38. Ketika Musim Semi Datang
Awal musim semi datang. Mentari bersinar cerah. Udara terasa lebih hangat dan segar, tidak lagi dingin menggigit. Di mana-mana salju mencair. Butir-butir bening air masih Nampak membasahi beberapa ruas jalan. Butir-butir air itu mengalir mencari lubang-lubang drainase kota Moskwa yang teratur rapi setiap seratus meter.
Rumput-rumput hijau seperti bangun dari tidur panjangnya dan tersenyum kepada siapa saja yang memandanginya. Bunga-bunga satu-persatu mulai bermekaran.
Burung-burung merpati nampak berkerumun di dekat halte tralibus Baumanskaya. Burung-burung merpati itu nampak seperti sedang bersenda gurau. Mereka seperti sedang berbahagia merayakan datangnya musim semi. Bagi burung-burung itu musim semi adalah musim yang paling ditunggu. Di musim semi itulah burung-burung merpati jantan dan betina ditakdirkan oleh
Tuhan untuk bertemu saling memadu cinta, untuk kemudian beranak-pinak menjaga kelestarian spesies mereka.
Musim semi tidak hanya dinanti oleh burung-burung merpati. Musim semi juga dinanti-nanti oleh manusia, tumbuh-tumbuhan, juga makhluk hidup lainnya yang telah berjuang mempertahankan hidupnya mati-matian selama musim dingin yang beku. Musim semi adalah sentuhan rahmat Tuhan kepada makhluk-Nya yang hamper binasa dibelenggu musim dingin yang ganas.
Moskwa terasa hangat. Musim semi telah datang mengganti musim dingin. Pucuk-pucuk cemara araukaria bergoyang diterpa angin tanpa ada setitik salju pun menempel di daun-daunnya.
Pohon-pohon cemara araukaria itu seperti bernafas lega dan memuji syukur kepada Tuhan atas lewatnya musim dingin dan datangnya musim semi.
Pohon-pohon bereozka bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan seperti tubuh para sufi yang sedang larut dalam nikmatnya zikir dihempus semilir
angin.
Kota Moskwa nampak molek seumpama seorang gadis yang begitu segar. Bau harum bunga-bunga yang bermekaran begitu terasa. Taman-taman menjadi hidup oleh warna-warni bunga tulip. Air mancur yang sebelumnya beku kini mengalir indah. Gadis-gadis dan perempuan-perempuan mudanya telah menyimpan palto mereka dan menggantinya dengan pakaian musim semi yang modis dan modern.
Pagi itu setelah sarapan pagi, Ayyas menyempatkan diri untuk menikmati keindahan kota Moskwa. Ia bergegas ke pusat kota Kitay Gorod, di mana Kremlin dan Lapangan Merah ada di dalamnya. Setelah melihat Kremlin di musim dingin, Ayyas ingin melihatnya di musim semi.
Pagi itu adalah waktu yang paling tepat baginya. Selain karena cuacanya sangat bangus. Ia nyaris sudah tidak memiliki waktu luang lagi di Moskwa. Jadwal kepulangannya meninggalkan Moskwa sudah jelas. Dua hari lagi ia akan meninggalkan Moskwa. Data yang ia perlukan untuk menyusun tesisnya lebih dari cukup. Kepada pihak MGU dan khususnya kepada Doktor Anastasia Palazzo ia telah minta diri. Tiket pesawat sudah ia beli. Barang-barangnya telah ia kemasi. Keberadaannya di Moskwa tidak perlu ia perpanjang lagi, apalagi targetnya mengajari dua anak Chechnya yaitu Shamil dan Sarah bisa shalat dan membaca Al-Quran dengan baik dan benar telah terpenuhi.
Ayyas datang ke Lapangan Merah sendirian. Pak Joko tidak bisa menemaninya karena harus mengajar di Sekolah Indonesia Moskwa. Bagi Ayyas berjalan sendirian mengamati Kremlin, Lapangan Merah dan Gereja St. Basil justru lebih nikmat. Ia bisa puas meneliti segala sudutnya tanpa diganggu oleh siapa pun dan tanpa dibatasi oleh waktu orang yang menyertainya.
Meskipun hari masih pagi, ternyata Lapangan Merah tidak sepi. Sudah banyak orang yang mendatanginya. Di antara mereka banyak pelancong dari Eropa Barat dan dari Asia, selain penduduk Moskwa sendiri. Suasana pagi itu memang cerah dan nyaman. Rupanya tidak hanya Ayyas yang memiliki pikiran menikmati keindahan Kremlin dan Lapangan Merah dalam suasana
yang sangat nyaman itu.
Ayyas berdiri di tengah-tengah Lapangan Merah dan memandang ke sekelilingnya. Pemandangan yang baginya sangat menakjubkan. Seperti dalam dunia mimpi. Kremlin yang kukuh, klasik dan indah. Menara-menaranya yang gagah.
Gereja-gereja di dalamnya dengan kubah-kubah khas ortodoks yang membuatnya berwibawa. Di dampingi Katedral St. Basil membuat Kremlin menjadi legendaris.
Ayyas memandangi Kremlin sambil teringat sejarah lahirnya kota Moskwa. Dari Kremlin itulah sejarah kota Moskwa dimulai. Pada tahun 1156 Pangeran Yuri Vladimirovich Dolgoruky menemukan suatu tempat strategis, yang sekarang disebut Kremlin, dan tempat itu kini ada di hadapan Ayyas. Pangeran Yuri Vladimirovich Dolgoruky melihat lokasi itu sangat potensial untuk menahan serangan pasukan Tartar. Karenanya ia memerintahkan membangun suatu kremlin yang artinya benteng dari kayu di salah satu bukit pinggir sungai Neglinka dan Moskwa.
Dari situlah sejarah kota Moskwa dimulai.
Para ahli sejarah percaya bahwa nama "Moskwa" berasal dari kata kuno Slavonic yang artinya "basah", yang bisa saja merujuk kepada kawasan rawa-rawa di sekitarnya dan sungai Moskwa yang mengalir di sisinya. Sumber lain menyebutkan nama Moskow diambil dari nama sungai yang membelah kota tersebut, dimana kata Moskwa berasal dari bahasa Finnic kuno yang artinya "gelap" dan "keruh".
Kremlin yang dibangun Yuri Dolgoruky itu ternyata tidak cukup kuat untuk menahan serangan Mongol. Antara tahun 1237-1238 tentara kekaisaran Mongol membakar kota dan membunuh penduduk Moskwa termasuk anggota kerajaan yang berkuasa saat itu. Selesai perang sebagian besar wilayah Rusia dikuasai kerajaan Mongol.
Moskwa dibangun kembali dan menjadi ibukota kerajaan baru pada tahun 1327. Dengan berlokasi di hulu sungai Volga, kota Moskow terus mengalami pertumbuhan dan perluasan hingga berkembang menjadi kota yang makmur dan stabil dengan pusat kotanya adalah Kremlin.
Pada abad ke-14, Moskwa mulai memperlihatkan statusnya sebagai kota besar. Kremlin dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari batu dan membuat luas wilayahnya bertambah dari luas awalnya. Pada awal abad ke-15 tembok baru dengan penambahan pembangunan menara. Di arah timur Kremlin para pedagang dan ahli bangunan menetap di sebuah tempat dinamakan Kitay Gorod atau Kota Benteng, yang juga dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari batu.
Kitay Gorod terdiri atas bangunan-bangunan satu lantai yang terbuat dari kayu hingga terjadinya kebakaran pada tahun 1596 yang membuat seluruh bangunan tersebut musnah. Setelah kejadian tersebut penduduk mengganti material kayu dengan batu untuk membangun kembali pemukiman mereka.
Pusat kota Kitay Gorod merupakan lapangan yang pada awal abad ke-15 dinamakan torg atau pasar. Dan pada abad ke-16 mulai dikenal dengan nama Lapangan Merah, £ada awalnya, tempat ini berfungsi sebagai pasar dan lokasi pameran dimana para seniman dan ahli bangunan dari seluruh Rusia berkumpul untuk memamerkan hasil karyanya. Tetapi pada akhirnya tempat ini menjadi pusat kota dimana proses eksekusi, demonstrasi, parade dan perayaan-perayaan lainnya termasuk pelantikan Tsar baru digelar.
Pada pertengahan abad ke-16, Ivan the Terrible membangun Katerdral Saint Basil di ujung selatan Lapangan Merah untuk mengenang kemenangannya dalam perang melawan tentara Tatar. Sejak itu Katedral St. Basil menjadi bagian tak terpisahkan dari Kremlin dan Lapangan Merah. Bahkan bagian tak terpisahkan dari Moskwa. Katedral St. Basil menjadi landmark Moskwa yang sangat terkenal di seluruh dunia.
Dulu, Kremlin yang luasnya lebih dari dua puluh tujuh hektar dan dikelilingi tembok batu dengan panjang dua kilometer dan tinggi Sembilan belas meter, merupakan benteng pertahanan terakhir kerajaan Rusia dalam menghadapi invasi kerajaan-kerajaan lain. Kini., Kremlin adalah pusat pemerintahan yang mengendalikan seluruh saraf Rusia, sekaligus menjadi pusat sejarah dan
pusat pariwisata Rusia.
Mengingat sejarah lahirnya Moskwa dan sejarah Kremlin khususnya, Ayyas jadi teringat sejarah kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Indonesia. Orang Rusia begitu perhatian pada sejarah bangsanya dan merawat peninggalan para pendahulunya dengan baik sekali.
Kremlin dan Katedral St. Basil menjadi buktinya. Beratus-ratus tahun St. Basil berdiri kukuh dan terjaga keasliannya. Anak-anak Rusia modern bisa melihat dengan mata dan kepala mereka lambang kejayaan Rusia Kuno zaman Ivan The Terrible dengan melihat St. Basil.
Lain Rusia lain Indonesia. Jika anak Indonesia sekarang ini ingin melihat seperti apa kira-kira bentuk istana kesultanan Demak yang legendaris
itu, maka keinginan itu hanya akan menjadi keinginan yang tidak akan tertunaikan. Jangankan melihat bentuk istananya, bahkan bekas pondasi istana kesultanan Demak pun tidak ditemukan.
Demikian juga jika anak Indonesia ingin melihat bekas istana Majapahit, tempat di mana Patih Gajah Mada mengucapkan sumpah palapanya.
Atau ingin melihat bekas istana kerajaan Sriwijaya yang pernah menguasai sebagian besar Nusantara. Anak-anak Indonesia akan kecewa dan tidak akan mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Anak-anak Indonesia yang ingin membanggakan kehebatan kesultanan Demak yang pernah menyerang portugis di Malaka, atau kejayaan Majapahit yang mampu mengusir pasukan Kubilai Khan, juga kemajuan Sriwijaya yang disegani dunia, tak bisa melihat bekas peninggalannya yang nampak kasat mata. Anak-anak Indonesia hanya mendapatkan ceritanya dari buku sejarah atau dari mulut orang-orang tua yang terkadang simpang siur dan bercampur
dengan dongeng, legenda, dan foklor.
Ayyas berjalan ke selatan mendekati Katedral St. Basil yang memiliki kubah sangat khas. Ayyas berjalan dengan mulut berkomat-kamit melantunkan zikir. Tak jauh di depannya serombongan anak muda bermata sipit sedang foto bersama.
Tembok Kremlin, Lapangan Merah dan Katedral Saint Basil mereka jadikan latar belakang. Ayyas terus melangkah, sekonyong-konyong ia mendengar suara seseorang memanggilnya dari arah belakang. Ia menoleh. Ternyata Devid yang sedang menggandeng istrinya, Yelena.
"Apa kabar pengantin baru?" Sapa Ayyas.
"Baik. Alhamdulillah. Jangan sebut kami pengantin baru terus dong. Usia pernikahan kami sudah hampir dua bulan lho, Yas." Jawab Devid.
"Itu masih layak disebut pengantin baru. Bagaimana, sudah ada tanda-tanda mau punya momongan?"
"Alhamdulillah. Dua hari lalu kami ke dokter. Hasilnya Yelena sudah positif hamil."
Ucap Devid dengan mata berbinar bahagia.
Penampilan Devid kini nampak lebih rapi dan terjaga. Tutur katanya lebih halus. Sorot matanya nampak lebih teduh. Dan dalam setiap kalimatnya tanpa sadar ia banyak menyebut asma Allah.
"Iya, alhamdulillah. Mohon kami didoakan, agar rumah tangga kami sakinah. Dan kami diberi keturunan yang saleh dan salehah." Tambah Yelena yang nampak anggun dengan pakaian rapat menutup badan dan kerudung yang melilit menutupi kepala dan lehernya.
"Saya sangat bahagia mendengarnya. Teruslah mendekatkan diri kepada Allah, dan bertakwalah kepada Allah kapan saja dan di mana saja, maka Allah akan selalu menyertai kalian." Jawab Ayyas.
"Insya Allah." Tukas Yelena dan Devid hamper bersamaan.
"Eh, kau jadi pulang dua hari lagi, Yas?" Tanya Devid.
"Ya, insya Allah. Makanya hari ini aku sempatkan untuk melihat Kremlin. Aku ingin tahu pemandangan Kremlin di musim semi. Aku juga ingin lihat beberapa tempat penting di Moskwa, seperti Gorky Park, Balshoi Teater, Galeri Tretyakov, dan Stasiun Metro Komsomolskaya yang dibangun sangat megah oleh Stalin."
"Kalau masih ada waktu tak ada salahnya kau ke Museum Perjuangan Kutuzoyski, sekalian berkunjung ke masjid yang ada di situ." Sahut Yelena memberi saran.
"Insya Allah"
"Kau pulang ke India atau ke Indonesia, Yas?" Tanya Devid.
"Awalnya mau ke India. Tetapi tiba-tiba saya rindu sekali sama Indonesia. Akhirnya saya putuskan untuk terbang ke Indonesia. Saya sudah minta izin pada Profesor Najmuddin di Aligarh untuk cuti beberapa waktu."
"Kalau diperbolehkan, kami ingin mengantarmu ke bandara." Ujar Yelena.
"Tentu saja boleh. Justru saya sangat berbahagia sekali jika kalian mau mengantar ke bandara."
"Kalau begitu, kami akan mengantarmu ke bandara, insya Allah."
"Kalian masih tinggal di Smolenskaya?"
"Iya." Jawab Yelena.
"Apa kabar Bibi Margareta?"
"Sehat. Dia seperti ibu kami. Dan kami seperti anaknya. Kami sedang menyiapkan baju baru untuknya.
Tanggal 17 April nanti dia akan merayakan Hari Paskah Ortodoks yang selalu
dinanti-nantikannya." Sambung Yelena.
"Kelihatannya aku tidak akan bertemu dengannya. Tolong sampaikan salamku padanya, dan mintakan maaf padanya jika selama bergaul dengannya ada kesalahan baik yang disengaja atau pun tidak."
"Insya Allah" Jawab Yelena.
"O ya, apa kabar Linor. Apakah dia sudah kembali?"
"Sampai sekarang tak ada kabar apa pun dari Linor. Nomor ponselnya samasekali tidak bisa dihubungi, la seperti hilang tertelan bumi begitu saja." Jawab Yelena.
"Semoga dia baik saja. Sampaikan salam dan permohonan maafku jika ada khilaf."
"Hanya itu pesannya?" Tanya Yelena.
"Ya. Itu saja. Oh ya, jika nanti bertemu dengannya ajaklah dia mengikuti jejakmu meniti jalan kebenaran yang diridhai oleh Allah." Jawab Ayyas tenang.
Mereka bertiga kemudian berjalan pelan menikmati pemandangan Lapangan Merah. Setelah dirasa cukup, mereka berpisah. Ayyas melangkah menuju Gorky Park yang legendaries itu. Sementara Devid dan Yelena berjalan ke
stasiun metro bawah tanah. Mereka berdua berencana hendak ke pasar Vietnam di Savelovsky.
Matahari pagi bersinar terang. Sinarnya yang kuning keemasan menyepuh Lapangan Merah, tembok merah Kremlin, Pucuk-pucuk Menara, Kubah-kubah gereja, gedung-gedung, rerumputan, bunga-bungaan, tanaman dan aspal di jalan-jalan.
Pagi itu udara terasa hangat, tidak lagi dingin menusuk tulang.
***
Di waktu yang sama, seorang perempuan muda berambut pirang kemerahan, beralis tebal dan berkaca mata hitam nampak keluar dari bagian imigrasi terminal-2 Seremetyevo. Perempuan muda itu agak ragu melangkah, tetapi ia segera menguasai dirinya dengan baik dan melangkah dengan pasti untuk mencari taksi dan meluncur ke tengah kota.
Awalnya perempuan muda itu membawa taksi yang ditumpanginya meluncur ke kawasan Smolenskaya, utamanya menuju Panfilovsky Pereulok. Akan tetapi sampai di Novy Arbat, perempuan itu meminta kepada sopir taksi untuk mengubah haluan menuju kawasan Proletarskaya.
Perempuan muda itu turun di dekat stasiun metro Taganskaya. Ia lalu turun ke bawah tanah dan naik metro menuju Proletarskaya. Ia turun di stasiun Proletarskaya dan berjalan kaki ke selatan kira-kira lima belas menit, sampailah ia di sebuah gedung tua berlantai lima. Ia melihat ke kiri dan ke kanan, setelah memastikan dirinya aman tidak diikutu siapa pun, ia naik ke lantai tiga dan membuka apartemennya.
Perempuan muda itu adalah Linor. Ia kembali ke Moskwa, setelah menghilang sekian bulan dan mempelajari Islam di Berlin di bawah bimbingan keluarga Muslim Turki-Syiria, yang sudah lama menetap di Berlin atas saran Madame Ekaterina.
Di tengah-tengah keluarga itu ia diperlakukan seumpama putri raja, sangat dihormati dan dimuliakan.
Keluarga itu terdiri atas ayah ibu dan tiga orang anak. Kepala keluarganya bernama Tuan Yunus Bugha, asli Turki Kurdistan. Ibu rumah tangganya bernama Madame Yasmina blasteran Syiria-Jerman. Tiga anaknya semuanya perempuan. Yang paling besar sedang S2 di bidang ilmu pendidikan bernama Rihem. Yang kedua bernama Rahma, dan yang ketiga bernama Rabia.
Kepada mereka semua, Linor menceritakan dirinya apa adanya dan sejujur-jujurnya. Tidak ada yang ia tutup-tutupi. Awalnya mereka agak jijik saat ia menjelaskan aktivitas kejahatannya sebagai agen Mosad. Tetapi setelah ia sampai pada cerita bahwa dirinya sebenarnya adalah seorang Palestina yang tidak tahu identitasnya, dan menceritakan semua yang ia dapatkan dari Madame Ekaterina yang selama ini merawatnya, terbitlah rasa simpati di hati mereka.
Madame Yasmina sampai berkomentar,
"Aku memang dulu ikut jadi sukarelawan. Aku ikut hanya sebagai perawat bukan sebagai dokter. Aku kenal Dokter Salma Abdul Aziz dan Dokter Ekaterina meskipun tidak akrab. Sebelum pembantaian Sabra dan Shatila aku ditarik oleh lembaga yang mengirimku. Aku tidak tahu kalau kejadiannya seperti itu. Aku tidak tahu kalau Dokter Salma Abdul Aziz yang berhati malaikat itu juga terbantai dan anaknya diselamatkan oleh temannya yang adalah seorang relawan bernama Dokter Ekaterina. Aku samasekali tidak tahu itu semua. Karena kau tidak punya siapa-siapa, anggap saja kami ini keluargamu. Sesama Muslim adalah bersaudara."
Sejak itu ia dimuliakan. Ia dianggap bagian dari keluarga itu. Ketiga anak keluarga itu menganggapnya sebagai kakak tertua yang lama hilang. Mereka tidak memaksanya untuk masuk Islam. Mereka menjawab segala hal yang musykil di kepalanya, dan menjawab semua pertanyaannya tentang Islam. Yang paling dekat dan paling sering menjawab pertanyaan-pertanyaannya adalah Rahma.
Rahma masih kuliah di Fakultas Psikologi pada salah satu universitas bergengsi di Berlin.
Rahma pernah menghabiskan masa remajanya selama tiga tahun di Damaskus, tinggal bersama salah satu kerabat ibunya. Di Damaskus itulah Rahma menghafalkan Al-Quran, dan bisa hafal sempurna tiga puluh juz. Bahasa Arabnya sangat fasih. Selain Arab, Rahma juga menguasai bahasa Inggris, Turki, dan Jerman tentu saja.
Rahma bisa menjawab hampir semua keraguan Linor tentang Islam. Jiwa Rahma yang sangat halus mampu merasakan apa yang dirasakan oleh Linor. Rahma begitu berempati kepada Linor. Dengan kesejukan iman di dada,
Rahma mampu meredam kegelisahan dan kegundahan yang dirasakan Linor. Rahma juga yang membantu Linor mendapatkan semua buku yang ditulis oleh Maryam Jameela. Tidak hanya itu, Rahma juga mempertemukan seorang Muslimah di Berlin yang dulunya adalah Yahudi.
Akhirnya pelan-pelan cahaya hidayah menyusup ke relung hati Linor.
Suatu ketika, dalam acara makan malam, Linor menyampaikan niatnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat yang disambut linangan airmata bahagia keluarga itu. Selesai makan malam, Tuan Yunus bermaksud menghubungi
imam masjid Berlin, agar prosesi pengucapan dua kalimat syahadat Linor diadakan secara resmi di masjid dan disaksikan oleh banyak kaum Muslimin. Akan tetapi Linor mencegahnya. Ia tidak mau dirinya diketahui banyak orang. Ia tidak mau Mosad mencium keberadaannya di Berlin. Tuan Yunus faham. Akhirnya Linor mengucapkan dua kalimat syahadat dengan dibimbing oleh Rahma atas permintaannya, seketika itu juga, selesai makan malam dan disaksikan oleh anggota keluarga itu.
Sejak itu Linor telah menjadi Muslimah. Dan namanya secara resmi ia ganti menjadi Sofia Ezzuddin. Sebab Ezzuddin adalah nama ayahnya yang sebenarnya, yaitu suami dari Salma Abdul Aziz, ibunya. Hanya saja di paspornya namanya masih Sofia Corsova. Nama yang diberikan oleh ibu asuhnya yang tetap ia anggap sebagai ibu kandungnya, yaitu Madame
Ekaterina. Paspor itu yang ia sisakan dari sekian paspor yang ia punya. Paspor yang lain telah ia bakar.
Sejak itu keluarga Turki-Syiria itu memanggilnya dengan Sofia. Juga para kenalannya yang baru di Berlin mengenalnya sebagai Sofia Ezzuddin dari Palestina. Dangan memakai gamis dan jilbab serta kaca mata hitam, ia sama sekali berbeda dengan Linor sebelumnya.
Sofia Ezzuddin alias Linor terus belajar banyak tentang Islam kepada Rahma. Sampai akhirnya ia tahu persis kisah Nabi Yusuf di dalam Al-Quran. Yang membuatnya bergetar adalah keteguhan iman Nabi Yusuf ketika
menghadapi rayuan Zulaikha. Seketika itu ia teringat akan apa yang ia lakukan kepada Ayyas.
Ia bahkan melakukan hal yang sangat terencana matang, yang lebih jahat dari Zulaikha. Akan tetapi Ayyas tetap bisa teguh seperti Nabi Yusuf.
Ia langsung teringat mimpinya ketika bertemu dengan ibunya saat tertidur di dalam kereta dalam perjalanan ke Berlin. Ibunya berpesan agar mencari suami yang seteguh iman Nabi Yusuf. Ia jadi bertanya-tanya, apakah itu isyarat agar ia memilih Ayyas? Yang jadi pertanyaannya apakah Ayyas akan mau?
Sofia merasa tidak akan mendapatkan kepastian kalau tidak menemui Ayyas. Maka ia putuskan untuk kembali ke Moskwa demi menemui Ayyas. Ia berharap Ayyas dapat menerimanya. Ia tahu, Ayyas telah menyaksikan kebejatan moralnya saat masih jahiliyyah, tetapi ia berharap Ayyas bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Bahwa kebejatan dan kejahatannya itu ia lakukan saat dirinya masih benar-benar jahiliyyah. Dan kini ia telah menjadi Muslimah. Bukankah keislaman seseorang mampu menghapus segala dosa
yang dilakukan orang itu sebelum masuk Islami Sofia Ezzuddin alias Linor nekat kembali ke Moskwa. Jiwa intelijennya muncul. Jika ia memakai gamis
dan jilbab rapat, ia khawatir akan menarik perhatian pihak keamanan Rusia yang bisa juga memancing kecurigaan agen Mosad yang berseliweran di bandara. Maka ia terpaksa menyamar menjadi perempuan modis, dan wajahnya ia samakan persis dengan foto Sofia Corsova yang ada di dalam paspor.
Penyamarannya sempurna dan ia berhasil. Linor membuka pintu apartemen itu.
Hidungnya langsung mencium bau pengap. Apartemen itu nampak kotor. Lebih dari enam bulan apartemen itu tidak dijamah manusia.
Apartemen itu adalah salah satu properti milik Madame Ekaterina yang sangat dirahasiakan, agar tidak diketahui oleh agen Mosad. Diatasnamakan
perempuan tua berkebangsaan Inggris yang sekarang sudah mati. Sampai sekarang namanya masih perempuan Inggris itu. Ada orang kepercayaan Madame Ekaterina yang ditugasi menjaga dan mengurus apartemen tua itu.
Hanya saja orang itu, sudah setengah tahun ini stroke tidak bisa berbuat apa-apa. Jadinya apartemen itu tidak terurus.
Linor meletakkan tas tentengnya yang berisi beberapa helai pakaian di atas sofa. Ia lalu membuka jendela. Menyalakan lampu dan membersihkan apartemen itu pelan-pelan. Pekerjaan itu membuatnya cukup berkeringat. Sinar mentari yang hangat menerobos masuk. Setelah ia rasa cukup bersih. Ia meletakkan tasnya ke kamar dan ia perlu istirahat sejenak.
Ia merasa tidak boleh berlama-lama di Moskwa. Paling lama satu bulan. Lebih dari itu sangat berisiko baginya. Ia pun harus sangat hati-hati.
Ia tidak boleh menimbulkan kecurigaan siapa pun. Termasuk tetangga apartemennya yang ada dalam satu gedung.
Selanjutnya harus memikirkan cara terbaik untuk menemui Ayyas. Ia tidak tahu apakah Ayyas masih tinggal di Smolenskaya bersama Yelena, atau sudah pindah. Sebab setahu dia Ayyas tinggal di sana karena disewakan oleh temannya, dan hanya beberapa bulan saja. Ia juga tidak tahu apakah Yelena masih tinggal di sana setelah geng Olga Nikolayenko dan suaminya musnah.
Ia tidak mungkin nekat langsung ke apartemen yang dulu ditinggalinya di Smolenskaya. Ia tidak tahu apakah agen Mosad di Moskwa percaya dirinya telah mati di Kiev, ataukah tidak percaya dan kini sedang memburunya? Jika ia nekat ke Smolenskaya jangan-jangan mereka juga menyiapkan jebakan di sana.
Linor memutar otaknya. Apakah ia akan mencoba menghubungi Yelena lewat nomor baru?
Jangan-jangan nomor Yelena disadap. Ia tidak mau memancing kecurigaan, meskipun ia bisa mempermainkan timbre suaranya, sehingga tidak akan ketahuan siapa sesungguhnya yang menelpon Yelena. Akan tetapi jika nomor Yelena disadap dan gerak-gerik Yelena diawasi dua puluh empat jam, maka datangnya telpon darinya akan membuat para agen itu bagai terbangun dari pingsannya. Itu sangat berbahaya. Maka yang terbaik baginya adalah tidak berhubungan dan tidak menghubungi Yelena samasekali. Juga tidak perlu menemui Yelena. Jika ia menemui Yelena, ia bisa membocorkan identitas dirinya. Para agen itu jika tidak yakin ia telah mati, maka akan menemukan
satu bukti nyata bahwa dirinya tidak mati di Kiev. Dan ia akan jadi buruan Mosad seumur hidupnya.
Linor terus berpikir. Akhirnya ia tersenyum. Ia akan mendatangi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskwa. Ia akan ke sana dengan memakai pakaian Muslimah, dan ia akan menyamarkan identitas dirinya. Ia akan mengaku sebagai salah satu mahasiswa MGU kenalan Ayyas. Dan ia berharap dari KBRI ia akan mendapatkan informasi yang cukup tentang Ayyas.
Linor melihat jam tangannya. Sudah pukul setengah sebelas. Masih ada. cukup waktu baginya untuk bergerak. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Linor mencuci mukanya lalu berganti pakaian. Setelah ganti pakaian ia melihat ke cermin. Tiba-tiba ia ingat bahwa ia tidak boleh memancing kecurigaan, bahkan para tetangga apartemennya sendiri. Jika tadi ia masuk sebagai gadis Rusia, dan kini keluar sebagai gadis Arab, apakah mereka tidak
curiga?
Linor melucuti pakaiannya kembali. Busana Muslimah itu ia lipat dengan rapi dan ia masukkan ke dalam tas ranselnya. Linor memilih melakukan penyamaran sebagai gadis Rusia seperti saat ia masuk. Gadis yang sangat berbeda dengan penampilan Linor sebelumnya. Dari ujung rambut sampai ujung kaki sangat berbeda.
Setelah merasa yakin dengan penampilannya, Linor melangkah keluar. Tujuannya adalah Kedutaan Indonesia di Moskwa yang terletak di Novokuznetkaya Ulitsa.
Linor sampai di Kedutaan Indonesia tepat sepuluh menit sebelum para staf istirahat untuk shalat dan makan siang. Linor diterima oleh petugas bagian konsuler. Kepada petugas itu Linor mengaku sebagai mahasiswi MGU yang ingin berkonsultasi dengan Ayyas tentang beberapa masalah penting kepada Ayyas. Linor mengaku tertarik berkonsultasi kepada Ayyas setelah mendengar apa yang disampaikan Ayyas dalam sebuah seminar tentang ketuhanan di Fakultas Kedokteran. Sejak acara live dalam "Rusia Berbicara"
nama Ayyas memang dikenal oleh semua orang di KBRI. Ayyas menjadi bagian yang dicintai KBRI. Dengan ramah petugas bagian konsuler menjelaskan, Ayyas bisa dicari di apartemennya yang ada di kawasan Baumanskaya. Linor minta detil alamat Ayyas. Dan petugas itu menuliskannya dengan detil. Bahkan memberikan nomor kontak Ayyas yang tersimpan di ponselnya kepada Linor. Terakhir petugas itu menanyakan siapa namanya. Linor menjawab,
"Corsova."
Linor meninggalkan KBRI dengan hati berbunga-bunga penuh harapan. Ia mendapatkan informasi yang sangat lengkap untuk segera menemukan Ayyas. Linor berjalan menyusuri Novokuznetkaya Ulitsa sampai perempatan Visnyakovski Pereulok. Di sudut gedung di pojok perempatan jalan itu ada gastronom. Mata Linor sangat awas dan tajam. Di depan gastronom itu ada seorang lelaki Rusia berdiri. Dari jarak sangat jauh Linor bisa menangkap sekilas wajah dan gestur tubuh lelaki itu. Dada Linor terkesiap.
Lelaki itu adalah salah satu agen Mosad. Berarti semua yang berhubungan dengan dirinya saat masih tinggal di Smolenskaya diamati. Kelihatannya Mosad belum benar-benar percaya bahwa Linor telah mati di Kiev.
Linor berusaha menguasai dirinya sebaik-baiknya.
Ia harus yakin dengan penyamarannya.
Ia harus tidak menimbulkan kecurigaan agen itu.
Dengan tenang tanpa gentar sedikit pun Linor melintas tak jauh dari tempat lelaki itu berdiri.
Linor terus berjalan, ketika ada taksi datang ke arahnya dengan tanpa ragu ia menghentikan taksi itu, dan naik taksi itu lalu meluncur meninggalkan Visnyakovski Pereulok.
Linor mengarahkan taksi itu ke kawasan Lubyana. Samasekali Linor tidak menengok ke belakang bebarapa saat lamanya. Setelah berjalan lima belas menit, ia menengok ke belakang. Ia yakin tidak ada yang mengikutinya. Setelah sampai di Lubyana, Linor meminta kepada sopir taksi untuk terus ke utara menuju Sukharevskaya.
Di dekat stasiun metro Sukharevskaya Linor turun. Linor lalu naik metro, mencari jalur dari Sukharevskaya ke Baumanskaya.
Keluar dari stasiun metro Baumanskaya Linor kembali menajamkan pandangannya ke sekeliling, ada yang mengikuti atau mengawasinya
apa tidak. Setelah yakin tidak ada yang mengawasinya Linor berjalan mencari alamat yang ditulis petugas Kedutaan Republik Indonesia.
Tidak perlu lama bagi Linor untuk menemukan Aptekarsky Pereulok.
Kini Linor ada di depan gedung tua. Ia melihat jam tangannya, tak terasa sudah pukul empat sore. Perjalanannya dengan taksi memang cukup lama ditambah macet di beberapa titik di pusat kota Moskwa. Juga perjalannya dengan metro yang sengaja ia buat berpindah banyak jalur, lebih dari semestinya.
Ia belum shalat Zuhur. Untung tadi ia sudah meniatkan jamak ta'khir seperti yang diajarkan oleh Rahma untuk orang yang sedang bepergian.
Ia merasa masih bepergian. Ia berharap bisa shalat di tempat Ayyas.
Sekali lagi Linor melihat alamat yang ditulis.
Ia yakin gedung tua di hadapannya itulah tempat di mana Ayyas kini tinggal. Tiba-tiba jantung Linor berdegup kencang. Entah kenapa ia tiba-tiba disergap rasa gugup luar biasa. Kakinya seperti terpaku susah untuk digerakkan. Ia menguatkan dirinya. Ia harus menemui Ayyas. Ia ingin mendapatkan kepastian daripada menyesal dengan praduga dan ketidakpastian.
Dengan membaca basmalah, Linor melangkah memasuki gedung dan menaiki tangganya satu per satu. Ketika kakinya menaiki tangga lantai dua, Linor mendengar suara langkah kaki lelaki mengikuti di bawahnya. Linor menghentikan langkahnya, langkah orang yang mengikutinya juga berhenti. Ada rasa khawatir yang sangat halus yang menyusup begitu saja ke dalam hatinya. Linor melihat ke bawah, lelaki itu tidak nampak kecuali ujung sepatu kulitnya. Keringat dingin Linor tiba-tiba keluar begitu saja.
Dengan suara lirih, Linor menyebut nama Allah dan memohon pertolongan-Nya agar menyelamatkan hidupnya. Ia berjanji dalam hati, jika diberi umur panjang, ia akan mewakafkan dirinya untuk berjuang di jalan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar