Bumi Cinta
Karya : Habiburrahman El Shirazy
17. Harapan
Yelena dan Bibi Margareta sedang makan pagi ketika Ayyas tiba. Yelena nampak senang dengan kedatangan Ayyas, demikian juga Bibi Margareta.
"Kau sudah makan, malcik?" Tanya Bibi Margareta yang kini sudah berpakaian sangat rapi dan bersih. Siapa pun yang melihatnya tidak akan
mengira kalau dia sebelumnya adalah seorang gelandangan berpakaian kumal tanpa rumah tinggal tetap di Moskwa.
"Hari ini saya puasa, Bibi." Jawab Ayyas.
"O puji Tuhan. Kau orang yang taat beragama."
"Bagaimana keadaanmu Yelena?" Sapa Ayyas pada Yelena yang sedang menikmati sup Borsh yang masih mengepulkan uapnya.
"Dokter Tatiana menjelaskan besok sore saya bisa pulang." Jawab Yelena dengan mata berbinar.
"Syukurlah."
"Saya ingin Bibi Margareta ini terus menemaniku. Dia akan aku ajak tinggal di apartemen. Satu kamar denganku. Bagaimana menurutmu? Apa kamu keberatan kalau Bibi Margareta masuk kamar kita?"
"Sama sekali tidak. Justru itu sangat baik untukmu dan untuknya."
"Aku pikir juga begitu."
"Bahkan kalau kau mau. Kau bisa ambil kamar saya untuk Bibi Margareta."
"Maksudmu!?"
"Beberapa hari lagi saya mau pindah. Ada orang Indonesia, seorang guru di Sekolah Indonesia Moskwa yang memintaku untuk tinggal bersamanya.
Kamarku bisa dipakai Bibi Margareta, sehingga kau tetap nyaman."
"Kenapa kau akan pergi secepat ini? Berilah aku kesempatan membalas kebaikanmu." Kata Yelena agak sedih.
"Aku sudah bilang bahwa aku merasa tidak berbuat apa-apa kepadamu, selain aku hanya melakukan sebuah kewajiban yang diperintahkan oleh Tuhan kepadaku."
"Jadi dasarmu adalah perintah Tuhan?"
"Ya. Di dalam Islam diajarkan, bahwa menyelamatkan satu nyawa anak manusia itu sama saja dengan menyelamatkan nyawa seluruh umat manusia. Allahlah sendiri yang mengatakan hal itu di dalam kitab suci umat Islam, yaitu Al- Quran."
Bibi Margareta menyela, "Ajaran yang sangat indah."
Ayyas tidak lama menjenguk Yelena, yang penting ia sudah tahu keadaannya. Tak lebih dari sepuluh menit Ayyas duduk di kamar VIP tempat Yelena dirawat. Ketika Ayyas pamit Bibi Margareta nampak masih menginginkan Ayyas duduk dan berbincang-bincang di situ. Begitu juga Yelena.
"Maaf, saya harus ke kampus sekarang. Masih banyak hal yang belum saya selesaikan. Kalau saya banyak menunda-nunda pekerjaan saya, saya tidak akan mendapatkan apa yang ingin saya dapatkan." Ayyas tetap bersikukuh harus pergi.
"Baikah kalau begitu. Selamat jalan Bogatir! Tuhan menyertaimu!" Kata Bibi Margareta penuh pujian dan doa.
"Ya selamat jalan, Bogatir!'"Yelena ikut menyanjung Ayyas seperti Bibi Margareta.
Ayyas yang disanjung malah menghentikan langkah. Sebab ia tidak tahu apa maksud mereka berdua menyebutnya bogatir.
"Maaf, saya tidak paham. Apa itu Bogatir? Apa makna dan maksudnya?" Tanya Ayyas.
"Jelaskanlah Yelena!" Pinta Bibi Margareta.
"Bogatir adalah sebutan untuk kesatria zaman dulu yang sangat masyhur dalam folklor Rusia dan keperkasaannya menjadi pujaan orang Rusia.
Saya sendiri sekarang jarang mendengar sanjungan model ini. Tapi generasi Bibi ini menggunakannya secara luas. Dan itu sanjungan yang luar biasa. Ketika Bibi menyanjungmu begitu, saya rasa tepat." Jelas Yelena dengan wajah lebih cerah.
"Baik terima kasih atas pujiannya. Da svidaniya! (Sampai jumpa)” Kata Ayyas sambil melambaikan tangan dan bergegas pergi.
"Zhelayu uspekha!" (Semoga sukses) Sahut Yelena dengan senyum mengembang.
***
Tidak ada tanda-tanda Doktor Anastasia Palazzo telah datang ketika Ayyas memasuki ruang Profesor Tomskii. Ruang itu tidak dikunci tapi pastilah Bibi Parlova yang membukanya.
Jika Doktor Anastasia Palazzo telah tiba, biasanya palto tergantung di salah satu sudut ruangan itu. Ayyas langsung mengambil buku tentang sejarah
hubungan diplomasi pemerintah Uni Soviet dengan Iran.
Satu bulan setengah pertama di Moskwa memang ia jadwalkan untuk membaca literature sebanyak-banyaknya. Sesekali ia mencatat hal-hal
penting dalam catatan kecil. Ia juga pasti akan melakukan banyak wawancara dengan orang-orang yang pernah hidup pada zaman komunis Uni Soviet, utamanya zaman Lenin dan Stalin, jika masih ada sebagai saksi sejarah. Atau
orang yang benar-benar tahu persis kondisi social pada masa itu. Imam Hasan Sadulayev berjanji akan banyak membantu.
Sampai pukul setengah dua siang Doktor Anastasia Palazzo belum juga datang. Ayyas sama sekali tidak menghiraukannya. Terkadang ia malah merasa lebih senang jika Doktor Anastasia tidak datang menemuinya sehingga ia bisa lebih konsentrasi dan lebih banyak membaca.
Ayyas melihat jadwal waktu shalatnya. Hari ini Zuhur datang pukul 12.50, lalu Ashar pukul 14.31, Maghrib pukul 16.41, dan Isya akan tiba pada pukul 18.00. Berarti sudah tiba waktu shalat Zuhur. Ayyas tanpa ragu mengambil air wudhu lalu berdiri tegak takbiratul ihram dan hanyut dalam kenikmatan berdialog dengan Tuhan Yang Maha Pencipta.
Doktor Anastasia Palazzo telah duduk di sofa ketika Ayyas selesai shalat.
"Sebenarnya aku sudah sampai sejak pagi tadi. Begitu sampai aku dikontak Profesor Lyudmila Nozdryova, untuk mendampinginya menemui tamunya, orang penting dari Yunani. Tamunya itu tidak bisa bahasa Rusia, dan bahasa
Inggrisnya kurang lancar. Aku terpaksa yang menjadi penerjemah, sebab tamu itu bicara dalam bahasa Yunani." Kata Doktor Anastasia pada Ayyas.
"Berarti semuanya sukses." Sahut Ayyas sambil bangkit dari duduknya di atas lantai.
"Puji Tuhan. Tapi masih ada satu masalah yang harus aku selesaikan. Di Fakultas Kedokteran akan ada seminar tentang ketuhanan. Sampai kemarin soal pembicara tidak ada masalah. Dari kalangan Islam kami minta seorang intelektual muda dari Kazan University. Sayangnya tadi pagi ada telpon dari Kazan, dia tidak bisa karena dengan sangat mendadak harus terbang ke Timur Tengah menemani kunjungan Mufti Rusia. Padahalseminar tinggal empat hari lagi."
"Saya ada kenalan seorang Imam lulusan Syiria kalau kau mau?"
"Boleh. Kau ada nomor kontaknya?" "Ada."
"Coba saya minta. Biar saya hubungi sekarangjuga. Namanya siapa?"
"Namanya Imam Hasan Sadulayev. Ini nomornya." Ayyas menyodorkan ponselnya yang menyala. Doktor Anastasia mencatat ke ponselnya lalu menghubunginya. Beberapa saat kemudian terjadilah pembicaraan antara Doktor Anastasia dengan Imam Hasan Sadulayev. Wajah Anastasia nampak kurang cerah.
"Bagaimana?" Tanya Ayyas.
"Dia tidak bisa. Dia sudah ada jadwal penting yang tidak bisa digeser. Atau..." Tiba-tiba wajah itu berbinar.
"Atau apa?"
"Kau saja yang jadi pembicara. Kau bisa. Bahasa Inggrismu bagus, bahasa Rusiamu juga lumayan. Dan kau sarjana dari Madinah. Yah, kau saja ya?"
"Jangan saya Doktor, yang lain saja kan masih banyak."
"Ini waktunya mendesak. Sudah, aku putuskan kau saja yang jadi pembicara menggantikan intelektual dari Kazan University itu. Kau ingat, empat hari lagi seminarnya di Fakultas Kedokteran. Aku juga jadi pembicara di seminar itu. Jadi nanti kau ke sini dulu, kita berangkat ke sana bersama. Kau bisa nulis makalah?"
"Dokter ini sangat mepet waktunya."
"Baik tidak apa. Kalau kau bisa membuat makalah akan lebih baik. Temanya, 'Tuhan Bagi Manusia di Era Modern."
"Baiklah."
"Spasiba balshoi. E, kau sudah makan siang?"
"Belum."
"Aku traktir makan siang di Yolki Palki mau?"
"Apa itu Yolki Palki?"
"Restoran di daerah Kropotkinskaya."
"Tidak, ah."
"Kenapa?"
"Letaknya jauh, akan banyak membuang waktu."
"Kita pakai mobil. Aku tahu jalan pintas."
"Maaf Doktor, saya tidak bisa. Saya ingin benar-benar menghemat waktu yang ada.' Ayyas mengucapkan kata-katanya dengan rasa percaya diri yang penuh dan tegas. Doktor Anastasia Palazzo sedikit kecewa mendengarnya. Tapi ia
segera menguasai dirinya dengan baik.
"Tak apa. Aku bisa memahami. Kalau begitu kita ke stobvaya seperti biasa?"
Ayyas hampir saya mengiyakan. Ia hamper lupa kalau dirinya sedang berpuasa.
"Maaf Doktor. Tidak juga ke stobvaya. Maaf, saya sedang puasa. Saya hampir lupa kalau saya hari ini berpuasa."
"Oh ya sudah tidak apa-apa. Kau puasa apa?"
"Puasa untuk menjaga kesucian diri."
"Menjaga kesucian diri bagaimana?"
"Dari godaan syahwat dan godaan setan."
"Jadi puasa itu jadi semacam benteng di dalam jiwa dari godaan syahwat dan perbuatan jahat begitu?"
"Kira-kira begitu. Apalagi saya masih muda. Pemuda normal yang belum menikah. Dan sekarang sering bertemu dengan perempuan Rusia yang Doktor tahu sendiri seperti apa perempuan muda Rusia. Kalau saya tidak membentengi diri dengan benteng yang kuat, iman saya bisa roboh, saya bisa melakukan dosa besar yang dilarang agama saya."
"Dosa besar itu apa misalnya?"
"Melakukan hubungan haram dengan lawan jenis, alias zina, misalnya."
"Jadi kau belum melakukan yang seperti itu sama sekali?"
"Saya berlindung kepada Allah dari zina. Semoga sampai akhir hayat Allah menjauhkan saya dari perbuatan dosa itu. Saya ingin menjaga kesucian diri saya. Kalau pun melakukan hubungan dengan lawan jenis, saya ingin yang berlandaskan kesucian, yaitu menikah. Dengan menikah saya ingin memuliakan istri saya, saya ingin setia padanya sampai akhir hayat. Saya
ingin menjaga kesuciannya. Saya berharap istri saya juga melakukan hal yang sama. Pernikahan itu menjadi hubungan saling mencintai dan mengasihi yang ditaburi rahmat Allah. Dari percintaan yang harmonis dan indah itu saya ingin lahir anak turun yang juga bersih, dan terjaga kesuciannya. Maka saya berusaha mati-matian menjaga kesucian saya, sebab saya ingin memiliki istri yang juga terjaga kesuciannya."
"Sampai sedetil itu, Islam mengaturnya?"
“Iya.”
"Berarti kau sudah memiliki calon?"
"Dulu pernah, sekarang tidak." "Maksudmu?"
"Dulu saya pernah melamar seorang gadis yang baik. Kami bertunangan. Kemudian suatu hari gadis itu membebaskan saya dari ikatan pertunangan. Jadi statusnya, saya ini tidak lagi bertunangan dengannya."
"Apa gadis itu kini sudah menikah?"
"Saya tidak tahu."
"Kau mencintainya?"
"Saya telah berjanji untuk hanya mencintai perempuan yang menjadi istri saya. Siapa pun dia. Kalau ternyata yang menjadi istri saya adalah gadis itu, maka dialah orang yang akan saya limpahi segenap cinta dan kasih yang saya miliki."
Hati Doktor Anastasia Palazzo bergetar mendengar ucapan Ayyas. Belum pernah ia mendengar kalimat yang sedemikian kesatria dari seorang pemuda mana pun sebelumnya. Tiba-tiba ia ingin menjadi seorang perempuan yang
mendapat kemuliaan cinta dari seorang lelaki yang begitu menjaga cintanya seperti Ayyas.
Tetapi apakah masuk akal kalau dia mengharapkan Ayyas sebagai orang yang akan melimpahinya dengan segenap cinta dan kasih yang murni itu? Bukankah ia berbeda keyakinan dengan Ayyas? Tapi entahlah, di dunia ini serba mungkin-mungkin saja. Ia berdoa dalam hati, suatu saat Ayyas bisa menaruh hati padanya.
Oo... tak hanya menaruh hati, tapi keyakinannya pun bisa sama dengannya. Akankah doa Anastasia dikabulkan Tuhan? Kita lihat saja nanti bagaimana
sang waktu merekam perjalanannya. Yang jelas, sampai saat ini Anastasia belum melihat tanda-tanda bahwa Ayyas menaruh hati padanya. Kalau Ayyas sangat menghormati dirinya dan sangat menjaga sikap kepadanya, ia telah
membuktikan dan merasakannya. Itu ia rasa karena posisi dia sebagai orang yang dimintai Profesor Tomskii untuk membimbingnya.
Beberapa kali ia mengajak Ayyas makan malam di rumahnya juga belum pernah dipenuhi.
Dan baru saja Ayyas menolak ajakannya untuk makan di Yolki Palki dengan alasan puasa. Itulah kesimpulan Doktor cantik nan cerdas, Anastasia Palazzo saat ini. Entah esok nanti. Melihat dan mengamati ketinggian pribadi
Ayyas, kini dalam hati Doktor Anastasia terpantik sebuah asa di dalam dada; kalau ada seorang pemuda Rusia yang memiliki pandangan tentang kesucian cinta seperti Ayyas, ia pasti siap melabuhkan segenap cintanya pada pemuda itu.
Sejak remaja ia telah berkenalan dengan banyak lelaki. Dan di matanya hampir semua lelaki yang ia kenal itu tidak bisa dikatakan sebagai lelaki yang setia. Budaya berganti-ganti pasangan telah melanda anak-anak muda Rusia saat ini. Yang ia cari bukan yang terbiasa gonta-ganti pasangan.
Ia mencari orang yang mau hidup dengan hanya saru pasangan, dan setia sampai mati. Persis seperti yang dikatakan Ayyas. Adakahpemuda Rusia yang seperti itu? Kalau ada, di manakah dia sekarang?
Sejauh ini, sudah banyak lelaki terpandang yang melamar Doktor Anastasia untuk dijadikan istri, tetapi belum ada satu pun yang ia terima, karena ia tahu mereka terbiasa gonta-ganti pasangan. Ia tahu jika telah menikah dengan salah satu di antara mereka, lelaki yang menikahinya itu pasti, ya, pasti masih akan tidur dengan banyak perempuan selain dirinya. Itu hal yang sangat
dibencinya. Itulah tabiat lelaki Rusia. Dan karena itulah kenapa ia menolak semua lelaki yang datang kepadanya.
Ia ingin lelaki yang setia padanya sampai tua, sampai ajal tiba. Maka wajarlah jika hatinya bergetar hebat ketika ia merasa mendapatkan konsep kesetiaan yang dahsyat itu dari mulut Ayyas. Kalau saja Ayyas tahu, bahwa saat ini, seluruh isi hati Doktor Anastasia dipenuhi pesona dirinya.
Ah, kalau saja Ayyas tahu...
"Setelah sekian hari kau tinggal di Moskwa, maaf apakah ada terlintas di pikiranmu bahwa kau akan memperistri perempuan Rusia?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Doktor Anastasia. Ia sendiri agak kaget kenapa pertanyaan itu keluar begitu saja. Mengalir. Alami. Tanpa beban.
Tak hanya Doktor Anastasia yang kaget.
Rupa-rupanya Ayyas juga kaget mendengar pertanyaan itu. Namun ia segera menyembunyikan kekagetannya itu dalam palung hatinya dalam dalam.
Sungguh, sejak menginjakkan kaki di Moskwa, ia sama sekali tidak berpikir tentang jodoh. Yang ia pikirkan adalah bagaimana melakukan penelitian dengan baik dan secepat mungkin menyelesaikan tesisnya.
Adapun jodohnya, ia berharap tetaplah Ainal Muna, penulis muda sarat prestasi yang berwajah manis itu. Tetapi masalah jodoh sebenarnya sudah diatur Allah, Siapakah yang kelak akan jadi istrinya kalau ia berumur panjang, juga sebenarnya telah tercatat di Lauhul Mdhfudh. Maka ia merasa tidak perlu menanggapi pertanyaan Doktor Anastasia itu dengan sangat serius. Ia malah
menjawabnya dengan bercanda,
"Sebenarnya saya tidak pernah berpikiran menemukan jodoh saya di sini. Jodoh saya sudah diatur Tuhan. Kalau Tuhan menentukan jodoh saya ternyata adalah perempuan Rusia yang cerdas, setia dan menjaga kesucian, seperti Doktor Anastasia kenapa tidak? Hahaha!"
Jawaban Ayyas membuat merah wajah Doktor Anastasia. Ia merasa tersanjung. Namun, Doktor Anastasia bukanlah gadis remaja yang tidak menguasai dirinya. Ia langsung tersenyum dan berkata,
"Jadi kau menilai aku sebagai perempuan yang cerdas, setia dan menjaga kesucian?"
"Begini Doktor, di dalam kaidah hokum Islam, ada kaidah yang berbunyi al ashlu baqau ma kaana ala maa kaana. Maksudnya, hukum sesuatu itu pada pokoknya dilihat dari asalnya. Seorang gadis pada asalnya adalah cerdas, sebab ia adalah manusia yang diberi akal. Pada asalnya adalah setia, sebab setia adalah salah satu watak utama nurani manusia. Dan pasti pada asalnya
dia suci, sebab semua manusia pada asalnya lahir dalam keadaan suci. Ini konsep Islam. Mungkin berbeda kalau dalam konsepnya agama Nasrani
yang Doktor peluk. Menurut kaidah hokum Islam, selama kita tidak menemukan hal-hal yang merubah dari hukum asal, maka yang dipakai adalah hukum asalnya. Karena selama ini saya tidak melihat misalnya Doktor Anastasia berzina atau melakukan perbuatan cabul dan yang sejenisnya, ya saya anggap Doktor masih menjaga kesucian.
Kecuali kalau di kemudian hari ada fakta dan kenyataan yang lain, maka penilaian itu bisa berubah."
"Kau ternyata bisa lebih bijak dari Aristoteles. Alangkah bahagianya gadis yang kelak menjadi istrimu." Sanjung Doktor Anastasia tulus, tanpa pretensi.
"Siapa pun dia yang jadi istriku, semoga kelak aku bisa membahagiakannya, dan menggenggam tangannya erat-erat memasuki pintu surga, tempat paling indah untuk orang-orang yang memadu cinta semata-mata karena mencari ridha Allah Subhanahu Wa Taala."
"Semoga Ayyas," sahut Doktor Anastasia,
"Dan semoga yang kelak menjadi istrimu itu adalah aku, Anastasia Palazzo," lanjutnya dalam hati. Seuntai senyum terbersit dari bibir Doktor Anastasia. Senyum yang manis sekali, yang hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang mencintai dengan hati. Sayang, Ayyas tak melihat senyum itu. Ia sedikit menundukkan wajahnya untuk menjaga pandangan.
***
18. Rasa Cemas dan Takut
Malam baru datang, tapi Bibi Margareta telah tertidur di sofa dengan tubuh terlentang. Perempuan tua bertubuh gemuk itu mendengkur pelan.
Yelena duduk tak jauh dari Bibi Margareta. Wajahnya telah cerah seperti sedia kala. Ia sudah tidak lagi diinfus, dan menurut keterangan perawat ia hanya tinggal minum obat tiga kali saja.
Dan besok siang ia bisa pulang ke apartemennya, tak perlu menunggu sore tiba. Yelena berdiri lalu bergegas ke kamar mandi. Setelah gosok gigi, ia melihat wajahnya lekat-lekat.
"Berterimakasihlah pada pemuda itu. Kalau bukan karena pemuda itu kau sudah jadi bangkai yang membusuk dan terkubur entah di mana."
Kemudian Yelena berpikir, apa yang harus ia lakukan untuk membalas jasa pemuda itu kepadanya.
Ia ingin menghadiahi pakaian yang bagus, atau sepatu yang bagus, tapi ia merasa itu sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan jasa pemuda itu menyelamatkan dirinya. Pikirannya terus berkelebat ke sana kemari mencari cara yang tepat membalas budi kebaikan pemuda Indonesia yang telah menolongnya. Beberapa saat lamanya ia berpikir,
ia tidak juga menemukan hal yang merasa membuatnya lega dan puas. Ia berpikir untuk minta pendapat Bibi Margareta atau Linor saja. Yelena lalu kembali duduk di sofa tak jauh dari Bibi Margareta yang lelap dalam tidurnya.
Polisi sudah memeriksa kasusnya. Ia telah menjelaskan semuanya sejak ia bisa berbicara dengan jelas dan ingatannya telah kembali sepenuhnya.
Pelaku kejahatan itu adalah tiga orang asing, dua berkulit hitam dan satu berkulit putih asal Eropa. Yelena telah menggambarkan dengan detil ciri-ciri mereka. Yelena juga memberitahu polisi bahwa yang membawa mereka kepadanya adalah Olga Nikolayenko.
Ia tidak tahu sampai di mana polisi mengejar para pelaku. Apakah mereka sudah ada yang tertangkap.
Atau malah sudah tertangkap semua.
Atau malah sama sekali tidak ada yang tertangkap.
Atau memang polisi tidak berusaha menangkap? Ia juga tidak tahu apakah Olga Nikolayenko juga terseret ke penjara? Atau sama sekali tidak tersentuh apa-apa, seperti sebelum-sebelumnya?
Yang jelas, setelah kejadian itu, ia memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan Olga Nikolayenko dan teman-temannya. Ia juga sudah berbulat tekad untuk tidak lagi berdekat-dekat dengan dunia hitam itu lagi. Sementara ini ia
masih bisa mengandalkan tabungannya. Ia masih bisa bertahan hidup selama dua tahun di Moskwa tanpa bekerja sekali pun. Tetapi ia akan tetap berusaha
bekerja. Begitu ia merasa sudah sampai di apartemen dan seluruh lukanya sudah sembuh, termasuk tulang-tulangnya yang patah sudah pulih, dan luka di daun telinga yang diamputasi juga sudah sembuh, ia akan langsung mencari, kerja. Ia yakin pasti tidak mudah. Meski tidak mudah, tekadnya sudah bulat.
"Selamat tinggal dunia hitam. Dan selamat datang masa depan," pekiknya dalam hati.
Ia sangat paham angka pengangguran di Rusia cukup tinggi. Tapi ia akan berusaha. Kalau sampai tidak dapat pekerjaan, ia akan jadi pengamen saja selama musim semi sampai menjelang musim dingin. Ia dulu pernah bisa main biola dengan cukup baik, meskipun ia akui tidak sebaik Linor yang profesional. Tetapi, dengan bisa bermain biola mungkin ia bisa mengamen di Arbatskaya, Kitai Gorod, atau di daerah-daerah yang biasa dikunjungi turis lainnya.
Gairah hidupnya memang tumbuh kembali. Ia merasa masih ada yang peduli padanya. Paling tidak Bibi Margareta, dan Ayyas sangat peduli padanya. Meskipun ia bukan siapa-siapanya mereka. Dan mereka berdua juga sangat asing baginya.
Linor ternyata cukup perhatian juga padanya, meskipun selama ini Linor sangat dingin padanya dan sering adu mulut, tetapi di saat dia terkapar tak berdaya, Linor tetap menunjukkan sisi kepeduliannya. Masih ada sisi
manusia di dalam dirinya.
Bahwa ada satu orang saja di dunia ini yang peduli padanya, ia merasa itu sudah cukup menjadi alasan baginya untuk bergairah menyambung hidup, yang sebelumnya ia rasakan begitu hampa dan tidak bermakna. Ia bahkan sampai merasa bukan lagi seorang manusia.
Kini ada orang-orang yang memanusiakannya dan memedulikannya. Ia jadi merasa masih menjadi manusia, dan berhak hidup sebagai manusia.
Ya, ia yakin dirinya adalah manusia seutuhnya, yang memuliakan dan dimuliakan, yang layak menghormati dan dihormati.
Akan tetapi ia masih mencemaskan satu hal, yaitu jika Olga Nikolayenko sama sekali tidak tersentuh apa-apa, lalu perempuan cantik yang bengis itu memaksanya untuk kembali ke dunia hitam Tverskaya dengan segala cara. Ia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Ia hanya berpikir jika itu yang terjadi, maka ia lebih baik pergi dari Moskwa sejauh-jauhnya, dan mencari
tempat hidup yang lebih tenang dan nyaman.
Ia merasa tidak mungkin lagi bisa berteman dengan Olga Nikolayenko, Mavra Ivanovna, Rossa De Bono, Valda Oshenkova, Kezina Parlova, Amy Lung dan lainnya. Sebab, ia merasa mereka sama sekali tidak memanusiakannya dan
tidak peduli sedikit pun padanya. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mau menjenguknya, meskipun ia telah memberi kabar penderitaan
yang dialaminya lewat sms kepada mereka.
Lebih dari itu, setiap kali ia berkumpul bersama mereka, harga dirinya sebagai manusia seperti tanggal begitu saja dan hilang, lalu yang ia rasakan hanyalah nafsu kebinatangan dan cara hidup layaknya setan jalang.
Yelena mendengar suara sepatu mendekat ke pintu. Lalu seseorang mengetuk pintu. Yelena melangkah membuka pintu yang terkunci dari dalam. Nampaklah wajah Ayyas yang kelelahan.
"Privet, kak dela? (Hallo, apa kabar?) Ayyasberusaha tersenyum pada Yelena.
" Ya Vso Kharasho (Saya baik-baik saja).Masuklah! "Jawab Yelena dengan mata berbinar dan bibir menyungging senyum yang manis.
"Bibi Margareta ada?"
"Ada. Sudah tertidur. Itu lihat."
"Pantas tidak terdengar suaranya. Biasanya juga dia yang membuka pintu."
"Kau dari mana nampak sangat lelah dan kedinginan?"
"Seperti biasa, tadi pagi sampai siang di kampus MGU. Kira-kira jam tiga aku ke masjidProspek Mira, menemui seorang sahabat."
"Wajar kalau kau lelah."
"O ya ini aku bawakan beberapa potong rotipirozhki."
"Wah menyenangkan. Sudah lama aku tidak merasakan pirozhki? Jerit Yelena girang.
Ayyas membuka bungkusan agak besar yang dibawanya dan mengeluarkan isinya.
"Kau beli banyak sekali." Sambung Yelena.
"Aku kelaparan. Bibi Margareta dibangunkan saja. Kita makan roti pirozhkinya. bersamasama.”
"Benar."
Yelena membangunkan Bibi Margareta. Perempuan tua bertubuh gemuk itu mengucek kedua matanya dengan punggung tangan kanannya. Begitubangun kedua matanya langsung menatap roti pirozkhi yang ada di atas meja.
"O pirozbki. Puji Tuhan." Katanya.
"Bibi, minta tolong beli tiga cangkir teh panas di kantin?" Pinta Yelena.
"O baik, Anakku. Memang enaknya makan roti pirozhki sambil minum teh panas. Yang benar-benar panas. Yang uapnya masih mengepul."
Sahut Bibi Margareta dengan senyum mengembang. Perempuan itu lalu bangkit dan bergegas menuju kantin.
Ayyas sudah tidak sabar. Ia langsung mencomot satu pirozhki berisi kacang mindal. Yelena ikut mencomot satu pirozhki berbalut cokelat.
"Besok sore jadi pulang?" Tanya Ayyas.
"Malah diajukan besok siang."
"Alhamdulillah. Linor hari ini datang?"
"Tidak. Mungkin sedang sibuk."
"Entah kenapa, dia seperti tambah dingin padaku. Nampak agak membenciku." Gumam Ayyas.
"Jangan kau ambil hati. Dia memang begitu. Dingin. Cantik tapi wajahnya dingin. Wajahnya cerah kalau dia main biola dalam konser yang dibanggakannya. Aku pernah melihatnya dua kali. Dia seperti malaikat memainkan biola, sangat menawan dan memesona."
"O ya sudah ada kabar dari kepolisian? Para penjahat yang menganiaya kamu sudah ditangkap?"
"Tak ada kabar apa-apa. Aku tidak tahu polisi-polisi itu bekerja apa tidak."
"Kalau tidak ditangkap dan diberi hukuman yang setimpal, para penjahat itu bisa semakin merajalela, mereka bisa semakin besar kepala dan semakin menjadi-jadi kezalimannya."
"Aku menduga polisi tidak berbuat apa-apa, sebab para penjahat itu kelihatannya ada mafia yang melindunginya."
"Dari mana kau bisa menduga seperti itu."
"Yang mengenalkan aku dengan salah seorang dari mereka adalah Olga Nikolayenko. Dan kau harus tahu, dia kekasih gelap salah satu pemimpin mafia yang paling ditakuti di Moskwa."
"Apakah polisi kalah sama mafia?"
"Di banyak negara, bahkan presiden pun diatur oleh mafia. Aku yakin kau sudah tahu apa profesiku setelah kejadian ini. Beberapa waktu sebelum kau datang-aku memiliki tamu seorang pejabat dari negaramu. Dia mengaku, di depan publik dia dikenal sebagai pejabat. Tapi sebenarnya dia adalah seorang kepala mafia. Dia memiliki banyak perusahaan, dan perusahaannya itu ia jalankan dengan cara mafia. Dia bercerita sendiri, sangat mudah baginya mengeruk uang negara dengan cara yang kelihatannya legal, tapi sebenarnya ilegal. Itu dia sendiri yang cerita."
Ayyas terhenyak mendengar penjelasan Yelena. Ia memang sering mendengar cerita kebusukan para pejabat tinggi, bahkan di internet ia bisa membaca hampir setiap hari ada pejabat yang masuk penjara karena melakukan kejahatan korupsi. Tapi penjelasan Yelena benar-benar membuatnya kaget; sebobrok itukah kerusakan sistem berbangsa dan bernegara di Indonesia?
"Boleh aku tahu siapa nama pejabat Indonesia itu?" Tanya Ayyas penasaran.
"Maaf aku tidak boleh membuka rahasianya. Sudah kesepakatan."
"Kenapa kau menutupi identitas seorang penjahat?! Kalau kau beritahu aku siapa dia, paling tidak aku bisa memberitahu kepada rakyat Indonesia agar berhati-hati padanya." Desak Ayyas dengan nada jengkel.
"Karena aku sudah komitmen untuk tidak membuka rahasianya, maka tidak ada pilihan bagiku kecuali untuk menjaga komitmen. Yang jelas, aku sudah memberitahu kamu, bahwa ada pejabat dari negaramu yang kalau kunjungan ke luar negeri seperti itu kelakuannya, dan di dalam negeri sesungguhnya ia tidak ada bedanya dengan kepala penyamun dan mafia. Itu menurutku
sudah cukup." Tegas Yelena tanpa ragu sedikit pun.
Bibi Margareta datang membuka pintu diikuti pegawai kantin yang membawa nampan berisi tiga cangkir teh panas. Pegawai kantin itu seorang perempuan berwajah Asia Tengah.
Ia melihat Ayyas sesaat lalu menurunkan cangkir-cangkir berisi teh itu di atas meja. Ia masih sempat menatap wajah Ayyas sebelum pergi meninggalkan kamar itu.
"Bismillaahirrahmaanirrahiim" Kata Ayyas mengambil satu cangkir dan menyeruputnya pelan.
"Yang tadi kau ucapkan itu doa ya, Malcik?"
"Iya Bibi"
"Itu bahasa Indonesia?"
"Bukan Bibi."
"Bahasa apa?"
"Bahasa Arab."
"Jadi kau orang Islam?"
“Iya.”
"Aku senang. Kau baik. Dulu aku pernah punya teman orang Islam yang juga baik, bahkan baik sekali. Sayang dia bernasib tragis."
"Tragis bagaimana Bibi?"
"Saat rezim komunis mencengkeram negeri ini, semua agama dilarang melaksanakan aktivitas ibadah. Bahkan semua yang beragama dipaksa untuk ikut komunis. Gereja-gereja ditutup dijadikan gudang, masjid-masjid juga sama. Maka orang yang beragama menjalankan agamanya dengan diam-diam. Teman saya namanya Zakarov. Dia orang Islam. Suatu ketika dia shalat di kamar rumahnya dan diketahui oleh anak tetangganya yang komunis. Anak tetangganya itu lapor kepada ayahnya. Dan ayahnya lapor kepada pihak pemerintah. Akhirnya ia dan seluruh anggota keluarganya ditembak mati di hadapan penduduk desa. Aku menyaksikan dengan kepalaku sendiri eksekusi itu. Saat itu aku masih sekolah dasar. Aku tidak pernah melupakan peristiwa itu. Anak yang melaporkan itu adalah juga temanku, sejak itu aku tidak pernah
memaafkannya sampai sekarang. Ya sampai sekarang. Sebab, perbuatannya telah membuat teman yang sangat baik kepadaku dibantai bersama seluruh anggota keluarganya."
"Apa kebaikan Zakarov pada Bibi, sampai Bibi kelihatannya tidak pernah melupakannya."
"Dia teman satu sekolah denganku. Keluarganya termasuk kaya. Sementara aku boleh dikata anak petani paling miskin di desa. Ketika banyak anak-anak menghinaku, Zakarov ada di sampingku, dia membelaku. Saat aku tidak punya sepatu, Zakarov minta uang kepada orangtuanya untuk membelikan aku sepatu. Dan orangtuanya memang sangat dermawan. Kalau mau hari raya tiba, orangtuanya itu memberi kami hadiah uang yang cukup banyak, mereka menyebutnya shadaqah. Khusus aku, selain diberi uang aku juga dibelikan baju baru. Sayang orang-orang baik itu sering kali ditakdirkan untuk berumur
pendek."
Muka Bibi Margareta nampak sedih, matanya berkaca-kaca.
"Bibi selamat sampai sekarang, berarti Bibi komunis?"
"Tidak mungkin aku komunis. Tidak mungkin aku ikut cara hidup orang-orang yang kejam itu!"
Sahut Bibi Margareta dengan nada tinggi. "Kami hanya pura-pura komunis. Ya, kami sekeluarga tidak ada pilihan lain kecuali pura-pura jadi komunis saat itu. Setelah pemerintah komunis ambruk dan kebebasan beragama dibuka, kami
kembali mencari gereja."
"Bibi sambil dimakan roti pirozhki-nya."
"Iya. Spasiba balshoi." Bibi Margareta mencomot sepotong pirozkhi berisi keju, lalu mengunyahnya pelan. Gurat-gurat wajahnya yang telah menua tidak bisa menyembunyikan, bahwa wajah itu adalah jelita ketika mudanya. Ayyas ingin bertanya kenapa Bibi Margareta sampai menjadi gelandangan, apa tidak punya anak dan keluarga? Tapi Ayyas mengurungkan niatnya. Ia tidak sampai hati mengutarakannya. Ia takut kalau hal itu malah menyinggung perasaan perempuan tua itu atau malah menyakiti hatinya.
"Berarti Bibi percaya kepada Tuhan?" Tanya Ayyas.
"Apa kau pernah dengar, berkali-kali aku mengucapkan puji Tuhan, puji Tuhan. Ya pasti aku percaya kepada Tuhan. Aku ini orang beriman. Kenapa kau tanyakan itu padaku?"
"Untuk tambah yakin saja, karena aku mau minta tolong sama Bibi."
"Minta tolong apa?"
"Menyadarkan dia." Kata Ayyas sambil mengisyaratkan matanya ke arah Yelena.
"Kenapa dengan diriku sampai aku harus disadarkan?"
Yelena yang mengerti arah pembicaraan itu langsung menyela.
"Iya kenapa dia?" Sambung Bibi Margareta.
"Dia masih tidak percaya adanya Tuhan! Sadarkanlah dia Bibi!" Jawab Ayyas.
"Benarkah Yelena?" Tanya Bibi Margareta.
Yelena mengangguk.
"O tidak! Ini tidak boleh terjadi. Kau tidak boleh begitu Yelena, Anakku. Aku akan menyesali seumur hidupku kalau kau masih terus tidak percaya adanya Tuhan. Kau bisa selamat dan sekarang sembuh ini karena kasih Tuhan."
"Mungkin aku masih perlu merasakan tambahan kasih Tuhan lagi, agar aku bisa percaya."
"Oo... Kau tersesat Yelena. Setiap saat Tuhan melimpahkan kasihnya kepada kita."
"Bibi jangan gusar dan sedih seperti itu. Bibi peganglah kuat-kuat yang Bibi yakini. Biarlah Yelena hidup dengan apa yang Yelena yakini juga. Dunia terus berubah, siapa tahu nanti Yelena berubah." Kata Yelena berusaha menghibur Bibi Margareta.
"Ya berubahlah menjadi orang beriman Yelena." Sahut Ayyas.
"Kau boleh berharap apa pun, sebagaimana manusia mana pun bebas memiliki harapan. Kau boleh berharap aku beriman. Teta..." Jawab Yelena. Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, ponselnya berdering. Yelena bangkit mengambilnya. Satu sms masuk. Hatinya berdebar keras. Rasa was-was dan cemas tiba-tiba datang dan menyelimuti sekujur tubuhnya begitu
saja. Sms itu datang dari Olga Nikolayenko. Ia membuka dan membaca sms itu.
Apa kabar Yelena? Mohon maaf kami tidak bisa menjengukmu. Aku dengar kamu mengalami kecelakaan kecil. Itu hal yang biasa bukan? O ya kalau kamu sudah sembuh, segera masuk kerja ya. Kita sedang kewalahan. Ada banyak ikan istimewa yang harus diolah dan dimasak. Kamu pasti merindukannya. Aku harap besok kamu sudah kembali kerja, sebab aku tadi sudah mengecek
ke tempat kamu dirawat, kamu sudah sembuh.
Aku tunggu di tempat biasa.
Kini rasa cemas itu bercampur amarah. Muka Yelena merah padam, gigi-giginya gemeretak.
Jika Olga Nikolayenko ada di hadapannya, ia rasanya ingin membunuhnya saat itu juga. Ia disiksa berjam-jam, dan dibuang di pinggir jalan dalam keadaan sekarat, dan itu dianggap hanya sebagai kecelakaan kecil. Ia sudah nyaris binasa jadi bangkai, itu dianggap kecelakaan kecil. Daun telinganya sampai harus diamputasi karena sudah membeku jadi es, juga dianggap kecelakaan kecil.
Dan kini dengan begitu arogannya member perintah kepadanya untuk kembali masuk kerja. Yelena sangat marah, tapi kemudian ia sangat sadar siapa Olga Nikolayenko dan siapa yang ada di belakangnya. Rasa cemas dan takut perlahan-lahan menjalar dengan sangat kuat. Jika Olga Nikolayenko menggunakan orang-orangnya untuk menyeretnya ke tempat kerja atau untuk menghabisinya sekalian, maka ia belum punya jalan untuk melawannya. Apakah besok pagi-pagi sekali ia langsung meninggalkan rumah
sakit dan langsung pergi sejauh-jauhnya dari Moskwa? Ataukah ia akan mencoba bernegosiasi dengan Olga Nikolayenko sambil mencari jalan keluar?
Yelena tiba-tiba bingung, ia harus bagaimana sebaiknya? Tiba-tiba ia merasa sangat memerlukan pertolongan yang mengeluarkannya dari situasi tidak nyaman yang sedang dihadapinya. Ia tidak tahu harus minta tolong kepada siapa?
"Ada apa? Kenapa tiba-tiba kamu terlihat begitu ketakutan dan panik?" Tanya Ayyas.
"Aku menghadapi masalah serius. Dan kau tidak bisa membantuku. Bibi Margareta juga tidak bisa membantu. Linor apalagi. Aku sendiri merasa susah menghadapinya. Aku tidak tahu harus minta bantuan siapa?" Jawab Yelena dengan wajah cemas.
"Kalau kau beriman, kau akan mudah minta bantuan. Yaitu minta bantuan Tuhan Yang Maha Kuasa. Jika Tuhan membantu, tidak ada yang tidak terselesaikan." Sahut Bibi Margareta tenang.
"Bibi Margareta benar. Jika Allah, Tuhan sekalian alam memberi pertolongan, maka tidak ada yang perlu kita takutkan dan kita sedihkan."
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar