Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan iman dalam dada ia mungkin telah memilih sirna dari dunia. Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan orang-orang seusianya.
Banyak yang memandangnya sukses. Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang terhormat dan bisa dibanggakan.
Bagaimana tidak, ia mampu meraih gelar master teknik dari sebuah institute teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia di percaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di universitas swasta terkemuka di ibukota Propinsi Jawa Tengah: Semarang.
Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi dikampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh keluarga dan para tetangganya.
Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi dikampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh keluarga dan para tetangganya.
Bagi perempuan seusianya, nyaris tidak ada yang kurang pada dirinya.
Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa sejatinya ia sangat menderita. Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir sebagai perawan tua yang belum juga menemukan jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria. Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengan sikap tenangnya. Ia terkadang menyalahkan dirinya sendiri kenapa tidak menikah sejak masih duduk di S.l dahulu? Kenapa tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian mencintainya sejak duduk di bangku kuliah itu mengajaknya menikah? Ia dulu memandang remeh Gugun. Ia menganggap Gugun itu tidak cerdas dan tipe lelaki kerdil. Sekarang si Gugun itu sudah sukses jadi pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya banyak dan anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga punya usaha Travel Umroh di Jakarta. Setiap kali bertemu, nyaris ia tidak berani mengangkat muka. Kenapa juga ketika selesai S.l ia tidak langsung menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S.2 di ITB Bandung? Padahal saat itu, temannya satu angkatan si Yuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios pakaian dalam di Pasar Bringharjo Jogja. Saat itu kenapaia begitu tinggi hati. Ia masih memandang rendah pekerjaan jualan pakaian dalam.
Sekarang kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu yang lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir, Krapyak. Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apas ebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak juga cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini berproses. Ia meneteskan airmata. Dulu banyak mutiara yang datang kepadanya ia tolak tanpa pertimbangan. Dan kini mutiara itu tidak lagi datang. Kalau pun ada seolah-olah sudah tidak lagi tersedia untuknya. Hanya bebatuan dan sampah yang kini banyak datang dan membuatnya menderita batin yang cukup dalam. Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah semata-mata prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya dan juga bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan ingin menjadi Muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari,semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang panjang yang menguji kesabarannya.
Umurnya sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik tingkatnya, bahkan mahasiswi yang ia bombing skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidak terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separo agamanya.Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang. Datang kepada orangtuanya untuk meminangnya. Iam asih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah angat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjaldan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia harapkan. Tapi bagaimana ia harus kembali memberikan pemahaman kepada ayah-ibunya yang sudah mulai renta?
Hand phone-nya berdering. Dengan berat ia angkat, "Zahrana?" Suara yang sangat ia kenal. Suara Bu Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, atau lengkap-nya Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I. Ia orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di Semarang, jadi logat Bataknya nyaris hilang. Bahasa Jawanya bisa dibilang halus. "Iya Bu Merlin." Jawabnya dengan airmata menetes di pipinya. "Saya dan rombongan Pak Karman sudah sampai Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai."
"Iya Bu Merlin." Jawabnya hambar, dengan suara serak.
"Suaramu kok sepertinya serak. Sudahlah Rana,bukalah hatimu kali ini. Pak Karman memiliki apa yang diinginkan perempuan. Dia sungguh-sungguh berkenan menginginkanmu."
"Iya Bu Merlin, semoga keputusan yang terbaik nanti bisa saya berikan."
"Baguslah kalau begitu. Gitu dulu ya. O ya jangan lupa dandan yang cantik." Klik. Tanpa salam. Kali ini yang datang melamarnya bukan orang sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas Teknik, orang nomor satu di fakultas tempat dia mengajar. Duda berumur lima puluh lima tahun. Status dan umur baginya tidak masalah. Sudah bertitel haji. Kredibilitas intelektualnya tidak diragukan. Materi tak usah ditanyakan.
Di Semarang saja ia punya tiga pombensin. Namun soal kredibilitas moralnya, susah Zahrana untuk memaafkannya. Repotnya, jika ia menolak ia sangat susah untuk menjelaskan. Ia harus berkata bagaimana.Ia telah membicarakan hal ini pada kedua sahabat karibnya. Si Lina, yang kini jualan buku-buku Islami di Tembalang. Dan si Wati yang kini jadi isteri lurah Tlogosari Kulon. Lina berpendapat untuk tidak mengambil risiko dengan menerima orang amoral seperti Pak Karman itu. Apapun titel dan jabatannya.
Moral adalah nyawa orang hidup. Jika moral itu hilang dari seseorang, ia ibarat mayat yang bergentayangan. Itu pendapat Lina. Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya ia tidak melangit. Mencari manusia setengah malaikat itu hal yang mustahil. Selama Pak Karman masih shalat dan puasa ya terima saja. Apalagi ia orang terpandang. Dan juga kesempatan seperti ini tidak selalu datang. Terakhir Wati bilang, "Siapa tahu dengan menikah denganmu, Pak Karman berubah. Dan di hari tuanya ia sepenuhnya membaktikan umurnya untuk kebaikan. Bukankah itu bagian dari dakwah yang agung pahalanya?"
Ia belum bisa mengambil keputusan. Kata-kata Wati selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ia nyaris memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman. Namun jika ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya diam-diam, ia tak mungkin memaafkan. Jika sudah demikian tiba-tiba wajah keriput kedua orangtuanya muncul dengan sebuah pertanyaan,
"Kowe mikir opo Nduk? Kowe ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?"
(Kamu mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan kamu menikah,Anakku?)
***
Lima menit sebelum rombongan Pak Karman datang, Zahrana berbicara kepada kedua orangtuanya. Ia minta kepada mereka pengertiannya jika ia nanti mengambil keputusan yang mungkin tidak melegakan mereka berdua. Diberitahu seperti itu kedua orangtuany amenangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali pasrah dalam kekecewaan. Namun mereka tetap berharap akan terjadi hal yang membahagiakan. Merekaberdoa, kali ini semoga keputusan putri semata wayang mereka lain dari sebelum-sebelumnya. Semoga hatinya terbuka. Segera menikah. Dan segera lahir cucu yang jadi penerus keturunan.
la meneguhkan jiwa, menata hati. la juga memprediksi gaya bahasa yang akan disampaikan pihak Pak Karman. Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk menjawab. la juga tidak lupa menyiapkan hidangan yang pantas untuk menghormati tamu. Ruang tamu telah ia rapikan. Bunga-bunga ia tata, dan sarung bantal ia ganti dengan yang baru. Tuan rumah harus bisa menjaga kehormatan. Dan ia kembali meneguhkan prinsipnya dalam menghadapi siapapun: harus tenang, bicara yang tepat, rendah hati dan santun. Itulah senjata para pemenang. Dan ia harus menang. Ia teringat perkataan Napoleon Hill,
"Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui kerendahan hati dan tidak banyak cakap."
Ia kini tampak tegar. Tak ada lagi airmata. Mental yang ia siapkan adalah mental seorang dosen pembimbing yang siap maju sidang membela mahasiswanya mempertahankan skripsinya. Ia sangat yakin akan kekuatannya.
Ia berdandan secukupnya. Ia pakai jilbab hijau muda kesayangannya. Sangat serasi dengan gamis bordir hijau tua bermotif bunga melati putih kecil-kecil. Hanya dirinya dan kedua orangtuanya yang akan menyambut. Ia merasa tak perlu mengundang para kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal yang tidak memuaskan hanya akan jadi gunjingan panjang tak berkesudahan. Ia tak ingin itu terjadi lagi. Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang sudah jadi. Yang tak ada ruang bagi mereka berbincang kecuali kebaikan. Kali ini yang ia undang justru dua orang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya selama ini.
Rombongan Pak Karman datang tepat jam setengah lima sore. Tidak main-main. Empat mobil. la harus mengakui kehebatan Bu Merlin mengorganisir ini semua. Juga keberhasilan Bu Merlin memprovokasi Pak Karman untuk nekat seperti ini. Ayah ibunya tampak kaget. Tidak menduga yang datang akan sebanyak ini dan seserius ini. Untung ruang tamu rumah orangtuanya cukup luas.
Hanya tiga orang yang tidak dapat tempat duduk. Terpaksa duduk di beranda.
la yakin tujuan Bu Merlin baik, hanya saja Bu Merlin tidak tahu visi hidupnya saat ini. Bukan sekadar materi dan kedudukan yang ia harapkan dari calon suaminya. la mencari calon suami yang bisa dijadikan imam. Imam yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam ibadahnya kala mengarungi kehidupan. Karena itulah posisinya benar-benar sulit kali ini. Bu Merlinlah yang selama ini banyak membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu memberi bocoran adanya lowongan dosen di kampusnya. Rombongan telah duduk tenang. Pak Karman menyukur bersih kumis dan cambangnya. Ia tampak lebih muda dari biasanya. Koko biru muda dan peci hitam membuatnya tampak alim. Seorang lelaki setengah baya,mengaku sebagai adiknya Pak Karman, namanya Pak Darmanto mengawali pembicaraan.
Unggah-ungguh dan basa-basi berjalan. Ia sendiri lebih banyak diam. Tak bicara jika tidak perlu bicara. Ibunya yang biasanya memang cerewet yang banyak mengimbangi bicara. Sesekali ada lelucon-lelucon yang menghangatkan suasana. Makanan dan minuman dikeluarkan oleh dua orang ibu-ibu yang rapi berkerudung
."Tape ketan ini dibuat oleh anakku, si Zahrana inid engan penuh cinta. Siapa yang memakannya insya Allah awet muda." Ibunya melucu sambil mempersilakan tamu-tamunya menikmati hidangan seadanya.
Mendengar hal itu spontan Pak Karman berkomentar dengan gaya lucu,"Sebelum yang lain mengambil saya dulu yang harus mencicipi. Agar awet muda dan bisa menyunting bidadari." Spontan perkataan itu disambut tertawa semua yang hadir, kecuali dirinya. Entah kenapa perkataan itu menurutnya tidak lucu. Perkataan itu seperti sampah yang hendak dijejalkan ke telinganya. Bagaimana mungkin ia hidup bersama orang yang suaranya saja tidak mau ia dengar. Lima belas menit basa-basi akhirnya Pak Darmanto, juru bicara Pak Karman, masuk pada inti kedatangan,
"...dan maksud kedatangan kami adalah untuk menyambung persaudaraan dan kekeluargaan dengan keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud menyunting putri Bapak Munajat, yaitu Dewi Zahrana untuk saudara kami Bapak H. Sukarman, M.Sc. Alangkah bahagianya jika maksud dan tujuan kami dikabulkan." Ayahnya menjawab dengan suara rentanya yang terbata-bata,
"Pertama....tama, ka...kami sekeluarga menyampaikan rasa terima kasih atas silaturrahminya. Kami juga bahagia. Bagi ka..kami lamaran ini adalah suatu bentuk penghormatan. Dan jika bisa kami akan membalasnya dengan penghormatan yang le..lebih baik. Namun masalah jodoh hanya Allah lah yang mengatur. Putri kami sudah sangat dewasa. Dia lebih berpendidikan daripada kami berdua. Dia bisa memutuskan sendiri mana yang baik baginya. Itu yang bisa kami sampaikan."
Masalah sudah jelas. Semua tamu melihat kearahnya. la tahu bola sekarang ada di tangannya. Dialahs ekarang yang paling berkuasa di majelis itu. la berusaha untuk tenang. Setenang ketika ia membantu argument mahasiswa yang dibelanya dalam sidang skripsi, "Saya pernah mendengar Baginda Nabi Muhammad Saw., pernah bersabda,
'Al 'ajalatu minasy syaithan. Tergesa-gega itu datangnya dari setanl'
Saya tidak mau tergesa-gesa. Saya tidak mau mengecewakan siapapun. Termasuk diri saya sendiri. Maka perkenankan saya untuk menjawabnya tiga hari ke depan. Saya akan langsung sampaikan kepada Pak Karman yang saya hormati. Maafkan jika saya tidak bisa menjawab sekarang."
Ada sedikit gurat kekecewaan di wajah Pak Darmanto dan Pak Karman. Namun keduanya tidak bisa bersikap apapun kecuali setuju. Bu Merlin tersenyum tanda setuju. Yang lain bisa memahami dan memaklumi.
Hanya Pak Munajat, ayahnya yang meneteskan airmata mendengar jawaban putrinya itu. Ia sudah tahu ke mana arah perkataan putrinya itu. Menjelang Maghrib rombongan itu pamit. Zahranal angsung ke kamarnya mengatur kata yang tepat untuk disampaikan pada Pak Karman. Ia tersenyum, dengan senyum yang susah diartikan.
***
"Kamu masih nunggu yang bagaimana lagi, Nduk? Pak Karman memang agak tua, tapi ia berpendidikan dan kaya. Dia juga bisa tampak muda." Kata ibunya yang sudah tahu keputusannya.
"Saya tidak menunggu yang bagaimana-bagaimana Bu. Saya menunggu lelaki saleh yang pas di hati saya.Itu saja." Jawab Zahrana.
"Lha Pak Karman itu apa masih kurang saleh. Dia sudah haji. Sudah menyempurnakan rukun Islam. Kita saja belum." Bantah ibunya.
Ia merasa, memang agak susah memahamkan ibunya bahwa kesalehan tidak dilihat dari sudah haji atau belum. Tidak dilihat dari pakai baju koko atau tidak. Tidak bisa dilihat dari pakai peci putih atau peci yang lainnya. Betapa banyak penjahat di negeri ini yang bertitel haji. Setiap tahun haji justru untuk menutupi kejahatannya. Atau malah berhaji untuk melakukan kejahatan di musim haji. Ibunya tidak akan nyambung dia ajak dialog masalah itu.
"Pokoknya menurutku Pak Karman masih kurang. Saya sangat tahu siapa dia, soalnya saya satu kampus dengannya. Nanti kalau ada yang cocok pasti saya menikah Bu." Begitu mendengar dari jawabannya ada perkataan "pokoknya", sang ibu langsung diam dengan raut muka sedih. Dalam hati ia istighfar jika telah melukai ibunya.
Tapi ia tidak mau asal menikah. Menikah adalah ibadah,tidak boleh asal-asalan. Harus dikuati benar syarat rukunnya. Meskipun ia tahu ia sudah jadi perawan tua yang sangat terlambat menikah, namun ia tidak mau gegabah dalam memilih ayah untuk anak-anaknya kelak. Zahrana masuk kamar dan menulis surat jawaban untuk Pak Karman dengan komputernya. Bahasanya tegas dan lugas:
::
Kepada
Yth. Bpk. H. Sukarman, M.S.cDi
Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb.Semoga Bapak senantiasa sehat dan berada dalam naungan hidayah-Nya.
To the point saja, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak, saya ingin menyampaikan bahwa saya belum bisa menerima pinangan Bapak. Semoga Bapak mendapatkan yang lebih baik dari saya. Mohon maklum dan mohon maaf jika tidak berkenan.
Wassalam,
Dewi Zahrana
::
la lalu menge-print surat itu dan memasukkannya ke dalam amplop putih. Ia akan minta bantuan seorang mahasiswanya untuk menyampaikan hal itu kepada Pak Karman besok pagi. Dan ia sudah berketetapan akan mengambil cuti satu minggu. Sebab jawaban itu pasti tidak diinginkan oleh Pak Karman. Bahkan pasti sangat mengecewakan Pak Karman. Untuk menjaga hal yang tidak baik, lebih baik ia tidak masuk kampus. Dankembali masuk jika suasana kembali seperti sediakala. Apa yang ia rencanakan berjalan. Dan apa yang ia prediksi terjadi.Dua hari kemudian ia mendapatkan SMS dari Pak Karman:
"Suratmu sudah aku terima. Kamu pasti tahu bahwa jawabanmu sangat mengecewakan aku!"
Ia membaca jawaban itu dengan hati tidak enak. Entah kenapa ia merasakan ada aroma jahat dalam setiap huruf-hurufnya dan susunan kalimatnya. Lalu ia mendapat SMS dari Bu Merlin:
"Hari ini saya dicacimaki Pak Karman gara-gara jawabanmu. Saya sungguh kecewa dengan kamu!"
Airmatanya meleleh. "Maafkan aku Bu Merlin," lirihnya dengan hati perih.
Ia merasakan dunia ini begitu sempit. Dinding-dinding kamarnya seakan hendak menggenjetnya. Atap kamarnya seakan mau rubuh menimpanya. Ia hanya bisa pasrah kepada-Nya dan memohon kekuatan untuk tetap kuat dan tegar di jalan-Nya.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar