Bumi Cinta
Karya : Habiburrahman El Shirazy
2. Ujian Iman
Dua pemuda itu dengan sedikit bersusah payah terus berusaha membawa koper berat hitam ke lantai tiga. Akhirnya mereka sampai di depan pintu yang mereka tuju. Dengan nafas masih terengah-engah pemuda agak gemuk berkaca mata itu menjelaskan,
"Dalam bahasa Rusia, apartemen ini disebut kwartira. Dan gedung bertingkat di mana kwartira ini berada mereka namakan dom. Tinggi dom biasanya antara lima hingga enam belas lantai. Dom yang dibangun di masa pemerintahan Stalin biasanya memang tanpa lift. Hanya tangga panjang dan landai, seperti dom ini. Kamu letih ya Yas?"
"Sudah tidak karuan lagi rasanya tubuhku ini Dev. Rasanya mau ambruk."
"Kau siap-siap saja untuk terkapar beberapa hari. Biasanya yang datang dari Indonesia pas musim dingin pasti ambruk dulu. Karena tubuh tidak bisa langsung menyesuaikan perbedaan suhu yang sangat ekstrim. Meskipun kau datang tidak dari Indonesia tapi dari India, ya sama saja.
Kau perlu istirahat tiga sampai lima hari lah. Lha aku saja yang sudah bertahun-tahun di sini setiap masuk musim dingin mesti ambruk dua-tiga hari.
Tapi tenang, tempat yang akan kautinggali ini sangat nyaman. Ayo kita lihat!"
Devid mengambil kunci dari saku celananya. Ia membuka pintu nomor 303. Begitu pintu dibuka nampak ruangan foyer kecil yang terasa lebih hangat dari udara luar. Ada tempat untuk menggantungkan palto. Devid melepas paltonya dan menggantungkannya di situ. Ayyas masuk dan menutup pintu. Ia mengikuti Devid, melepas jaket tebal hijau tuanya dan menggantungkannya di samping palto Devid.
Setelah melepas sepatu dan meletakkan pada tempatnya, dengan tenang Devid menarik koper berat itu sambil membuka pintu kaca berbingkai kayu birk karelia. Ayyas berdiri mematung sesaat. Ia melihat tempat sepatu. Sepatu-sepatu itu tertata dengan rapi. Sepatu dan sandal berhak tinggi dengan pelbagai model. Semuanya milik kaum hawa. Tak ada sepatu untuk lelaki, kecuali sepatunya Devid. Kepala Ayyas berdenyut-denyut.
"Kenapa Yas, ayo masuk." Ucapan Devid membuatnya terhenyak.
"Barang-barang yang di bawah?" Tanya Ayyas.
"Masuk dulu, sebentar. Aku ingin menjelaskan satu hal kepadamu. Agar kamu tidak marah padaku."
Ayyas melepas sepatunya dan melangkah masuk. Ruangan itu terasa hangat. Sama sekali tidak dingin. Nampak pemanas ruangan di bawah jendela dekat sofa panjang cokelat muda. Ayyas mengedarkan pandangannya. Ruang tamu itu menyatu dengan dapur yang rapi, yang sekaligus menjadi bar kecil. Di tembok dapur itu, gelas gelas kaca berjajar rapi. Ada beberapa botol berisi aneka jenis vodka. Ada vodka belt, vodka bloody mary, the screwdriver, the white Russian vodka, vodka tonic, dan vodka martini. Ada meja tinggi dari marmer putih memanjang. Meja itu sekaligus menjadi pemisah dapur dan kamar tamu yang sekaligus menjadi ruang santai. Di depan meja marmer itu ada empat kursi kayu bundar tinggi.
Lantai ruang tamu itu sepenuhnya dilapisi parket kayu mengkilat. Hanya di bagian sofa saja yang dialasi dengan karpet tebal berwarna coklat muda, hampir sama dengan warna sofanya. Di dinding dekat jendela ada bufet kotak memanjang dan di atasnya ada layar televisi flat 29 inc.
Ada tiga pintu kamar. Pintu pertama dekat dapur. Dan dua lainnya pintu dekat sofa panjang. Ruang tamu itu cukup lega. Jarak lantai dengan langit-langit ruangan cukup tinggi. Lebih tiga meter. Di tengah langit-langit sebuah lampu
kristal swarovski berukuran sedang menggantung anggun.
Sepanjang garis sudut langit-langit nampak ukiran-ukiran mozaik yang menawan. Nampak sekali ruang tamu apartemen itu didesain menggabungkan unsur klasik Romawi ortodoks dan Rusia modern.
Devid telah memasukkan koper Ayyas ke dalam kamar dekat sofa panjang. Devid menghempaskan badannya ke sofa dan menghela nafas panjang. Ayyas duduk di sampingnya.
"Ayyas, sebelumnya aku minta maaf kalau tempat ini tidak cocok untukmu. Aku tahu kamu dari pesantren dan lulusan Saudi. Aku sudah berusaha mencari yang paling aman dan nyaman untukmu. Kau datang di saat-saat Moskwa sedang puncak musim dingin. Kau juga memberitahu aku sangat mendadak. Jujur aku hanya punya waktu tiga hari mencari apartemen yang cocok untukmu. Kau minta yang letaknya strategis, kalau bisa di pusat kota yang aksesnya mudah kemana-mana. Aku sudah lihat beberapa tempat. Yang letaknya strategis dengan harga miring tidak ada. Apartemen ini yang sesuai dengan anggaran yang kauajukan. Aku menemukan beberapa tempat di pinggir kota, tapi aku agak ragu keamanannya.
Dari anggaran yang kauajukan, kau tidak bisa menyewa apartemen utuh sendiri. Yang memungkinkan ya menggabung dengan orang lain, yang penting satu kamar sendiri. Aku sudah kontak teman-temanku yang dari Indonesia dan Asia Tenggara di sini. Mereka tidak ada tempat kosong yang bisa kau tempati. Sebenarnya ada satu orang Indonesia menawarkan
kau tinggal satu kamar dengannya. Dia ingin sedikit pengiritan. Tapi aku sudah sangat yakin kau pasti menolaknya. Karena yang menawarkan itu perempuan yang kerja di night club di kota ini.
Kau mungkin bertanya kenapa aku tidak mencarikan yang tinggal dengan orang asing yang laki-laki saja? Begini Sobat. Ini negeri asing.
Ketika kau mau tinggal satu rumah dengan orang lain di negeri asing, ada beberapa pilihan.
Pertama, dan ini yang paling aman dan nyaman, adalah tinggal dengan orang yang sangat kamu kenal dengan baik. Biasanya adalah orang satu negara denganmu. Sudah aku katakan, kali ini tidak ada tempat teman-teman Indonesia yang kau bisa bergabung dengannya. Teman-teman dari Asia Tenggara yang lain juga. Itu setahuku, sependek usahaku dalam tiga hari ini. Aku tidak mungkin meletakkan kamu di tempat perempuan yang kerja di club malam itu kan.
Kedua, tinggal satu rumah dengan orang asing, yang satu jenis kelamin denganmu. Kau lelaki, memang idealnya ya tinggal dengan lelaki. Aku tahu kau banyak memegang norma dan ajaran.
Masalahnya dari beberapa tempat yang aku datangi, aku merasa kau tidak akan aman dan nyaman tinggal di sana. Aman jiwamu, juga barang-barangmu. Aku tidak menemukan tempat yang aku merasa tenang kau aman. Aku ini,
bolehlah kau sebut bajingan. Hidup bebas. Maka aku paham di mana orang seperti kamu akan aman. Kalau ada yang aku rasa aman, aku pasti
akan memilihkan kamu satu rumah dengan laki laki, bukan perempuan.
Ketiga, tinggal satu rumah dengan orang asing, yang beda jenis kelamin. Kau tinggal restoran. Ini pun tentu tidak asal tinggal. Harus dipilihyang benar-benar aman dan nyaman. Ketika aku mendapatkan apartemen ini, aku rasa kamu cocok tinggal di sini. Aku sudah bicara panjang lebar dengan yang punya rumah. Dua gadis bule penghuni rumah ini sudah dua tahun tinggal di sini dan mereka tidak pernah bikin masalah. Aku sudah kenalan dengan Yelena tadi itu. Dia tinggal di kamar yang dekat dapur itu. Dia ramah. Jadi kau aman di sini. Begitu Sobat."
Jelas Devid panjang lebar. Ayyas mendesah panjang. Ia belum merasa puas dengan penjelasan teman lamanya itu. Masih ada yang sangat mengganggu nuraninya. Tinggal satu apartemen dengan dua gadis bule adalah hal yang belum pernah ternalar dalam pikirannya. Terbersit pun tidak.
"Mungkin dengan tinggal bersama perempuan kau merasa aku aman. Ya, mungkin tubuh dan hartaku aman. Tapi bagaimana dengan imanku Dev? Justru imanku sangat terancam. Jika tinggal dengan bule yang laki-laki aku malah akan merasa aman!" Kata Ayyas tegas.
"He he he, kamu merasa tinggal bersama bule laki-laki aman? Bodoh! Di antara bule itu ada yang gay. Apalagi gay yang ekstrim. Bayangkan kalau kau ternyata tinggal bersama empat bule gay. Kau mau jadi apa, heh? Nanti kau kira aku yang menjerumuskan kamu!" Sengit Devid.
Ayyas diam tercengang. Ia tidak sampai berpikir sejauh itu.
"Dan kau merasa kalau tinggal bersama bule lelaki, lalu kau akan selamat dari godaan bule perempuan? Bodoh! Kau kira teman bulemu itu tidak berani membawa teman perempuannya ke kamarnya? Imanmu malah lebih terancam! Justru setahuku, kalau bule perempuan masih berpikir membawa pasangannya ke kamarnya." Lanjut Devid sengit.
"Agaknya aku datang ke tempat yang salah." Lirih Ayyas.
"Terserah kamu. Kamu boleh menyalahkan dirimu. Asal jangan menyalahkan aku. Tapi cobalah jangan pesimis dulu. Lihat apartemen ini. Jarang ada apartemen seperti ini. Indah dan teratur. Dan kau harus tahu. Biasanya apartemen yang dibuat zaman Stalin cuma punya satu kamar mandi.
Karena memang untuk keluarga, jadi tak ada masalah. Tapi lihatlah apartemen ini. Pemiliknya telah merenovasinya dengan sangat baik.
Karena tujuannya untuk disewakan per kamar.
Setiap kamar di apartemen ini punya kamar mandi pribadi. Yang digunakan bersama hanya ruang tamu dan dapur. Maka anggap saja kau seperti di hotel. Privasimu sangat terjaga di kamarmu. Dan ruang tamu ini anggap saja seperti
lobby hotel. Dapur dan bar itu anggap saja seperti restorannya. Si Yelena itu akan mandi di kamar mandinya sendiri, temannya yang aku tidak tahu
namanya juga sama akan mandi di kamarnya sendiri, kecuali kalau kau mengajak mereka mandi di kamarmu. Jadi menurutku kau aman
dan nyaman di sini. Lain ceritanya kalau kamar mandinya untuk bersama, wah itu gawat untuk manusia moralis seperti kamu. Jadi kalau di tempat dengan privasi terjaga seperti ini, kau sampai tergoda oleh Yelena atau temannya, ya itu karena diri kamu sendiri. Sebab pada dasarnya jika kau
ada di kamarmu, terus kaukunci rapat-rapat, kau aman. Jelas?"
Ayyas mengangguk dan menarik nafas, mukanya berubah lebih cerah. Penjelasan Devid itu membuat Ayyas merasa agak lega. Ia lalu bangkit dan memeriksa kamarnya. Kamar itu bernuansa biru. Indah, sejuk dan menyegarkan mata. Terlihat rapi dan cukup leluasa untuk aktivitasnya.
Lantainya terbungkus karpet biru tua.
Ada kamar mandi yang bersih di dalamnya. Lantai dan dindingnya dilapisi keramik putih gading. Meskipun sempit dan kecil, tapi sudah sangat cukup baginya. Di depan pintu kamar mandi ada wastafel mungil yang cantik. Ia putar krannya, airnya keluar perlahan. Ia periksa semua lampu, semua berfungsi dan menyala. Pemanas di bawah jendela juga baik keadaannya. Pemanas itu menyala sehingga kamar terasa hangat. Ada meja dan kursi yang bisa ia gunakan untuk menulis dan membaca. Lemari berukuran sedang cukup untuk menyimpan pakaian dan barangbarangnya.
Ayyas membuka tirai jendela. Kaca jendelanya yang tebal itu mengembun. Meskipun demikian ia masih bisa menangkap pemandangan di luar jendela. Meskipun agak buram dan terhalang gedung, ia masih bisa sedikit melihat sungai Moskwa. Jika cuaca cerah, ia rasa sepenggal pemandangan sungai Moskwa di sela dua gedung di depan jendela itu akan terlihat lebih jelas dan
indah.
"Baiklah kawan, aku mau turun dulu untuk membelikan pengganjal perut untukmu. Kalau kau merasa ada yang perlu nitip sesuatu boleh?"
Devid masuk kamar sambil menyeret koper hitam yang nampak berat.
"Aku ikut saja!"
"Tidak usah. Kau istirahat saja. Kau harus segera memulihkan tenagamu. Kau tulis saja apa yang kauperlukan. Pakai ini!" Devid mengulurkan
pena dan secuil kertas dari sakunya.
"Baiklah." Ayyas menerima pena dan kertas lalu menulis apa-apa yang ia perlukan dalam dua tiga hari ini. Ia menulis sambil bergumam,
"Kartu seluler, air mineral, teh, gula, susu bubuk, madu, biskuit, gelas, piring, sendok, sabun mandi, deterjen. Sudah." Lalu menyerahkan pada Devid.
"Itu saja?"
"Oh ya kalau ada tambah jahe untuk menghangatkan tubuh dan obat flu atau obat yang menurutmu cocok untukku yang kaget karena perbedaan musim ya."
"Sip. Aku akan coba cari. Satu jam lagi aku datang. Kau istirahat saja, atau menata kamarmu. Itu di almari ada selimut yang cukup untuk menghangatkan tubuhmu. Aku pergi dulu Yas. Oh ya mana paspor dan immigration card-mu sekalian aku uruskan local registration-nya."
Ayyas mengambil paspor dan mengulurkan kepada David.
"Immigration card-nya. terselip di dalam paspor. Oh ya Dev, arah selatan mana ya?"
"Kalau kau menghadap lemari berarti kau menghadap selatan."
"Terima kasih Dev."
Devid bergegas keluar. Ayyas menutup pintu kamarnya, menyalakan lampu kamar mandi, dan mengambil air wudhu. Ia langsung shalat menghadap selatan. Ia merasa bahwa ujian imannya di Moskwa ini akan berat. Ia akan tinggal di Moskwa beberapa bulan, tidak sehari dua hari. Dan dua tetangganya adalah perempuan muda Rusia yang ia rasa tidak akan sama cara hidupnya dengan kebanyakan perempuan di dunia Timur. Ia kini berada di jantung kota
Moskwa yang terkenal sebagai salah satu surge kehidupan bebas di dunia. Seluruh dunia maklum bahwa pengakses situs porno terbesar dunia adalah
Rusia, dan Moskwa ibu kotanya.
Ayyas merasa dirinya akan sangat lemah, imannya pasti akan runtuh di Moskwa jika tidak ditolong dan dijaga oleh Allah Ta'ala. Ia tahu seberapa kuat keteguhan imannya. Perang melawan musuh di medan perang mungkin ia akan tetap teguh sampai tubuh gugur bersimbah darah.
Imannya tidak akan ciut dan runtuh oleh kilatan pedang yang mahatajam. Ia sama sekali tidak gentar. Tapi di hadapan fitnah kecantikan perempuan sejelita gadis-gadis Moskwa seperti Yelena, gadis pembawa biola dan gadis yang bersamanya di pesawat,
ia merasa imannya perlahan bisa lumer bagai garam disiram air.
Ia merasa tidak punya benteng dan senjata apapun untuk menjaga imannya, kecuali berdoa memohon kepada Allah, agar iman yang ada di dalam hatinya tidak tercabut dalam kondisi apa pun. Hanya Allah lah yang bisa menjaga imannya.
Hanya Allah lah yang bisa menyelamatkannya dari segala fitnah dan tipu daya setan. Tak ada yang lebih dahsyat dari rukuk dan sujud kepada Allah Yang Maha Kuasa. Dan mohonlah pertolongan Allah dengan sabar dan shalat. Dan shalat itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.
Ayyas tegak dalam shalatnya. Rasa takut akan fitnah perempuan menjalar ke seluruh syaraf dan aliran darahnya. Hati dan pikirannya menyatu dalam bujuk haru kepada Allah. Dalam sujud ia berdoa,
"Ya Allah rahmatilah hamba-Mu ini dengan meninggalkan maksiat selamanya, selama hamba-Mu yang lemah ini Engkau beri hidup di dunia ini. Duhai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati hamba-Mu ini memegang kuat agama-Mu, teguhkanlah hati hamba-Mu ini untuk taat kepada-Mu dan meninggalkan segala larangan-Mu. Amin."
Selesai salam, Ayyas langsung berdoa sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw.,
"Ya Allah hamba minta kepada-Mu kebaikan daerah ini, kebaikan penghuninya dan kebaikan yang ada di dalamnya. Dan hamba berlindung kepada-Mu ya Allah dari buruknya daerah ini, dari buruknya penghuni daerah ini dan segala keburukan yang ada di dalamnya. Amin."
Selesai berdoa Ayyas kembali tegak mendirikan shalat Zuhur dan Ashar, jamak dan qashar. Setelah itu Ayyas menghempaskan dirinya di atas kasur. Tak ada hitungan menit ia sudah terjatuh dalam tidur yang pulas, la sama sekali tidak tahu ketika Devid datang membawa makanan dan barang-barang yang dipesannya. Devid tersenyum melihat sahabatnya itu tertidur begitu lelap.
Devid mengambil selimut di almari lalu menyelimutkan ke tubuh Ayyas. Ayyas hanya menggeliat pelan. Devid mengeluarkan barang-barang dan makanan yang ia beli. Di antaranya membeli enam potong monti, daging giling yang dibalut tepung dan disiram mayonnese, dan dua wadah kentang goreng. Ia menyantap tiga potong monti dan sebagian kentang goreng itu. Sebagian sengaja ia sisakan untuk Ayyas. Setelah itu ia menulis pesan di secarik kertas untuk Ayyas. Cukup panjang. Ia lipat kertas itu, ia selipkan pada paspor Ayyas, lalu meletakkan paspor itu di atas meja kecil yang ada di samping tempat tidur Ayyas.
Devid lalu keluar meninggalkan apartemen itu sambil menenggak sebotol Vodka yang baru dibelinya.
Ia harus menembus dinginnya Moskwa menuju stasiun pusat. Ia mengejar waktu untuk segera sampai St. Petersburg secepatnya, sebab besok ada ujian. Sebenarnya ia tidak enak meninggalkan Ayyas sendirian menghadapi hari-hari pertamanya di Moskwa.
Meskipun ia sudah banyak memberikan petunjuk waktu chatting dengan Ayyas sebelum Ayyas terbang ke Moskwa, tetapi Moskwa tetaplah asing
bagi Ayyas. Tapi ia ada ujian yang tidak bisa ia tinggalkan. Hal yang membuatnya agak tenang adalah Ayyas bukan anak kecil. Bukan juga orang
yang tidak berpengalaman. Ayyas sudah pernah hidup di negara orang, pasti bisa mengatasi setiap masalah yang menimpanya. Ia yakin Ayyas mampu. Ia sudah memberitahu Ayyas cara pergi ke KBRI jika memerlukan bantuan dari KBRI.
Devid berjalan menembus salju yang halus turun perlahan, beberapa kali ia menenggak Vodka mengusir dingin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar