Kamis, 10 Januari 2013

Bumi Cinta ( Part 19 - 20 )


Bumi Cinta
Karya : Habiburrahman El Shirazy

DILARANG COPY PASTE UNTUK TUJUAN KOMERSIAL !!!


19. Permintaan Ibu

Salju kembali turun petang itu. Anastasia Palazzo duduk di ruang tamu yang merangkap menjadi ruang kerja, perpustakaan sekaligus ruang santai. Ia tinggal di kawasan Tretyakovskaya.
Tepatnya di sebuah apartemen yang terletak di lantai empat pada sebuah gedung tua tak jauh dari Galeri Tretyakov. Apartemen itu terhitung kecil. Hanya terdiri atas ruang tamu, dua kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur.
Anastasia telah mendesain ulang apartemennya itu sehingga terasa lebih nyaman. Tidak tanggung-tanggung, ia dibantu oleh seorang desainer interior terkemuka Aleksandrovna Vasilyevichna. Sehingga apartemennya yang sempit itu seperti memiliki sihir. Siapapun yang masuk ke dalamnya akan merasa betah dan ingin berlama-lama.
Selama ini, Anastasia Palazzo hanya ditemani oleh seorang perempuan tua berumur enam puluh tahun bernama Krupina. Ia memanggilnya Bibi
Krupina. Ibunyalah yang mengirim Bibi Krupina untuk menemaninya. Bibi Krupina tak lain dan tak bukan adalah adik angkat ibunya. Selama ini
Bibi Krupina memperlakukan Anastasia layaknya anak sendiri dan sebaliknya Anastasia memandang Bibi Krupina tak berbeda dengan ibunya sendiri.
"Bibi, bisa minta tolong dibuatkan teh hijau panas." Ucap Anastasia dengan pandangan mata tetap tertuju pada makalah yang baru saja ia print. Makalah itu ia tulis dalam bahasa Inggris, akan ia presentasikan dalam sebuah seminar internasional di Kota Praha, Cekoslovakia.
"Baik, Anakku." Seorang perempuan tua bertubuh agak tinggi dan besar menjawab dari dapur dengan suara besar.
"Mau dicampur dengan jahe tidak?" Tanya perempuan tua itu beberapa jurus kemudian.
"Boleh Bibi, asal jangan memakai gula sedikit pun."
"Baik, Anakku."
Tak lama kemudian perempuan tua bersuara besar itu keluar dari dapur membawa nampan berisi mug porselen putih. Mug itu berukuran sedang. Tidak besar dan tidak kecil. Mug itu adalah mug kesayangan Anastasia. Mug yang menemaninya selama menyelesaikan S3-nya di Inggris.
Perempuan tua yang tak lain adalah Bibi Krupina itu meletakkan mug berikut tatakannya di atas meja kerja Anastasia. Tak jauh dari tangan kanan Anastasia. Asap mengepul dari mug itu.
Bau harum teh hijau dan jahe yang diseduh langsung menyusup perlahan ke hidung Anastasia. Itu adalah bau yang sangat disukai Anastasia. Setiap kali ia mencium bau seperti itu syaraf-syarafnya seketika seperti diremajakan kembali.
"Spasiba balsoi, Bibi." Ujar Anastasia sambil memejamkan mata mengerahkan konsentrasinya, sementara hidungnya mulai menghirup bau harum
teh hijau itu pelan-pelan.
"Bibi sudah buat sup ukha kesukaan ibumu." Gumam Krupina di dekat telinga Anastasia.
"Sup ukha? Seperti ibu ada di sini saja. Kalau Bibi Krupina ingin ketemu ibu karena sudah lama tidak ketemu, Bibi bisa pulang beberapa hari ke Novgorod." Ujar Anastasia lembut.
"Jadi ibumu belum memberitahu kamu!?"
"Memberitahu apa?"

"Malam ini dia akan datang."
"Dia akan datang?!" Anastasia menghentikan pekerjaannya dan memandang wajah Bibi Krupina dalam-dalam.
"Iya. Tadi siang dia nelpon begitu."
"Malam ini?"
“Iya.”
"O my God, dengan siapa dia melakukan perjalanan sejauh itu? Untuk apa dia kemari? Kalau perlu diriku, aku bisa pulang ke Novgorod. Dia tidak harus bersusah-susah. Dia sudah tua."
"Orang tua tidak berarti harus di rumah terus, tidak ke mana-mana. Orang tua juga ingin jalan-jalan, menghirup udara yang berbeda. Ibumu mungkin sudah terlalu rindu padamu, dia tidak ingin mengganggu pekerjaanmu. Maka dia datang untuk melihatmu, juga untuk melihat di mana kamu tinggal selama ini. Untuk sebuah rasa cinta yang mendalam dan rasa rindu yang tak tertahan, jarak sejauh apapun tidak menjadi penghalang."
"O begitu ya Bibi?"
"Menurutku begitu."
"Apa Bibi sebenarnya juga ingin jalan-jalan, menghirup udara lain."
"Lho kamu kan sudah tahu, Bibi setiap hari keluar rumah. Tadi Bibi belanja di pasar Vietnam. Di jauh sana, di daerah Savelovskaya. Jadi kamu jangan mengkhawatirkan Bibimu ini. Sementara ibumu katanya sekarang diminta untuk hidup bersama pamanmu di tengah kota Novgorod. Kau tahu sendiri kan cara hidup pamanmu berbeda dengan cara hidup ibumu."
"Bibi benar. Sebenarnya saya ingin ibu tinggal di sini bersama kita, tapi ibu tidak mau. Dia tidak mau keluar dari Novgorod."
"Dia pernah bilang padaku, ingin mati di Novgorod, dan dikubur di tanah Novgorod bersanding dengan kubur kakek dan nenekmu."
"Ya, itulah ibu. Yang penting dia mau datang dengan siapa?"
"Bibi tidak tahu persisnya."
"Yang penting Bibi sudah menyiapkan semuanya untuk menyambut kedatangan ibu?"
"Sudah. Begitu dia datang. Kita akan pesta."
"Kira-kira jam berapa dia akan datang Bibi?"
"Mungkin satu jam lagi."
"Apa kita perlu menjemputnya di stasiun?"
"Itu sudah bibi tanyakan pada ibumu. Dia menjawab tidak usah. Katanya dia akan datang tepat pada waktunya dengan selamat."
Anastasia menarik nafas panjang, lalu memejamkan kedua matanya, dalam hati ia berdoa agar ibunya selalu mendapat perlindungan Tuhan, dan sampai di apartemennya dengan selamat. Dia tahu ibunya adalah orang yang
memiliki pendirian sangat keras, tetapi sangat lembut dan penyayang. Jika ibunya sudah berkata B maka harus B. Susah untuk diubah. Jika dia sudah
bilang tidak usah dijemput, maka berarti yang terbaik tidak usah dijemput. Jika dijemput, dia justru akan kecewa. Seandainya tidak dijemput terus dia tersesat, dia pasti akan menelpon dan minta bantuan.
Anastasia merasa bahagia ibunya mau datang.
Tapi di hati terdalamnya ia sedikit merasa cemas. Ia punya firasat ibunya datang tidak hanya sekadar karena ingin jalan-jalan, atau sekadar rindu pada dirinya. Ia menduga ada sesuatu di rumah pamannya, sehingga ibunya sampai datang jauh-jauh menempuh, jarak tak kurang dari 389 km di tengah musim dingin yang tidak ringan.
Benarkah firasat Anastasia?
Malam itu Anastasia merasa sangat bahagia. Ia makan malam di apartemennya ditemani ibunya. Di atas meja makan mungil berbentuk bundar dari kaca tebal telah terhidang satu panic kecil sup ukha, dua piring roti bulkha (Roti yang dibuat dari tepung gandum), satu piring penuh kentang kukus yang keemasan, dan satu piring kotlety. Meja makan mungil itu benar-benar penuh.
Mereka bertiga; Anastasia, ibunya dan Bibi Krupina makan bersama dengan sangat bergairah.
"Sebenarnya kenapa ibu bersusah payah ke sini?" Tanya Anastasia sambil mengambil kotlety dengan garpu lalu menggigitnya pelan.
"Kau tidak suka ibu datang?" Sahut sang ibu yang wajahnya nampak mulai berkeringat karena merasakan hangatnya sup ukha.
"Bukan begitu, Ibu. Anastasia sangat bahagiaIbu datang. Hanya saja ini di luar kebiasaan Ibu. Maksud Anastasia seandainya Ibu memerlukan Anastasia, biarlah Anastasia yang pergi menemui Ibu di Novgorod."
"Ibu memang ingin membicarakan hal penting denganmu. Tapi nanti sajalah jika kita sudah benar-benar selesai makan malam. Ibu ingin menikmati sup ukha istimewa buatan bibimu ini."
Sang ibu kembali mengambil sup ukha dari panci. Bibi Krupina tambah bahagia sekali melihat hasil karyanya mendapat apresiasi sedemikian
hebatnya. Selesai makan, Anastasia membantu Bibi Krupina membawa piring-piring dan panci ke dapur. Sementara sang ibu duduk di sofa lalu menyalakan televisi dengan remote kontrol. Layar menyala dan nampaklah pertandingan tenis Semifinal Turnamen WTA Kremlin Cup. Duel maut antara Alisa Kleybanova dari Rusia melawan Flavia Pennetta dari Italia. Sang ibu nampak kurang suka dengan pertandingan tenis, ia langsung memindah ke saluran yang lain. Lalu nampaklah di layar kaca pertunjukan tari balet yang nampaknya dari Bolsoi Teater. Tapi itu bukan siaran langsung. Sang ibu langsung tersenyum.
Setelah kira-kira lima menit menonton gerakan-gerakan penari balet di layar kaca, ia langsung bisa menebak cerita apa yang sedang dimainkan para penari balet itu. Itu adalah cerita tentang ALYOSHA yang legendaris, yang ditulis
oleh Leo Tolstoy. Pada bagian Alyosha dilarang menikahi gadis pilihannya yang bernama Ustinya, sang ibu meneteskan airmata. Dan airmatanya kembali tumpah ketika Alyosha yang tulus dan luhur budi itu akhirnya harus menghembuskan nafas terakhirnya karena terjatuh dari atap saat membersihkan salju. Alyosha meninggal tanpa menikahi Ustinya yang yatim piatu.
Sang ibu masih ingat betul kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Alyosha pada Ustinya sebelum meninggal, Leo Tolstoy menggambarkan dengan bahasa tugas yang menyihir hati pembacanya,
"Terima kasih Ustinya. Selama ini kau begitu baik padaku. Sekarang kau tahu, ada baiknya memang kita tidak jadi kawin. Kalau kita kawin, akan percuma saja. Sekarang dengan begini tidak ada masalah."
Alyosha begitu mensyukuri takdirnya tidak jadi menikahi gadis pujaan hatinya karena dilarang sang ayah. Alyosha sudah melihat hikmahnya sesaat sebelum ajalnya menjemput. Ia bahagia tidak menikahi Ustinya, karena umurnya tidak panjang. Kalau ia menikahi Ustinya, kemudian ia mati, alangkah kasihan Ustinya yang ditinggalnya dalam keadaan janda.
"Sekarang dengan begini tidak ada masalah." Katanya. Setelah itu dia berdoa, dia menghembuskan nafasnya yang penghabisan dengan merentangkan kakinya.
Penari balet itu juga melakukan hal yang sama di akhir tariannya, merentangkan kakinya lalu perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir.
"Kenapa menangis, Ibu? Mengharukan ya?"
Pelan Anastasia sambil duduk di samping ibunya yang masih mengusap kedua matanya.
"Tadi itu kisah Alyosha yang ditulis Leo Tolstoy. Itu salah satu karya Tolstoy yang paling ibu sukai. Ibu sangat terharu menyaksikan drama hidup Alyosha yang dimainkan para penari balet itu."
"Ya, nasib Alyosha memang membuat kita merasa kasihan."
"Ketekunan, keuletan, dan kebaikan hati Alyosha bisa jadi teladan anak-anak muda Rusia."
"Saya percaya bahwa hal itu sudah terjadi. Terutama di zaman Leo Tolstoy masih hidup dan dekade setelah Tolstoy. Tulisan Tolstoy sangat berpengaruh saat itu. Bahkan para pakar sejarah sampai mengatakan, bahwa ada tiga hal penting di Rusia saat itu: Gereja, Tsar dan Leo Tolstoy."
"Yang ibu suka dari karya-karya Leo Tolstoy, karya-karyanya mudah dipahami dan isinya dalam, bercorak realis dan bernuansa religius,juga penuh renungan moral dan filsafat."
"Tepat sekali kalimat ibu dalam menilai Leo Tolstoy."
"Jelek-jelek begini ibumu ini kan lulusan Fakultas Sastra."
"Ah Anastasia hampir lupa."
"Sekarang ada yang ingin ibu sampaikan padamu."
"Sampaikan saja, Ibu."
"Mintalah bibimu masuk ke kamarnya. Ibu cuma mau berbicara empat mata denganmu."
"Kalau begitu kita bicara di kamar saja, Ibu."
"Baik. Begitu juga baik."
Ibu dan anaknya itu lalu bangkit dan bergegas masuk ke kamar Anastasia.
"Ibu membuat Anastasia penasaran saja. Apa sih yang ingin Ibu bicarakan sebenarnya?" Kata Anastasia sambil menutup pintu.
Sang ibu duduk di tepi ranjang, demikian sang anak.
"Ibu mau minta sesuatu padamu. Kau jangan kaget."
"Kalau Anastasia mampu memenuhi permintaan Ibu, pasti akan Anastasia kabulkan."
"Ibu ingin kau menikah dengan seseorang!"
"Menikah dengan seseorang?!" Anastasia tetap juga kaget mendengar permintaan ibunya.
“Iya.”
"Jadi Ibu memiliki calon yang harus saya nikahi?"
"Iya, ibu berharap kau cocok."
"Siapa orangnya, Ibu? Apa Anastasia telah mengenalnya?"
"Kau sangat mengenalnya."
"Siapa dia?" Desak Anastasia penasaran. Sebab, selama ini ibunya tidak pernah membicarakan urusan pribadinya. Dan sang ibu tidak pernah mempermasalahkan dia mau menikah kapan dan mau menikah dengan siapa, bahkan tidak menikah pun sang ibu tidak mempermasalahkannya.
Tetapi ini tiba-tiba ibunya datang dari jauh hanya ingin menyampaikan keinginannya, agar dirinya menikah dengan seseorang yang menurut ibunya cocok dengannya.”
"Dia sepupumu sendiri, Boris Melnikov."
"Apa? Boris?"
"Ya Boris."
"Apa Anastasia tidak salah dengar, Ibu?"
"Tidak, Anakku. Ibu ingin kau menjadi pendamping Boris Melnikov."
"Kenapa Boris Melnikov, Ibu? Apa Ibu tidak melihat perbuatannya selama ini?"
"Justru karena perbuatannya selama ini tidak baik, ibu ingin kau menikah dengannya."
"Ibu ini tiba-tiba aneh, tiba-tiba tidak masuk akal. Ibu tahu dia itu otak pelaku kejahatan di mana-mana. Dia itu ketua mafia, Ibu tahu itu. Kerjanya memeras orang, membunuh orang, menjual narkotika, bermain perempuan dan mempermainkan hukum dengan uang. Dan Anastasia harus menikah dengan orang seperti itu. Bagaimana jalan pikiran Ibu, Anastasia Sama sekali tidak paham.".
"Ibu berpikir, kalau Boris menikah denganmu dia akan insyaf. Dia sangat mencintaimu. Dia sangat kagum padamu dan dia sangat menghormatimu.
Di dunia ini, jika ada orang yang kata katanya paling dia takuti dan paling dia dengar adalah kamu. Tak ada yang lebih dia ikuti melebihi kamu.
Kalau kau menjadi istrinya, kau bisa merubahnya menjadi orang baik. Begitu jalan pikiran ibu."
"Luar biasa, jalan pikiran Ibu menyamai para santo yang bijaksana itu. Ibu sama sekali tidak berpikir betapa liciknya Boris. Dia adalah actor yang ulung. Dia bisa berpura-pura sangat menghormati, berpura-pura kagum dan setia pada mangsa yang diincarnya. Tetapi jika mangsa itu sudah jatuh ke cengkeramannya, maka segeralah taring-taring buasnya akan merobek-robek mangsanya itu. Ibu mau Anastasia mengalami nasib setragis itu?"
"Kau terlalu berburuk sangka padanya Anastasia. Kau tidak bersikap obyektif. Kau melihat Boris hanya dalam satu sisi saja, yaitu sisi gelapnya. Kau sama sekali tidak mau melihatnyadalam sisi terangnya. Meskipun sedikit anak itu juga memiliki kebaikan. Di antaranya, ia sangat mencintai keluarganya. Dia sangat setia membantu keluarga besarnya yang kekurangan."
"Justru Ibu yang mudah diperdaya olehnya. Dalam sejarah ya memang seperti itu karakter penjahat sejati. Dia membunuh banyak manusia tapi di rumahnya dia tunjukkan rasa sayang pada keluarganya. Bahkan sering para penjahat itu sudah dianggap musuh negara, tapi di desanya ia dianggap pahlawan karena sangat baik kepada masyarakat desanya. Justru di mata Anastasia, yang seperti itu menyempurnakan kejahatannya.
Dia sangat jahat sampai berbohong kepada keluarga dan masyarakat desanya. Kalau dia baik pada keluarga seharusnya baik pada orang lain juga. Dia baik pada keluarga agar anggota keluarganya bersimpati padanya, dan jika kejahatannya digugat anggota keluarganyalah yang akan membelanya.
Demikian juga dia baik kepada masyarakat kanan-kirinya, agar mereka menjadi pembelanya ketika kejahatannya dipermasalahkan.
Kebaikannya pada keluarga dan masyarakat desanya itu bagian dari tameng hidup yang ia persiapkan dengan matang. Dan ibu kini sudah menjadi salah satu tameng hidup itu.
Bahkan ibu sekarang meminta saya menjadi tameng utama bagi kejahatan Boris Melnikov."
"Kau memang pandai bicara dan berteorika. Yang jelas maksud ibu baik. Ibu ingin kau menikah dengan orang yang sangat mengagumi dan mencintaimu. Dan ibu ingin kau bisa menuntun domba yang sesat ke jalan yang benar.
Meskipun kau punya pikiran yang seperti itu. Ibu berharap kau tetap bisa mencoba berpandangan yang sedikit positif pada Boris. Jika Boris insyaf, maka Yvonna adiknya juga akan insyaf. Dengan begitu kau akan menyelamatkan banyak domba yang tersesat."
"Apa ibu tidak khawatir, jika justru Anastasia yang akhirnya tersesat."
"Tidak! Ibu tahu siapa kamu. Kamu tidak akan tersesat."
"Sepertinya bukan Tuhan yang menentukan takdir, tapi Ibu!"
"Kenapa kau berkata begitu pada ibumu?"
"Coba Ibu renungkan kata-kata Ibu tadi."
"Kau terlalu berlebihan menanggapi kata-kata ibu."
"Maafkan Anastasia kalau terlalu keras mendebat Ibu. Kalau boleh, Anastasia ingin bertanya kepada Ibu,"
"Boleh."
"Ibu dulu menikah dengan ayah karena diminta oleh nenek atau Ibu menentukan pilihan Ibu sendiri?"
"Jujur, ibu menentukan pilihan ibu sendiri. Bahkan pilihan ibu sempat ditentang oleh nenekmu dan ibu tetap kukuh dengan pilihan ibu yang tak lain adalah ayahmu."
"Jika seperti itu sejarah Ibu, kenapa Ibu setengah memaksa saya untuk menikahi Boris Melnikov? Kenapa Ibu tidak membiarkan saya memilih sendiri orang yang saya sukai?"
"Karena ibu ingin kau lebih baik dari ibu."
"Jadi kalau Anastasia ikut Ibu, maaf, seperti anjing ikut pada tuannya tanpa berpikir sedikit pun itu lebih baik? Kenapa Ibu bisa berubah seperti ini? Apa Ibu ditekan oleh Paman? Atau ditekan oleh Boris?!"
Sang ibu kelihatan ragu untuk menjawab. Akhirnya ia hanya menggelengkan kepala.
"Sudahlah, Ibu sudah tua. Ibu jangan memikirkan apa-apa kecuali memikirkan cara terbaik menghadap Tuhan di surga. Anastasia akan berpikir untuk mengambil jalan terbaik bagi masa depan Anastasia. Apakah nanti mengikuti
saran Ibu atau mungkin Anastasia punya pendapat sendiri? Sekarang Anastasia sudah mengerti maksud Ibu. Anastasia minta maaf kepada
Ibu kalau mendebat terlalu keras. Sudah saatnya Ibu istirahat. Ibu pasti lelah karena perjalanan jauh."
"Apa pun yang kau pilih, tidak akan berkurang rasa sayang ibu padamu, Anakku. Ibu akan tetap mencintaimu seperti matahari mencintai titah Tuhannya."
"Terima kasih, Ibu. Anastasia juga akan terus mencintai Ibu, seperti siang mencintai mataharinya."

***


20. Rencana Jahat

Memang sudah nasibnya, pemuda Indonesia itu harus mati!" Kata Linor dalam hati. Ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali melaksanakan keputusan rapat bersama Ben Solomon dan agen-agen lainnya. Tugasnya tidak susah, hanya meletakkan tas ransel yang telah diisi bahan-bahan untuk membuat bom di kamar Ayyas. Tas itu harus ia letakkan di kamar Ayyas, tentu saja tanpa sepengetahuan Ayyas. Dan harus diletakkan beberapa jam sebelum polisi pemerintah Rusia menggerebek kamar Ayyas.
Rencana Ben Solomon sangat detil dan kemungkinan kesalahannya sangat kecil. Yang akan diledakkan adalah lobby Metropole Hotel yang terletak di jantung kota Moskwa, tepatnya di kawasan Teatralnaya, yang tak jauh dari
Kremlin. Lobby itu akan dibom bertepatan dengan datangnya seorang pejabat penting Inggris.
Akan ada korban, tapi pejabat itu akan dijaga untuk tetap selamat meskipun luka. Yang diinginkan bukan matinya pejabat itu, tapi efek dari bom itu.
Dengan adanya pemboman itu, seluruh dunia akan mengutuk aksi pemboman itu. Dan pihak keamanan Rusia akan mencari pelaku pemboman itu. Di sinilah Ben Solomon dan anak buahnya mempermainkan dunia. Seorang anak buah Ben Solomon akan masuk ke Metropole Hotel dengan menyamar berpenampilan persis seperti Ayyas.
Hasil rekaman dari Linor sangat membantu penyamaran itu. Setelah itu anak buah Ben Solomon akan menampakkan diri kepada pihak keamanan di dekat apartemen di mana Ayyas menginap, sehingga pihak keamanan akan sangat
mudah menarik benang merah.
Dan dari bukti yang sudah direkayasa oleh Ben Solomon dan anak buahnya, pihak keamanan akan menetapkan Ayyas sebagai tersangka pengeboman. Bukti yang tidak akan terbantahkan adalah dengan ditemukannya bahan-bahan peledak di kamar Ayyas. Setelah Ayyas tertangkap, Ben Solomon akan mengerahkan seluruh pers dunia yang telah dikuasai oleh Zionis untuk menghantam Islam sejadi-jadinya, dan dipastikan tidak akan ada perlawanan pers yang berarti, kecuali pers-pers kecil milik orang Islam yang hanya bergumam sambil lalu di belakang.
Linor pulang ke apartemennya dengan bernyanyi-nyanyi kecil. Ia merasa bahagia bisa mengabdikan hidupnya untuk kejayaan negeri yang dijanjikan oleh Tuhan dalam Talmud.
Meskipun seringkah ia merasa hampa jiwanya, tapi saat menjalankan sebuah operasi yang ia yakini akan berhasil, semangatnya muncul begitu saja.
Sampai di apartemen, Linor langsung masuk ke kamarnya. Ia bawa ransel berisi bahan-bahan peledak itu. Ia tersenyum. Tugasnya kali ini sangat ringan, hanya meletakkan bahan peledak itu ke kamar sebelahnya, nanti jika sudah tiba waktunya. Sangat mudah. Dengan kamera yang ia pasang di kamar Ayyas, ia tahu semua gerak-gerik Ayyas. Kapan saat-saat Ayyas banyak di kamar, kapan ia tidur, kapan ia bangun tidur, dan kapan ia biasa ke kamar kecil.
Linor merebahkan badannya ke kasur, setelah menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia sempat berpikir kasihan pemuda Indonesia itu, ia tidak tahu apa-apa, tapi ia harus menjadi tumbal untuk kesuksesan operasi Ben Solomon. Jika operasi ini berhasil, sangat mungkin Ben Solomon akan mendapat penghargaan sangat tinggi dari Tel Aviv. Lebih kasihan, pemuda Indonesia itu begitu lugu, begitu lurus, tidak tahu dunia spionase sama sekali. Anak muda itu bahkan tidak tahu, kalau keberadaan dirinya di Moskwa akan menjadi alat empuk bagi orang seperti Ben Solomon.
Ia sama sekali tidak tahu kalau tak lama lagi akan menjadi korban rekayasa yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.
Linor juga berpikir bahwa ia berhutang nyawa pada pemuda itu. Tetapi ia kembali bersikukuh, yang paling mulia di atas muka bumi ini adalah anak-anak Yahwe, selain anak-anak Yahwe sejatinya adalah diciptakan oleh Yahwe sebagai budak untuk mengabdi kepada anak-anak Yahwe.
Mereka bahkan boleh disembelih kalau perlu seperti ternak. Memang mereka diciptakan untuk itu, untuk mengabdi kepada anak-anak Yahwe. Dan pemuda bernama Ayyas itu adalah bagian dari yang diciptakan untuk pelengkap isi dunia bagi anak-anak Yahwe. Karenanya ia tidak perlu merasa berhutang budi kepada pemuda itu.
Linor melihat jam tangannya. Pukul dua siang.
Semalam suntuk ia tidak tidur karena rapat. Lalu ia sempatkan mengedit tulisan di kantor redaksi di mana ia bekerja. Setelah semua pekerjaannya beres, ia pamit pulang. Ia ingin istirahat kurang lebih dua jam. Setelah itu ia harus membereskan urusannya dengan Boris Melnikov yang masih mencurigainya sebagai pembunuh Sergei Gadotov. Ia berpikiran, pada akhirnya ia akan sekalian menjebak Ayyas sebagai pelaku pembunuhan Sergei Gadotov. Ia masih memegang ponsel Sergei. Ponsel itu akan ia masukkan ke
dalam tas ransel yang berisi bahan peledak itu sekalian. Dengan begitu ia tidak perlu repot bekerja. Dengan sekali menembak dua burung ia dapat. Saat matanya mau terpejam, ia mendengar suara berisik orang masuk di ruang tamu. Ia tajamkan pendengarannya. Ia tersenyum lalu kembali memejamkan mata. Yang datang adalah Yelena dan Bibi Margareta. Ia jadi ingat siang ini memang Yelena pulang dari rumah sakit. Apartemen ini akan kembali hidup dengan hadirnya Yelena. Ia tersenyum membayangkan apa kira-kira komentar Yelena nanti setelah peristiwa pengeboman Metropole Hotel, dan tiba-tiba pelakunya adalah Ayyas.
Ya, Ayyas yang menolong Yelena ketika sedang sekarat, ternyata menurut berita banyak koran, adalah seorang teroris berdarah dingin. Ia ingin tahu apa reaksi Yelena saat itu. Yang pasti Yelena mungkin akan semakin tidak percaya
pada Tuhan dan pada semua jenis agama. Linor meraba-raba jalan pikiran Yelena. Ia tersenyum sendiri, dan setelah menyebut Yahwe di hati ia lalu tertidur pulas.
Sementara Ayyas saat itu sedang berada di kantor Sekolah Indonesia Moskwa. Dia berbincang dengan Pak Joko Santoso dan dua guru lainnya, yaitu Pak Ismet dan Bu Febriani. Pak Ismet mengajar Sosiologi dan Antropologi, sementara Bu Febriani mengajar Fisika dan Matematika.
"Jadi kau belum ke Lapangan Merah?" Tanya Pak Ismet.
"Belum Pak."
"Sempatkanlah ke sana di musim dingin ini. Biar kau tahu seperti apa Kremlin yang terkenal itu di musim dingin. Nanti pas musim semi lihat lagi."
"Iya Pak, nanti saya sempatkan."
"Sudah berapa masjid yang Mas Ayyas kunjungi?" Kali ini Bu Febriani yang bertanya.
"Baru dua. Masjid Balsoi Tatarski dan masjid Pusat Prospet Mira."
"Masih ada tiga masjid lagi yang harus kau kunjungi. Yang satu ada di komplek museum perjuangan Kutuzovski, dan dua lainnya di Rayon Otradnoye. Yang di Rayon Otradnoye itu unik. Masjid itu ada dalam satu komplek tempat ibadah agama lain, artinya masjid itu berdampingan dengan gereja ortodoks dan sinagog." Jelas Bu Febriani.
"Berarti masjid di Rayon Otradnoye itu yang membangun pemerintah Rusia?" Tanya Ayyas.
"Tidak. Yang membangun orang-orang Muslim keturunan latar. Gereja dan sinagog itu juga orang Muslim yang membangun." Jawab Bu Febriani.
"Kok bisa begitu?"
"Saya pernah menanyakan hal itu kepada Imam masjid. Beliau bercerita ihwal pendirian masjid itu. Saat itu izin mendirikan masjid sangat sulit. Pemerintah tidak mengijinkan ada masjid baru di Moskwa. Tetapi orang-orang Islam
keturuan Tatar itu tidak kehabisan akal. Seorang deputat Muslim keturunan Tatar melobi pemerintah untuk diberi izin mendirikan sebuah komplek
rumah ibadah untuk semua agama, tidak hanya untuk umat Islam. Dan izin itu akhirnya dikeluarkan oleh pemerintah. Akhirnya umat Islam bisa mendirikan masjid yang cukup besar di rayon Otradnoye. Karena sudah terikat perjanjian,
setelah membangun masjid ya terpaksa mereka membangun gereja dan sinagog."
"Sampai seperti itu perjuangan mereka."
"Iya, keinginan mereka menegakkan kalimat Allah tidak pernah padam."
"Sore ini setelah shalat Ashar, saya mau ke
pasar Vietnam. Mas Ayyas mau ikut?" Sela Pak Joko Santoso sambil menyeruput teh panas di hadapannya.
"Itu tawaran yang sangat menarik Pak Joko. Dengan senang hati Pak. Saya perlu tahu lebih banyak sudut-sudut kota Moskwa."
"Di sana, meskipun namanya pasar Vietnam, ada juga penjual dari keturunan Kirgish, Tajik, dan Dagestan. Nanti kau bisa tanya-tanya banyak hal di sana. Ada tetangga apartemen saya yang jualan ikan segar di sana."
"Wah menarik sekali itu Pak."
"Siang ini agak lebih cerah dibandingkan kemarin. Agak enak untuk jalan-jalan." Sahut Pak Ismet.
"Ya benar." Gumam Bu Febriani sambil mengangkat cangkirnya.
Tak lama kemudian waktu Ashar tiba. Ayyas shalat berjamaah dengan para guru Sekolah Indonesia Moskwa. Setelah itu ia berangkat menuju pasar Vietnam bersama Pak Joko Santoso, Guru Bahasa Indonesia Sekolah Indonesia Moskwa.
Selesai shalat Pak Joko mengajak Ayyas menuju tempat parkir mobil. Pak Joko menuju mobil Volga biru.
"Ayo Mas, silakan masuk. Kita pinjam mobilnya Pak Ismet."
"Nanti beliau pulangnya bagaimana?"
"Dia sendiri tadi yang nawari saya. Dia nanti pulang agak malam. Dia mau mengoreksi lembar jawaban anak-anak. Dia selalu begitu. Tidak mau membawa lembar jawaban itu ke rumah. Semua ia selesaikan di meja kerjanya. Jika sudah rapi semuanya baru dia pulang."
Pelan-pelan mobil sederhana itu meninggalkan komplek KBRI. Dengan santai Pak Joko membawa mobil itu menelusuri Planitskaya Ulista. Terus ke utara, menyeberangi kanal Moskwa, lalu menyusuri pinggir komplek Kremlin
yang megah. Mata Ayyas tidak berkedip memandangi komplek itu. Salju menghiasi bumi di sana sini. Pak Joko mengambil jalan terus ke utara. Sampai di kawasan Lubyanka, mobil terus melaju melewati gedung KGB Lubyanka yang nampak gagah dan angker. Mobil terus meluncur melewati stadion Olympik, Gedung Teater Tentara, akhirnya memotong jalur lingkar dalam kota
Sadovaya Koltso dan akhirnya sampai di kawasan Savelovsky.
Pak Joko memarkir mobil Volga sederhana itu beberapa puluh meter saja dari sebuah komplek pertokoan sederhana yang dipenuhi pedagang yang hampir semuanya berwajah Vietnam.
"Inilah pasar Vietnam. Ayo kita turun." Seru Pak Joko.
"Apa istimewanya pasar Vietnam Pak?"
"Inilah tempatnya membeli barang murah. Hidup di luar negeri yang serba mahal harus pinter-pinter cari tempat berbelanja yang tepat. Apalagi kita tidak sehari dua hari di Moskwa, jadi harus pandai-pandai menghemat. Di pasar ini juga kita bisa mencari bumbu-bumbu dapur khas Asia, juga jenis sayuran yang langka seperti kangkung, bayam, katuk dan lain-lain bisa kita
cari di sini."
"Pakaian ada, Pak?"
"Lha itu, lihat, ada sandal, sepatu, pakaian. Kau perlu beli pakaian musim dingin lagi. Kelihatannya yang kau pakai itu yang diberi sama Pak Adi ya. Tidak diganti-ganti."
"Yang bagian luar memang tidak pernah saya ganti Pak. Sebab adanya ini. Tapi yang dalam pasti saya ganti."
"Ya kau beli lagi, ya satu lagi lah semua item, biar ada ganti."
"Baik Pak. Di sini boleh nawar Pak?"
"Harus. Ini kayak Bringharjo Jogja atau pasar Johar Semarang. Harus nawar semurah-murahnya. Yang pinter nawar dia akan dapat murah. Yang tidak bisa nawar ya bisa kemahalan. Nanti aku bantu nawar."
Pak Joko membawa Ayyas ke toko penjual pakaian. Ayyas memilih-milih pakaian yang cocok ukuran, warna, dan modelnya. Akhirnya dia menemukan yang cocok di antara sekian banyak yang tidak cocok.
Ayyas mengambil sepasang pakaian monyet atau pakaian hanoman dari katun yang lengan dan kakinya ia rasa pas. Ia juga mengambil sepasang pakaian olahraga musim dingin yang ia suka, juga sweeter, jas coklat kehitaman. Sepasang sepatu hangat yang akan terasa hangat di kaki. Sepasang sarung tangan dari kulit yang halus. Satu palto, yaitu mantel besar berlapis dengan krah berbulu. Dan topi hangat yang ada umbainya, yang disebut shapka, yarig bila cuaca sangat dingin datang, umbai itu dapat diturunkan untuk menutupi kedua telinga dan tengkuk.
Setelah tawar menawar yang sengit dengan penjualnya, seorang lelaki Vietnam yang wajahnya mirip Pol Pot, akhirnya Ayyas bisa membawa barang-barang yang dipilihnya itu dengan harga sangat miring. Itu semua karena jasa Pak Joko. Ayyas harus mengagumi kehebatan Pak Joko dalam hal bernegosiasi dengan pedagang Vietnam itu. Pak Joko bisa membeli barang-barang itu hanya dengan membayar sepertiga saja dari harga yang ditawarkan.
Setelah itu Pak Joko membawa Ayyas memasuki daerah sayur mayur. Pak Joko membeli beberapa ikat kangkung, bayem, satu kilo bawang bombay, setengah kilo bawang putih, dan bumbu-bumbu dari Vietnam, setelah itu ia
menuju ke penjual ikan segar.
"Lelaki berjenggot putih itu namanya Osmanov. Dia Muslim, keturunan Kirgishtan. Apartemennya satu gedung dengan saya." Ujar Pak Joko memberitahu Ayyas.
"Sudah agak tua ya Pak kelihatannya?"
"Coba tebak berapa umurnya?"
"Enam puluh lima mungkin Pak."
"Dia nampak lebih muda dari umurnya. Ia sebenarnya sudah berumur tujuh puluh lima. Tapi masih segar. Berjalan masih tegak."
"Mungkin, karena banyak makan ikan Pak."
"Mungkin. Tetapi yang pasti dia dulu seorang atlet. Dia seorang pelari cepat. Dia katanya pernah ikut perlombaan atletik di Moskwa ini tahun enam puluhan. Itulah awalnya dia ke Moskwa. Ketika ikut perlombaan itu, ia berkenalan dengan seorang gadis Moskwa di sebuah restoran. Ia jatuh cinta pada gadis itu, menikah dengannya dan tinggal di Moskwa ini. Ternyata istrinya itu perempuan tidak benar. Istrinya kabur membawa semua harta miliknya dengan pacar gelapnya. Dan dia jatuh miskin. Dia mau kembali ke Kirgishtan malu. Dia tetap bertahan di sini dengan jualan ikan."
"Kisahnya menyedihkan betul Pak."
"Ya begitulah hidup. Tapi dia sungguh lelaki yang baik hati dan sabar."
Pak Joko melambaikan tangannya kepada seorang pria berjenggot putih berwajah Asia Tengah. Lelaki tua itu melihat ke arahnya, dan serta merta melambaikan tangannya dan tersenyum.
"Kak Dela?' Sapa Pak Joko ramah.
"Ya Vso Kharashor Jawab lelaki tua itu dengan senyum mengembang.
"Ini kenalkan, adik saya, namanya Muhammad Ayyas." Kata Pak Joko memperkenalkan Ayyas.
"Ah senang bertemu kamu. Nama saya Osmanov. Lengkapnya Osmanov Aytugan Aslanov." Sahut Osmanov.
" Vi Muslimari! (Anda Muslim?)” Tanya Ayyas, meskipun ia tahu bahwa lelaki tua itu seorang Muslim.
"Da (Ya)."
"Namas sitali? (Anda mengerjakan shalat?)"
"Nyet.(tidak)" Jawab Osmanov dengan raut muka berubah.
"Nyet?” Ayyas heran, lelaki tua itu mengaku Islam tapi dia tidak shalat. Sebelum Osmanov menjawab, Pak Joko lebih dulu memotong,
"Tetanggaku, kau punya ikan lele yang segar?"
"Sayang sekali, kau datang terlambat." Jawab Osmanov.
"Lihatlah sudah hampir habis semuanya, ini tinggal tersisa ikan Leshch yang ditangkap dari danau Ilmen, masih segar. Ini gurih. Bisa kau buat sup ukha juga. Kau goreng juga enak."
"Masih berapa kilo itu?"
"Kalau semua paling sekitar empat kilo."
"Baik aku ambil semua."
Osmanov dengan cekatan memasukkan puluhan ikan Leshch yang masih segar ke dalam kantong plastik, lalu mengikat dan merangkapinya dengan plastik kedua setelah itu menyerahkannya kepada Pak Joko dengan tanpa
ditimbang.
"Kenapa tidak ditimbang, Osmanov?"
"Tidak perlu. Ini semua besplatna (Hadiah) untukmu."
"O jangan Osmanov, jangan begitu, kau nanti rugi."
"Tidak. Hari ini aku sudah untung banyak. Sudah terimalah, besplatna Jangan kau tolak, nanti aku sedih!" Pinta Osmanov dengan sungguh-sungguh.
Mau tidak mau Pak Joko mengikuti kemauan lelaki tua itu. Ia membawa bungkusan berisi ikan itu dengan tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.
"Semoga Allah membalasmu dengan pahala yang melimpah, Osmanov."
"Ameen."

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar