Kamis, 10 Januari 2013

Bumi Cinta ( Part 13 - 14 )


Bumi Cinta
Karya : Habiburrahman El Shirazy

DILARANG COPY PASTE UNTUK TUJUAN KOMERSIAL !!!


13. Menyelamatkan Nyawa

Salju terus turun perlahan. Seorang perempuan tua bertubuh gemuk dengan pakaian lusuh berdiri mondar-mandir di pinggir jalan dengan wajah cemas. Setiap kali ada yang lewat ia hentikan untuk minta tolong. Dan orang-orang
seperti tidak memedulikannya. Setiap kali ia minta tolong pada seseorang dan tidak dipedulikan, ia langsung melontarkan sumpah serapah.
Ayyas berjalan menyusuri pinggir jalan itu dengan agak tergesa. Perutnya yang kosong terasa perih. Dingin yang menusuk menambah rasa lapar semakin menyiksa. Ia ingin segera membeli makanan dan mengganjal perutnya. Ia yakin tidak salah, bahwa di pojok timur pojok Protochny Pereulok ada gastronom yang menjual banyak jenis makanan.
Perempuan tua bertubuh gemuk itu memanggil Ayyas. Ayyas pura-pura tidak tahu dan tidak mendengar. Ia terus saja berjalan. Ia tahu perempuan tua itu adalah gelandangan yang banyak berkeliaran di kota Moskwa. Ayyas tidak mau berurusan dengan gelandangan Moskwa yang banyak membuat masalah. Perempuan tua itu dengan langkah berat mengejar Ayyas dan langsung memegang tangan kiri Ayyas.
"Tolong berhenti. Ada orang sekarat di sana. Kalau tidak ditolong dia akan mati!" Kata perempuan tua itu dengan wajah cemas. Tangan kanannya menunjuk ke arah jalan sempit.
Ayyas mengibaskan tangan perempuan tua itu pelan, lalu mengisyaratkan kalau ia tidak mau. Ayyas tidak mau melibatkan dirinya dalam urusan yang tidak jelas. Apalagi ia adalah orang asing.
Ia tidak tahu orang yang katanya sekarat itu siapa dan sekarat karena apa. Kalau yang sekarat adalah seorang anggota mafia dan ia mencoba menolongnya ternyata kemudian tidak tertolong, ia bisa dianggap sebagai pembunuh orang itu, maka ia akan jadi buruan mafia Moskwa. Segala
urusannya akan berantakan. Tidak hanya itu, nyawanya bisa-bisa melayang.
Perempuan tua itu seperti mencengkeram tangan kanan Ayyas.
"Tolonglah. Anda orang baik. Tolonglah orang yang sekarat itu. Tuhan akan memberkati hidup Anda," desak perempuan tua itu.
Ayyas menggelengkan kepalanya.
"Kenapa Anda tidak mau menolong orang lain? Kenapa Anda juga seperti orang-orang lain yang tidak memiliki hati itu? Apa Anda merasa tidak akan memerlukan pertolongan orang lain suatu ketika, sehingga Anda tidak mau menolong orang lain? Ah, tak ada lagi manusia berhati manusia. Manusia sekarang hatinya adalah batu. Tak ada perasaan iba, tak ada perasaan kasihan
pada sesama!" Perempuan tua itu meluapkan kemarahannya pada Ayyas.
Ayyas terdiam sesaat. Ia bingung menentukan langkah.
Akal pikirannya menyuruhnya untuk tidak menggubris perempuan tua yang cerewet itu. Sebab, salah menolong orang malah bisa berujung petaka. Sementara dari nuraninya yang paling dalam, ia tidak boleh bersikap sebagai manusia yang tidak memiliki perasaan dan kasih sayang.
Ia tidak mau dikatakan hatinya adalah batu. Keraguan Ayyas langsung dibaca oleh perempuan tua itu. Keraguan Ayyas dimanfaatkan perempuan tua itu untuk meluluhkan hati Ayyas,
"Ayo malcik (Panggilan sayang kepada anak lelaki) kita tolong orang sekarat itu. Aku tidak bisa menolong sendirian. Kita selamatkan satu nyawa malam ini. Ayo jangan ragu berbuat kebajikan! Kau memiliki hati yang lunak, aku percaya itu. Hatimu tidak terbuat dari batu atau bajaseperti orang-orang itu. Ayolah kita berbuat satu kebaikan malam ini. Kita tunjukkan kepada Tuhan, masih ada manusia yang berbuat baik di atas muka bumi Moskwa ini."
Ayyas langsung teringat Allah. Bahwa diciptakannya manusia oleh Allah adalah untuk beribadah kepada-Nya, untuk berbuat kebaikan di atas muka bumi ini karena-Nya. Ia langsung teringat perintah Allah di dalam Al-Quran untuk menjaga nyawa orang lain, bahwa menjaga hidup satu nyawa manusia itu sama dengan menjaga nyawa seluruh umat manusia. Kalimat yang disampaikan perempuan tua itu berhasil menggugah sisi iman Ayyas.
"Baiklah. Mari kita selamatkan satu nyawa umat manusia malam ini semampu kita." Kata Ayyas.
"O puji Tuhan, kau orang baik. Ayo, cepat!" Perempuan tua itu bergegas terseok-seok dengan tetap memegang lengan tangan kanan Ayyas. Seperti orang yang dihipnotis, Ayyas menurut saja tanpa banyak pertanyaan dan rasa
curiga. Perempuan tua itu membawa Ayyas menelusuri jalan agak sempit yang gelap. Jalan yang sebenarnya bisa dilalui dua mobil, tapi karena salju yang menumpuk di kanan dan kiri jalan agak tinggi, jalan itu nampaknya hanya cukup dilalui satu mobil.
Tak lama kemudian, perempuan tua itu menghentikan langkah. Di depannya ada tubuh perempuan muda yang terkapar. Sebagian palto dan mukanya tertutup salju tipis. Perempuan tua itu meraba nadi tubuh perempuan muda itu.
"Dia pingsan. Dia masih hidup. Nadinya masih berdenyut. Ayo bawa dia ke tempat yang hangat, atau bawa dia ke rumah sakit. Boponglah dia kalau kau kuat, atau bagaimana caranya terserah!"
Ayyas duduk lalu mencoba mengangkat tubuh perempuan muda itu. Gelap malam membuat wajah perempuan muda itu kurang jelas. Ayyas membopongnya. Terasa berat, apalagi pundak kirinya masih belum sembuh benar, tapi Ayyas merasa kuat untuk membawanya sampai jalan besar yang terang. Di jalan besar, tubuh itu bisa diangkut dengan taksi menuju rumah sakit.
Ayyas berjalan dengan tertatih-tatih. Ia benar-benar harus berjuang untuk membopong tubuh itu sampai ke jalan besar. Perutnya yang kosong bertambah perih. Ia sendiri harus tidak boleh melupakan kesehatan dirinya. Apalagi menurut penjelasan Pak Joko tadi siang, musim dingin bisa menyebabkan seseorang mengalami dehidrasi berat, yang ujung-ujungnya bisa mengancam nyawa.
Akhirnya Ayyas mampu membawa tubuh itu ke jalan besar yang terang. Dan alangkah terkejutnya Ayyas ketika melihat wajah perempuan yang digendongnya. Ternyata perempuan muda itu adalah Yelena. Sebenarnya ia sudahtidak mau melihat lagi wajah Yelena, tapi dalam kondisi hampir mati seperti itu Ayyas tetap menaruh iba padanya.
Perempuan tua gemuk itu mencoba menghentikan taksi, tapi tak ada taksi yang mau berhenti. Ayyas langsung menduga, hal itu karena perempuan tua itu berpakaian gembel. Ayyas langsung mengambil inisiatif menurunkan kaki
Yelena dan membiarkan tubuh perempuan itu bersandar ke tubuhnya. Tangan kanannya menjaga tubuh Yelena agar tidak jatuh, dan tangan kirinya ia gunakan untuk menghentikan taksi.
Usaha Ayyas berhasil. Ada satu taksi mau berhenti.
"Ke mana?" Sapa sopir taksi berkepala botak dan berjanggut lebat.
"Ke Medical Center terdekat." Jawab Ayyas.
"Tiga puluh ribu rubel!"
"Apa?!" Perempuan tua itu ternganga mendengarnya. 
"Tiga puluh ribu rubel? Kau sudah gila ya?"
"Kalau tidak mau ya sudah. Aku mau jalan." Kata sopir taksi itu dingin.
"Tunggu! Tiga puluh ribu rubel tak masalah." Ayyas tak ingin hanya karena berdebat ongkos taksi nyawa anak manusia tidak terselamatkan.
Sopir taksi turun membantu Ayyas memasukkan tubuh Yelena ke jok belakang. Perempuan tua itu ragu mau ikut naik, Ayyas memaksanya
ikut serta. Taksi itu langsung meluncur menuju Italian Medical Centre Smolenskaya. Tak sampai seperempat jam taksi itu sudah sampai.
Tubuh Yelena langsung dilarikan ke bagian gawat darurat. Ayyas mengajak perempuan tua itu ke bagian administrasi. Pihak Medical Centre tidak mau perempuan tua itu yang bertanggung jawab. Dan perempuan tua itu juga dengan jujur mengaku tidak memiliki apa-apa selain uang seribu lima ratus rubel yang hanya cukup untuk makan sekali saja. Akhirnya mau tidak mau Ayyaslah yang harus menandatangani surat-surat yang disodorkan pihak Medical Centre.
Ayyas meminta perempuan tua itu tetap di Medical Centre. Sementara dirinya harus ke apartemen untuk menemui Linor. Ia berharap Linor mau membantu meskipun ia melihat Linor sering adu mulut dengan Yelena. Kalau Linor tidak mau membantu ia berharap Linor tahu keluarga Yelena atau siapa saja teman dekat Yelena yang bisa diberitahu. Sebab, sepertinya, urusannya tidak hanya dengan Medical Centre saja, mungkin juga akan berurusan dengan pihak kepolisian.
***

"Kelihatannya mereka tidak pulang malam ini. Ini sudah lewat tengah malam." Gumam Linor pada dirinya sendiri setelah melihat jam dinding di ruang tamu.
Linor baru saja tiba dari rapat khusus bersama orang-orang penting Israel yang ada di Moskwa.
Dalam rapat itu ia menceritakan keberadaan Ayyas di apartemennya. Rapat memutuskan tugas tambahan bagi Linor Lazarenko, yaitu mengawasi Ayyas. Linor diminta memasang alat penyadap dan kamera canggih di ruang tamu dan kamar Ayyas. Dengan kecanggihan teknologi itu mereka akan mudah mengetahui siapa sebenarnya Ayyas. Dan jika ingin menjebak Ayyas juga, jalannya akan nampak lebih terang. Mereka tidak terlalu mengkhawatirkan Ayyas. Justru menurut mereka keberadaan Ayyas harus bisa dijadikan alat untuk menciptakan satu konspirasi yang menguntungkan anak-anak Yahwe.
"Jika kita ledakkan beberapa titik Moskwa. Dunia akan geger. Lalu kita arahkan mata dunia dengan fakta yang tidak terbantahkan, bahwa pelakunya adalah Muhammad Ayyas itu. Dunia akan semakin membenci orang-orang
Islam. Moskwa akan langsung berpikir ulang dalam menjalin hubungan dengan dunia Islam. Bahkan Moskwa akan berpikir ulang dalam membela negara-negara Timur Tengah seperti Iran. Jika itu terjadi, akan mudah bagi kita memblejeti negara-negara Islam satu per satu."
Kata Ben Solomon bersemangat. Wajahnya menyiratkan kelicikan yang dalam.
"Kita akan mengarahkan mata dunia, pelakunya adalah Ayyas? Meskipun bukan dia pelakunya?" Sahut Linor.
"Kenapa kau tiba-tiba jadi tolol Linor?" Linor langsung diam seketika. Ia langsung sadar bahwa ia baru saja menanyakan hal yang sangat bodoh. Ia langsung ingat bahwa anak-anak Yahwe adalah makhluk pilihan di atas muka
bumi ini. Kepentingan anak-anak Yahwe di atas segala kepentingan. Selain anak-anak Yahwe boleh dikorbankan demi kejayaan anak-anak Yahwe.
Linor merasa tidak perlu menunggu besok pagi. Malam itu ia harus melaksanakan tugasnya. Ia melangkah ke kamar Ayyas. Tidak terkunci.
Linor membuka kamar itu. Kosong. Tidak ada orang.
"Dasar bodoh!" Gumam Linor dengan mata berbinar. Ia senang mendapati satu kenyataan bahwa orang-orang Islam itu ceroboh, bodoh dan tidak hati-hati.
Linor harus memastikan bahwa dirinya aman menjalankan aksinya. Maka ia beranjak ke pintu depan. Ia kunci pintu itu dari dalam, dan ia biarkan
kuncinya tetap menggantung. Ia juga memasangkan kunci pengamannya. Dengan begitu jika Yelena atau Ayyas pulang tidak bisa langsung membuka pintu. Pintu itu harus ia yang membukanya. Ia tetap berjaga-jaga kalau dugaannya bahwa Yelena dan Ayyas tidak akan pulang itu meleset.
Setelah yakin ia aman, Linor mengambil tas ranselnya dan beraksi. Ia memasang satu alat penyadap dan dua kamera sangat kecil di kamar Ayyas. Ia sangat yakin alat-alat itu tidak akan diketahui oleh Ayyas. Linor juga memasang satu alat penyadap dan dua kamera di ruang tamu.
Alat-alat itu adalah alat penyadap nirkabel yang sangat canggih yang langsung terhubung ke laptop Linor. Jadi, di manapun Linor membuka laptopnya akan langsung bisa mengawasi ruang tamu dan kamar Ayyas.
Tidak perlu waktu lama bagi Linor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tak ada satu menit pekerjaannya selesai dengan sempurna. Satu menit bagi seorang agen intelijen seperti dirinya masih tergolong buruk. Seharusnya memasang alat seperti itu hanya perlu beberapa detik meskipun Ayyas dan Yelena ada di situ.
Puas dengan hasil pekerjaannya, Linor lalu merapikan semuanya seperti sedia kala. Pintu kamar Ayyas kembali ia tutup rapat. Pintu depan ia jadikan seperti semula, tanpa grendel pengaman, sehingga Yelena atau Ayyas kalau pulang
bisa langsung membuka dari luar. Harus tidak ada yang curiga.
Linor lalu merebahkan tubuhnya di sofa empuk dan menyalakan televisi. Ia melihat berita malam. Iran tetap ngotot mau menjalankan program nuklirnya. Iran berdalih untuk kepentingan energi listrik nasionalnya. Nuklir untuk perdamaian, bukan yang lain. Keras kepala Iran itu yang membuat seluruh anak-anak Yahwe tidak suka.
Lalu Indonesia diguncang gempa. Yogyakarta luluh lantak. Rumah-rumah roboh, ribuan manusia mati tertimbun bangunan. Linor berteriak girang, "Pasti Yahwe marah sama kalian! Kalau seluruh kota kalian hancur itu lebih baik! Meskipun jauh dari negara kami, kalian terlalu sering membuat kami jengkel!"
Linor banyak membaca di internet, Negara yang paling sering mendemo kebijakan Israel adalah Indonesia. Dan Indonesia jugalah Negara yang ia anggap keras kepala dan sombong karena tidak mau membuka hubungan diplomatic dengan Israel. Ia senang kota-kota Indonesia hancur tanpa harus dibom. Layar kaca lalu menampilkan cuplikan pertandingan Liverpool melawan MU. Pertarungan yang ketat dan keras. MU menang satu kosong.
Ryan Giggs malam itu jadi pahlawan. Alex Ferguson bertambah sombong.
Dan di ujung berita, layar itu menyiarkan ihwal ditemukannya mayat di sebuah jalan dekat gudang tua di sebelah utara Moskwa. Dari tanda pengenal yang terdapat di saku celana, mayat itu bernama Daniil Ogurtsov. Diduga ia hanyalah seorang gelandangan miskin yang mati membeku
kedinginan karena sakit dan kelaparan. Kamera hanya mengambil gambar dari jarak agak jauh, mukanya tidak nampak jelas.
"Bodoh! Dia bukan Daniil Ogurtsov. Dia bukan gelandangan miskin. Nama aslinya Sergei Gadotov anggota mafia Voykovskaya Bratva. Bodoh, kalian semua tertipu!" Pekik Linor bangga dengan mata berbinar. Dialah yang membuat ID CardD a/n Ogurtsov. Nama itu fiktif, tapi ia bisa membuat seolah-olah ada. Sebab ia mampu menjebol data kependudukan Rusia.
Dalam data kependudukan itu ia bisa menambah nama apa saja. Kini ia merasa Sergei Gadotov sudah benar-benar hilang tidak ketahuan rimbanya.
Mayat yang dianggap Daniil Ogurtsov itu pasti sudah disegel polisi bahkan mungkin sudah dikuburkan oleh polisi di kuburan umum.
Terdengar sesuatu di pintu depan. Linor langsung mengecilkan suara televisi. Seseorang hendak membuka pintu tapi tidak bisa. Linor agak kaget. Kunci miliknya masih tergantung di sana. Ternyata ia tadi Cuma melepas grendel pengaman saja. Linor tetap duduk tenang. Ia menunggu bel dibunyikan.
Dan benar, bel berbunyi nyaring. Linor melihat ke lubang pengintip. Yang pulang Ayyas, wajahnya kusut dan kusam. Linor membuka pintu lebar-lebar.
"Kenapa dikunci dari dalam? Takut ketahuan seperti kemarin malam?"
"Ah tidak. Tidak ada orang selain aku."
"Kalau boleh aku mau minta tolong."
"Apa itu?"
"Yelena kritis di rumah sakit." 
"Kritis? Separah apa dia?"
"Sekarat! Kelihatannya ada yang berniat menghabisinya. Aku minta kau menemani aku ke sana. Kalau kau tahu kerabat atau teman dekatnya tolong di hubungi sekarang."
Linor nampak kaget mendengarnya. Meskipun ia sering bertengkar dan adu mulut dengan Yelena, ia tidak bisa menampik bahwa Yelena adalah teman satu apartemen yang baik padanya.
Yelena tidak pernah mengganggunya. Bahkan sering bisa dimintai tolong nitip membelikan sesuatu. Tak jarang Yelena secara tidak sadar memberitahu
informasi penting padanya. Terutama berkaitan dengan klien Yelena yang seringkaliadalah pejabat penting pelbagai negara. Sedikit banyak Yelena sangat berguna baginya. Meskipun bukan siapa-siapa baginya, Yelena berhak mendapat bantuannya. Atau paling tidak sebagai teman satu apartemen dia harus berempati padanya.
"Di rumah sakit mana?" Tanya Linor. 
"Italian Medical Centre."
"Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang!"
"Sebentar perutku sakit sekali. Aku perlu makan dulu. Sejak siang aku belum makan. Ini aku bawa beberapa potong roti pirozkhi. Mau?"
Ayyas membuka bungkusan yang dibawanya.
Ia gelar di atas meja. Melihat beberapa jenis roti pirozkhi itu air liur Linor ingin menetes. Dirinya juga lapar. Roti pirozkhi yang dibawa Ayyas ada
yang berisi tvorog, kacang, dan coklat cair. Linor masih tidak beranjak dari tempatnya. Kedua matanya menatap Ayyas yang mulai memasukkan roti pirozkhi berisi kacang mindal ke dalam mulutnya.
"Kalau mau ayo, tidak usah segan! Aku beli banyak."
Linor duduk di depan Ayyas. Tanpa berkata sepatah kata pun ia mengambil roti berisi trovog.
Keduanya lalu makan roti dalam diam. Ayyas lebih banyak menundukkan pandangan. Selesai makan Linor berkemas, lalu keduanya keluar dari apartemen. Linor menawarkan untuk mengendarai mobilnya saja. Linor meminta Ayyas yang menyetir, tapi pemuda Indonesia itu menolak.
"Maaf, saya tidak punya SIM Internasional."
"Tidak masalah. Sudah malam. Tidak akan ada polisi lalu lintas yang patroli."
"Tidak usah. Anda saja yang menyetir."
Sejurus kemudian Mobil BMW SUV X5 hitam itu menyusuri Panvilovsky Pereulok, lalu belok kanan masuk Protochny Pereulok, dan meluncur tenang menuju Italian Medical Centre.
Sampai di rumah sakit yang dibangun oleh seorang pengusaha dari kali itu, Linor langsung menghambur ke bagian gawat darurat. Ayyas membuntuti di belakangnya. Di depan pintu perempuan tua berpakaian kumal itu nampak
menunggu dengan setia.
"Wah kelihatannya kita belum bisa masuk melihat Yelena. Ibu tua itu yang menemukannya. Kau bisa menanyakan padanya Linor." Kata Ayyas.
"Baik." Linor langsung mendekati perempuan tua itu. Dengan senyum yang ia paksakan, ia bertanya pada perempuan tua itu.
"Nama Bibi siapa?"
"O. Namaku Margareta."
"Terima kasih Bibi Margareta telah membawa teman saya kemari."
"Kalau tidak ada dia. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang di Moskwa ini sudah mulai tidak peduli kepada orang lain. Seolah-olah yang hidup di Moskwa ini bukan manusia, tapi mayat-mayat hidup yang tidak memiliki nurani."
"Sudahlah Bibi. Bagaimana Bibi menemukannya?"
"Aku berdiri beberapa meter dari mulut jalan sempit dan gelap itu. Kira-kira jam sebelas malam tadi. Lalu ada mobil sedan memasuki jalan itu. Aku amati mobil itu. Kelihatannya mobil itu berhenti di tengah kegelapan lalu seperti
membuang sesuatu di pinggir jalan. Aku kira sampah. Aku ke sana. Aku berpikir mungkin ada sampah yang bisa aku manfaatkan. Atau ada sisa makanan yang bisa aku makan. Aku terkejut sampai di sana, ternyata yang dibuang itu bukan bungkusan sampah tetapi manusia. Manusia yang terluka parah sampai tidak bisa berbicara."
Dada Linor menyala. Ia bertanya-tanya siapa yang melakukan hal itu pada Yelena. Ia berharap Yelena selamat dan bisa menceritakan semuanya.
Ia akan memberi pelajaran kepada orang yang telah menganiaya Yelena.
"Bibi tahu nomor plat mobilnya?"
"Bibi tidak memerhatikan plat mobil itu sama-sekali."
Ketika itu dua orang polisi datang. Yang satu berwajah sayu dan melankolis dengan alis sepenuhnya putih. Dan satunya berwajah keras, lehernya panjang dan pandangannya tajam menusuk.
"Kamu yang bernama Ayyas?" Tanya polisi berwajah sayu.
"Ya benar."
"Boleh lihat paspor?" Ayyas mengeluarkan paspornya. Polisi membuka paspor Ayyas itu halaman per halaman.
"Untuk apa kau di Moskwa ini?"
"Untuk riset di MGU."
"Ada surat keterangan resminya?"
Ayyas mengeluarkan kartu visitingfellow yang dikeluarkan Departemen Sejarah MGU.
"Apa ini? Ini tidak ada gunanya. Kami minta surat resmi!" Kata polisi berwajah sayu itu ketus. Ayyas memandang Linor, ia memberi isyarat kepada Linor bahwa ia merasa heran ada polisi seperti itu. Linor mengerti maksud Ayyas.
"Hei Tuan-tuan, kalian ini polisi Moskwa jangan membuat malu! Jangan bodoh begitu. Ini namanya kartu visitingfellow. Dikeluarkan resmi oleh MGU untuk tamu-tamu pentingnya yang mengadakan riset di MGU. Kalau tidak bisa membaca jangan jadi polisi!" Bentak Linor.
Dua polisi itu saling berpandangan. Polisi yang berwajah keras menatap Linor dengan pandangan jengkel bukan main.
"Kau siapa, berani berkata begitu pada kami!?"
"Silakan Tuan-tuan tulis! Aku wartawan. Namaku Linor. Aku keponakan Jenderal Vladimir Kuznetsov. Kalian mau kebodohan kalian ini aku tulis di koran biar dibaca seluruh orang. Dan pada hari berikutnya kalian dipecat oleh atasan kalian lalu jadi gembel di pinggir jalan!"
Seketika sikap kedua polisi itu berubah. Polisi berwajah keras itu seketika melunak.
"Jangan Nona Linor. Kami hanya berusaha bekerja sebaik-baiknya. Maafkan kami atas ketidaktahuan kami. Tapi kami harus tetap mengajukan beberapa pertanyaan pada orang asing ini, karena dia yang membawa perempuan tak
berdaya itu kemari."
"Silakan."
"Jadi benar kamu yang membawa perempuan tak berdaya itu kemari?"
"Saya tidak sendirian. Saya disertai Bibi ini dan sopir taksi." Jawab Ayyas tenang. Ia merasa lebih tenang ketika Linor mengatakan kalau dirinya keponakan seorang Jenderal. Paling tidak polisi itu tidak akan berani semena-mena. 
"Kau yang menemukannya pertama kali?"
"Tidak."
"Lalu siapa kalau bukan kau?"
"Bibi ini. Bibi ini yang memaksa saya menolong seseorang dan menyeret saya ke tempat perempuan tak berdaya itu terkapar."
Linor menyela, "Bibi Margareta!"
"Iya Nona Linor."
"Silakan Bibi ceritakan semuanya kepada dua polisi ini agar semuanya jelas."
"Baik Nona."
Perempuan tua berpakaian kumal bernama Margareta itu langsung nerocos menceritakan detil kejadiannya dari awal sampai akhir. Dua polisi itu menyimak dengan seksama. Sesekali polisi berwajah sayu menuliskan sesuatu di buku notes kecilnya. 
Setelah dirasa cukup, dua polisi itu angkat kaki.
Seorang dokter perempuan keluar dari kamar gawat darurat. Linor langsung menyerbunya.
"Bagaimana keadaan teman saya, Dokter?"
"Berdoalah kepada Tuhan. Hanya mukjizat yang bisa menyelamatkannya. Jantungnya masih berdetak tapi lemah. Ia masih tidak sadarkan diri. Hampir seluruh tubuhnya luka memar. Tangan kanannya patah. Dari pemeriksaan kilat kelihatannya dia juga mengalami kekerasan seksual, tapi kita belum melakukan visum yang sempurna. Kami baru mengusahakan semaksimal mungkin bagaimana caranya dia masih hidup." Jelas dokter perempuan itu panjang lebar kepada Linor.
Ayyas seperti pernah melihat wajah dokter ini. Ia mencoba mengingatnya. Di mana ya? Apa di televisi? Apa di bandara Jakarta? Atau di New Delhi. Ayyas terus mengingat-ingat.
"Maaf Dokter, saya merasa pernah berjumpa dengan Dokter, tapi saya lupa di mana?" Kata Ayyas. Dokter itu memandang wajah Ayyas dengan seksama. Ia lalu terhenyak.
"Di India, tepatnya di Agra! O my God, kau yang mengantarkan putriku si Ksenia ke Hotel Ashok. Iya kan?" Ujar Dokter perempuan itu setengah menjerit.
"Iya benar. Berarti Anda Dokter Tatiana Baranovna?"
"Benar. Ah terima kasih kau masih mengingat nama saya, padahal kejadiannya sudah satu tahun yang lalu. Maaf saya lupa nama Anda."
"Nama saya Muhammad Ayyas. Panggil saja Ayyas."
"Iya Ayyas." Dokter Tatiana kelihatan bahagia bertemu Ayyas. 
"Kok kamu bisa di sini. Apa hubunganmu dengan perempuan tak berdaya
itu?"
Tanpa diminta Bibi Margareta menyela, "Dia yang membantuku membawa perempuan tak berdaya itu kemari."
"O, jiwa menolong Anda mengagumkan. Di India kau menyelamatkan putriku. Dan kini kau membawa perempuan tak berdaya yang hamper mati ke rumah sakit. Tapi kau harus hati-hati kalau mau menolong seseorang. Jangan sampai kau tulus menolong tapi justru kecelakaan yang kauhadapi. Saya tidak tahu seperti apa nanti polisi akan menangani kasus perempuan tak berdaya ini. Semoga kau tidak kena getah yang mencelakakan kamu."
"Terima kasih nasihatnya, Dokter."
"Kau mau minum teh bersamaku?"
"Asal mereka juga ikut."
"Tentu saja. Ayo kita minum teh panas, biar hangat." -
"Kalau Ksenia bertemu saya kira-kira dia masih ingat tidak Dokter?"
"O pasti ingat. Yang dia alami di India itu tidak akan dia lupakan seumur hidupnya. Kau akan dia kenang sebagai orang yang pernah menyelamatkan hidupnya. Nanti Ksenia akan aku beritahu, dia pasti senang."

***


14. Hilang

Pagi itu Ayyas merasakan kesedihan luar biasa. Ia merasa kehilangan sesuatu yang paling berharga yang ia miliki. Ia merasa hatinya seperti telah copot dan kepalanya mau lepas dari tubuhnya. Dunia terasa suram dan kelam. Ia merasa
memikul dosa sebesar gunung. Bahkan ia merasa menjadi manusia paling berdosa di atas muka bumi ini. Pagi itu Ayyas bangun kesiangan. Ia shalat Subuh tidak tepat pada waktunya. Ia merasakan musibah yang luar biasa.
Penyebabnya adalah karena ia terlalu letih dan tidur sangat terlambat. Setelah minum teh bersama Dokter Tatiana Baranovna di stolovaya40 Italian Medical Centre, ia pulang ke apartemen dengan taksi. Linor dan perempuan tua itu tetap di sana menunggu apa pun yang terjadi pada Yelena. Ia sampai di kamarnya hamper jam tiga. Tubuhnya seperti remuk semua. Sebelum tidur ia masih sempat memasang alarm.
Tetapi ia samasekali tidak mendengar bunyi alarm. Ia terlalu lelap. Ia ketinggalan shalat Subuhnya. Ia merasa sangat berdosa kepada Allah Ta’ala. Ia merasa sangat rugi. Sesuatu yang sangat berharga miliknya telah hilang, dan ia merasa tidak bisa menggantinya dengan cara apa pun.
Jika satu bagian saja dari wiridku telah hilang, maka tidak mungkin aku bisa menggantinya untuk selama-lamanya.
Airmata Ayyas meleleh. Ia teringat wasiat seorangsahabat Nabi, Abu Bakar Ash Shiddiq ra.
menjelang wafatnya kepada Umar bin Khattab ra.,
"Aku wasiatkan kepadamu semoga kau mau menerimanya. Sesungguhnya Allah memiliki hak pada malam hari yang tidak diterima ketika dilaksanakan siang hari. Demikian juga Allah memiliki hak pada siang hari yang tidak diterima jika dilakukan pada malam hari. Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan sunah sebelum melaksanakan amalan wajib."
Ayyas dicekam ketakutan sekaligus kesedihan.  Ia takut kalau shalat Subuhnya yang dilakukan tidak pada waktunya samasekali tidak diterima oleh Allah Ta’ala. Jika shalatnya tidak diterima Allah, bagaimana nasibnya kelak di akhirat?
Ia selalu ingat, shalat adalah amal kebajikan pertama sekali yang kelak akan dihitung oleh Allah.
Nabi Muhammad Saw. menjelaskan, jika shalat seorang hamba dinilai baik oleh Allah, maka baiklah seluruh amal perbuatannya, dan jika shalatnya
dinilai buruk oleh Allah, maka buruklah seluruh amal perbuatannya.
Dan pagi itu ia bangun kesiangan, tidak shalat Subuh tepat pada waktunya. Di atas sajadahnya Ayyas terus beristighfar dan menangis,
"Ya Allah harus bagaimana hamba menebus dosa ini. Ampunilah kekhilafan hamba-Mu ini yaAllah. Karuniakan kepada hamba kenikmatan shalat tepat pada waktunya sampai akhir hayat ya Allah. Ya Allah tolonglah hamba-Mu yang lemah ini untuk selalu mengingat-Mu, untuk selalu bersyukur kepada-Mu, dan untuk selalu beribadah sebaik mungkin kepada-Mu."
Ia tidak menyesal samasekali bahwa ia terlalu letih karena harus menolong Yelena dan mengantarkannya ke rumah sakit. Tidak, samasekali tidak. Ia tidak menyesal harus menolong perempuan yang ternyata berprofesi menjual diri seperti Yelena. Ia menolong Yelena karena Yelena adalah makhluk Tuhan yang saat itu memerlukan pertolongannya. Jadi ia tidak merasaapa yang dilakukannya sia-sia. Kalau ternyata nyawa Yelena dapat diselamatkan dan Yelena bisa kembali pulih seperti sedia kala, lalu perempuan itu kembali menjual dirinya, itu adalah urusan yang lain.
Kewajibannya sebagai manusia adalah menolong manusia yang memerlukan pertolongannya. Tentu saja ia tidak menginginkan Yelena terus di jalan yang tidak benar. Ia ingin Yelena menginsafi bahwa yang ia lakukan adalah kesalahan besar, bahkan ia berharap Yelena kemudian bisa mendapatkan hidayah, lalu merubah cara hidupnya; dari cara hidup yang gelap dan pengap
menjadi cara hidup yang penuh cahaya dan penuh kesegaran nikmat Tuhan.
Sungguh ia tidak menyesal harus berletih-letih sampai pukul tiga dini hari. Yang ia sesalkan adalah dirinya sendiri yang tidak bisa bangun tepat pada waktunya. Telinganya seperti tuli. Bunyi alarm sama sekali tidak didengarnya. Ia menyesal bahwa dirinya bagaikan kerbau bodoh yang mendengkur sampai matahari terbit. Kerbaubodoh yang tidak bangun shalat Subuh ketika hamba-hamba Allah yang saleh sama rukuk dan sujud kepada Allah. Ia menyesali kelemahan dirinya  sendiri. Ternyata kekuatan cintanya kepada Allah belumlah dahsyat.
Buktinya, kekuatan cintanya kepada Allah belummampu membangunkannya untuk terjaga di saat ia harus bangun, terjaga dan sujud kepada Allah. Dirinya ternyata masih jauh dibandingkan orang-orang saleh yang mampu menjaga
keistiqamahan shalat tepat pada waktunya sampai akhir hayatnya.
Pagi itu Ayyas shalat Subuh pukul sembilan. Hal yang belum pernah terjadi selama hidupnya. Baru pagi itu ia kebobolan. Ia merasa shalat dan ibadahnya selama ini seolah tidak ada maknanya.
Ia benar-benar menyesal sampai relung hati paling dalam.
Ponselnya bergetar lalu berdengking-dengking.
Ada panggilan. Ternyata dari Linor. Ayyas mengangkatnya dengan raut muka kelam bergurat kesedihan.
"Hai sudah bangun ya?" Suara Linor dari seberang.
"Sudah. Ada apa?"
"Aku kira masih mendengkur. Tadi jam lima aku kontak berkali-kali tidak kau angkat. Aku yakin kau masih pulas karena tadi malam kelelahan. Kau bisa datang kemari sekarang?"
"Ada apa?"
"Yelena sudah siuman. Datanglah! Aku ada pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan."
"Aku juga sama."
"Yang penting datanglah dulu. Temui Yelena. Dia menanyakanmu. Bibi Margareta sudah cerita semua tentang kepahlawananmu pada Yelena. Kelihatannya Yelena ingin sekali bertemu dengan orang yang telah menyelamatkan nyawanya. Datanglah. Setelah itu terserah kau."
"Kau sudah hubungi keluarganya?"
"Yelena mengaku tidak punya keluarga lagi. Dia sebatang kara di Moskwa ini. Tapi dia bilang ada temannya yang lain, yang mungkin bisa sedikit membantunya. Segera datang ya? Biar aku bisa segera berangkat."
Ayyas berpikir sesaat. Ia seharusnya segera pergi ke kampus MGU. Ia harus menemui Doktor Anastasia Palazzo. Tapi tidak ada salahnya ia ke rumah sakit dahulu baru kemudian ke MGU.
Ayyas segera mandi. Sudah tiga hari ia tidak mandi. Setelah itu memakai pakaian musim dinginnya lengkap, dan meluncur ke rumah sakit di
mana Yelena dirawat.
Ia bersyukur, nyawa Yelena akhirnya selamat. Dengan selamatnya Yelena, ia akan terhindar dari urusan panjang dengan pihak kepolisian.
Nanti Yelena bisa menceritakan apa yang dialaminya panjang lebar kepada polisi. Dengan begitu polisi tidak akan mencurigai dirinya samasekali sebagai pelaku kejahatan yang mencederai Yelena. Sehingga ia bisa konsentrasi melakukan penelitian dan menyelesaikannya tepat pada waktunya.

***
Yelena sudah pindah ruangan. Ia sudah tidak di bagian gawat darurat lagi. Linor memilihkan kamar VIP utuk Yelena. Kamar itu layaknya kamar hotel. Ada dua tempat tidur di situ. Yang satu untuk pasien dan yang satu untuk penunggu. Ada sofa dan meja kecil di depannya. Ada kamar mandi di dalamnya. Ruangan itu tentu saja dilengkapi penghangat ruangan, televisi dan kulkas kecil. Yang paling penting ruang itu dilengkapi alat-alat standar kesehatan terbaik dunia.
Yelana sama sekali tidak menolak ketika dibawa ke kamar VIP. Ia tahu, pada akhirnya ia sendiri yang harus membayarnya, dan ia merasa mampu untuk membayarnya. Tabungan yang dimilikinya ia rasa lebih dari cukup untuk membayar biaya perawatannya sampai ia sembuh. Yang penting baginya adalah ia masih bernyawa, tidak mati sia-sia layaknya anjing kurap yang membeku di pinggir jalan.
Linor dan Bibi Margareta masih menunggu di situ ketika Ayyas masuk. Yelena terlentang lemah dengan infus menggantung di atas kepalanya.
Kepalanya masih terasa pusing. Jika digerakkan sedikit rasanya dunia berputar dan dirinya ingin muntah. Maka Yelena berusaha tidak menggerakkan kepalanya samasekali meskipun ia tahu Ayyas datang. Ia hanya mengikuti Ayyas dengan kedua matanya.
"Akhirnya kau datang juga." Sapa Linor.
"Ya tapi mungkin aku tidak lama. Aku harus ke MGU."
"Tak apa? Yang penting Yelena sudah ketemu kau sebelum sebentar lagi dia dioperasi?"
"Dioperasi?"
"Dioperasi apanya?"'
"Daun telinga kanannya tidak dapat diselamatkan. Daun telingannya sudah menjadi es ketika dia kaubawa kemari. Hidungnya hamper mengalami hal yang sama. Kata dokter Tatania, terlambat tiga menit saja mengangkat Yelena dari dinginnya salju, Yelena akan kehilangan daun telinga, hidung dan jari-jari tangannya, bahkan bisa lengannya. Kalau terlambat lima menit ya nyawanya sudah hilang karena lehernya membeku, pernafasannya putus, jantungnya berhenti berdetak."
"Begitu mengerikan."
"Ya. Yelena beruntung ada yang menyelamatkannya. Dan orang yang
menyelamatkan itu kau."
"Bukan aku. Sebenarnya yang menyelamatkan adalah Tuhan. Tuhan mengulurkan tangan pertolongannya lewat Bibi Margareta. Dan Bibi Margareta mengajak saya. Awalnya saya juga merasa tidak percaya pada Bibi Margareta. Tapi Tuhan membuka hati dan pikiran saya untuk memenuhi
ajakan Bibi Margareta menyelamatkan nyawa anak manusia."
Yelena mendengar dialog Linor dan Ayyas dengan hati bergetar. Ia teringat Tuhan. Ya Tuhan. Di tengah-tengah rasa putus asanya, ketika ia merasa nyawanya sudah sampai tenggorokan, yang ia sebut-sebut untuk dimintai pertolongan adalah Tuhan. Ia terus menyebut Tuhan, meratap pada Tuhan. Dan pertolongan itu datang. Berarti apakah benar Tuhan itu ada? Ia masih ragu. Tetapi pertolongan itu datang setelah ia memintanya dari Tuhan. Benarkah yang menyelamatkan nyawanya sebenarnya adalah Tuhan, seperti dikatakan oleh Ayyas baru saja.
Tuhan mengulurkan tangan pertolongannya lewat Bibi Margareta. Dan Bibi Margareta lalu mengajak Ayyas. Tuhanlah yang membuka hati dan pikiran Ayyas untuk memenuhi ajakan Bibi Margareta menyelamatkan nyawanya.
"Hai Yelena apa kabar?" Sapa Ayyas. 
Yelena hanya mengedipkan kedua matanya, dan berusaha tersenyum. Ia ingin menjawab tapi tenggorokannya terasa sakit sekali kalau untuk mengucapkan satu kata saja.
"Yang tabah ya. Percayalah kau pasti sembuh."
Yelena kembali berusaha tersenyum.
"Yelena... karena Ayyas sudah datang, aku berangkat dulu ya. Menurutku Bibi Margareta bisa menemanimu sampai kamu sembuh. Dia katanya tidak punya rumah. Jadi malah senang kalau menemani kamu di sini. Aku sudah memberinya uang untuk membeli pakaian, agar dia tidak berpakaian kumal seperti itu. Dia biar pergi beli pakaian ketika kamu dioperasi. Baik?" Terang
Linor.
Yelena mengedipkan kedua matanya.
"Baik. Kalau begitu aku pergi dulu."
Linor melangkah keluar kamar. Tinggallah mereka bertiga di kamar itu. Bibi Margareta duduk di sofa sambil terkantuk-kantuk. Sesekali kepalanya jatuh ke kanan. Ia tergagap dan bangun.
Lalu berusaha menegakkan kepalanya. Tak lama mengantuk lagi. Kepala itu lalu jatuh ke kiri seperti tidak ada lehernya. Ia tergagap lagi dan berusaha
tegak. Begitu berulang-ulang. Yelena diam. Hanya matanya yang terjaga. Ia
ingin bicara tapi luar biasa susahnya. Ayyas hanya diam saja, berdiri di sampingnya. Ia berpikir, benarkah Yelena tidak memiliki keluarga? Benarkah
dia sebatang kara? Sejak kapan dia sebatang kara? Berarti dia yatim piatu? Kalau benar, betapa berat hidup di Moskwa dengan musim dingin yang mencekam, tanpa keluarga samasekali.
Ayyas lalu berpikir, alangkah kasihannya Yelena. Meskipun kini nampak pucat, gadis itu tetap nampak jelita. Oh, kalau dia di Indonesia, ia membayangkan pasti akan dilamar main film oleh PH-PH raksasa yang bermarkas di Jakarta.
Tapi gadis secantik itu harus hidup dalam jalan yang gelap. Jalan gelap penuh sampah dan kotoran menjijikkan. Tubuh yang kelihatannya sangat memesona itu sebenarnya telah menjadi onggokan sampah daging busuk yang menjijikkan. Ia langsung teringat Yelena ketika bertemu dengannya di restoran kemarin. Yelena menggandeng lelaki besar berkulit hitam. Entah apa
yang telah dilakukan lelaki hitam itu pada Yelena. Dan entah berapa setan yang telah menodai Yelena, Kini Yelena terbaring tak berdaya. Meskipun
ada rasa muak membayangkan tubuh Yelena yang telah menjadi lebih murah dari sampah, tapi rasa kasihan itu terbit juga. Walau bagaimanapun, Yelena adalah manusia. Dia bisa jadi merasa hidupnya baik-baik saja. Bahkan dia tidak percaya adanya Tuhan, dan merasa senang. Itu semua karena yang ada dalam pikiran Yelena berbeda dengan yang ada dalam pikiran Ayyas.
Dalam pikiran Ayyas ada yang namanya Tuhan, ada ajaran agama Tuhan, ada Nabi Muhammad, ada ajaran Nabi Muhammad, ada perintah dan larangan Tuhan, ada pahala, ada dosa, ada surga, ada neraka.
Sementara dalam pikiran Yelena, semua yang ada dalam pikiran dan keyakinan Ayyas samasekali tidak ada. Yang ada adalah dirinya sendiri, dan hidup yang dijalaninya. Ia merasa bebas berbuat apa saja selama ia merasa nikmat dan nyaman, dan selama orang lain juga merasa nikmat. Tak ada aturan agama mana pun yang mengekangnya.
Yelena ingin mengucapkan satu kalimat saja, yaitu berterima kasih kepada Ayyas, tapi susahnya luar biasa. Ia tetap merasa Ayyas adalah orang yang paling besar jasanya dalam menyelamatkan nyawanya. Bibi Margareta telah
menceritakan semuanya. Ia mengerti semuanya meskipun ia hanya terlentang tak berdaya. Bibi Margareta bercerita bagaimana orang-orang tidak
ada yang peduli, dan hanya Ayyas yang peduli saat itu. Terus bagaimana Ayyas membopong dirinya.
Bagaimana Ayyas rela membayar tiga puluh ribu rubel untuk ongkos taksi. Juga bagaimana Ayyas menandatangani semua berkas rumah sakit sehingga ia bisa langsung mendapatkan perawatan medis segera. Kalau tidak ada Ayyas, ia sudah menjadi mayat yang membeku di pinggir jalan sempit kota Moskwa.
Ya, jika benar kata Ayyas bahwa yang menolong adalah Tuhan, maka Ayyas adalah utusan Tuhan yang menjadi juru selamat utama baginya dari kebinasaan.
Yelena tidak tahan untuk tidak mengatakan sesuatu pada Ayyas. Maka dengan rasa sakit luar biasa ia memaksakan berbicara.
"Ay...yas!" lirihnya parau.
Ayyas tersentak dari diamnya. Seluruh wajahnya seketika menghadap wajah Yelena sambil semakin mendekatkan kepalanya ke kepala Yelena.
"Iya Yelena."
"S..spa..si...ba...bal..shoir” (Terima kasih)
Kalimat itu akhirnya bisa keluar dari mulut Yelena. Wajahnya sedikit berbinar cerah.
"Tidak perlu berterima kasih untuk sebuah kewajiban Yelena. Manusia harus tolong menolong. Sudah menjadi kewajibanku untuk menolongmu."
Yelena mengedipkan kedua matanya sambil berusaha tersenyum.
Terdengar langkah perempuan mendekat. Pintu diketuk, lalu dibuka. Muncul wajah Dokter Tatiana Baranovna. Wajah perempuan berusia empat puluh tahunan itu nampak segar.
Langkahnya anggun. Rambutnya yang pirang ia kucir di belakang. Dengan jas putih panjang dan celana juga putih, ia nampak begitu rapi dan bersih.
Berbalik seratus delapan puluh derajat dengan Bibi Margareta yang kumal, lusuh dan kotor.
"Dabroye utra, Dokter." Sapa Ayyas.
"Dabroye utra. O jadi kamu datang lagi. Perempuan muda ini harus kami operasi. Daun telinga kanannya harus kami amputasi. Jika tidak bisa membusuk dan menjalar ke mana-mana."
"Samasekali tidak bisa diselamatkan Dokter."
"Tidak ada cara lain kalau kepalanya ingin tetap selamat."
Mata Yelena berkaca-kaca mendengar penjelasan Dokter Tatiana. Tapi ia tidak berdaya apa-apa kecuali ikut apa yang terbaik menurut dokter yang mengusahakan kesembuhannya. Jika ia bisa bicara ia ingin bertanya apa bisa kelak ia melakukan operasi plastik untuk daun telinga palsunya. Ia berharap bisa. Sebab setahu dia, bahkan operasi hidung plastik pun bisa. Michael Jackson sangat dikenal memiliki hidung hasil operasi plastik. Jika hidung bisa operasi plastik, daun telinga tentu bisa.
"Kapan dia harus operasi, Dokter?"
"Sekarang. Sebentar lagi perawat akan membawanya ke ruang operasi. Lebih cepat lebih baik."
"Lakukan yang terbaik untuknya, Dokter."
"Tentu. Kamu perhatian sekali sama dia."
"Ah biasa saja. O ya kabar Ksenia bagaimana?"
"Tadi pagi saat sarapan pagi aku sudah cerita padanya. Ia senang sekali. Ia sebenarnya mau ikut. Tapi ia harus masuk sekolah. Satu bulan lagi ia akan tampil di Bolsoi Teater. Katanya dia akan mengundangmu."
"Penampilan apa?"
"Ia terpilih mewakili sekolahnya untuk menjadi salah satu penari balet yang akan menampilkan pertunjukan balet Lebedinoe Ozera."
Dokter Tatiana nampak begitu bangga menerangkan prestasi anak putrinya.
"O Lebedinoe Ozera, pertunjukan balet danau angsa, sebuah pertunjukan balet paling legendaries dan paling menyedot penonton. Berarti anak putrid Dokter bukan penari balet sembarangan." Tiba-tiba Bibi Margareta menukas. Rupanya ia telah bangun dari tidurnya sambil duduk.
"Terima kasih atas pujiannya Bibi."
Dua perawat datang. Seorang di antara mereka memberi laporan kepada Dokter Tatiana Baranovna bahwa pasien bernama Yelena sudah siap untuk dioperasi. Dua dokter ahli bedah sudah menunggu di ruang operasi.
Ayyas pamit pada Yelena dan mendoakan Yelena semoga operasinya sukses dan ia segera sembuh. 
"Percayalah Tuhan akan menolongmu. Percayalah kepada Tuhan. Semoga Tuhan mendampingimu selama operasi." Kata Ayyas kepada Yelena. 
Yelena hanya mengedipkan mata, ia berusaha tersenyum semampunya. Dalam hati ia menjawab bahwa ia akan mencoba untuk percaya kepada Tuhan.

***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar