Bumi Cinta
Karya : Habiburrahman El Shirazy
1. Tiba di Moskwa
Gumpalan tipis lembut bagai kapas nan putih itu terus turun perlahan lalu menempel di aspal, rerumputan, tanah, atap-atap gedung dan menyepuh
kota Moskwa menjadi serba putih. Kota katedral itu seolah diselimuti jubah ihram orang orang suci. Dalam suasana serba putih, Moskwa seolah memamerkan keindahan sihirnya di musim dingin.
Jalan-jalan yang putih. Katedral-katedral dan bangunan berbentuk kastil yang disepuh salju. Pucuk-pucuk cemara araukaria yang bertahtakan butir-butir putih.
Taman-taman yang menjelma hamparan permadani serba putih. Air mancur
yang membeku menciptakan keindahan ukiran kristal. Dan, pesona jelita muka nonik-nonik muda Rusia dalam balutan rapat palto merah muda tebal berkelas. Semua berpadu menjadi sihir kota Moskwa di musim dingin.
Sihir musim dingin kota Moskwa adalah sihir impian surgawi dalam negeri-negeri dongeng.
Matahari sama sekali tidak ada tanda-tanda menampakkan sinarnya. Pohon-pohon bereozka di kanan-kiri jalan sesekali bergoyang dihempas angin. Pohon-pohon bereozka itu nampak begitu pasrah kepada takdir Tuhan seru sekalian alam.
Ia meranggas diam dalam dingin yang mencekam. Daun-daunnya telah tanggal satu persatu sejak musim dingin mulai memakai jubah putihnya. Angin dingin terus berhembus perlahan dari kutub utara, menambah suhu udara semakin dingin membekukan apa saja.
Salju beterbangan dan melayang turun perlahan. Pohon-pohon pinus di hutan-hutan kecil di pinggir bandara Sheremetyevo menggigil
kedinginan. Suhu minus empat belas derajat celcius. Orang-orang menutupi tubuhnya dengan pakaian tebal serapat-rapatnya. Rumah-rumah
dan gedung-gedung menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat. Tak boleh ada sedikit pun angin dingin yang masuk. Sebab, membiarkan angin dingin leluasa memasuki rumah dan gedung, kadangkala bisa mengundang aroma
jahat kematian.
Alat-alat pemanas ruangan dinyalakan sepanjang siang dan malam, demi
menghangatkan badan. Salju yang turun perlahan dan hawa dingin
yang menggigit tulang, sama sekali tidak menghalangi arus lalu lalang orang-orang di bandara Sheremetyevo. Tiga buah taksi datang menurunkan penumpang. Dengan tergesa-gesa setelah membayar ongkos dan menurunkan koper bawaan, para penumpang itu masuk ke dalam bandara.
Dua shuttle bus "marshrutka" Nampak menaikkan penumpang yang baru keluar dari bandara .
Para sopir carteran berebutan penumpang. Seorang lelaki setengah baya, yang
punggungnya sedikit bongkok berwajah khas Rusia, dengan hidung mancung sedikit bengkok ke kiri memandangi orang-orang yang keluar bandara dengan wajah dingin. Tangan kanannya memainkan kunci mobil, sementara tangan kirinya ia masukkan ke saku palto-nya (Mantel musim dingin yang sangat tebal) yang tebal dan kusam.
Lelaki berhidung bengkok ke kiri itu terus memainkan kunci mobilnya. Kedua kakinya ia gerak-gerakkan mengusir dingin. Tiba-tiba kedua kakinya berhenti. Mulutnya menyungging senyum. Kedua matanya begitu berbinar menatap dua anak muda berwajah asing, wajah Asia Tenggara.
Ia sangat hafal wajah-wajah bangsa-bangsa yang keluar dari bandara Sheremetyevo.
"Yas, kamu membuat aku pangkling. Sudah sembilan tahun kita tidak bertemu. Kamu sekarang jauh lebih gagah dan lebih ganteng dari
Ayyas saat SMP dulu." Kata pemuda berkaca mata.
"Ah yang benar aja Dev?" Sahut Ayyas.
"Sungguh. Dulu kamu itu paling kecil dan paling krempeng di kelas. Sekarang jadi tinggi dan lumayan gagah. Tidak menyangka. Apa karena kamu sering makan daging unta waktu kuliah di Arab sana?"
"Ah Devid...Devid, caramu bicara kok tidak berubah, segar dan masih suka guyon. Lha kamu sendiri ini tambah gemuk dan putih. Apa karena suka makan daging Beruang Putih selama kuliah di sini?"
"Beruangnya Mbahmu!"
"Sudah Dev, cepetan yuk, jangan bercanda terus. Masya Allah, dingin sekali Dev. Ini aku sudah rangkap empat lho. Plus jaket tebal yang kubeli di New Delhi. Wuih ternyata masih tembus. Dev, ayo cepatlah, mana taksi atau busnya! Bisa mati membeku aku kalau agak lama di sini."
Ayyas menggigil dalam jaket hijau tuanya. Uap hangat keluar dari mulutnya saat bicara. Ia kencangkan kuncian sedekap kedua tangan di dadanya.
"Kita bisa naik bus, metro, atau marshrutka. Tapi kita naik taksi carteran saja ya. Biar tidak repot angkat barang." Jawab Devid yang nampak lebih tenang dan berpengalaman, sambil membenarkan letak kaca matanya. Ia mengenakan palto hitam dan perlengkapan musim dingin sempurna layaknya orang Rusia pada umumnya.
"Boleh lah. Yang penting cepat sampai apartemen. Uh, dinginnya masya Allah”
Laki-laki berhidung bengkok ke kiri mendekat. Dengan muka dingin ia menyapa dua pemuda itu dengan bahasa Rusia.
"Dabro dentl Vi otkuda?" (Selamat siang, Kalian dari mana?)
Devid geleng-geleng kepala dan memasang muka tidak mengerti.
"Dev, tidak usah main-mainlah. Jawablah, masak kamu tidak bisa bahasa Rusia? Dingin nih!"
Protes pemuda berjaket hijau tua.
"Tenang Yas. Aku mau pura-pura tidak bisa bahasa Rusia. Supaya engkau tahu, bagaimana si Rusia tua ini memperlakukan kita. Dia pasti mengira
kita berdua ini benar-benar makanan empuknya. Katanya kau mau meneliti sejarah Rusia, ya biar tahu sekalian watak asli masyarakatnya."
"Oke, tapi cepat ya, aku sudah mau beku rasanya!"
"Kholodno?” (dingin) Sapa lelaki Rusia lagi.
" What? What is kholodno?" Jawab Devid pura-pura tidak tahu.
"Kholodno, kholodno..." Kata lelaki Rusia sambil mendekap dadanya dan menggigilkan tubuhnya.
Ia lalu menunjuk-nunjuk pemuda berjaket hijau tua lantas berakting menggigil. Kemudian ia menawarkan untuk naik taksinya. Lalu terjadilah dialog dengan bahasa isyarat antara lelaki Rusia berhidung mencong ke kiri itu dengan pemuda berkaca mata. Pemuda berkaca mata lalu mengambil pena dan secarik kertas dari saku paltonya. Ia menulis alamat apartemennya, dan menyerahkannya pada lelaki itu. Meskipun ditulis dengan huruf latin dan tidak dalam huruf Cyrilic Rusia, lelaki itu bisa membaca.
"Mmm, Panfilovsky, Smolenskaya..." Gumam lelaki Rusia itu seraya mengambil pena dari saku paltonya. Ia menulis angka dua ratus dolar di atas secarik kertas itu dan memperlihatkan pada pemuda berkaca mata. Melihat angka yang tertulis seketika pemuda itu menggelengkan kepala tidak setuju.
"Gila orang Rusia ini Yas! Dia sangat yakin kita bisa dibodohin dan dibantainya dengan mudah. Masa sekali jalan dari Sheremetyevo ke Smolenskaya dua ratus dolar. Padahal kalau naik bis paling 25 rubel. Terlalu jauh bedanya."
"Ya sudah Dev, kita naik bis saja, yang murah."
"Tidak Yas. Kalau naik bis belum sampai apartemen nanti kau sudah membeku duluan. Bisnya itu berhenti di mana saja, berkali-kali. Bisa dua jam kita di jalan. Apalagi kalau nanti macet."
"Terus bagaimana? Aduh semakin dingin Dev."
"Aku tawar sekali ya. Jika dia tidak mau kita cari taksi lain." Devid minta persetujuan, Ayyas mengangguk.
Devid lalu menulis angka empat puluh dolar dan ia tunjukkan pada lelaki berhidung bengkok ke kiri itu. Lelaki itu menggeleng. Ia lalu menulis angka delapan puluh.
Pemuda agak gemuk berkaca mata itu menggeleng seraya melangkahkan kaki ke arah kerumunan sopir taksi yang lain. Segera lelaki Rusia itu meraih pundaknya dan menulis angka lima puluh dolar.
Devid kembali menggeleng dan mengibarkan tangan lelaki Rusia berhidung bengkok ke kiri itu. Tangannya meraih tas koper dan menyeretnya dengan langkah pasti. Ayyas bergegas mengikuti.
Baru lima langkah, Rusia berhidung bengkok ke kiri itu mengejar dan kembali memegang pundaknya. Dengan suara agak parau ia mengatakan, "Oke!"
Lelaki Rusia setengah baya itu dengan wajah dingin tanpa senyum memberi isyarat dengan tangan kanannya agar Devid dan Ayyas mengikutinya.
Lelaki berhidung bengkok ke kiri itu berjalan sambil memain-mainkan kunci mobilnya.
Ia sama sekali tidak memedulikan Devid dan Ayyas yang sedang menyeret koper dan barang-barang bawaan. Devid dan Ayyas mengikuti di belakangnya. Lelaki Rusia itu membuka mobilnya. Ayyas kaget dan tertegun sesaat.
Mobil merah tua yang sangat kusam.
"Dev, mobilnya rongsokan begitu!" Protes Ayyas.
"Kita naik saja. Kalau kau tidak naik taksi yang seperti ini belum benar-benar mengenal Moskwa!" Jawab Devid mantap.
"Kalau mesinnya ngadat di jalan gimana?"
"Ya berdoa saja semoga tidak."
Sopir berhidung bengkok ke kiri itu membuka bagasi dan memberi isyarat agar Devid dan Ayyas memasukkan koper dan barang-barang bawaannya ke bagasi. Ia sendiri hanya melihat, tak ada basa-basi membantu menaikkan koper.
Setelah semua barang masuk, ia membanting tutup bagasinya dengan keras. Ia langsung masuk dan menyalakan mesin. Beberapa kali dicoba tidak nyala, kali yang ke empat barulah menyala.
Mobil kusam merah tua itu meraung-raung. Devid bergegas masuk. Ayyas agak ragu, tapi Devid menarik lengannya untuk segera masuk.
Mereka duduk di kursi belakang. Mobil merah tua buatan Jepang itu bergerak meninggalkan bandara Sheremetyevo. Salju tipis masih turun, tapi jarang-jarang. Sopir tua itu mengarahkan mobil merah tuanya melewati Leningradskoy Shosse. Memasuki jembatan jalan tol MKAD, 2x2x1 Moskovsky Koltso Automomobilny Daroga, salju sudah tidak turun lagi. Tapi di mana-mana pemandangan putih terhampar.
"Dablo Pozhalovath v Moskve!" Seru sopir Rusia setengah baya itu setengah bergumam dengan wajah tetap dingin memandang ke depan.
"Apa katanya?" Tanya Ayyas pada Devid.
"Lho katanya kamu sudah bisa bahasa Rusia."
"Cuma dikit-dikit. Terus si Rusia tua ini ngomongnya kayak bergumam sih, jadi tidak jelas."
"Ya dia cuma mengatakan selamat datang di Rusia."
"O."
Mobil kusam merah tua itu terus melaju. Kecepatannya tidak bisa lebih dari enam puluh kilometer per jam. Ayyas semakin mengencangkan
kuncian sedekap kedua tangannya di dada. Mobil tua itu tidak dilengkapi AC panas ataupun dingin.
Di kanan kiri jalan sesekali nampak pohon bereozka. Gedung-gedung berarsitektur modern. Juga bangunan-bangunan pabrik. Sopir setengah
baya itu sama sekali diam. Ekspresinya dingin. Hanya kepalanya yang nampak sesekali menggeleng ke kiri dan ke kanan seolah mengiringi suara mobil tua yang sesekali seperti meraung dan terbatuk-batuk. Anehnya mobil itu
tetap berjalan dengan pasti.
Memasuki Leningradsky Prospek yang lebih lebar, sopir setengah baya itu mencoba menambah kecepatan mobilnya. Namun kecepatannya tidak bisa bertambah lagi.
"Dasar mobil tua!" Umpat sopir berhidung
bengkok ke kiri itu.
"Jadi setelah lulus SMP itu kamu ke pesantren
ya Yas?" Tanya Devid. Ia samasekali tidak menggubris
umpatan sopir Rusia itu.
"Iya. Ke Pasuruan. Kelas tiga Aliyah aku
pindah ke Pesantren Kajoran Magelang yang diasuh
Kiai Lukman Hakim."
"Terus, begitu lulus pesantren kamu langsung
ke Saudi?"
"Tidak."
"Lho katanya kuliah di Madinah."
"Iya setelah lulus pesantren aku sempat kuliah
di IAIN Jakarta, sambil memasukkan berkas ke
Madinah. Coba-coba saja. E, ternyata diterima.
Jadi ya sempat di Jakarta satu tahun."
6.
"Jadi, mudah dong kuliah di Madinah?"
"Sebenarnya tidak juga."
"Lalu bagaimana ceritanya kamu bisa kuliah di Madinah? Aku sama sekali tidak menyangka, kamu bandit kecil waktu SMP itu bisa kuliah di Madinah!"
"Ah iya ya, aku dulu waktu SMP sempat dijuluki bandit kecil sama Bu Tyas, guru bahasa Inggris kita. Gara-garanya ketika Bu Tyas menuliskan soal bahasa Inggris di papan tulis aku jepret punggungnya pakai karet. Dia benar-benar marah dan menjuluki aku bandit kecil." Ayyas mengenang masa-masa ia nakal dulu.
"Tak habis pikir, aku kok dulu bisa kurang ajar begitu ya." Lanjut Ayyas sambil gelenggeleng kepala.
"Saat itu aku juga kaget lho Yas. Lha wong aku saja yang kurasa lebih bandel darimu tidak sampai jepret guru. Kamu yang kecil, kerempeng kok tiba-tiba melakukan hal gila seperti itu. Aku sampai bertanya-tanya, setan apa sih yang merasuki kamu waktu itu?"
"Kamu masih ingat banget kejadian itu Dev?"
"Oh itu kenangan yang mungkin tidak akan terlupakan seumur hidup Yas. Kelakukanmu itu sangat kelewatan. Bu Tyas marah besar. Lalu telingamu dijewernya sampai merah. Setelah itu beliau tidak mau mengajar satu bulan lamanya. Dan kamu dihukum tidak boleh masuk sekolah dua minggu. Kamu lalu minta maaf pada Bu Tyas dengan wajah pura-pura memelas. Dan Bu Tyas mau memaafkan asal kamu berdiri di depan kelas selama Bu Tyas mengajar dalam satu semester."
"Dan aku mematuhi syarat Bu Tyas. Kejadian penjepretan itu di awal semester. Jadi hampir satu semester selama pelajaran bahasa Inggris aku berdiri bagai patung di depan kelas dengan satu kaki. Sampai beberapa teman perempuan kita menjuluki aku 'si bandit kecil berkaki satu'."
"Yang aku heran, kamu saat itu kok kelihatan begitu tenang menjalani hukuman itu. Kamu juga tidak lari pulang ke rumah pada saat pelajaran terakhir. Kamu begitu setia menunggu Bu Tyas masuk kelas, lalu kamu dengan tanpa disuruh langsung ke depan kelas dan berdiri dengan kaki satu, lalu diam bagai patung sampai kelas bubar. Apa sih yang membuatmu melakukan kejahilan gila itu."
"Ya benar Dev. Itu kejahilan. Aku sangat jahiliyyah saat itu. Tahu nggak kenapa aku jepret punggung Bu Tyas?"
"Kenapa?"
"Saat itu Bu Tyas aku anggap perempuan paling cantik yang pernah kulihat. Kelemahanku sejak aku mengerti wajah cantik, aku sangat rapuh berhadapan dengan wajah cantik. Entah setan apa yang merasukiku saat itu, aku ingin sekali melihat Bu Tyas marah. Aku ingin tahu kalau dia benar-benar marah apa masih cantik. Akhirnya tanpa banyak berpikir aku jepretlah punggung Bu Tyas dengan karet sekuat tenaga. Pasti beliau kesakitan, sebab aku kan duduk di bangku depan.
Dia marah besar. Saat marah wajahnya ternyata, menurutku sangat mengerikan. Sejak itu aku tidak lagi melihat Bu Tyas sebagai perempuan yang paling cantik. Dan aku bersabar menerima hukuman itu sebab aku insaf bahwa aku harus mempertanggungjawabkan kesalahanku. Dan aku harus mendapatkan maaf dari Bu Tyas, sebab saat itu kita kan kelas tiga. Aku takut tidak bisa ikut ujian akhir."
"O begitu, baru sekarang aku tahu Yas. Wah, kalau begitu kau semestinya tidak ke Moskwa Yas?"
"Memang kenapa?"
"Nonik-nonik Rusia ini terkenal cantik-cantik. Nanti kaubuktikan saja. Apa kau masih rapuh melihat wanita cantik?"
"Entahlah."
"Wah bahaya ini! Jangan salahkan aku kalau kamu nanti jadi bandit di Moskwa ini, tidak lagi sekadar bandit kecil. Tapi benar-benar bandit. Yang akan kau hadapi godaan perempuan Moskwa, Yas. Godaan perempuan di Jawa tidaklah bisa dibandingkan dengan dahsyatnya godaan perempuan sini.
"Aku di sini kan niatnya bukan untuk hura hura, apalagi cari perempuan Dev."
"Bukan begitu. Terserah apa tujuanmu. Mau belajar, mau penelitian, atau apa saja, godaan perempuan Rusia akan terus menguntitmu. Bahkan dalam mimpi-mimpimu. Kalau tidak percaya, ya nanti buktikan saja!"
Ayyas menghela nafas. Ia merasa yang dikatakan temannya itu benar. Teman-temannya dari Rusia saat kuliah di Madinah beberapa kali pernah menyampaikan hal yang sama. Sebagian mereka ada yang memperlihatkan foto keluarga mereka. Kaum perempuannya jarang yang tidak bermuka jelita. Ia memejamkan mata dan berdoa,
"Audzubillahi min fitnatin nisaa” (Aku berlindung kepada Allah dari fitnah perempuan)
Mobil merah tua terus berjalan melewati kawasan Belorusskaya, lalu merambah aspal bersalju Tveskaya-Yamkaya Ulista. Dan beberapa saat kemudian mulai memasuki pusat kota Moskwa yang ditandai dengan jalan lingkardalam, yang disebut koltso (Koltso artinya cincin.
Itu karena jalan lingkar dalam Moskwa seperti cincin yang melingkari jantung kota Moskwa. Di dalam lingkaran koltso itulah istana Kremlin dan bangunan paling penting dan paling bersejarah bagi Rusia berada)
Mobil tua itu kini melaju sedang di koltso Sadovaya. Ayyas melihat berbagai merek mobil yang ia rasa aneh, dan belum pernah ia temui di Indonesia, Saudi maupun India. Ada mobil berwarna hitam bermerek Volda. Ada yang bermerek Gazel, ada Lada, ada Sputnik Zhiguli dan ada Moskvich. Ia rasa itu adalah mobil-mobil buatan Rusia.
Tiba-tiba mobil merah tua yang mereka naiki disalib oleh mobil mewah, Roll-
Royce. Tepat di belakang Roll-Royce mobil Porsche biru langit mengikuti.
"Kalau kamu setelah lulus SMP ke mana Dev? Terus bagaimana ceritanya sampai kuliah di sini?"
"Ceritanya panjang dan berliku. Intinya, lulus SMP aku langsung ke Bandung. Karena ayah pindah tugas di Bandung. Aku melanjutkan sekolah di Bandung. Selesai SMA aku kuliah di Singapura. Di Singapura aku kenalan dengan mahasiswi dari Rusia, namanya Eva Telyantikova. Usianya lebih tua dariku, tapi sangat cantik. Secantik para tsarina klasik Rusia. Aku dan Eva sangat dekat, kami hidup serumah cara Barat. Kau nanti akan tahu sendiri apa yang aku maksud. Kami sama-sama lulus. Ketika Eva pulang ke Rusia, ke St. Petersburg, aku ikuti dia. Aku tinggalkan kuliahku di Singapura dan pindah ke
St. Petersburg sampai sekarang."
"Jadi kau sudah menikah dengan perempuan Rusia?"
Devid menggelengkan kepala.
"Terus!?" Tanya Ayyas agak kaget.
"Ya awalnya kami hidup satu rumah. Sewa apartemen. Biasa saja, layaknya orang-orang Eropa hidup. Sekarang kami berpisah. Eva hidup dengan lelaki dari Polandia. Dan aku sementara sendiri. Kau mungkin kaget mendengar cara
hidupku, Yas. Ya sorry saja, aku sudah lama tidak hidup dengan cara Timur. Aku sangat menikmati hidup bebas cara Rusia, cara Eropa. Kalau kau benar-benar menghayati hidup di Rusia, nanti kau akan rasakan enaknya hidup bebas tanpa banyak aturan kayak di Jawa atau Saudi."
Ayyas menarik nafas panjang. Ia hanya beristighfar di dalam hati. Ia tidak mungkin menceramahi Devid, sebab Devid bukan orang bodoh. Devid dulu di SMP termasuk siswa cerdas, selalu masuk tiga besar. Bahkan dirinya saja, ia rasakan saat SMP dulu masih kalah dengan Devid. Nilai raportnya biasa-biasa saja. Ia hanya berdoa, semoga Devid suatu saat nanti diberi petunjuk oleh Allah. Hanya Allah yang tahu bagaimana caranya memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki.
"Oh ya Yas, kau belum cerita bagaimana bisa kuliah di Madinah? Bagaimana si bandit kecil itu bisa kuliah di Madinah?!"
"Awalnya kan, ada seorang ulama dari Saudi yang dibawa oleh dosenku ke Grabag, Magelang. Dosenku itu aslinya Grabag, Magelang. Orangtuanya punya pesantren kecil di sana. Lha aku diminta menemani. Alhamdulillah, selama di pesantren kan setiap pakai bahasa Arab, jadi aku cukup lancar berkomunikasi dengan ulama itu. Suatu pagi, aku dipanggil sama ulama itu, diajak ngobrol. Ia bicara banyak hal, ini dan itu, dalam bahasa Arab. Aku jawab santai saja. Di akhir ngobro itu dia memberi formulir untuk aku isi.
Ternyata formulir pendaftaran Universitas Islam Madinah. Katanya, dia akan coba memasukkannya ke Madinah. Ya berarti kan coba-coba. Ya aku isi saja, aku coba. Terus formulir dibawa sama ulama itu. Dan tahun berikutnya aku dapat panggilan. Aku diterima. Ternyata ulama itu seorang dosen di sana. Begitu ceritanya."
Mobil itu terus melaju pelan ke selatan. Jalan raya yang sangat luas dengan enam belas jalur itu penuh dengan mobil. Ada dua empat jalur yang macet. Tapi jalur mobil tua kusam yang dikendarai sopir Rusia berhidung bengkok ke kiri itu tidak macet total, tetap berjalan, hanya lambat.
Dengan pasti mobil tua itu memotong Novy Arbat Ulitsa dan terus melaju ke selatan. Di kanan dan kiri jalan Ayyas menyaksikan gedung gedung kota Moskwa yang eksotik. Arsitektur klasik sesekali berdampingan dengan arsitektur modern. Ayyas menyaksikan gedung yang sangat megah dengan beberapa sentuhan pahatan yang indah.
Mobil itu belok kanan. Lalu di hadapan Ayyas, di sebelah kanan ada gedung menjulang tinggi berarsitektur metropolis.
"Kita ada di Golden Ring. Depan sebelah kanan itu Hotel Belgrad. Yang itu Golden Ring Hotel. Di belakang kita ada gedung Deplunya Rusia. Kawasan Golden Ring ini nempel dengan Smolenskaya. Ini salah satu daerah penting dan strategis di Moskwa. Aku dapat apartemen sangat murah untukmu di daerah ini."
Sejurus kemudian mobil tua itu sampai di dekat halte bis, dan berhenti. Mesinnya tetap menyala. Nampak beberapa petugas pembersih salju bekerja di pinggir jalan. Udara terasa dingin menggigit.
"Sudah sampai, ayo turun!" Kata lelaki Rusia berhidung bengkok ke kiri itu dengan wajah dingin.
"Belum. Apartemen kami di Panfilovsky Pereulok. depan White House Residence." Jawab Devid tegas dalam bahasa Rusia.
"Kamu bisa bahasa Rusia rupanya." Lelaki Rusia itu kaget.
"Iya memangnya kenapa?"
"Kenapa tadi pura-pura tidak bisa."
"Lagi malas berbahasa Rusia saja."
"Panfilovsky?"
"Ya."
"Berarti aku harus ke utara lagi?"
"Ya."
"Tambah dua puluh dolar!"
"Tidak mau. Itu kan tengah-tengah Smolenskaya."
"Iya seharusnya kamu bilang. Jadi aku tidak perlu sampai Golden Ring. Aku bisa belok di Protochny Pereulok terus ke Panvilovsky."
"Salah sendiri tidak tanya."
"Tambah sepuluh dolar!"
"Tidak!"
"Kalau begitu kalian turun di sini!"
"Baik, kami turun. Tapi kami tidak akan bayar kamu!"
"Aku bunuh kamu!"
"Silakan kalau berani, itu ada polisi. Kalau kau macam-macam aku laporkan kau pada polisi!"
"Brengsek! Kau anak setan!"
"Kau yang anak setan!"
Sambil terus mengomel dan mengumpat sopir tua itu lalu mengundurkan mobilnya pelan-pelan. Kemudian masuk ke Smolenskaya Pereulok, dan melaju pelan ke utara. Di perempatan Nikholoshcepovsky Pereulok, Ayyas melihat tiga gadis Rusia yang berjalan bersenda gurau di trotoar.
"Gadis itu cantik ya, Yas?" Gumam Devid sambil menunjuk ke arah gadis Rusia yang berdiri mau masuk mobil BMW SUV X5 hitam.
Karena muka mobil itu berlawanan arah dengan taksi yang mereka tumpangi, maka wajah gadis Rusia itu nampak jelas. Dibungkus palto biru muda, syal putih dan penutup kepala biru tua, muka gadis Rusia itu tetap nampak putih bersih.
Ia lalu berdiri tegak. Ia menenteng alat musik dan mencangklongkan ke punggungnya.
"Wuah menurutku cantik banget Yas. Itu kelihatannya gadis aristokrat, yang ia bawa itu kelihatannya biola!" Tambah Devid.
"Nggak tahu ah." Jawab Ayyas. Sekilas ia tetap melihat wajah gadis Rusia yang ditunjuk Devid.
"Tidak usah munafik Yas. Itu jauh lebih cantik dari Bu Tyas yang kau kagumi waktu SMP dulu. Bahkan aku berani bertaruh, dia berani bertanding dengan Kate Winslet."
Ada sedikit dalam hati Ayyas mengakui gadis Rusia yang ia lihat sekilas itu memang jelita. Tapi gadis Rusia yang ia temui di pesawat, yang duduk tepat di sampingnya jauh lebih memesona.
Ia belum pernah melihat perempuan secantik itu.
Ia bagai bidadari turun dari surga. Sayang ia sama sekali tidak tahu siapa gadis itu. Sepatah kata pun ia tidak berani menyapa gadis itu.
Dan gadis itu, dalam keanggunan dan pesonanya begitu tenang asyik bekerja menulis dengan
laptopnya yang tipis selama di pesawat, tawaran makan dari pramugari pun ia tolak.
Hanya sesekali gadis itu minta minum.
Inna lillah, Ayyas mengucap dalam hati, ia merasa belum sampai ke Moskwa pun ia sudah terjerat oleh fitnah kecantikan nonik muda Rusia.
Ayyas tiba-tiba begitu merasa berdosa pada AinaJ Muna, gadis manis dari Kaliwungu Kendal yang sudah dipinangnya dan ia telah berjanji untuk
setia padanya.
"Hei kok diam saja Yas. Iyakan, berani bertanding dengan Kate Winslet!"
"Sudahlah Dev. Ngomong yang lain saja, nggak usah ngomong perempuan melulu!" Tegas Ayyas seraya mengusir perasaan yang tidak-tidak
dalam benaknya.
"Lha mulai. Gaya memerintah dan mendikte khas Arab mulai keluar!" Sindir Devid.
"Masih jauh Dev? Kakiku sepertinya sudah beku." Ayyas mengalihkan pembicaraan. Ia merasa tidak ada faidahnya meladeni sindiran teman
lamanya yang bernada mengolok-olok itu.
"Kalau beku ya diamputasi Yas."
"Aku serius ini Dev!"
"Cuma bercanda. Tapi benar lho Yas, jangan sampai ada anggota tubuh kamu yang benar-benar beku. Kalau beku bisa diamputasi. Tahun lalu ada orang Filipina, teman aku, di puncak musim dingin dia tidak pakai penutup kepala yang lengkap. Daun telinganya biru beku. Ya daun telinga itu jadi kayak es yang beku dan ia terpaksa kehilangan daun telinganya."
"Aduh gimana nih, aku benar-benar kedinginan."
"Tenang, lima menit lagi sampai."
Sopir berhidung bengkok ke kiri itu kelihatannya sepintas memerhatikan tangan Devid yang menunjuk gadis Rusia. Ia langsung berkata kepada Devid dan Ayyas dalam bahasa Rusia,
"Kalian mau gadis Rusia? Aku bisa mencarikan yang lebih cantik dari gadis yang kau tunjuk itu. Sungguh!"
"Tidak terima kasih. Saya bisa cari sendiri!"
Jawab Devid juga dalam bahasa Rusia.
Ayyas hanya diam. Ia hanya mengerti sebagian saja dari isi pembicaraan itu. Yang jelas ia tahu, sopir tua itu menawarkan gadis cantik untuk mereka berdua. Seketika ia merasa, ujian yang akan dihadapinya di Moskwa tidaklah ringan. Selama ini ia bisa lurus-lurus saja karena berada di lingkungan yang lurus. Sekarang, di tengah lingkungan yang sangat jauh dari keyakinan dan norma yang dijunjungnya ia merasa akan menemukan ujian iman yang sesungguhnya.
Satu-satunya orang yang ia kenal dengan baik di Moskwa adalah Devid. Teman SMP dulu. Dan Devid pun ia rasakan sudah tidak lagi sebagai Devid layaknya orang Jawa yang penuh menjaga etika ketimuran. Devid sudah tidak lagi melihat aturan agama dalam pergaulannya dengan lawan jenis. Ia merasa, Devid susah untuk diandalkan sebagai teman yang akan mampu menjaga iman dan kebersihan jiwanya. Ia hanya berharap, Allah akan memberikan belas kasih padanya, sehingga ia selamat selama hidup di negeri komunis yang mulai kapitalis ini.
"Kau tahu Yas, sopir tua ini menawari kita
cewek Rusia?" Kata Devid pada Ayyas.
"Ya aku tahu."
"Kau mau?"
"Gila kau Dev! Itu zina! Haram!"
"He he he! Baguslah kau masih kukuh memegang keyakinanmu. Aku ingin tahu seberapa kukuh imanmu di sini. Kalau aku, sorry saja, aku sudah tidak mau dibelenggu aturan agama apa pun. He he he." Ejek Devid sambil terus
terkekeh-kekeh.
"Ya, kau akan dibelenggu oleh nafsumu sendiri! Dalam sejarahnya, orang yang dibelenggu nafsunya tidak ada yang bahagia!"
"Ah jangan mengkhotbah, Yas!"
"Kalau aku yang ngomong dianggap mengkhotbah, kalau kau yang ngomong tidak mengkhotbah. Ah, ini namanya diskriminasi dan intimidasi. Aku merdeka dong menyampaikan pendapatku."
"Okay, okay, Pak Ustadz Muhammad Ayyas," sahut Devid setengah mengejek setengah bergurau.
Ayyas diam saja tidak menanggapinya. Tiba-tiba sopir Rusia itu menghentikan
mobilnya.
"Kita sudah sampai! Ini kan apartemennya?
Ini tepat di depan The White House Residence." Tanya sopir berhidung bengkok ke kiri itu. Devid melihat ke sekeliling sebentar. Ia melihat ke kiri
dan kanannya.
"Ya, benar. Di sini tempatnya."
"Kalau begitu, cepat bayar dan cepat turun!" Hardik sopir itu.
Ayyas langsung tahu diri. Ia mengeluarkan uang seratus dolar dari dompetnya. Ia berikan kepada Devid untuk membayarkannya.
"Jangan seratus dolar Yas. Kau punya uang
pas?" Gumam Devid.
"Waduh uang pas tidak ada Dev. Ini aja, biar dia mengembalikan sisanya."
"Dia pasti akan pura-pura tidak punya kembalian. Kalau tidak percaya langsung saja berikan pada dia."
Ayyas mengulurkan seratus dolar pada sopir tua itu. Sang sopir langsung memasukkan seratus dolar itu ke sakunya, lalu tenang memandang ke
depan.
"Benarkan? Dia pura-pura tidak tahu kalau uangnya seratus dolar. Kalau kau minta kembaliannya dia akan mengatakan tidak punya."
Kata Devid sambil berkomentar.
"Hei, kembaliannya mana?" Ayyas menepuk pundak sopir Rusia itu.
"Kembalian apa?" si Rusia malah balik bertanya.
"Yang aku berikan itu seratus dolar. Ongkos taksi empat puluh dolar. Jadi kau harus mengembalikan enam puluh dolar!" Kata Ayyas agak keras.
"Aku tidak punya kembalian. Aku hanya punya sepuluh dolar! Nih ambil, dan cepat turun!"
Sopir setengah baya itu mengulurkan sepuluh
dolar.
"Orang ini memang edan Dev!" Sengit Ayyas. Devid malah tertawa terpingkal-pingkal.
"Sudah aku bilang ndak percaya, dia akan licik
begitu, Yas! Ini Rusia Yas, bukan Madinah, hahaha..."
"Terus bagaimana ini Dev?"
"Mau kau ikhlaskan lima puluh dolarmu?"
"Ya enggaklah. Aku ini mahasiswa Dev, bukan bos!"
"Ya udah, serahkan padaku!" Kata Devid mantap. Ia lalu mengambil sepuluh dolar dari tangan si sopir Rusia itu dan menepuk punggungnya
seraya berkata, "Hei kembalikan yang seratus dolar! Aku ada uang pas!"
"Sudahlah! Kalian cepat turun! Kan harga awalnya dua ratus dolar, ini sembilan puluh dolar. Ini sudah pas!"
"Baik, aku catat nomor mobilmu dan besok tunggu saja, teman-temanku dari Orekhovskaya Bratva akan menagihnya padamu!" Hardik Devidsambil membuka pintu.
"Ayyas, ayo turun!" Katanya pada Ayyas. Devid bergegas keluar dari mobil. Ayyas mengikutinya. Mereka menuju bagasi untuk menurunkan koper dan barang bawaan.
Sopir berhidung bengkok ke kiri itu turun dari mobilnya. Ia mendekati Devid sambil mengulurkan uang seratus dolarnya.
"Benar kau punya teman Orekhovskaya Bratva!?" Tanya lelaki setengah baya itu lunak.
"Buktikan saja besok!" Jawab Devid dengan nada mengancam dengan sama sekali tidak memerhatikan wajah Rusia tua itu.
"Hmm, ini aku kembalikan sekarang, tidak usah merepotkan teman-temanmu dari Orekhovskaya Bratva itu. Mana yang sepuluh dolar dan empat puluh dolar?" Sopir Rusia itu mengulurkan seratus dolar.
"Lha begitu lebih baik," Jawab Devid, ia lalu mengulurkan pecahan sepuluh dolar dan dua lembar dua puluh dolar.
"Okay, masalah kita sampai di sini ya. Sekali lagi jangan kau sertakan teman-temanmu dari Orekhovskaya Bratva ya."
"Okay."
Sopir tua berhidung bengkok ke kiri dengan wajah dingin kembali ke mobilnya. Devid member isyarat barang-barang sudah diturunkan semua dan sopir itu boleh pergi. Sedetik kemudian taksi kusam merah tua itu meninggalkan dua pemuda dari Indonesia itu.
"Orekhovskaya Bratva, itu apa Dev? Kelihatannya si Rusia itu takut sekali." Tanya Ayyas.
"Itu nama gang. Orekhovskaya Bratva itu artinya persaudaraan Orekhovskaya."
"Kau anggota gang itu Dev?"
"Ya tidaklah. Sekadar menggertak sopir Rusia resek itu aja. Ternyata manjur!"
"Kalau gang itu tahu namanya kamu bawa bawa bagaimana?"
"Ya nggak tahu. Mungkin mereka malah bangga. Namanya saja ditakuti!"
"Wah kamu bermain-main api Dev."
"Sudah jangan berpikir yang bukan-bukan."
Sambil menyeret koper, Devid lalu mengajak Ayyas segera memasuki gedung apartemen tua yang dibangun zaman pemerintahan Stalin.
Apartemen tua yang tetap nampak gagah itu terdiri atas lima lantai saja. Ia berada di kawasan sangat strategis di pusat kota Moskwa. Ia berhadapan dengan apartemen mewah yang biasa disebut The White House Residence. Dua blok tepat di sebelah utaranya berdiri megah apartemen kelas menengah atas The Sunset Residence.
Hanya perlu waktu lima menit berjalan kaki untuk sampai stasiun metro Smolenskaya. Tak jauh di sebelah selatannya adalah kawasan sibuk Golden Ring. Kremlin dan Lapangan Merah symbol kota Moskwa yang legendaris itu bisa dijangkau dengan jalan kaki. Devid menjelaskan panjang lebar letak strategis apartemen yang mereka masuki kepada Ayyas.
"Cuma sayangnya satu, Yas." Kata Devid.
"Apa itu?" Sahut Ayyas.
"Ya layaknya apartemen zaman Stalin, apartemen ini tidak ada liftnya. Apartemen seperti ini dulu memang dibangun besar-besar, di pelbagai penjuru Moskwa untuk para pegawai pemerintahdan anggota Central Comite Partai Komunis.6 Ini salah satu yang masih lestari." Jelas Devid.
"Yang kita tuju lantai berapa Dev?"
"Lantai tiga."
"Alhamdulillah, tidak lantai lima."
"Kita angkat kopermu ini dulu bersama, baru nanti kita ambil barang-barangmu yang lain."
"Baik."
Ketika mereka hendak mengangkat koper, sekonyong-konyong seorang gadis Rusia memakai palto merah hati turun dari tangga dengan agak tergesa-gesa. Gadis itu tersenyum dan menyapa Devid dengan bahasa Rusia,
"Hai Devid, ini temanmu yang akan tinggal di atas ya?"
"Hai Yelena. Iya, ini temanku. Kenalkan namanya Ayyas. Lengkapnya Muhammad Ayyas:"
Gadis Rusia itu mengulurkan tangan kanannya mengajak berjabat tangan.
"Sorry, tanganku kaku kedinginan. E, e, senang kenalan dengan Anda." Jawab Ayyas agak tergagap dalam bahasa Rusia yang terbata-bata.
Sekilas Ayyas menatap mata birunya yang menawan.
"O ya wajar itu, kau pasti baru pertama kali ke sini. Dabro pozhalovath v Moskve"! (Selamat datang di Moskwa) Tukas Yelena.
"Iya. Kau benar. Terima kasih." Jawab Ayyas
"Mau ke mana kau Yelena? Tidak menyambut temanku ini dulu?" Ujar Devid.
"Maaf, aku harus ke Tverskaya, ada acara. Jam delapan malam aku pulang. Aku pergi dulu ya." Jawab Yelena dan langsung bergegas keluar gedung. Devid mengikuti langkah Yelena sampai hilang dari pandangan.
"Cantik ya Yas? Ada darah Finland dalam dirinya. Kau beruntung. Kau akan tinggal satu apartemen dengannya. Gunakan kesempatan sebaik-baiknya." Gumam Devid sambil tersenyum menggoda Ayyas.
"Apa Dev!? Kau jangan main-main denganku! Aku masih waras Dev! Aku tidak mungkin bisa hidup bebas seperti kamu!" Muka Ayyas merah padam. Ia merasa Devid sengaja mempermainkannya dengan menyewakan tempat tinggal satu apartemen dengan gadis bule yang katanya berdarah Finland.
"Tenang, Sobat. Jangan marah dulu. Kita bawa dulu barangmu ke atas. Nanti aku jelaskan semuanya. Aku sama sekali tidak bermaksud menjerumuskan kamu. Aku berusaha mencarikan tempat yang menurutku saat ini terbaik untukmu. Dengarkan dulu semua penjelasanku, baru kau boleh marah kalau kau memang ingin marah. Okay?"
"Baik!" Jawab Ayyas dengan muka masih merah padam.
"Yang rileks sedikitlah Bos. Aku ini temanmu, percayalah padaku!"
Gumpalan tipis lembut bagai kapas nan putih itu terus turun perlahan lalu menempel di aspal, rerumputan, tanah, atap-atap gedung dan menyepuh
kota Moskwa menjadi serba putih. Kota katedral itu seolah diselimuti jubah ihram orang orang suci. Dalam suasana serba putih, Moskwa seolah memamerkan keindahan sihirnya di musim dingin.
Jalan-jalan yang putih. Katedral-katedral dan bangunan berbentuk kastil yang disepuh salju. Pucuk-pucuk cemara araukaria yang bertahtakan butir-butir putih.
Taman-taman yang menjelma hamparan permadani serba putih. Air mancur
yang membeku menciptakan keindahan ukiran kristal. Dan, pesona jelita muka nonik-nonik muda Rusia dalam balutan rapat palto merah muda tebal berkelas. Semua berpadu menjadi sihir kota Moskwa di musim dingin.
Sihir musim dingin kota Moskwa adalah sihir impian surgawi dalam negeri-negeri dongeng.
Matahari sama sekali tidak ada tanda-tanda menampakkan sinarnya. Pohon-pohon bereozka di kanan-kiri jalan sesekali bergoyang dihempas angin. Pohon-pohon bereozka itu nampak begitu pasrah kepada takdir Tuhan seru sekalian alam.
Ia meranggas diam dalam dingin yang mencekam. Daun-daunnya telah tanggal satu persatu sejak musim dingin mulai memakai jubah putihnya. Angin dingin terus berhembus perlahan dari kutub utara, menambah suhu udara semakin dingin membekukan apa saja.
Salju beterbangan dan melayang turun perlahan. Pohon-pohon pinus di hutan-hutan kecil di pinggir bandara Sheremetyevo menggigil
kedinginan. Suhu minus empat belas derajat celcius. Orang-orang menutupi tubuhnya dengan pakaian tebal serapat-rapatnya. Rumah-rumah
dan gedung-gedung menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat. Tak boleh ada sedikit pun angin dingin yang masuk. Sebab, membiarkan angin dingin leluasa memasuki rumah dan gedung, kadangkala bisa mengundang aroma
jahat kematian.
Alat-alat pemanas ruangan dinyalakan sepanjang siang dan malam, demi
menghangatkan badan. Salju yang turun perlahan dan hawa dingin
yang menggigit tulang, sama sekali tidak menghalangi arus lalu lalang orang-orang di bandara Sheremetyevo. Tiga buah taksi datang menurunkan penumpang. Dengan tergesa-gesa setelah membayar ongkos dan menurunkan koper bawaan, para penumpang itu masuk ke dalam bandara.
Dua shuttle bus "marshrutka" Nampak menaikkan penumpang yang baru keluar dari bandara .
Para sopir carteran berebutan penumpang. Seorang lelaki setengah baya, yang
punggungnya sedikit bongkok berwajah khas Rusia, dengan hidung mancung sedikit bengkok ke kiri memandangi orang-orang yang keluar bandara dengan wajah dingin. Tangan kanannya memainkan kunci mobil, sementara tangan kirinya ia masukkan ke saku palto-nya (Mantel musim dingin yang sangat tebal) yang tebal dan kusam.
Lelaki berhidung bengkok ke kiri itu terus memainkan kunci mobilnya. Kedua kakinya ia gerak-gerakkan mengusir dingin. Tiba-tiba kedua kakinya berhenti. Mulutnya menyungging senyum. Kedua matanya begitu berbinar menatap dua anak muda berwajah asing, wajah Asia Tenggara.
Ia sangat hafal wajah-wajah bangsa-bangsa yang keluar dari bandara Sheremetyevo.
"Yas, kamu membuat aku pangkling. Sudah sembilan tahun kita tidak bertemu. Kamu sekarang jauh lebih gagah dan lebih ganteng dari
Ayyas saat SMP dulu." Kata pemuda berkaca mata.
"Ah yang benar aja Dev?" Sahut Ayyas.
"Sungguh. Dulu kamu itu paling kecil dan paling krempeng di kelas. Sekarang jadi tinggi dan lumayan gagah. Tidak menyangka. Apa karena kamu sering makan daging unta waktu kuliah di Arab sana?"
"Ah Devid...Devid, caramu bicara kok tidak berubah, segar dan masih suka guyon. Lha kamu sendiri ini tambah gemuk dan putih. Apa karena suka makan daging Beruang Putih selama kuliah di sini?"
"Beruangnya Mbahmu!"
"Sudah Dev, cepetan yuk, jangan bercanda terus. Masya Allah, dingin sekali Dev. Ini aku sudah rangkap empat lho. Plus jaket tebal yang kubeli di New Delhi. Wuih ternyata masih tembus. Dev, ayo cepatlah, mana taksi atau busnya! Bisa mati membeku aku kalau agak lama di sini."
Ayyas menggigil dalam jaket hijau tuanya. Uap hangat keluar dari mulutnya saat bicara. Ia kencangkan kuncian sedekap kedua tangan di dadanya.
"Kita bisa naik bus, metro, atau marshrutka. Tapi kita naik taksi carteran saja ya. Biar tidak repot angkat barang." Jawab Devid yang nampak lebih tenang dan berpengalaman, sambil membenarkan letak kaca matanya. Ia mengenakan palto hitam dan perlengkapan musim dingin sempurna layaknya orang Rusia pada umumnya.
"Boleh lah. Yang penting cepat sampai apartemen. Uh, dinginnya masya Allah”
Laki-laki berhidung bengkok ke kiri mendekat. Dengan muka dingin ia menyapa dua pemuda itu dengan bahasa Rusia.
"Dabro dentl Vi otkuda?" (Selamat siang, Kalian dari mana?)
Devid geleng-geleng kepala dan memasang muka tidak mengerti.
"Dev, tidak usah main-mainlah. Jawablah, masak kamu tidak bisa bahasa Rusia? Dingin nih!"
Protes pemuda berjaket hijau tua.
"Tenang Yas. Aku mau pura-pura tidak bisa bahasa Rusia. Supaya engkau tahu, bagaimana si Rusia tua ini memperlakukan kita. Dia pasti mengira
kita berdua ini benar-benar makanan empuknya. Katanya kau mau meneliti sejarah Rusia, ya biar tahu sekalian watak asli masyarakatnya."
"Oke, tapi cepat ya, aku sudah mau beku rasanya!"
"Kholodno?” (dingin) Sapa lelaki Rusia lagi.
" What? What is kholodno?" Jawab Devid pura-pura tidak tahu.
"Kholodno, kholodno..." Kata lelaki Rusia sambil mendekap dadanya dan menggigilkan tubuhnya.
Ia lalu menunjuk-nunjuk pemuda berjaket hijau tua lantas berakting menggigil. Kemudian ia menawarkan untuk naik taksinya. Lalu terjadilah dialog dengan bahasa isyarat antara lelaki Rusia berhidung mencong ke kiri itu dengan pemuda berkaca mata. Pemuda berkaca mata lalu mengambil pena dan secarik kertas dari saku paltonya. Ia menulis alamat apartemennya, dan menyerahkannya pada lelaki itu. Meskipun ditulis dengan huruf latin dan tidak dalam huruf Cyrilic Rusia, lelaki itu bisa membaca.
"Mmm, Panfilovsky, Smolenskaya..." Gumam lelaki Rusia itu seraya mengambil pena dari saku paltonya. Ia menulis angka dua ratus dolar di atas secarik kertas itu dan memperlihatkan pada pemuda berkaca mata. Melihat angka yang tertulis seketika pemuda itu menggelengkan kepala tidak setuju.
"Gila orang Rusia ini Yas! Dia sangat yakin kita bisa dibodohin dan dibantainya dengan mudah. Masa sekali jalan dari Sheremetyevo ke Smolenskaya dua ratus dolar. Padahal kalau naik bis paling 25 rubel. Terlalu jauh bedanya."
"Ya sudah Dev, kita naik bis saja, yang murah."
"Tidak Yas. Kalau naik bis belum sampai apartemen nanti kau sudah membeku duluan. Bisnya itu berhenti di mana saja, berkali-kali. Bisa dua jam kita di jalan. Apalagi kalau nanti macet."
"Terus bagaimana? Aduh semakin dingin Dev."
"Aku tawar sekali ya. Jika dia tidak mau kita cari taksi lain." Devid minta persetujuan, Ayyas mengangguk.
Devid lalu menulis angka empat puluh dolar dan ia tunjukkan pada lelaki berhidung bengkok ke kiri itu. Lelaki itu menggeleng. Ia lalu menulis angka delapan puluh.
Pemuda agak gemuk berkaca mata itu menggeleng seraya melangkahkan kaki ke arah kerumunan sopir taksi yang lain. Segera lelaki Rusia itu meraih pundaknya dan menulis angka lima puluh dolar.
Devid kembali menggeleng dan mengibarkan tangan lelaki Rusia berhidung bengkok ke kiri itu. Tangannya meraih tas koper dan menyeretnya dengan langkah pasti. Ayyas bergegas mengikuti.
Baru lima langkah, Rusia berhidung bengkok ke kiri itu mengejar dan kembali memegang pundaknya. Dengan suara agak parau ia mengatakan, "Oke!"
Lelaki Rusia setengah baya itu dengan wajah dingin tanpa senyum memberi isyarat dengan tangan kanannya agar Devid dan Ayyas mengikutinya.
Lelaki berhidung bengkok ke kiri itu berjalan sambil memain-mainkan kunci mobilnya.
Ia sama sekali tidak memedulikan Devid dan Ayyas yang sedang menyeret koper dan barang-barang bawaan. Devid dan Ayyas mengikuti di belakangnya. Lelaki Rusia itu membuka mobilnya. Ayyas kaget dan tertegun sesaat.
Mobil merah tua yang sangat kusam.
"Dev, mobilnya rongsokan begitu!" Protes Ayyas.
"Kita naik saja. Kalau kau tidak naik taksi yang seperti ini belum benar-benar mengenal Moskwa!" Jawab Devid mantap.
"Kalau mesinnya ngadat di jalan gimana?"
"Ya berdoa saja semoga tidak."
Sopir berhidung bengkok ke kiri itu membuka bagasi dan memberi isyarat agar Devid dan Ayyas memasukkan koper dan barang-barang bawaannya ke bagasi. Ia sendiri hanya melihat, tak ada basa-basi membantu menaikkan koper.
Setelah semua barang masuk, ia membanting tutup bagasinya dengan keras. Ia langsung masuk dan menyalakan mesin. Beberapa kali dicoba tidak nyala, kali yang ke empat barulah menyala.
Mobil kusam merah tua itu meraung-raung. Devid bergegas masuk. Ayyas agak ragu, tapi Devid menarik lengannya untuk segera masuk.
Mereka duduk di kursi belakang. Mobil merah tua buatan Jepang itu bergerak meninggalkan bandara Sheremetyevo. Salju tipis masih turun, tapi jarang-jarang. Sopir tua itu mengarahkan mobil merah tuanya melewati Leningradskoy Shosse. Memasuki jembatan jalan tol MKAD, 2x2x1 Moskovsky Koltso Automomobilny Daroga, salju sudah tidak turun lagi. Tapi di mana-mana pemandangan putih terhampar.
"Dablo Pozhalovath v Moskve!" Seru sopir Rusia setengah baya itu setengah bergumam dengan wajah tetap dingin memandang ke depan.
"Apa katanya?" Tanya Ayyas pada Devid.
"Lho katanya kamu sudah bisa bahasa Rusia."
"Cuma dikit-dikit. Terus si Rusia tua ini ngomongnya kayak bergumam sih, jadi tidak jelas."
"Ya dia cuma mengatakan selamat datang di Rusia."
"O."
Mobil kusam merah tua itu terus melaju. Kecepatannya tidak bisa lebih dari enam puluh kilometer per jam. Ayyas semakin mengencangkan
kuncian sedekap kedua tangannya di dada. Mobil tua itu tidak dilengkapi AC panas ataupun dingin.
Di kanan kiri jalan sesekali nampak pohon bereozka. Gedung-gedung berarsitektur modern. Juga bangunan-bangunan pabrik. Sopir setengah
baya itu sama sekali diam. Ekspresinya dingin. Hanya kepalanya yang nampak sesekali menggeleng ke kiri dan ke kanan seolah mengiringi suara mobil tua yang sesekali seperti meraung dan terbatuk-batuk. Anehnya mobil itu
tetap berjalan dengan pasti.
Memasuki Leningradsky Prospek yang lebih lebar, sopir setengah baya itu mencoba menambah kecepatan mobilnya. Namun kecepatannya tidak bisa bertambah lagi.
"Dasar mobil tua!" Umpat sopir berhidung
bengkok ke kiri itu.
"Jadi setelah lulus SMP itu kamu ke pesantren
ya Yas?" Tanya Devid. Ia samasekali tidak menggubris
umpatan sopir Rusia itu.
"Iya. Ke Pasuruan. Kelas tiga Aliyah aku
pindah ke Pesantren Kajoran Magelang yang diasuh
Kiai Lukman Hakim."
"Terus, begitu lulus pesantren kamu langsung
ke Saudi?"
"Tidak."
"Lho katanya kuliah di Madinah."
"Iya setelah lulus pesantren aku sempat kuliah
di IAIN Jakarta, sambil memasukkan berkas ke
Madinah. Coba-coba saja. E, ternyata diterima.
Jadi ya sempat di Jakarta satu tahun."
6.
"Jadi, mudah dong kuliah di Madinah?"
"Sebenarnya tidak juga."
"Lalu bagaimana ceritanya kamu bisa kuliah di Madinah? Aku sama sekali tidak menyangka, kamu bandit kecil waktu SMP itu bisa kuliah di Madinah!"
"Ah iya ya, aku dulu waktu SMP sempat dijuluki bandit kecil sama Bu Tyas, guru bahasa Inggris kita. Gara-garanya ketika Bu Tyas menuliskan soal bahasa Inggris di papan tulis aku jepret punggungnya pakai karet. Dia benar-benar marah dan menjuluki aku bandit kecil." Ayyas mengenang masa-masa ia nakal dulu.
"Tak habis pikir, aku kok dulu bisa kurang ajar begitu ya." Lanjut Ayyas sambil gelenggeleng kepala.
"Saat itu aku juga kaget lho Yas. Lha wong aku saja yang kurasa lebih bandel darimu tidak sampai jepret guru. Kamu yang kecil, kerempeng kok tiba-tiba melakukan hal gila seperti itu. Aku sampai bertanya-tanya, setan apa sih yang merasuki kamu waktu itu?"
"Kamu masih ingat banget kejadian itu Dev?"
"Oh itu kenangan yang mungkin tidak akan terlupakan seumur hidup Yas. Kelakukanmu itu sangat kelewatan. Bu Tyas marah besar. Lalu telingamu dijewernya sampai merah. Setelah itu beliau tidak mau mengajar satu bulan lamanya. Dan kamu dihukum tidak boleh masuk sekolah dua minggu. Kamu lalu minta maaf pada Bu Tyas dengan wajah pura-pura memelas. Dan Bu Tyas mau memaafkan asal kamu berdiri di depan kelas selama Bu Tyas mengajar dalam satu semester."
"Dan aku mematuhi syarat Bu Tyas. Kejadian penjepretan itu di awal semester. Jadi hampir satu semester selama pelajaran bahasa Inggris aku berdiri bagai patung di depan kelas dengan satu kaki. Sampai beberapa teman perempuan kita menjuluki aku 'si bandit kecil berkaki satu'."
"Yang aku heran, kamu saat itu kok kelihatan begitu tenang menjalani hukuman itu. Kamu juga tidak lari pulang ke rumah pada saat pelajaran terakhir. Kamu begitu setia menunggu Bu Tyas masuk kelas, lalu kamu dengan tanpa disuruh langsung ke depan kelas dan berdiri dengan kaki satu, lalu diam bagai patung sampai kelas bubar. Apa sih yang membuatmu melakukan kejahilan gila itu."
"Ya benar Dev. Itu kejahilan. Aku sangat jahiliyyah saat itu. Tahu nggak kenapa aku jepret punggung Bu Tyas?"
"Kenapa?"
"Saat itu Bu Tyas aku anggap perempuan paling cantik yang pernah kulihat. Kelemahanku sejak aku mengerti wajah cantik, aku sangat rapuh berhadapan dengan wajah cantik. Entah setan apa yang merasukiku saat itu, aku ingin sekali melihat Bu Tyas marah. Aku ingin tahu kalau dia benar-benar marah apa masih cantik. Akhirnya tanpa banyak berpikir aku jepretlah punggung Bu Tyas dengan karet sekuat tenaga. Pasti beliau kesakitan, sebab aku kan duduk di bangku depan.
Dia marah besar. Saat marah wajahnya ternyata, menurutku sangat mengerikan. Sejak itu aku tidak lagi melihat Bu Tyas sebagai perempuan yang paling cantik. Dan aku bersabar menerima hukuman itu sebab aku insaf bahwa aku harus mempertanggungjawabkan kesalahanku. Dan aku harus mendapatkan maaf dari Bu Tyas, sebab saat itu kita kan kelas tiga. Aku takut tidak bisa ikut ujian akhir."
"O begitu, baru sekarang aku tahu Yas. Wah, kalau begitu kau semestinya tidak ke Moskwa Yas?"
"Memang kenapa?"
"Nonik-nonik Rusia ini terkenal cantik-cantik. Nanti kaubuktikan saja. Apa kau masih rapuh melihat wanita cantik?"
"Entahlah."
"Wah bahaya ini! Jangan salahkan aku kalau kamu nanti jadi bandit di Moskwa ini, tidak lagi sekadar bandit kecil. Tapi benar-benar bandit. Yang akan kau hadapi godaan perempuan Moskwa, Yas. Godaan perempuan di Jawa tidaklah bisa dibandingkan dengan dahsyatnya godaan perempuan sini.
"Aku di sini kan niatnya bukan untuk hura hura, apalagi cari perempuan Dev."
"Bukan begitu. Terserah apa tujuanmu. Mau belajar, mau penelitian, atau apa saja, godaan perempuan Rusia akan terus menguntitmu. Bahkan dalam mimpi-mimpimu. Kalau tidak percaya, ya nanti buktikan saja!"
Ayyas menghela nafas. Ia merasa yang dikatakan temannya itu benar. Teman-temannya dari Rusia saat kuliah di Madinah beberapa kali pernah menyampaikan hal yang sama. Sebagian mereka ada yang memperlihatkan foto keluarga mereka. Kaum perempuannya jarang yang tidak bermuka jelita. Ia memejamkan mata dan berdoa,
"Audzubillahi min fitnatin nisaa” (Aku berlindung kepada Allah dari fitnah perempuan)
Mobil merah tua terus berjalan melewati kawasan Belorusskaya, lalu merambah aspal bersalju Tveskaya-Yamkaya Ulista. Dan beberapa saat kemudian mulai memasuki pusat kota Moskwa yang ditandai dengan jalan lingkardalam, yang disebut koltso (Koltso artinya cincin.
Itu karena jalan lingkar dalam Moskwa seperti cincin yang melingkari jantung kota Moskwa. Di dalam lingkaran koltso itulah istana Kremlin dan bangunan paling penting dan paling bersejarah bagi Rusia berada)
Mobil tua itu kini melaju sedang di koltso Sadovaya. Ayyas melihat berbagai merek mobil yang ia rasa aneh, dan belum pernah ia temui di Indonesia, Saudi maupun India. Ada mobil berwarna hitam bermerek Volda. Ada yang bermerek Gazel, ada Lada, ada Sputnik Zhiguli dan ada Moskvich. Ia rasa itu adalah mobil-mobil buatan Rusia.
Tiba-tiba mobil merah tua yang mereka naiki disalib oleh mobil mewah, Roll-
Royce. Tepat di belakang Roll-Royce mobil Porsche biru langit mengikuti.
"Kalau kamu setelah lulus SMP ke mana Dev? Terus bagaimana ceritanya sampai kuliah di sini?"
"Ceritanya panjang dan berliku. Intinya, lulus SMP aku langsung ke Bandung. Karena ayah pindah tugas di Bandung. Aku melanjutkan sekolah di Bandung. Selesai SMA aku kuliah di Singapura. Di Singapura aku kenalan dengan mahasiswi dari Rusia, namanya Eva Telyantikova. Usianya lebih tua dariku, tapi sangat cantik. Secantik para tsarina klasik Rusia. Aku dan Eva sangat dekat, kami hidup serumah cara Barat. Kau nanti akan tahu sendiri apa yang aku maksud. Kami sama-sama lulus. Ketika Eva pulang ke Rusia, ke St. Petersburg, aku ikuti dia. Aku tinggalkan kuliahku di Singapura dan pindah ke
St. Petersburg sampai sekarang."
"Jadi kau sudah menikah dengan perempuan Rusia?"
Devid menggelengkan kepala.
"Terus!?" Tanya Ayyas agak kaget.
"Ya awalnya kami hidup satu rumah. Sewa apartemen. Biasa saja, layaknya orang-orang Eropa hidup. Sekarang kami berpisah. Eva hidup dengan lelaki dari Polandia. Dan aku sementara sendiri. Kau mungkin kaget mendengar cara
hidupku, Yas. Ya sorry saja, aku sudah lama tidak hidup dengan cara Timur. Aku sangat menikmati hidup bebas cara Rusia, cara Eropa. Kalau kau benar-benar menghayati hidup di Rusia, nanti kau akan rasakan enaknya hidup bebas tanpa banyak aturan kayak di Jawa atau Saudi."
Ayyas menarik nafas panjang. Ia hanya beristighfar di dalam hati. Ia tidak mungkin menceramahi Devid, sebab Devid bukan orang bodoh. Devid dulu di SMP termasuk siswa cerdas, selalu masuk tiga besar. Bahkan dirinya saja, ia rasakan saat SMP dulu masih kalah dengan Devid. Nilai raportnya biasa-biasa saja. Ia hanya berdoa, semoga Devid suatu saat nanti diberi petunjuk oleh Allah. Hanya Allah yang tahu bagaimana caranya memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki.
"Oh ya Yas, kau belum cerita bagaimana bisa kuliah di Madinah? Bagaimana si bandit kecil itu bisa kuliah di Madinah?!"
"Awalnya kan, ada seorang ulama dari Saudi yang dibawa oleh dosenku ke Grabag, Magelang. Dosenku itu aslinya Grabag, Magelang. Orangtuanya punya pesantren kecil di sana. Lha aku diminta menemani. Alhamdulillah, selama di pesantren kan setiap pakai bahasa Arab, jadi aku cukup lancar berkomunikasi dengan ulama itu. Suatu pagi, aku dipanggil sama ulama itu, diajak ngobrol. Ia bicara banyak hal, ini dan itu, dalam bahasa Arab. Aku jawab santai saja. Di akhir ngobro itu dia memberi formulir untuk aku isi.
Ternyata formulir pendaftaran Universitas Islam Madinah. Katanya, dia akan coba memasukkannya ke Madinah. Ya berarti kan coba-coba. Ya aku isi saja, aku coba. Terus formulir dibawa sama ulama itu. Dan tahun berikutnya aku dapat panggilan. Aku diterima. Ternyata ulama itu seorang dosen di sana. Begitu ceritanya."
Mobil itu terus melaju pelan ke selatan. Jalan raya yang sangat luas dengan enam belas jalur itu penuh dengan mobil. Ada dua empat jalur yang macet. Tapi jalur mobil tua kusam yang dikendarai sopir Rusia berhidung bengkok ke kiri itu tidak macet total, tetap berjalan, hanya lambat.
Dengan pasti mobil tua itu memotong Novy Arbat Ulitsa dan terus melaju ke selatan. Di kanan dan kiri jalan Ayyas menyaksikan gedung gedung kota Moskwa yang eksotik. Arsitektur klasik sesekali berdampingan dengan arsitektur modern. Ayyas menyaksikan gedung yang sangat megah dengan beberapa sentuhan pahatan yang indah.
Mobil itu belok kanan. Lalu di hadapan Ayyas, di sebelah kanan ada gedung menjulang tinggi berarsitektur metropolis.
"Kita ada di Golden Ring. Depan sebelah kanan itu Hotel Belgrad. Yang itu Golden Ring Hotel. Di belakang kita ada gedung Deplunya Rusia. Kawasan Golden Ring ini nempel dengan Smolenskaya. Ini salah satu daerah penting dan strategis di Moskwa. Aku dapat apartemen sangat murah untukmu di daerah ini."
Sejurus kemudian mobil tua itu sampai di dekat halte bis, dan berhenti. Mesinnya tetap menyala. Nampak beberapa petugas pembersih salju bekerja di pinggir jalan. Udara terasa dingin menggigit.
"Sudah sampai, ayo turun!" Kata lelaki Rusia berhidung bengkok ke kiri itu dengan wajah dingin.
"Belum. Apartemen kami di Panfilovsky Pereulok. depan White House Residence." Jawab Devid tegas dalam bahasa Rusia.
"Kamu bisa bahasa Rusia rupanya." Lelaki Rusia itu kaget.
"Iya memangnya kenapa?"
"Kenapa tadi pura-pura tidak bisa."
"Lagi malas berbahasa Rusia saja."
"Panfilovsky?"
"Ya."
"Berarti aku harus ke utara lagi?"
"Ya."
"Tambah dua puluh dolar!"
"Tidak mau. Itu kan tengah-tengah Smolenskaya."
"Iya seharusnya kamu bilang. Jadi aku tidak perlu sampai Golden Ring. Aku bisa belok di Protochny Pereulok terus ke Panvilovsky."
"Salah sendiri tidak tanya."
"Tambah sepuluh dolar!"
"Tidak!"
"Kalau begitu kalian turun di sini!"
"Baik, kami turun. Tapi kami tidak akan bayar kamu!"
"Aku bunuh kamu!"
"Silakan kalau berani, itu ada polisi. Kalau kau macam-macam aku laporkan kau pada polisi!"
"Brengsek! Kau anak setan!"
"Kau yang anak setan!"
Sambil terus mengomel dan mengumpat sopir tua itu lalu mengundurkan mobilnya pelan-pelan. Kemudian masuk ke Smolenskaya Pereulok, dan melaju pelan ke utara. Di perempatan Nikholoshcepovsky Pereulok, Ayyas melihat tiga gadis Rusia yang berjalan bersenda gurau di trotoar.
"Gadis itu cantik ya, Yas?" Gumam Devid sambil menunjuk ke arah gadis Rusia yang berdiri mau masuk mobil BMW SUV X5 hitam.
Karena muka mobil itu berlawanan arah dengan taksi yang mereka tumpangi, maka wajah gadis Rusia itu nampak jelas. Dibungkus palto biru muda, syal putih dan penutup kepala biru tua, muka gadis Rusia itu tetap nampak putih bersih.
Ia lalu berdiri tegak. Ia menenteng alat musik dan mencangklongkan ke punggungnya.
"Wuah menurutku cantik banget Yas. Itu kelihatannya gadis aristokrat, yang ia bawa itu kelihatannya biola!" Tambah Devid.
"Nggak tahu ah." Jawab Ayyas. Sekilas ia tetap melihat wajah gadis Rusia yang ditunjuk Devid.
"Tidak usah munafik Yas. Itu jauh lebih cantik dari Bu Tyas yang kau kagumi waktu SMP dulu. Bahkan aku berani bertaruh, dia berani bertanding dengan Kate Winslet."
Ada sedikit dalam hati Ayyas mengakui gadis Rusia yang ia lihat sekilas itu memang jelita. Tapi gadis Rusia yang ia temui di pesawat, yang duduk tepat di sampingnya jauh lebih memesona.
Ia belum pernah melihat perempuan secantik itu.
Ia bagai bidadari turun dari surga. Sayang ia sama sekali tidak tahu siapa gadis itu. Sepatah kata pun ia tidak berani menyapa gadis itu.
Dan gadis itu, dalam keanggunan dan pesonanya begitu tenang asyik bekerja menulis dengan
laptopnya yang tipis selama di pesawat, tawaran makan dari pramugari pun ia tolak.
Hanya sesekali gadis itu minta minum.
Inna lillah, Ayyas mengucap dalam hati, ia merasa belum sampai ke Moskwa pun ia sudah terjerat oleh fitnah kecantikan nonik muda Rusia.
Ayyas tiba-tiba begitu merasa berdosa pada AinaJ Muna, gadis manis dari Kaliwungu Kendal yang sudah dipinangnya dan ia telah berjanji untuk
setia padanya.
"Hei kok diam saja Yas. Iyakan, berani bertanding dengan Kate Winslet!"
"Sudahlah Dev. Ngomong yang lain saja, nggak usah ngomong perempuan melulu!" Tegas Ayyas seraya mengusir perasaan yang tidak-tidak
dalam benaknya.
"Lha mulai. Gaya memerintah dan mendikte khas Arab mulai keluar!" Sindir Devid.
"Masih jauh Dev? Kakiku sepertinya sudah beku." Ayyas mengalihkan pembicaraan. Ia merasa tidak ada faidahnya meladeni sindiran teman
lamanya yang bernada mengolok-olok itu.
"Kalau beku ya diamputasi Yas."
"Aku serius ini Dev!"
"Cuma bercanda. Tapi benar lho Yas, jangan sampai ada anggota tubuh kamu yang benar-benar beku. Kalau beku bisa diamputasi. Tahun lalu ada orang Filipina, teman aku, di puncak musim dingin dia tidak pakai penutup kepala yang lengkap. Daun telinganya biru beku. Ya daun telinga itu jadi kayak es yang beku dan ia terpaksa kehilangan daun telinganya."
"Aduh gimana nih, aku benar-benar kedinginan."
"Tenang, lima menit lagi sampai."
Sopir berhidung bengkok ke kiri itu kelihatannya sepintas memerhatikan tangan Devid yang menunjuk gadis Rusia. Ia langsung berkata kepada Devid dan Ayyas dalam bahasa Rusia,
"Kalian mau gadis Rusia? Aku bisa mencarikan yang lebih cantik dari gadis yang kau tunjuk itu. Sungguh!"
"Tidak terima kasih. Saya bisa cari sendiri!"
Jawab Devid juga dalam bahasa Rusia.
Ayyas hanya diam. Ia hanya mengerti sebagian saja dari isi pembicaraan itu. Yang jelas ia tahu, sopir tua itu menawarkan gadis cantik untuk mereka berdua. Seketika ia merasa, ujian yang akan dihadapinya di Moskwa tidaklah ringan. Selama ini ia bisa lurus-lurus saja karena berada di lingkungan yang lurus. Sekarang, di tengah lingkungan yang sangat jauh dari keyakinan dan norma yang dijunjungnya ia merasa akan menemukan ujian iman yang sesungguhnya.
Satu-satunya orang yang ia kenal dengan baik di Moskwa adalah Devid. Teman SMP dulu. Dan Devid pun ia rasakan sudah tidak lagi sebagai Devid layaknya orang Jawa yang penuh menjaga etika ketimuran. Devid sudah tidak lagi melihat aturan agama dalam pergaulannya dengan lawan jenis. Ia merasa, Devid susah untuk diandalkan sebagai teman yang akan mampu menjaga iman dan kebersihan jiwanya. Ia hanya berharap, Allah akan memberikan belas kasih padanya, sehingga ia selamat selama hidup di negeri komunis yang mulai kapitalis ini.
"Kau tahu Yas, sopir tua ini menawari kita
cewek Rusia?" Kata Devid pada Ayyas.
"Ya aku tahu."
"Kau mau?"
"Gila kau Dev! Itu zina! Haram!"
"He he he! Baguslah kau masih kukuh memegang keyakinanmu. Aku ingin tahu seberapa kukuh imanmu di sini. Kalau aku, sorry saja, aku sudah tidak mau dibelenggu aturan agama apa pun. He he he." Ejek Devid sambil terus
terkekeh-kekeh.
"Ya, kau akan dibelenggu oleh nafsumu sendiri! Dalam sejarahnya, orang yang dibelenggu nafsunya tidak ada yang bahagia!"
"Ah jangan mengkhotbah, Yas!"
"Kalau aku yang ngomong dianggap mengkhotbah, kalau kau yang ngomong tidak mengkhotbah. Ah, ini namanya diskriminasi dan intimidasi. Aku merdeka dong menyampaikan pendapatku."
"Okay, okay, Pak Ustadz Muhammad Ayyas," sahut Devid setengah mengejek setengah bergurau.
Ayyas diam saja tidak menanggapinya. Tiba-tiba sopir Rusia itu menghentikan
mobilnya.
"Kita sudah sampai! Ini kan apartemennya?
Ini tepat di depan The White House Residence." Tanya sopir berhidung bengkok ke kiri itu. Devid melihat ke sekeliling sebentar. Ia melihat ke kiri
dan kanannya.
"Ya, benar. Di sini tempatnya."
"Kalau begitu, cepat bayar dan cepat turun!" Hardik sopir itu.
Ayyas langsung tahu diri. Ia mengeluarkan uang seratus dolar dari dompetnya. Ia berikan kepada Devid untuk membayarkannya.
"Jangan seratus dolar Yas. Kau punya uang
pas?" Gumam Devid.
"Waduh uang pas tidak ada Dev. Ini aja, biar dia mengembalikan sisanya."
"Dia pasti akan pura-pura tidak punya kembalian. Kalau tidak percaya langsung saja berikan pada dia."
Ayyas mengulurkan seratus dolar pada sopir tua itu. Sang sopir langsung memasukkan seratus dolar itu ke sakunya, lalu tenang memandang ke
depan.
"Benarkan? Dia pura-pura tidak tahu kalau uangnya seratus dolar. Kalau kau minta kembaliannya dia akan mengatakan tidak punya."
Kata Devid sambil berkomentar.
"Hei, kembaliannya mana?" Ayyas menepuk pundak sopir Rusia itu.
"Kembalian apa?" si Rusia malah balik bertanya.
"Yang aku berikan itu seratus dolar. Ongkos taksi empat puluh dolar. Jadi kau harus mengembalikan enam puluh dolar!" Kata Ayyas agak keras.
"Aku tidak punya kembalian. Aku hanya punya sepuluh dolar! Nih ambil, dan cepat turun!"
Sopir setengah baya itu mengulurkan sepuluh
dolar.
"Orang ini memang edan Dev!" Sengit Ayyas. Devid malah tertawa terpingkal-pingkal.
"Sudah aku bilang ndak percaya, dia akan licik
begitu, Yas! Ini Rusia Yas, bukan Madinah, hahaha..."
"Terus bagaimana ini Dev?"
"Mau kau ikhlaskan lima puluh dolarmu?"
"Ya enggaklah. Aku ini mahasiswa Dev, bukan bos!"
"Ya udah, serahkan padaku!" Kata Devid mantap. Ia lalu mengambil sepuluh dolar dari tangan si sopir Rusia itu dan menepuk punggungnya
seraya berkata, "Hei kembalikan yang seratus dolar! Aku ada uang pas!"
"Sudahlah! Kalian cepat turun! Kan harga awalnya dua ratus dolar, ini sembilan puluh dolar. Ini sudah pas!"
"Baik, aku catat nomor mobilmu dan besok tunggu saja, teman-temanku dari Orekhovskaya Bratva akan menagihnya padamu!" Hardik Devidsambil membuka pintu.
"Ayyas, ayo turun!" Katanya pada Ayyas. Devid bergegas keluar dari mobil. Ayyas mengikutinya. Mereka menuju bagasi untuk menurunkan koper dan barang bawaan.
Sopir berhidung bengkok ke kiri itu turun dari mobilnya. Ia mendekati Devid sambil mengulurkan uang seratus dolarnya.
"Benar kau punya teman Orekhovskaya Bratva!?" Tanya lelaki setengah baya itu lunak.
"Buktikan saja besok!" Jawab Devid dengan nada mengancam dengan sama sekali tidak memerhatikan wajah Rusia tua itu.
"Hmm, ini aku kembalikan sekarang, tidak usah merepotkan teman-temanmu dari Orekhovskaya Bratva itu. Mana yang sepuluh dolar dan empat puluh dolar?" Sopir Rusia itu mengulurkan seratus dolar.
"Lha begitu lebih baik," Jawab Devid, ia lalu mengulurkan pecahan sepuluh dolar dan dua lembar dua puluh dolar.
"Okay, masalah kita sampai di sini ya. Sekali lagi jangan kau sertakan teman-temanmu dari Orekhovskaya Bratva ya."
"Okay."
Sopir tua berhidung bengkok ke kiri dengan wajah dingin kembali ke mobilnya. Devid member isyarat barang-barang sudah diturunkan semua dan sopir itu boleh pergi. Sedetik kemudian taksi kusam merah tua itu meninggalkan dua pemuda dari Indonesia itu.
"Orekhovskaya Bratva, itu apa Dev? Kelihatannya si Rusia itu takut sekali." Tanya Ayyas.
"Itu nama gang. Orekhovskaya Bratva itu artinya persaudaraan Orekhovskaya."
"Kau anggota gang itu Dev?"
"Ya tidaklah. Sekadar menggertak sopir Rusia resek itu aja. Ternyata manjur!"
"Kalau gang itu tahu namanya kamu bawa bawa bagaimana?"
"Ya nggak tahu. Mungkin mereka malah bangga. Namanya saja ditakuti!"
"Wah kamu bermain-main api Dev."
"Sudah jangan berpikir yang bukan-bukan."
Sambil menyeret koper, Devid lalu mengajak Ayyas segera memasuki gedung apartemen tua yang dibangun zaman pemerintahan Stalin.
Apartemen tua yang tetap nampak gagah itu terdiri atas lima lantai saja. Ia berada di kawasan sangat strategis di pusat kota Moskwa. Ia berhadapan dengan apartemen mewah yang biasa disebut The White House Residence. Dua blok tepat di sebelah utaranya berdiri megah apartemen kelas menengah atas The Sunset Residence.
Hanya perlu waktu lima menit berjalan kaki untuk sampai stasiun metro Smolenskaya. Tak jauh di sebelah selatannya adalah kawasan sibuk Golden Ring. Kremlin dan Lapangan Merah symbol kota Moskwa yang legendaris itu bisa dijangkau dengan jalan kaki. Devid menjelaskan panjang lebar letak strategis apartemen yang mereka masuki kepada Ayyas.
"Cuma sayangnya satu, Yas." Kata Devid.
"Apa itu?" Sahut Ayyas.
"Ya layaknya apartemen zaman Stalin, apartemen ini tidak ada liftnya. Apartemen seperti ini dulu memang dibangun besar-besar, di pelbagai penjuru Moskwa untuk para pegawai pemerintahdan anggota Central Comite Partai Komunis.6 Ini salah satu yang masih lestari." Jelas Devid.
"Yang kita tuju lantai berapa Dev?"
"Lantai tiga."
"Alhamdulillah, tidak lantai lima."
"Kita angkat kopermu ini dulu bersama, baru nanti kita ambil barang-barangmu yang lain."
"Baik."
Ketika mereka hendak mengangkat koper, sekonyong-konyong seorang gadis Rusia memakai palto merah hati turun dari tangga dengan agak tergesa-gesa. Gadis itu tersenyum dan menyapa Devid dengan bahasa Rusia,
"Hai Devid, ini temanmu yang akan tinggal di atas ya?"
"Hai Yelena. Iya, ini temanku. Kenalkan namanya Ayyas. Lengkapnya Muhammad Ayyas:"
Gadis Rusia itu mengulurkan tangan kanannya mengajak berjabat tangan.
"Sorry, tanganku kaku kedinginan. E, e, senang kenalan dengan Anda." Jawab Ayyas agak tergagap dalam bahasa Rusia yang terbata-bata.
Sekilas Ayyas menatap mata birunya yang menawan.
"O ya wajar itu, kau pasti baru pertama kali ke sini. Dabro pozhalovath v Moskve"! (Selamat datang di Moskwa) Tukas Yelena.
"Iya. Kau benar. Terima kasih." Jawab Ayyas
"Mau ke mana kau Yelena? Tidak menyambut temanku ini dulu?" Ujar Devid.
"Maaf, aku harus ke Tverskaya, ada acara. Jam delapan malam aku pulang. Aku pergi dulu ya." Jawab Yelena dan langsung bergegas keluar gedung. Devid mengikuti langkah Yelena sampai hilang dari pandangan.
"Cantik ya Yas? Ada darah Finland dalam dirinya. Kau beruntung. Kau akan tinggal satu apartemen dengannya. Gunakan kesempatan sebaik-baiknya." Gumam Devid sambil tersenyum menggoda Ayyas.
"Apa Dev!? Kau jangan main-main denganku! Aku masih waras Dev! Aku tidak mungkin bisa hidup bebas seperti kamu!" Muka Ayyas merah padam. Ia merasa Devid sengaja mempermainkannya dengan menyewakan tempat tinggal satu apartemen dengan gadis bule yang katanya berdarah Finland.
"Tenang, Sobat. Jangan marah dulu. Kita bawa dulu barangmu ke atas. Nanti aku jelaskan semuanya. Aku sama sekali tidak bermaksud menjerumuskan kamu. Aku berusaha mencarikan tempat yang menurutku saat ini terbaik untukmu. Dengarkan dulu semua penjelasanku, baru kau boleh marah kalau kau memang ingin marah. Okay?"
"Baik!" Jawab Ayyas dengan muka masih merah padam.
"Yang rileks sedikitlah Bos. Aku ini temanmu, percayalah padaku!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar