Hari berikutnya Mahmud menceritakan apa yang dialaminya dengan Tuan Ragab perihal tashitam kumal itu pada sahabat karibnya Ramhi. Dan Ramhi menanggapinya dengan emosi,“Emang sewa kamarmu sudah kau lunasi!?”
“Belum.” Jawab Mahmud.
“Kau sungguh bodoh! Sok suci! Sok ikhlas! Miskin tapi sok kaya! Apa sih beratnya menerima tanda terima kasih. Mungkin itu bisa jadi modal kamu usaha. Kamu itu sungguh manusia aneh. Bayar sewa kamar saja nunggak berbulan-bulan tapi sok malaikat. Sok tidak butuh uang. Dasar kolot, tolol, bahlul,primitif! Sini berikan padaku kartu namanya biar aku cari Tuan Ragab itu dan aku ambilkan bagianmu.”
Mahmud menggelengkan kepala.
“Kenapa tidak?!” Sengit Ramhi.
“Lelaki sejati tidak akan menjilat ludahnya!”
“Bah! Dasar pritimitif kolot! Jika kau masih mem-pertahankan kekolotan prinsip-prinsipmudi era global seperti ini, kau tidak akan survive! Kau akan binasa terlindas realitas!”
“Allah bersama orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Dengan muka kesal Ramhi meninggalkan Mahmud sambil bergumam,
“Semoga kau dapat petunjuk wahai manusia lugu yang kolot!”
* * *
Bumi terus berputar. Matahari terus terbit di timur dan tenggelam di barat.
Tak pernah berhenti. Hari berganti hari.
Setelah empat tahun kuliah Mahmud berhasil menyelesaikan kuliahnya di Fakultas dengan nilai mumtaz.
Ia terpilih sebagai terbaik pertama di angkatannya.
Selesai kuliah ia tidak pulang kampung, tapi mencoba bertahan di Cairo.
Ia sangat ingin lanjut pascasarjana. Namun ia merasa perlu kemapanan ekonomi.
Suatu hari di awal musim dingin ia pergi ke kampus.
ia kangen dengan kampus.
Ia ingin menemui beberapa teman satu angkatannya yang belum lulus sambil refresing menyegarkan pikiran.
Di pintu gerbang ia berpapasan dengan Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh. Mahmud menyalaminya dengan penuh takzim.
“Mahmud, sudah dua minggu ini aku mencarimu. Nanti jam satu siang datanglah ke ruang kerjaku.” Kata-kata Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh itu sangat menyejukkan hatinya.
Jika ia dicari-cari seorang guru besar yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya seperti beliau maka itu suatu keberkahan.
Suatu tanda akan datangnya kebaikan-kebaikan.
“Insya Allah, Doktor.” Jawabnya singkat.
Tepat jam satu kurang tiga menit ia masuk ruang kerja Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh dengan terlebih dahulu mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam. Duduklah Mahmud! Kau tepat waktu Mahmud. Aku senang.”
“Ada yang bisa saya bantu Doktor?”
“Begini Mahmud, aku mau bertanya padamu, mau tidak kamu mengamalkan ilmumu?”
“Tentu Doktor. Bukankah ilmu harus diamalkan?”
“Mau tidak kamu berjuang dan berdakwah?”
“Tentu doctor. Itu adalah kewajiban seorang muslim.”
“Rasanya aku tidak salah memanggil kamu. Begini, ada sebuah daerah di pelosok selatan Mesir yang sangat membutuhkan seorang dai. Maukah kamu diutus ke sana. Sebagai utusan resmi Al Azhar. Semua biaya Al Azhar yang menanggung. Kau juga akan dapat gaji. Kau tidak selamanya di sana. Hanya dua tahun. Setelah itu kau akan aku usahakan dapat beasiswa untuk lanjut S2. bagaimana?”
Mendengar penjelasan Prof. Dr. Abdul aziz Abduh, hati Mahmud gerimis.
“Belum.” Jawab Mahmud.
“Kau sungguh bodoh! Sok suci! Sok ikhlas! Miskin tapi sok kaya! Apa sih beratnya menerima tanda terima kasih. Mungkin itu bisa jadi modal kamu usaha. Kamu itu sungguh manusia aneh. Bayar sewa kamar saja nunggak berbulan-bulan tapi sok malaikat. Sok tidak butuh uang. Dasar kolot, tolol, bahlul,primitif! Sini berikan padaku kartu namanya biar aku cari Tuan Ragab itu dan aku ambilkan bagianmu.”
Mahmud menggelengkan kepala.
“Kenapa tidak?!” Sengit Ramhi.
“Lelaki sejati tidak akan menjilat ludahnya!”
“Bah! Dasar pritimitif kolot! Jika kau masih mem-pertahankan kekolotan prinsip-prinsipmudi era global seperti ini, kau tidak akan survive! Kau akan binasa terlindas realitas!”
“Allah bersama orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Dengan muka kesal Ramhi meninggalkan Mahmud sambil bergumam,
“Semoga kau dapat petunjuk wahai manusia lugu yang kolot!”
* * *
Bumi terus berputar. Matahari terus terbit di timur dan tenggelam di barat.
Tak pernah berhenti. Hari berganti hari.
Setelah empat tahun kuliah Mahmud berhasil menyelesaikan kuliahnya di Fakultas dengan nilai mumtaz.
Ia terpilih sebagai terbaik pertama di angkatannya.
Selesai kuliah ia tidak pulang kampung, tapi mencoba bertahan di Cairo.
Ia sangat ingin lanjut pascasarjana. Namun ia merasa perlu kemapanan ekonomi.
Suatu hari di awal musim dingin ia pergi ke kampus.
ia kangen dengan kampus.
Ia ingin menemui beberapa teman satu angkatannya yang belum lulus sambil refresing menyegarkan pikiran.
Di pintu gerbang ia berpapasan dengan Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh. Mahmud menyalaminya dengan penuh takzim.
“Mahmud, sudah dua minggu ini aku mencarimu. Nanti jam satu siang datanglah ke ruang kerjaku.” Kata-kata Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh itu sangat menyejukkan hatinya.
Jika ia dicari-cari seorang guru besar yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya seperti beliau maka itu suatu keberkahan.
Suatu tanda akan datangnya kebaikan-kebaikan.
“Insya Allah, Doktor.” Jawabnya singkat.
Tepat jam satu kurang tiga menit ia masuk ruang kerja Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh dengan terlebih dahulu mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam. Duduklah Mahmud! Kau tepat waktu Mahmud. Aku senang.”
“Ada yang bisa saya bantu Doktor?”
“Begini Mahmud, aku mau bertanya padamu, mau tidak kamu mengamalkan ilmumu?”
“Tentu Doktor. Bukankah ilmu harus diamalkan?”
“Mau tidak kamu berjuang dan berdakwah?”
“Tentu doctor. Itu adalah kewajiban seorang muslim.”
“Rasanya aku tidak salah memanggil kamu. Begini, ada sebuah daerah di pelosok selatan Mesir yang sangat membutuhkan seorang dai. Maukah kamu diutus ke sana. Sebagai utusan resmi Al Azhar. Semua biaya Al Azhar yang menanggung. Kau juga akan dapat gaji. Kau tidak selamanya di sana. Hanya dua tahun. Setelah itu kau akan aku usahakan dapat beasiswa untuk lanjut S2. bagaimana?”
Mendengar penjelasan Prof. Dr. Abdul aziz Abduh, hati Mahmud gerimis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar