Kamis, 26 Juli 2012

Nyanyian Cinta 3

“Oh siapakah yang mengambil bukuku? Untuk apa?”

Ia coba beranikan bertanya pada seorang mahasiswa yang biasa menjaga masjid. 

Mahasiswa itu tersenyum dan berkata “Mari ikut saya!”
Mahasiswa itu mengajaknya masuk ke ruang pengurus. Lalu mengambil sesuatu di rak. Sebuah buku.
“Inikah bukumu itu?”
“Benar.” Jawabnya dengan penuh suka cita.
“Ambilah, Saudaraku. Apapun yang berada di rumah Allah ini insya Allah aman.”
Ia sangat bahagia saat itu. Benar-benar bahagia. Ia seperti terlepas dari kesulitan besar. 

Saat ia memegang kembali bukunya ia merasa menjadi orang paling bahagia diatas muka bumi ini.
Ia berharap pemilik tas itu juga akan merasakan hal yang sama.

* * *



Hari berikutnya ia kembali kuliah. Dengan semangat. Dan seperti biasa mampir di masjid Ramsis untuk shalat Ashar. Usai shalat, pengurus masjid mengumumkan bahwa kemarin ditemukan tas hitam itu tergantung di kamar kecil. Jika ada yang merasa memiliki boleh menghubungi imam.
Ia mafhum bahwa pemilikinya belum mengambilnya. Namun ia sangat lega, dengan mendengar pengumum itu ia jadi sangat yakin bahwa orang-orang masjid sangat bisa dipercaya, sangat bisa diandalkan keamanahannya.

Usai shalat, ia bergegas ke kontrakannya. Ia ingin menggelar dagangan bukunya. Bakda Maghrib ada pengajian Syaikh Sya’rawi. Biasanya jamaah membludak. Semoga di antara mereka ada yang berminat membeli buku dagangannya, terutama buku-buku yang ditulis Syaikh Sya’rawi yang dikenal sangat merakyat dan dalam ilmunya.
Begitu sampai kontrakan. Ia langsung mandi. Cepat sekali. Ganti pakaian. Pakai minyak wangi pemberian Rahmi, teman karibnya satu kampus yang suka jual minyak. Dua kardus besar ia letakan di kedua bahunya. Sebuah tikar plastik ia selipkan antara kardus dan kepalanya. 

Terasa sangat berat. Tapi inilah hidup. Inilah jihad. Dan jika sudah terbiasa jadi terasa ringan-ringan saja.
Ia turuni tangga. Sebab kamarnya ada di lantai tiga.


Lalu berjalan melewati lorong-lorong sempit. Menyusuri trotoar.
Melewati deretan gedung perkantoran. Sampai di depan Bank Ahli iaturunkan kardusnya. Ia kelelahan.Setelah cukup ia lanjutkan perjalanan. Menyeberang jalan. Sebuah sedan merah melajukencang. Nyaris menyerempet kaki kanannya. Ia beristighfar sementara sopir sedan mengumpat-umpat tidak karuan.
Empat menit kemudian ia sampai di tujuan. Trotoar depan masjid El FathRamsis. Ia turunkan pelan-pelan dua kardusnya. Ia gelar tikar. Lalu ia tata dan ia susun buku dagangannya sedemikian rupa.
Demikian juga kaset-kaset dan majalah. Buku-buku Syaikh Sya’rawi ia susun semenarik mungkin di bagian paling depan. 

Sehingga tampak menonjol dan memikat hati yang melihatnya.

Senja mulai pekat. Langit memerah di sebelah barat. Lampu-lampu kota mulai menyala.
Orang-orang mulai deras berdatangan. Hatinya riang. Sudah delapan buku yang terjual.
Semuanya buku fatwanya Syaikh Sya’rawi. Keuntungan masing-masing buku tiga pound.
Sebelum Maghrib ia sudah dapat dua puluh empat pound.
Ia tersenyum.
“Alhamdulillah ya Rabb.” Pujinya pada Tuhan yang memberi rejeki.
Ia lalu berharap jika Syaikh Sya’rawi tiap hari memberi ceramah di masjid Ramsis. Atau ada seratus ulama seperti Syaikh Sya’rawi, dan semuanya menulis buku. Lalu semuanya memberikan ceramah masjid Ramsis, tempatnya menggelar dagangan.
Jika tiap hari ia bisa untung dua pukuhlima pound
saja, maka dalam satu bulan ia akan punya masukan paling tidak tujuh ratus lima puluhan pound. Dan itu sangat cukup untuk membayar sewa kamar, makan, ongkos bis, dan buku. Bahkan iabisa menargetkan kapan menikah. Ah kenapa ia tiba-tiba berpikir menikah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar