak memikirkan membayar flat adalah cara hidup orang yang tidak bertanggung jawab. Itu dapat merusak rasa saling percaya yang telah tercipta dengan indah di rumah ini. Jika kau pilih saran yang ketiga ini, kami akan membantumu mengangkatkan barangbarangmu, juga akan membantumu menemukan tempat yang kauanggap cocok bagi cara hidupmu. Kau masih boleh bermain ke sini, tapi tak bisa tinggal di rumah ini.

"Itulah Zul, tiga saran yang bisa aku sampaikan kepadamu. Kau bisa memilih salah satunya. Dan kami tidak keberatan sama sekali yang mana yang kamu pilih.

Tapi jika boleh berharap saya pribadi berharap kaupilih yang pertama. Maafkan aku jika harus berlaku tegas padamu. Untuk sebuah kebaikan ketegasan tidak ada salahnya dilakukan. Dan ini pun terpaksa aku lakukan setelah melihat perkembanganmu yang tidak juga menunjukkan ada perbaikan."

Setelah menyampaikan tiga saran itu, bisa juga disebut tiga opsi untuk Zul,

Pak Muslim diam menunggu reaksi Zul. Keheningan menyelimuti kamar itu sesaat lamanya. Zul tampak sedang mengolah saran Pak Muslim yang diseganinya itu. Pak Muslim yang selama ini sangat baik padanya. Bahkan, ia masih punya hutang beberapa ratus ringgit kepadanya untuk membeli sepeda motor butut, dan Pak Muslim tidak pernah menyinggungnyinggung hal itu sama sekali.

"Begini Pak," Suara Zul memecah keheningan. Pak Muslim langsung mengangkat mukanya dan menatap Zul penuh perhatian.

Zul merubah sedikit posisi duduknya lalu menyambung perkataannya,

"Saya minta maaf dan saya menyesal sekali jika kelakuan saya selama ini buruk. Dan itu membuat tidak nyaman rumah ini. Saya akui Pak, saya sedang tidak stabil. Saya berterima kasih sekali atas kesabaran Pak Muslim dan teman-teman selama ini. Saya juga berterima kasih atas saran-saran Pak Muslim. Saya telah menimbang ketiga saran itu. Terus terang saran yang pertama saya rasakan akan berat bagi saya. Saya kuatir saya akan semakin jatuh, semakin tidak bisa menahan perasaan yang mendera hati ini.

Adapun saran yang ketiga, saya juga berat menerimanya, sebab saya masih tetap ingin menjadi orang baik dan sukses Pak. Saya bersyukur bertemu dengan orang seperti Bapak dan teman-teman yang masih mau mengingatkan dan menasihati. Jika saya pilih yang ketiga, saya rasa saya akan binasa. Dan jika saya terus begini, Bapak benar, saya akan binasa.

"Maka saya memilih saran yang kedua Pak. Lebih baik saya menikah saja dengan gadis itu. Dia masih gadis Pak. Dan baik hatinya."
Pak Muslim mengangguk-anggukkan kepala.

"Jadi kau benar-benar akan menikahi dia?"
"Iya Pak."
"Kau mantap?"
"Mantap Pak. Toh sudah saatnya saya menikah. Sekarang atau besok sama saja, saya harus menikah."
"Kau siap dengan segala risikonya?"
"Siap Pak. Mas Yahya sudah memberikan gambaran yang jelas. Bapak tadi juga menambahkan penjelasan. Saya harus bagaimana jika menikah?"
"Bagus! Itu baru lelaki! Kalau begitu kau harus semangat, kau akan menikah Zul! Kau akan jadi suami! Kau akan jadi kepala rumah tangga! Kau akan jadi ayah! Ayo semangat!"

"Iya Pak! Saya akan bangkit! Saya akan semangat!"

"Bagus! Kenapa tidak begird sejak dulu-dulu itu Zul, hah!?"

"Jadi Bapak benar-benar mendukung saya menikahi dia?"
"Menikah kan baik, kenapa tidak saya dukung. Sudahlah, kapan kau akan menemui dia, aku akan menemani kalau perlu. Dan kapan kau akan melamarnya?"

"Bagaimana kalau aku temui dia besok Pak?"

"Bagus semakin cepat semakin bagus! Sekarang kau harus melihat kembali jadwal-jadwalmu. Harus kautata. Jadwal kuliahmu. Jadwal kerjamu dan lain sebagainya."

"Iya Pak. Baik!"

"Besok ya berangkat menemui dia?"
"Iya Pak."

"Jam berapa Zul."

"Pagi-pagi saja Pak sebelum jam delapan. Dia biasa berangkat kerja jam delapan."

"Baik. O ya sebaiknya kau telpon dia dulu. Agar dia tidak pergi."

"Baik Pak."

Pak Muslim gembira melihat Zul kembali ceria. Orang jatuh cinta memang begitu. Jika harapan bertemu dengan yang ia cintai datang ia akan hidup pcnuh semangat dan harapan. Zul sendiri merasakan matahari kehidupannya yang selama ini redup kini kembali bersinar terang.
Zul langsung turun ke bawah mencari wartel. Satu wartel telah buka, ia langsung menghubungi nomor Mari. Berulang kali nomor itu ia hubungi namun tidak bisa nyambung. Ia agak kecewa. Ia kuatir Mari ganti nomor. Ia juga menyesal kenapa selama ini ia ragu-ragu dan gamang setiap kali mau menghubungi nomor Mari. Tiga bulan lebih, sejak kejadian percobaan pemerkosaan di rumah Mari itu, ia tidak berhubungan dengan Mari.

Ia kuatir Mari telah pindah rumah. Tapi ia yakin Mari akan mudah dicari. Jika pun pindah rumah, teman-teman Mari pasti masih ada yang tinggal di situ.
Sorenya Zul kembali mencoba mengontak nomor Mari, tapi tidak berhasil juga. Berkali-kali operator seluler menjelaskan nomor itu sedang tidak aktif. Zul kembali ke flat dengan hati kecewa. Namun Zul tetap bersemangat besok pagi berangkat ke Subang Jaya untuk menemui Mari dan mengungkapkan isi hatinya.

Temanteman satu rumahnya mendukung langkah yang akan diambil Zul. Rizal bahkan siap membantu mencarikan rumah yang harga sewanya murah untuk pasangan keluarga. Yahya menyemangati Zul untuk bangkit dan tidak kehilangan semangat.

Malam itu, untuk pertama kalinya Zul tidur dengan dada terasa lapang. Dan malam terasa segar dan ringan. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang ia rasakan terasa sumpek dan berat. Terbitnya harapan yang terang dalam hati membuat hidup terasa ringan dan menyenangkan.

* * *

Pagi itu ia telah bangun sebelum azan Subuh berkumandang. Mengetahui hal itu Pak Muslim sangat bahagia. Zul agaknya mulai mendapatkan kembali nyawanya. Selesai shalat Subuh Zul dan Pak Muslim langsung meluncur dengan KTM ke KL Sentral. Dari KL Sentral mereka naik bus Rapid KL ke Subang Jaya.

Jam tangan Pak Muslim menunjukkan pukul 07.25 ketika mereka turun dari bus dan memasuki kawasan perumahan Taman Subang Permai. Hati Zul berdegup kencang ketika ia merasa semakin dekat dengan rumah Mari.
Sepuluh menit kemudian mereka telah sampai di depan rumah Mari. Zul agak terkejut. Rumah itu sepi. Dan di pintu rumah serta di pagar gerbang rumah itu ada kain kuning yang terbentang bertuliskan: For Sale/For Rent. Dan ada nomor telpon di bawahnya.

"Ini rumahnya Zul?"

"Iya Pak."

"Kauyakin."

"Tak mungkin salah Pak. Itu nomornya 8A."

"Berarti mereka telah pindah. Dan mungkin telah lama. Kaubaca kan rumah itu ditawarkan untuk dijual atau disewa."

"Iya Pak, terus bagaimana ini Pak?" kata Zul murung.
"Kau masih bersemangat untuk mencarinya?"

"Tentu Pak. Sampai ke ujung dunia pun kalau perlu."
"Wah kau ini, jawabanmu itu kayak lakon di film saja."

"Tapi aku harus menemukan dia Pak?"
"Gampang. Coba kita tanya tetangga sebelah. Siapa tahu mereka tahu ke mana pindahnya Siti Martini dan teman-temannya."
"Iya Pak."

Mereka berdua lalu bertanya pada tetangga sebelah kanan rumah itu. Yang mereka tanya seorang wanita Melayu setengah baya yang sedang menggendong anak kecil. Ketika Pak Muslim menanyakan perihal Siti Martini dan teman-temannya yang pernah tinggal di rumah No. 8A, wanita itu menatap penuh curiga.

Pak Muslim menangkap kecurigaan wanita itu. la menegaskan bahwa dirinya bermaksud baik, tidak ada maksud jahat.
Wanita itu malah masuk ke dalam rumah tanpa berkata apapun. Pak Muslim merasa ada yang tidak beres. Dua menit kemudian wanita itu keluar sambil membawa koran. la berikan koran itu pada Pak Muslim.

"Sila Encik bace berita itu baik-baik!" kata wanita itu. Pak Muslim membaca berita di koran yang ditunjukkan oleh wanita itu. Pak Muslim membaca dengan seksama dengan wajah dingin. Zul yang berdiri di sampingnya turut membaca. Baru membaca tiga baris Zul langsut berkata setengah teriak,

"Tidak mungkin! Tidak mungkin ini terjadi!"

Wanita itu memperhatikan Zul dengan wajah heran bercampur curiga.
Pak Muslim menuntaskan bacaannya sampai akhir.

"Tenang Zul, ini baca dulu sampai akhir baru kita pikir dengan jernih," kata Pak Muslim tenang.

Dan dengan mata berkaca-kaca Zul membaca berita yang membuat hatinya remuk redam. Dengan jelas ia membaca nama inisial Siti M yang turut ditangkap pihak polis. Selesai membaca berita di koran itu airmatanya meleleh. Dengan suara lirih tertahan ia berkata pada
dirinya sendiri,

"Sia-sia aku menolongnya. Sia-sia aku mencintainya."
Pak Muslim menukas pelan, "Tenang Zul. Sabar!"

"Seminggu yang lalu polis menangkap mereke. Mereke semua penghuni rumah itu. Mereke semua perempuan lacur. Mereke menjadikan rumah itu markas pelacuran. Sekarang mungkin sedang dibui. Kalau boleh tahu Encik berdua ini ada hubungan apa dengan mereke berdua ya?"


Pertanyaan wanita muda itu membuat Pak Muslim agak tergagap. Ia sempat bingung menjawabnya. Tapi spontan ia menjawab,

"Dia ini adiknya, salah satu kakaknya ada yang tinggal di rumah itu. Dia ingin mengetahui keadaan kakaknya."

"Aduh kasihan. Kakak awak sekarang di dalam bui. Ya tapi begitulah semestinya balasan untuk pelacur, perusak moral masyarakat."

Hati Zul semakin perih. Ia mengajak Pak Muslim segera pergi meninggalkan tempat itu. Matahari harapan yang sempat bersinar di dalam hatinya kini sama sekali padam. Pak Muslim mengerti dengan kesedihan Zul. Beliau membesarkan hati Zul dengan berkata,

"Ini skenario Allah yang terbaik Zul. Kau jangan malah lemah. Kau justru harus kuat. Sekarang fokuskan untuk belajar. Percayalah Allah akan memberimu ganti yang lebih baik. Percayalah!"

"Iya Pak, insya Allah ini jadi pelajaran sangat berharga bagi saya. Doakan saya ya Pak. Dan jangan bosan menasihati dan membimbing saya." Jawab Zul sambil menyeka airmatanya yang meleleh di pipinya.

********************************


Episode 10...

Sudah sepuluh jam Zul di Perpustakaan Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya. Sejak jam delapan pagi sampai jam lima sore. Matanya terasa berat. Kepalanya seperti berdenyut. Inilah hari kelima ia memenjarakan diri di perpustakaan. Empat hari sebelumnya di Perpustakaan Fakulti Pendidikan.

Hari ini ia berada di Perpustakaan Akademi Pengajian Islam untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan kecil penulisan ayat dan hadis. Ia menulis tentang pendidikan pesantren dan dampaknya terhadap kedewasaan berpikir masyarakat Indonesia. la menyempitkan wilayah kajiannya pada pesantren-pesantren di Pati. la sudah bertekad tesisnya harus selesai ia perbaiki dalam satu minggu. Para guru besar yang menilai tesisnya memberi catatan agar ia memperbaiki tesisnya dalam waktu satu bulan.
Perpustakaan Akademi Pengajian Islam itu telah sepi.

Di lantai dua hanya tinggal dirinya saja. Petugas perpustakaan telah mengumumkan dua puluh menit lagi perpustakaan tutup. Zul berdiri sejenak. Ia menggerakkan tubuhnya dengan memutar kedua tangan ke kiri dan ke kanan. Kepalanya ia jatuhkan ke kiri dan ke kanan. Setelah itu ia merapikan buku-buku yang baru saja ia baca. Kertas-kertas berisi catatan-catatan penting untuk memperbaiki tesisnya ia periksa sesaat. Lalu ia masukkan ke dalam map plastiknya. Setelah merasa tidak ada yang ganjil ia turun ke bawah.

Di bawah, keadaan sudah sepi. Yang ada adalah petugas perpustakaan empat orang dan dua orang gadis melayu yang juga sedang berkemas dan siap pergi. Che Mazlan, petugas perpustakaan paling ramah menyapanya dengan tersenyum,

"Sudah ketemu semua yang dicari Ustadz?"

Karena memakai kopiah putih Zul dipanggil Ustadz. Ia hanya menjawab dengan senyum dan menganggukkan kepala dengan ramah. Kepalanya mulai terasa pening. Ia berjalan ke tempat meletakkan tas. Mengambil tasnya. Memasukkan map plastiknya ke dalam tas. Dan melangkah keluar. Ia lihat jam tangannya.

"Ashar baru mau masuk."

la merasa harus segera mengisi perutnya yang sejak pagi hanya terisi sepotong roti canai dan segelas air putih. Ia bergegas turun ke tempat parkir. Sepeda motor tuanya begitu setia menunggunya. la ambil helm. Dan beberapa jurus kemudian dengan pelan namun pasti Honda butut itu membawanya meluncur ke kanlin kolej 12. Sore itu kantin kolej 12 padat pengunjung. Kantin yang dikenal paling murah di seluruh kawasan Univesiti Malaya itu begitu hidup. Padat bergairah, namun tetap rapi dan bersih. Ada lima belas cafe dan kedai. Sore itu semua buka.

Bisa dipastikan sembilan puluh sembilan persen pengunjungnya adalah mahasiswa. Termasuk dirinya. la memilih SR Cafe, atau Sila Rasa Cafe. la ambil nasi, sayur kangkung, ayam goreng dan sambal. Seorang penjaga SR Cafe berkerudung coklat muda bertanya,

"Minum apa Dik?"

"Teh O14 panas Kak." Jawabnya sambil meletakkan piringnya yang penuh nasi dan lauk. la memang mengambil nasi dengan porsi banyak. Sebab ia merasa sangat lapar. Sepuluh jam duduk serius di perpustakaan telah membuat tenaganya terasa terkuras habis.

"Berapa Kak? Tambah minum Teh O panas," tanyanya pada kasir.
"Empat ringgit dua puluh sen."

Ia keluarkan lima ringgit. Lalu kasir berwajah bulat berkerudung putih itu memberinya uang kembali. Tiga keping uang logam. Lima puluh sen, dua puluh sen, dan sepuluh sen. Total delapan puluh sen.

Zul melangkah mencari tempat yang kosong. Ia lemparkan pandangan matanya ke segenap arah. Hampir semuanya terisi. Di pojok sebelah kanan tampak sepasang mahasiswa China meninggalkan tempatnya.

Ia segera bergegas ke sana. Ia melangkah cepat. Jika tidak ia kuatir akan didahului orang lain. Piring bekas makan mahasiswa China ia singkirkan dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya masih memegang piringnya. Seorang petugas kantin agaknya tahu ketidaknyamanannya. Petugas itu dengan sigap langsung membersihkan meja itu. Ia letakkan tasnya di atas meja, lalu piringnya. Meja berwarna putih itu dikelilingi empat kursi alumunium. Ketika hendak menyantap ia teringatbelum mengambil minumannya. Ia kembali ke SR Cafe dan mengambil Teh O-nya. Mejanya masih utuh, belum ada yang menempati.

Zul mulai makan dengan lahap. Ia merasakan kenikmatan luar biasa.
"Hmm benar kata pepatah China, rasa lapar adalah koki paling hebat di dunia." Lirihnya pada diri sendiri.

Sesekali ia melongokkan kepala memandang ke kiri dan ke kanan. Melemparkan pandangan kalau-kalau ada mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Namun ia rasa agak aneh, sore itu dari sekian pengunjung tidak ada satu pun mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Bahkan si Edy, si
Gugun, si Rizal dan si Emil yang biasanya ada di kantin Kolej 12 pada jam seperti itu pun tidak ada. Ia terus makan. Seorang mahasiswi berwajah India hendak minta ijin untuk duduk di depannya. Tampaknya mahasiswi itu agak ragu. Mahasiswi itu tidak jadi duduk satu meja dengannya. Mahasiswi itu memilih mencari tempat yang lain.

Sambil makan ia tenggelam dalam lamunannya. Ia melamun tentang masa depannya. Selesai master ia harus bagaimana? Langsung pulang ke Indonesia dan mencari peluang kerja atau usaha, ataukah langsung saja melanjutkan studi mengambil program doktor? Kalau pulang ke Indonesia, di mana ia akan pulang? Ke tempat siapa? Ia merasa sudah tidak memiliki siapa-siapa. Sejak kecil ia tidak melihat ayah dan ibunya.

Menurut cerita Pakdenya, ibunya yang bodoh adalah korban penipuan. Ibunya kerja di sebuah pabrik di Semarang. Di tempat kerjanya ia kenal dengan seorang lelaki. Lelaki itu mengaku dari Lampung. Ibunya terpikat oleh penampilan dan mulut manis lelaki itu. Ibunya ikut saja ketika lelaki itu mengajaknya menikah secara siri.

Asal sah menurut syariat tapi belum dicatat secara resmi di KUA. Pakdenya sebagai wali satu-satunya tidak menyetujui. Pakdenya menginginkan kalau menikah ya menikah serius. Diumumkan terangterangan dan dicatat secara resmi di KUA. Namun lelaki itu beralasan, keluarga besarnya harus datang ke Demak jika nikah besar-besaran. Dan ia masih harus mengumpulkan biaya unruk itu. Nikah siri adalah solusi agar hubungan dua insan itu halal.

Ibunya yang sudah cinta mati pada lelaki itu mendukung nikah siri. Ibunya bahkan mengancam akan bunuh diri jika Pakdenya tidak merestui. Akhirnya Pakdenya terpaksa menikahkan ibunya dengan lelaki itu secara siri. Lelaki itu hidup satu rumah dengan ibunya selama dua bulan. Setelah itu ia pamit pergi ke Lampung untuk menjenguk keluarganya. Dan ternyata tidak kembali. Padahal saat itu ibunya tengah hamil. Pakdenya mencoba mencari lelaki itu di Lampung. Di alamat yang ada di KTP yang ditinggalkan di Lampung. Ternyata alamatnya fiktif. Ibunya stres. Kesehatannya menurun. Dan meninggal saat melahirkan dirinya.

Sejak itu ia ikut Pakdenya. Pakdenyalah yang ia sebut dengan panggilan ayah. Ia bahkan tidak tahu nama ayahnya. Ketika ia tanya sama Pakdenya nama ayahnya, Pakdenya memberikan KTP yang ditinggalkan ayahnya. Disitu tertulis sebuah nama. Tapi Pakdenya yakin nama itu pun fiktif, alias samaran. Ia merasa tidak punya ayah. Namun ia merasa sedikit tenang bahwa ia terlahir dari hubungan yang halal. Dengan menikah. Meskipun ayahnya menikahi ibunya dengan menipu.

Dengan tidak mengenal ayahnya sejak kecil ia merasa bahagia karena tidak mendapatkan didikan untuk menipu. Sejak kecil ia dididik oleh Pakdenya untuk jujur dan bertanggung jawab.

Selama ini yang ia anggap sebagai keluarga ya Pakdenya. Tapi Pakde yang bertalian darah dengannya sudah meninggal. Pakde yang telah ia anggap sebagai ayahnya sendiri itu telah tiada. Sebenarnya ia telah menganggap Budenya adalah ibunya sendiri. Namun setelah Budenya itu menikah lagi, ia merasa menjadi asing dan tidak enak jika ke rumah Budenya. Apalagi Budenya sudah tidak lagi menempati rumah yang dulu, tapi kini telah pindah ke rumah suaminya yang baru. Pindah bersama seluruh anak-anaknya. Rumah Budenya yang lama, tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya ia dengar telah dijual.

Jika ia hendak pulang ke Indonesia ia mau pulang ke mana? Ia merasa tidak punya siapa-siapa.

Dan jika ia terus lanjut program Ph.D, apakah ia akan hidup dengan cara seperti ini terus. Hidup dengan cara sapi perah. Hidup di Kuala Lumpur dengan tanpa mengenal istirahat. Hidup untuk bekerja sambil belajar. Itu yang ia rasakan. Jujur saja. Bisa saja ia mengatakan ia bekerja untuk hidup dan bekerja untuk belajar. Tapi ia merasa sepertinya telah diatur oleh waktu untuk bangun pagi, lari ke sana, lari ke sini. Bekerja di sana. Bekerja di sini. Waktu seolah telah memprogramnya begitu, agar ia bisa bertahan hidup. Seolah jika ia menyalahi program waktu itu, hidupnya terancam. Ia terancam tidak bisa membayar sewa rumah, terancam tidak bisa makan, terancam tidak bisa membayar uang kuliah, dan terancam tidak bisa menata hidup lebih layak di masa depan. Ia selalu berusaha menyembuhkan kelelahannya dengan menghibur diri: inilah proses merubah takdir. Kata-kata yang selalu ia gumamkan saat didera keletihan itulah yang menguatkannya.

Ia merasa sejak kecil ditakdirkan untuk menderita. Namun ia merasa Allah tetap menyayanginya. Ia yakin Allah telah menyiapkan banyak jalan dan sebab untuk merubah takdir. Ia yakin dengan usaha yang gigih Allah akan merubah takdirnya. Itulah yang menguatkan dirinya.

Namun seringkali ia berpikir, apakah dirinya telah tepat mengambil jalan dan sebab dalam mengubah takdir. Sejak lulus SMA di Sayung Demak, ia telah berusaha keras. Merantau ke Semarang, membanting tulang di Semarang. Sambil bekerja apa saja di Semarang ia berusaha tetap kuliah. Akhirnya selesai juga S.l-nya. Ia meraih gelar S.Pd. dari IKIP PGRI. Namun meraih gelar S.Pd. ia rasakan belum juga merubah nasibnya. Ia tetap harus bekerja sebagai penjaga parkir di Pasar Johar jika ingin tetap bisa makan. Ia bekerja bersama mereka yang bahkan hanya lulus SD. Ia bahkan sering dijadikan bahan olok-olokan oleh teman-temannya,

"Kalau hanya jadi tukang parkir ngapain kuliah sampai sarjana."

Ya ia sarjana, tetapi bosnya hanyalah lulusan SD. Ia lalu berpikir untuk hijrah. Pindah. Mencoba peruntungan baru. Hijrah dari satu takdir ke takdir yang ia anggap lebih baik. Ia nekat ke Jakarta.Di Jakarta ia merasa tidak mendapatkan apa yang ia cari. Sama saja. Ia masih tetap menjadi buruh kasar. Ia merasa tak ada gunanya ia kuliah. Hanya empat bulan ia bertahan di Jakarta. Ia lalu nekat merantau ke Batam. Banyak yang bercerita Batam adalah cara cepat merubah nasib. Di Batam banyak pekerjaan dan banyak uang. Di Batam ia merasa menemukan takdir yang tak jauh berbeda. Namun ia merasa harus bersyukur, di Batam ia bertemu dengan seorang sosok yang tulus. Namanya Pak Hasan.

Dialah orang yang mengarahkannya merantau ke negeri Jiran ini dan menyemangatinya untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi.

"Kamu masih muda, seberangilah lautan ini. Dan tuntutlah ilmu ke jenjang yang lebih tinggi di sana. Hanya dengan ilmulah seseorang akan lebih mudah memperbaiki nasibnya. Jangan kuatir, Allah akan membukakan pintu rahmat-Nya untukmu. Di sana, asal adik gigih dan terus ingat Allah, kamu akan tetap survive. Percayalah kamu akan sukses. Percayalah dengan ilmu derajatmu akan diangkat oleh Allah! Dan dalam setiap langkahmu, berpegangteguhlah kamu pada Al-Quran, niscaya kamu akan sukses!"

Begitu kata Pak Hasan padanya waktu itu, seraya memberikan mushaf kecil Al- Quran.

Ia merasa tak boleh berhenti untuk merubah nasib. Ia harus terus berusaha. Dan dengan modal seadanya, dengan nekat yang disertai sebuah tekad ia merantau ke negeri Jiran ini. Dengan berdarah-darah ia akhirnya bisa tetap hidup dan bisa kuliah pascasarjana. Dan kini ia sudah diambang pintu kelulusan. Tak lama lagi ia akan menyandang gelar M.Ed, atau Master of Education dalam bidang Sosiologi Pendidikan. Gelar yang keren.

Di desanya, ia mungkin satu-satunya orang yang meraih gelar M.Ed, dari sebuah universitas terkemuka di luar negeri. Menyadari kenyataan itu bukannya ia bangga, justru dadanya kini sesak.

Ia memang bahagia lantaran ia akan segera lulus S.2. Keseriusannya memfokuskan diri pada kuliah dan kerja—usai membaca berita tentang penangkapan Siti Martini dan kawan-kawannya—telah menampakkan hasil. Ia hanya perlu waktu empat semester saja untuk menyelesaikan S.2-nya. Satu bulan lagi, begitu tesisnya ia perbaiki bisa dikatakan ia telah berhasil meraih gelar master.

Namun ia merasa ada yang menyesak di dadanya. Ia merasa masih juga hidup dengan cara bertahan dengan kekuatan otot. Ilmu Sosiologi Pendidikannya ia rasakan belum juga bermanfaat baginya. Yang paling akrab dengannya masih juga kerja-kerja yang mengandalkan otot. Belum kerja profesional yang mengandalkan otak.

Jika ia hitung, rata-rata ia harus bekerja dua belas jam setiap hari. Dan ia harus menempuh jarak tak kurang dari dua puluh kilo setiap hari. Selesai kuliah setiap malam ia harus tiba di Jamaliah Cafe tepat jam sembilan malam dan pulang jam dua malam. Di antara sekian pelayan restoran hanya dia seorang yang calon master. Rata-rata mereka hanya tamat SMA.

Sedangkan sang pemilik restoran hanya lulusan D2 dari sebuah institut tidak terkenal di Shah Alam.

Ia bertanya pada diri sendiri, apakah jika ia melanjutkan Program Ph.D., ia juga akan tetap seperti ini. Bertahan dengan cara seperti ini. Bahkan ketika telah meraih gelar Ph.D. juga akan tetap bertahan hidup dengan cara seperti ini. Dan jika ia pulang ke Indonesia dengan gelar doktor, akankah ia tetap akan bekerja sebagai kuli panggul di pabrik atau kerja otot lainnya? Atau, ia justru akan masuk dalam daftar panjang para pengangguran yang hidup tak mau mati pun segan? Ia teringat kata-kata Doktor Nyatman, salah satu putra terbaik Indonesia yang kini bekerja di sebuah perusahaan farmasi di Selangor,

"Di Indonesia, doktor yang menganggur sudah mulai banyak. Bahkan doktor yang memiliki kualifikasi keilmuan yang hebat sekalipun. Banyak putera bangsa yang berprestasi, bisa menyelesaikan doktor dan memiliki prestasi gemilang bertaraf internasional tapi sama sekali tidak diapresiasi di Tanah Air. Saya punya kenalan seorang doktor lulusan Jepang yang cemerlang dan mendapat banyak penghargaan internasional atas riset-risetnya yang brilian, namun sama sekali tidak dihargai di Indonesia. la melamar ke pelbagai universitas negeri di Indonesia dan tak ada satu pun yang menerima. Di Indonesia penjilat dan penjahat lebih dihargai daripada ilmuwan dan pahlawan."

Ada nada marah dan pesimis dalam kata-kata Doktor Nyatman. la merasakan Doktor Nyatman seolah-olah menjaga jarak dari Indonesia. Bahkan seolah-olah sudah merasa bukan lagi orang Indonesia. la mengatakan orang Indonesia dengan sebutan "mereka", dan menyebut pemerintah Indonesia dengan sebutan "pemerintah mereka", bukan pemerintah kita. Karena ia hidup di Malaysia, apakah ia merasa lebih nyaman menjadi orang Malaysia dan tidak lagi merasa menjadi orang Indonesia?

Ataukah ia sudah malu menjadi orang Indonesia? Kenapa Doktor Nyatman menyampaikan itu semua kepadanya? Apakah supaya dirinya takut hidup di Indonesia? Ataukah supaya dirinya benar-benar siap menghadapi beratnya tantangan hidup di Indonesia? Atau bukan itu semua, tapi hanya sebuah ungkapan kejengkelan seorang putra bangsa yang disia-siakan oleh bangsanya sendiri, sampai ia harus mengais sesuap nasi di negeri orang. Padahal gelar doktor dari Jerman telah ia sandang.
Jawabnya: Allahu a'lam.

Yang jelas ia sedang berpikir keras, bagaimana takdir hidupnya segera cepat berubah. Ia merasa sudah terlalu lama ia bersabar mati-matian berproses untuk membuka lembaran hidup yang lebih baik. Yang ia pikirkan apakah ia salah mengambil sebab dan jalan yang disiapkan Tuhan? Kenapa ada orang yang hanya cukup bekerja empat jam saja, di dalam tempat yang nyaman pula, dan hajat hidupnya tercukupi semua.

Bahkan berlebih dan bisa membantu dan menolong sesama. Bangun pagi tersenyum, siang tersenyum, malam tersenyum dan tidur pun tersenyum. Kenapa ada negara yang benar-benar mandiri, bisa memakmurkan rakyatnya dan menjaga kehormatan bangsanya di mata dunia? Negara itu kecil, tidak memiliki kekayaan alam apa-apa. Tapi ia bisa mengendalikan negara sekitarnya bahkan memanfaatkannya. Sementara itu di sisi lain, ia lihat sendiri—bahkan ia mengalami sendiri—ada orang yang nyaris hidupnya ia gunakan untuk bekerja. Ia bekerja nyaris dua puluh empat jam penuh, namun ia tetap juga sengsara. Hidupnya nyaris tak pernah bahagia. Padahal ia ulet luar biasa.
Ah, ia jadi teringat para petani di desanya. Ia teringat Kang Darsuki. Betapa luar biasa etos kerjanya. Ia selalu bangun jam tiga pagi, jauh sebelum Subuh. Membantu menyiapkan dagangan sang isteri untuk dijual ke pasar. Saat Subuh tiba ia dan isterinya telah berada di pasar. Ia shalat Subuh di pasar. Lalu bergegas pulang, sementara sang isteri berjualan hasil ladang di pasar. Setelah mengurus anaknya yang masih SD, ia langsung ke sawah. Ia biasanya bekerja di sawah sampai jam setengah lima sore. Malam harinya ia gunakan untuk bekerja membuat kursi. Selain sebagai petani ia juga dikenal sebagai seorang pembuat kursi. Namun sampai ia meninggal dunia karena penyakit typus akut, rumahnya masih berdinding bambu dan beratap seng bekas. Dan belum memiliki kamar mandi dan WC yang layak.
Di mana letak salahnya?

Kenapa petani Indonesia seolah harus terus miskin, sementara petani dari negeri Jiran saja bisa makmur dan menyekolahkan anaknya ke London? la lalu teringat pada dirinya sendiri. Kenapa ia yang sebentar lagi selesai master masih saja menggantungkan hidup dari mencuci piring di cafe dan restoran, sementara temannya dari Pahang yang juga calon master sudah memiliki dua perusahaan, dan satu kebun kelapa sawit seluas seribu hektar di Sumatera. Ya di Sumatera, Indonesia. Bukandi Melaka Malaysia.

* * *

"Maaf Bang, boleh saya duduk kat sini?" Suara seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Ia memandang ke arah suara. Seorang gadis Melayu berdiri di depannya. Tangan kanannya memegang piring berisi makanan dan tangan kirinya memegang gelas berisi minuman berwarna cokelat. Bisa susu cokelat atau Milo. Bisa juga teh tarik.

"Em...silakan." Jawabnya sambil mengambil tasnya dari atas meja dan meletakkannya di atas kursi yang ada di samping kanannya.

Gadis itu langsung meletakkan piring dan gelasnya di atas meja. Gadis itu tidak membawa tas. Dengan gerakan yang lembut gadis itu duduk lalu makan. Gadis itu makan dengan menunduk. Ia tidak mempedulikan sama sekali gadis di hadapannya itu. Ia melanjutkan melahap nasi dan lauk yang masih tersisa di piringnya.

Setelah nasinya habis, ia meneguk teh O panasnya teguk demi teguk. Ia merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya. Kehangatan itu juga mengaliri syarafsyaraf kepalanya. Dan perlahan rasa peningnya memudar dan hilang.

Tanpa terelakkan ia sempat juga memperhatikan gadis di depannya, yang sedang lahap makan. Gadis itu memiliki tahi lalat di dagu sebelah kiri. Paras wajahnya memancarkan pesona khas gadis Melayu. Baju kebaya panjang berwarna biru muda membalut tubuhnya. Ia
tidak memakai jilbab. Rambutnya tergerai sebahu. Rambut itu hitam pekat dan berkilau indah.

Zul merasa ada yang janggal dengan cara makan gadis itu. Gadis itu makan dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya ia gunakan untuk memegangi hand phone yang ia tempelkan ke telinga kanannya. Bahkan ketika sudah selesai bicara pun gadis itu tetap makan dengan tangan kiri dan tangan kanannya dibiarkannya tidak bekerja. Ia merasa harus meluruskan kejanggalan itu.

"Maaf Dik, boleh saya cakap sesuatu," katanya tegas pada gadis itu.
Gadis itu menghentikan makan dan memandang ke arahnya. Gadis itu menganggukkan kepala mengiyakan.

"Adik seorang Muslimah?"

Gadis itu kembali menganggukkan kepala.

"Maaf, ini hanya pelurusan kecil saja. Agar makan dan minum adik benar-benar barakah, sebaiknya adik makan dan minum memakai tangan kanan. Tidak memakai tangan kiri. Itu cara minum yang tidak disukai Rasulullah Saw. Maaf saya tidak bermaksud apa-apa kecuali kebaikan."
Muka gadis itu sedikit memerah.

"Terima kasih atas nasihatnya. Tapi kenapa Abang pedulikan saya? Apa Abang tidak punya urusan yang lebih penting?"

Agaknya gadis itu tersinggung.

"Sekali lagi maafkan saya Dik, jika ini mengganggu kenyamanan adik. Saya tidak bermaksud apa-apa. Hanya entah kenapa saya merasa hati ini tidak bisa diam setiap kali melihat ada sesuatu yang kurang pas. Sekali lagi maafkan saya, saya hanya ingin cara makan adik sesuai dengan sunnah Rasul. Itu saja. Tak ada maksud lain. Itu pun kalau adik berkenan."

Zul bangkit dari kursinya dan bergegas ke sepeda motornya yang terparkir tak jauh dari tempat makan. la sama sekali tidak mempedulikan reaksi gadis itu. Yang ada dalam benaknya adalah segera sampai rumah. Istirahat sebentar. Mandi. Menunggu Maghrib. Dan selepas shalat Maghrib kembali memperbaiki tesisnya.

Malam nanti ia akan kerja lembur untuk tesisnya. la telah ijin tidak kerja di Cafe Jamalia. Dengan tenang Zul menaiki motor bututnya, dan melenggang meninggalkan kantin kolej 12. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa gadis Melayu itu terus memperhatikan dirinya sampai ia hilang dari pandangan gadis itu.

***********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar