Keesokan harinya, ia ke Pasar Ciputat. Mencari dua jilbab model terbaru. Satu untuk ibunya dan yang satu untuk Nadia. Ia juga beli kertas kado. Ia bungkus dengan rapi. Di dalam bungkusan itu ia sertakan sepucuk surat yang isinya
:: Assalamualaikum Wr Wb.
Di tengah hiruk pikuk dan kerasnya ibukota Jakarta, aku kirim doa semoga adikku Nadia ibu, dan keluargaku di pekalongan baik-baik saja dalam lindungan Allah Swt.
Bersama surat ini saya kirimkan hadiah Ramadhan untuk Ibuku dan Adikku Nadia. Hadiah dari orang yang belepotan dosa. Yang hina karena dicampakkan olah keluarga.
Semoga hadiah ini diterima, karena ini dibeli dari tetes keringat yang halal. Bukan dari minta-minta apalagi mencuri, mencopeet dan sejenisnya.
Mohon doanya.
Wassalam,
Syamsul
Nb: Nadia, uangmu nanti akan kakak kembalikan lewat wesel secepatnya, Insya Allah. Oh ya surat ini gak usah dibalas karena alamatnya fiktif ( namanya juga orang ga punya rumah, hehehehe ).
::
Lalu ia paketkan kilat tercatat di kantor pos. la merasa bahagia bisa mengirim hadiah itu.
Pada waktu yang sama ia juga mengirim paket untuk Silvie. Isinya adalah dompet Silvie, persis seperti saat ia copet dulu. Tak kurang malah ia tambahi lima puluh ribu. Ia juga tulis surat singkat,
:: Dik Silvie, maaf dompetnya daya pinjam agak lama. Sekali lagi maaf ya.
Ini saya kembalikan tidak ada yg kurang malah uangnya saya tambahi lima puluh ribu. Anggap saja sedekah saya. Saya berharap dengan sedekah pada orang kaya seperti Anda tetap dapat pahala.
Terimakasih dompet Anda telah menolong saya.
Selamat menyambut puasa.
::
Ia merasa lega. Hutang-hutangnya terasa telah terlunasi. Ia merasa siap memasuki Bulan Suci Ramadhan dengan jiwa yang lebih mantap dan dada yang lapang. Besok adalah hari terakhir bulan Sya'ban. Lusanya sudah puasa. Selesai mengirim hadiah itu ia kuliah. Dan pulang kekontrakan menjelang Ashar. Ia langsung merebahkan tubuhnya ke kasur tipis yang ia gelar di atas karpet. Ia pasang beker. Ia pejamkan mata sebentar. Beberapa detik sebelum azan ia bangun dan ke masjid. Setelah shalat ia langsung meluncur ke Flamboyan 17, mengajar ngaji Delia. Selesai memberi privat, ia ingin langsung pulang. Tapi ia dicegat penjaga masjid di jalan. "Ustadz Syamsul maaf mengganggu. Saya mau minta tolong. Begini, nanti malam kan pengajian rutin. Kebetulan temanya menyambut Bulan Suci Ramadhan.Lha sayangnya Ustadz Farid yang menjadi pembicaratidak bisa hadir. Tolong Ustadz gantikan ya?" Jelas penjaga masjid perumahan mewah itu.
"Aduh mendadak banget ya?"
"Tolonglah Ustadz. Kasihan jamaah jika tak ada yang ngisi." Ia mengerutkan dahi. Ia sebenarnya sangat capek dan letih. Juga belum persiapan. Tapi ia teringat bahwa copet untuk berbuat jahat saja berani nekat, masak untuk berbuat baik tidak berani nekat. Akhirnya ia menjawab, "Baiklah saya coba." Ia tidak jadi pulang. Ia lebih baik langsung ke masjid saja. Sampai di masjid ia dibuatkan teh hangat oleh penjaga masjid. Malam itu jadilah ia mengisi ceraman dimasjid yang dihadiri oleh empat ratus orang jamaah. Diantara jamaah itu ada Pak Broto, Bu Broto, Pak Heru,Bu Heru, Silvie dan orang-orang penting penghuni perumahan mewah itu. Syamsul menjelaskan bagaimana Rasulullah menyambut Ramadhan dengan persiapan prima.
"Kita semua juga harus menyambut Ramadhan dengan penuh rasa cinta, bahagia. Seperti rasanya seorang kekasih menyambut datangnya kekasihnya." Katanya memberi perumpamaan. Para jamaah puas. Di antara jamaah itu ada seorang Direktur Program Religius sebuah televise swasta terkemuka Jakarta. Isi ceramah yang ia sampaikan agaknya mengetuk kalbunya. Bapak Direktur itu mengajaknya berbincang-bincang setelah ceramah.
"Gaya bahasa Ustadz enak. Diksinya enak. Timbrenya pas. Bumbunya pas. Isinya mengena. Joke-jokenya berkualitas. Ustadz lulusan universitas mana?" Tanya Bapak Direktur. "Saya masih kuliah Pak. Ini kan karena Ustadz Farid tidak datang, maka saya dipaksa menggantikan."
"Tapi bagus kok." Direktur itu lalu menawarkan kepada Syamsul untuk jadi ustadz di acara ceramah pagi. "Saya lihat Ustadz cocok. Ya satu dua kali saja selama Bulan Suci Ramadhan.Gimana Ustadz?"
"Saya kuatir kalau saya belum pantas Pak."
"Yang menilai kan orang lain Ustadz. Ceramah Ustadz bagus kok. Kita deal Ustadz ya. Jadwalnya besok saya beritahu sekaligus temanya. Bagaimana Ustadz?" Ia kembali teringat bahwa copet untuk berbuat jahat saja berani nekat masak untuk berbuat baik tidak berani nekat. Akhirnya ia menjawab, "Baiklah saya coba."
" Alhamdulillah."
"Nama saya Doddy Alfad. Ini kartu nama saya." Syamsul menerima kartu nama itu.
* * *
Sore hari berikutnya, Syamsul kembali ke Perumahan Villa Gracia. Untuk mengajar Delia dan untuk menemui Pak Doddy berkenaan dengan ceramah pagi di stasiun televisi swasta terkemuka. Seperti biasa Syamsul menunggu di masjid. Sebab janji dengan Pak Doddy adalah selepas shalat Isya. Ketika Syamsul sedang berbincang dengan penjaga masjid, Pak Heru datang. Wajahnya serius.
"Ustadz, keluarga Burhan mau datang ke rumah setelah Maghrib. Apa Ustadz ikut menemui mereka?" Pak Heru memberitahu. Mau tidak mau hati Syamsul bergetar. Bagaimana tidak, ia diminta untuk menemui orang yang pernah memfitnahnya.
"Tidak usah Pak. Ikut menemui dalam kapasitas sayas ebagai apa? Kan tidak jelas. Bapak dan keluarga yang menemui kan sudah cukup." Jawab Syamsul berusaha tenang.
"Oh ya Ustadz benar. Ya sudah itu saja Ustadz yang ingin saya sampaikan." Pak Heru lalu kembali pulang. Syamsul berkata, "Lho Pak tidak shalat Maghrib berjamaah dimasjid?"
"Sebentar saya ganti baju dan ambil peci." Sahut Pak Heru sambil tersenyum. Syamsul memandang pemilik perusahaan travel itud engan tersenyum pula. Syamsul kembali ke ruang takmir melanjutkan perbincangan dengan penjaga masjid. "Kenapa Pak Heru kok sekarang berubah sejak bertemu dengan Ustadz?" kata penjaga masjid.
"Berubah bagaimana?"
"Berubah lebih rendah hati. Lebih sering ke masjid. Dan sifat pelitnya sedikit berkurang."
"Itu bukan karena bertemu dengan saya Pak. Tapi memang sudah saatnya berubah. Manusia kan berproses. Umar bin Khattab saja untuk jadi baik kan juga ada prosesnya." Penjaga masjid itu manggut-manggut.
"Ustadz benar."
Azan Maghrib dikumandangkan dan Syamsul kembali didaulat jadi imam. Ketika ia meluruskan barisan ia kaget. Sepintas ia melihat Burhan masuk masjid diikuti keluarganya. Ia tetap mengendalikan hati. Setelah istighfar tiga kali untuk menyucikan dan menyejukkan hati, barulah ia takbiratul ikhram
Di rakaat pertama ia membaca Asy Syams dan dirakaat kedua membaca Az Zilzalah. Ia meneteskan airmata ketika membaca
faman ya'mal mitsqaladzarratin khairan yarah wa man ya'mal mitsqaladzarratin syarran yarah.
Selesai shalat dan zikir, Syamsul memberikan kultum. Ia mengulas dua ayat terakhir surat Az Zilzalah yang baru saja ia baca. Burhan yang jadi makmum dan jadi pendengar nyaris tidak percaya dengan yang ia dengar. Dalam hati ia berkata, "Bagaimana mungkin si Syamsul yang telah hancur itu bisa jadi penceramah? Bagaimana ceritanya ia sampai di sini? Apakah dia sudah tahu perkembangan terbaru yang terjadi di pesantren?" Ada sedikit kekuatiran dan kecemasan yang menyusup dalam hatinya. "Kalau ia sudah tahu bisa bikin masalah." Tapi ia menghibur hatinya bahwa pasti Syamsul tidak tahu. Dan Syamsul tidak mungkin bertindak bodoh, sebab ia sedang jadi imam. Kalaupun Syamsul sudah tahu apa yang terjadi di pesantren, anggapannya, Syamsul pasti tidak tahu hubungan dirinya dengan Silvie. Putri Pak Heru yang kaya raya itu.
Selesai kultum Syamsul langsung keluar masjid dengan tenang. Ia melangkah di samping Burhan. Ia pura-pura tidak tahu. Burhan berdiri mendekatinya dan berjalan di sampingnya, membisikkan sesuatu untuk memancing emosi Syamsul. Bisikan itu hanya Syamsulyang dengar, "Hai maling, gimana ceritanya kau bisa jadi imam di sini? Apa sah shalatnya makmum yang diimami seorang penjahat? Nanti kalau aku jadi orang sini sebaiknya kau angkat kaki sebelum diusir dengan tidak terhormat kedua kali!?" Bergemuruh dada Syamsul mendengarnya. Amarahnya membara. Emosinya sudah di ubun-ubun kepala. La siap membalas dengan serangan yang lebih dahsyat. Belum sempat ia bicara Delia memanggilnya,"Ustadz Syamsul... Ustadz Syamsul?" Suara Delia itu meluruhkan amarahnya. Menyejukkan hatinya.
"Ada apa Delia?" Jawab Syamsul langsung menengok ke arah Delia yang berjalan cepat ke arahnya. Ia tidak memperhatikan Syamsul. Burhan yang masih disamping Syamsul, ikut memandang Delia.
"Mau minta tanda tangan. Ini tugas dari Bu Guru agama."
"Oya sini." Syamsul menerima buku tugas dan pena dari Delia dan menandatanganinya.
"Sudah?" tanya Syamsul.
"Masih ada satu lagi." Kata Delia. Burhan masih belum beranjak. Masih memperhatikan.
"Apa?" tanya Syamsul.
"Ada pesan dari Mbak Silvie?" Syamsul langsung merasa mendapat senjata untuk menjawab bisikan Burhan yang sungguh menghina. Untuk lebih menyerang Burhan yang ada di sampingnya Syamsul pura-pura tanya pada Delia, "Silvie yang mana?"
"Itu lho Ustadz, Mbak Silvie putrinya Pak Heru. Yang biasa kasih privat matematika." Lalu sambil berjongkok, seolah ingin memperhatikan pesan dengan serius Syamsul melirihkan suara, dengan bertanya,"Mbak Silvie yang cantik itu?" Delia mengangguk-angguk sambil tersenyum. Burhan yang mendengar hal itu hatinya terbakar luar biasa.
"Pesannya apa?" tanya Syamsul sambil mendekatkan ke telinganya. Burhan didera rasa penasaran yang luar biasa. Delia mendekatkan mulutnya dan membisikkanbeberapa kata ke telinga Syamsul. Seketika Syamsul berkata, "Yang benar?"
"Benar. Delia berani sumpah mati!"
"Ya ya Ustadz percaya. Sampaikan pada Mbak Silvie: Ustadz juga sama gitu ya?"
"Baik Ustadz. Cihui... Ustadz juga sama... Ustadz juga sama!" Delia berlari ke arah jamaah putri.Burhan tidak bisa menyembunyikan cemburunya.
la langsung bertanya pada Syamsul, "Kau kenal Silvie?"
"Maaf itu bukan urusanmu Sobat. Maaf saya tergesa-gesa. Saya harus ngisi di tempat lain." Syamsul langsung berjalan cepat ke arah sepeda motornya. la pura-pura sibuk. la nyalakan sepeda motornya. Sampai di jalan ia teringat janji dengan Pak Doddy setelah Isya. Ia berpikir langsung saja ke rumah Pak Doddy. Sementara Burhan masih dibakar amarah dan cemburu. la ingin cepat-cepat sampai ke rumah Pak Heru. Dan melampiaskan marahnya pada Silvie. la ingin menanyakan apa yang disampaikan pada Syamsul itu.
"Awas kau Silvie!"
***
Burhan dan keluarganya sampai di rumah Silvie.
Rombongan dua mobil dari Pasar Rebo itu disambut dengan ramah oleh Pak Heru, Bu Heru, Silvie, Pak Broto dan Mas Budi, satpam penjaga pintu gerbang perumahan yang sedang tidak tugas. Mas Budi memakai baju takwa, sebab bakda shalat Maghrib langsung digandeng Pak Heru. Silvie bersikap tenang dengan jilbab merah jambunya. Dalam balutan jilbab mahasiswi ekonomi UI tampak begitu anggun.
Ibunda Burhan memuji kecantikan Silvie. Dan Silvie hanya tersenyum saja. Dialog dua keluarga terjadi. Di tengah dialog, Burhan minta waktu pada Silvie untuk bicara berdua. Burhan ingin melampiaskan kemarahannya. Tapi dengan halus Silvie menolak. Burhan tampak kecewa.
Pembicaraan terus berlanjut, "Sebagaimana Pak Heru ketahui, Burhan dan Silvie sudah lama saling mengenal. Burhan juga, katanya, telah memberikan cincin pengikat kepada Silvie. Kedatangan keluarga kami ini ingin menguatkan ikatan itu secara resmi. Dalam bahasa transparannya kami ingin meminang Silvie untuk Burhan." Jelas Ayah Burhan dengan sangat tenang dan penuh keyakinan.
"Inilah yang kami tunggu-tunggu." Jawab Pak Heru tenang. Burhan mendengar hal itu dengan kebahagiaan yang sulit digambarkan.
Namun Pak Heru melanjutkan, "Sebenarnya saya dan keluarga ingin ke rumah Pak Anwar. Hanya saja ternyata kami didahului. Keluarga Pak Anwar lebih dulu datang. Kami senang dengan kedatangan ini. Karena Pak Anwar memakai bahasa transparan. Maka saya juga akan menjawab dengan bahasa transparan. Dengan segala kerendahan hati saya selaku ayah Silvie menyampaikan. Saya tidak bisa menerima lamaran Pak Anwar untuk Burhan. Karena satu dan lain hal yang semoga kita sama-sama bisa memakluminya. Mohon maaf jika keputusan ini kurang berkenan."
Burhan dan keluarganya tersentak kaget bukan kepalang.
"Apa saya tidak salah dengar Pak?!" seru Burhan spontan sambil berdiri. Karena yang berbicara Burhan,Silvie langsung menukas, "Tidak!"
"Apa?!" Burhan mengulang dengan sedikit lebih keras.
"Apa telingamu bermasalah, Bung. Ayahku cukup berbicara satu kali. Tak perlu diulang. Ini cincin dustamu itu saya kembalikan! Dasar santri bajingan!" Darah muda Silvie bergolak.
la yang biasanya berbicara lembut saat itu amarahnya meledak. Pak Anwar yang sebenarnya marah mencoba meredakan suasana yang sama sekali jauh dari yang ia bayangkan itu.
"Sebentar-sebentar, masalah sebenarnya apa? Kenapa Pak Heru menolak. Tolong bisa dijelaskan. Mari kita berdialog dengan kepala dingin. Mungkin ada salah paham."
"Saya ingin Pak Anwar menerima dan menghargai keputusan kami. Meskipun tanpa alasan sama sekali. Toh sebenarnya antara Silvie dan Burhan tak ada ikatan apa-apa secara agama. Saya tidak perlu menjelaskan. Kiranya Pak Anwar pasti sudah mengerti alasan kami. Kalau kami menjelaskan nanti malah semakin tidak enak." Jawab Pak Heru tenang.
"Tidak bisa Pak! Tidak bisa menolak tanpa alasan.Tolong jelaskan! Atau jangan-jangan saya tidak diterima karena Silvie sudah tidak layak bagi saya!" tukas Burhan.
"Burhan, kalau bicara yang sopan! Silvie sudah tidak layak bagaimana? Apa maksudmu?" seru Pak Anwar,ayah Burhan.
"Ya sekarang kan zaman edan. Bisa saja tho Silvie sudah hamil dengan pria lain misalnya?" Jawaban Burhan itu membuat emosi Silvie tak tertahankan,"Tutup mulutmu, Bajingan! Aku sudah tahu siapakamu? Kau tak lebih dari sampah busuk! Dikeluarkan dari pesantren karena mencuri dan memfitnah orang! Dipenjara karena melukai orang. Penipu ulung, mana modal empat puluh juta yang kau pinjam untuk toko bukumu itu. Toko buku fiktif. Terus bagaimana dengan Dalmayanti? Setelah kau ditolak di Tulung agung kau lari ke sini. Jika sampah itu telah dibuang dari pesantren dan tidak diterima di mana-mana apa kami harus menerima. Bukankah lebih baik sampah itu didaurulang dulu agar berguna. Kalian ini ingin dihormati tapi tidak bisa menghormati. Dan kau Pak Anwar, sudah tahu anaknya sampah masih juga tidak tahu diri! Mungkin kalian tidak percaya yang saya sampaikan! Masih ingin bukti? Ini!" Silvie melempar Koran. Koran itu menggeletak dimeja. Ada sebuah judul yang tertera jelas: DIPENJARA KARENA KEJAHATAN DI PESANTREN. Dan terpampang jelas foto Burhan yang gundul. Melihat hal ituPak Anwar dan isterinya langsung pucat pasi. Mereka sangat malu.
"Hei, Maling, apa kau kira bisa menipu kami bahwa gundulmu itu karena umroh, bukan karena digunduli dipesantren!" Kata-kata Silvie sangat mengguncang Burhan. La tidak kuasa menahan amarahnya.
"Kurang ajar kau! Berani menghina aku ya!" Dan., plak! Dengan cepat Burhan menempeleng Silvie. Kejadian itu sungguh tidak diduga. Burhan kembali Ingin menghajar Silvie. Namun Mas Budi cepat bertindak. La segera mengatasi Burhan. Burhan melawan, tapi Mas Budi yang jago karate itu dengan mudah melumpuhkannya. Mulut Silvie berdarah. Sambil meringis ia berkata, "Saya tidak terima. Ini harus diproses hukum!" Pak Anwar, dengan berlinang airmata berkata terbata, "Nak Silvie, Pak Heru dan Bu Heru maafkan kami. Sungguh kami sangat terpukul.Baru kali ini kami tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan anak kami.Selama ini kami percaya penuh padanya. Kami memang kurang kontrol dan terlalu memanjakannya. Saya tidak tahu dengan apa yang telah diperbuatnya sampai dia dikeluarkan dari pesantren dan dipenjara. Saya juga tidak tahu perihal penipuannya. Maafkan kami. Tapi tolong jangan laporkan Burhan ke polisi. Saya minta..."
Silvie menggeleng.
"Tindak kejahatan harus diproses oleh hukum!" Silvie lalu minta Mas Budi mengamankan Burhan. Burhan langsung digelandang ke pos satpam. Di poss atpam, Burhan diberi pelajaran tambahan oleh dua orang satpam. Keluarga Burhan pulang dengan membawa malu luar biasa. Seorang lelaki berjas abu-abu berkata padaPak Anwar dengan kesal bercampur marah, "Saya sangat malu pada Pak Heru. Pak Heru itu teman baik saya di SMA. Saya jadi tahu kenapa tadi Pak Heru pura-pura tidak kenal saya. Itu gara-gara ternyata saya mengantar seorang penjahat ke rumahnya. Mengantar seorang penjahat untuk melamar anaknya. Saya malu Pak Anwar! Sejak sekarang hubungan bisnis kita putus!" Ketika polisi datang mengambil Burhan dari pos satpam, di saat yang sama Syamsul mengambil jadwalnya dari Pak Doddy dan ia meneken kontrak tayang di televis. Tanda tangannya bersanding dengan tanda tangan orang penting di stasiun televisi itu. Angin yang bertiup spoi-spoi seolah mengalunkan firman Allah,
faman ya'mal mitsqala dzarratin khairan yarah zva man ya'mal mitsqala dzarratin syarran yarah
***
Ramadhan tiba. Kaum Muslimin menyambutnya dengan penuh bahagia. Syamsul sibuk dengan jadwalnya: mendampingi kegiatan remaja masjid, imam tarawih, privat, kuliah, ceramah, dan shooting ceramah di televisi. Ia muncul di televisi dua kali selama Ramadhan. Tanggal 9 Ramadhan dan tanggal 27 Ramadhan. Ia mempersiapkan ceramahnya dengan sungguh-sungguh. Ia ajak remaja masjid untuk menyertainya latihan. Seolah-olah di studio. Mereka sebagai audiensnya. Ia minta masukan dan kritikan. Sampai menemukan bentuk dan performa terbaik. Tanggal 8 Ramadhan ia menelpon Nadia adiknya. Ia meminta untuk nonton ceramah pagi di stasiun televise A jam D. "Jangan sampai tidak nonton. Kakak ikut dalam pengajian itu. Ia tidak mengatakan sebagai pembicaranya. Beritahu ayah, ibu dan kakak ya." Ia juga menelpon pesantrennya. Kepada lurah Pesantren ia bilang, "Kang tolong besok seluruh santri nonton ceramah pagi distasiun televisi A jam D. Pengisinya seorang Ustadz muda alumnus pesantren kita. Jangan lupa sampaikan pada Pak Kiai." Ia tidak bilang itu dirinya. la masih mengaku sebagai Adi. Seperti di telpon sebelumnya. Pada hari H, ia tampil dengan sangat prima ditelevisi.
Ceramahnya hidup. Direktur Program dan para kru televisi memuji. Di Pekalongan, adiknya Nadia, ibunya, ayahnya dan kedua kakaknya menangis. Demikian juga di pesantrennya.
Di Flamboyan 19 Silvie menyaksikan dengan hati penuh cinta. Tanpa sadar, ia berucap, "Orang seperti ini yang kudamba. Sederhana. Rendah hati. Namun penuh potensi!" Kata-kata Silvie itu didengar dengan baik oleh Pak Heru dan Bu Heru. "Baiklah kita datangi Ustadz Syamsul nanti sore sebelum kita terlambat. Semoga dia belum punya calon." Kata Pak Heru menukas. Silvie terkesiap mendengarnya. Lalu hatinya berbuhga-bunga. Ia mengamini doa ayahnya. Dalam hati ia berharap di Bulan Suci Ramadhan ini ia mendapatkan cinta sejatinya. Sejenak pikirannya berkelebat, teringat pada pesan sebuah buku yang pernah dibacanya, "Cinta adalah sesuatu yang menakjubkan. Kamu tidak perlu mengambilnya dari seseorang untuk memberikannya kepada orang lain. Kamu selalu memilikinya lebih dari cukup untuk diberikan kepada orang lain."
Silvie teringat pesan itu. Ia ingin memberikan cintanya kepada Ustadz Syamsul. Karena ia yakin, ia benar-benar memiliki cinta untuk diberikan kepada Ustadz Syamsul, ustadz idaman yang kini memenuhi ruang hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar