Bumi Cinta
Karya : Habiburrahman El Shirazy
3. Yelena dan Linor
Yelena duduk termangu di sofa kamar president suite Hotel Tverskaya Inn. Ia telah menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat profesional.
Kliennya menyampaikan rasa puasnya. Untuk kerja empat jam itu ia mendapat enam ratus dolar, bersih. Ia sudah mandi dan rapi. Ia melihat jam tangannya. Sudah saatnya ia pulang. Kliennya sedang makan malam. Dan bukan tugasnya untuk menemani makan malam. Kesepakatannya, ia hanya menemani sampai jam tujuh malam.
Yelena bangkit dan berdiri di depan cermin besar. Ia pandangi tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia memandangi wajahnya sendiri dalam-dalam. Mukanya yang halus dan manis, dagu yang menawan, muka lonjong dan bulat yang memesona, dua mata dengan tatapan yang menyihir. Perlahan kedua matanya berkaca kaca, lalu airmatanya meleleh,
"Tidak ada yang tidak mengakui kecantikanmu Yelena. Tapi apa sebenarnya yang kau cari? Untuk apa kau hidup sebenarnya? Bahagiakah kau dengan cara hidup seperti ini? Bahagiakah kau dengan ribuan dolar yang kau dapat dari para hidung belang itu? Inikah hidup terhormat di era modern yang kau dambakan? Bahagiakah kau Yelena? Bahagiakah kau Yelena?"
Ia mengatakan itu dengan setengah berbisik pada bayangan dirinya sendiri di cermin. Sebentar kemudian tangisnya pecah. Ia merasa telah mengkhianati dirinya sendiri. Ia merasa tidak mendapatkan kebahagiaan apa pun dari kemewahan yang ia dapat. Ia merasa setiap detik yang ia lalui hanya menambah kering dan hampanya jiwa.
Ia merasa, setiap hari semakin bertambah rusak bangunan jiwa dan batinnya. Raganya memang nampak segar, penuh pesona. Ia masih bisa menari balet dengan lincah. Bahkan banyak yang memujinya awet muda, sehingga siapa pun yang berjumpa pertama kali dengannya akan mengiranya sebagai gadis muda yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas. Tetapi dialah yang sesungguhnya paling tahu dirinya sendiri.
Dialah yang paling tahu apa yang terjadi pada batin dan jiwanya. Ia bahkan merasa sudah tidak lagi sebagai manusia yang sepenuhnya manusia.
Raganya memang cantik, la paham betul itu. Namun jiwanya terus mengerang kesakitan. Ia jauh lebih memahaminya.
"Yelena, Yelena, apa yang kaucari selama ini?" Ia terus bertanya-tanya
pada dirinya sendiri. Sudah tiga tahun ia merasa tidak menjadi
manusia. Sejak ia sampai di Moskwa dan bekerja menjamu lelaki hidung belang, sebagaimana yang baru saja dilakukannya dengan kliennya, ia merasa telah hilang kehormatannya sebagai manusia. Seringkali jiwanya menggugat. Hatinya merintih dalam diam. Batinnya bahkan sudah sangat kesakitan ingin berhenti. Akal sehatnya ingin kembali hidup bersih, sebagai perempuan bersih, seperti saat ia merasakan damai dan bahagia bersama keluarganya dulu.
Tapi begitu ia bertemu dengan teman temannya
seprofesi, seperti Olga Nikolayenko, Rossa De Bono, Valda Oshenkova, Mavra Ivanovna, Kezina Parlova, Amy Lung dan lainnya, akal sehatnya seolah hilang, lenyap ditelan bumi.
Saat berkumpul bersama teman-temannya ia merasa bahwa pekerjaan ini tidak salah, bahkan sangat nyaman, menyenangkan, sangat mudah, dan sangat menghasilkan. Ratusan dolar gampang didapat hanya dengan kerja beberapa jam saja. Ada banyak perempuan Rusia yang sedang antre untuk sukses bekerja seperti dirinya dan teman-temannya. Namun mereka belum memperoleh kesempatan. Kalau sudah begitu, ia merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. uang, kecantikan, dan dikagumi banyak pelanggan.
Lebih dari itu, dengan manajemen yang baik ia memiliki banyak kenalan laki-laki terpandang dari pelbagai negara. Kliennya yang baru saja bersamanya adalah anggota parlemen dari Indonesia.
Lelaki itu bahkan menawarinya kalau mau ke Indonesia akan memperlakukannya seumpama ratu atau tsarina dari Rusia. Bahkan, kata kliennya itu, kalau ia ke Indonesia, dengan hanya bisa sedikit berbahasa Indonesia ia bisa main film atau sinetron televisi. Betapa ia merasa dihargai. Kalau ia tinggalkan profesi ini, apakah ada jaminan ia akan mendapat pekerjaan yang lebih menguntungkan?
Olga, temannya yang paling senior mengatakan, dengan kecantikan yang dimilikinya, ia masih akan bisa duduk di jajaran papan atas wanita paling dikagumi klien; paling tidak empat tahun lagi. Jika sudah seperti itu, gugatan batin dan jiwanya menguap seketika. Ia merasa bahwa dirinya baik-baik saja, pekerjaan yang dilakoninya wajar-wajar saja, tak ubahnya dengan pekerjaan di bidang jasa lainnya.
"Apakah kau benar-benar bahagia Yelena, dengan cara hidupmu seperti ini?"
Ia masih di depan cermin berdialog dengan dirinya sendiri. Guratan rasa tertekan tergambar pada wajahnya yang molek.
"Tidak Yelena, bodoh kalau kau mengatakan dirimu bahagia! Bukan ini jalan yang kauinginkan sesungguhnya. Kau harus jadi manusia yang dihargai sebagai manusia yang memiliki jiwa dan kehormatan, bukan sebagai onggokan daging yang diperjualbelikan.
Lalu apa bedanya dengan onggokan daging babi yang dijual kiloan di pasar-pasar?"
Setetes airmatanya jatuh. Hanya setetes. Yelena kembali duduk termenung. Matanya menatap kosong ke arah amplop berisi enam ratus dolar yang diletakkan kliennya di atas meja dekat jendela. Dua bulan lagi kontrak kerjanya dengan agen yang menyalurkannya selesai. Olga Nikolayenko sebagai manajer agen, sudah dua kali 'memaksa'-nya agar memperpanjangan kontraknya.
Ia belum bisa menjawab. Jika tidak ia perpanjang, ia mau bekerja di
mana ia tidak tahu. Dan apa pula reaksi Olga Nikolayenko padanya nanti, ia juga tidak tahu.
Bekerja di toko hanya cukup untuk makan, ia tidak akan bisa bernafas di kota paling mahal di dunia ini. Meneruskan kontrak berarti menyiksa batinnya sendiri. Ia terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba ia teringat keluarganya. Andai ia bisa kembali ke tengah-tengah damai dan tenteramnya keluarga seperti yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ah! Setiap kali mengingat keluarga, harapan indah muncul, tapi rasa sakit hati tiada terkira juga muncul bersamaan. Ia sama sekali tidak salah.
Apa dosanya sampai ia harus terbuang dari keluarga dan harus hidup menanggalkan harga dirinya sebagai manusia tiga tahun ini, dan entah sampai kapan? Apa dosanya? Jika Tuhan itu ada kenapa tidak menolongnya?
Kenapa membiarkannya dizalimi sedemikian menyakitkan? Mana keadilan yang dijanjikan oleh Tuhan dalam ajaran-ajaran agama?
Karena itulah ia tidak lagi mengakui Tuhan. Ia sependapat dengan Olga dan Rossa Nikolayenko yang berpendapat, bahwa Tuhan hanyalah ilusi belaka. Tuhan hanyalah angan-angan manusia untuk menghibur diri ketika penderitaan dan rasa sedih tiba. Sebenarnya Tuhan itu tidak ada. Ia hanya diada-adakan oleh orang yang kalah menghadapi kerasnya kehidupan. Sebab manusia memang tidak memerlukan Tuhan. Manusia lebih memerlukan jalan keluar yang nyata dalam menghadapi kehidupan, dibandingkan sekadar berilusi adanya Tuhan yang akan membantu.
Ia merasa telah mengalami sendiri kebenaran pendapat Olga, Rossa dan banyak manusia lainnya yang sependapat dengan mereka berdua. Saat ia sangat menderita; yaitu saat dicampakkan dari keluarga, dicampakkan dengan cara yang sangat membuatnya sakit hati sampai saat ini, Tuhan diam saja. Ketika dia sampai sekarat menjadi gelandangan di puncak musim dingin
Moskwa, Tuhan juga tidak hadir menyelamatkannya. Justru Olga lah yang membantunya, memberinya jalan keluar dan pekerjaan, sehingga ia bisa bertahan hidup di Moskwa sampai sekarang.
Ia ingin menengok keluarganya. Seperti apa wajah si kecil Omarov sekarang. Dia mungkin sudah bisa menyanyi. Seperti apa suara tawanya.
Apakah kalau ia datang Omarov akan mengenalinya?
Ia ingin memeluk Omarov. Ia ingin merasakan bau badannya yang wangi bagai mawar di musim semi. Kerinduan pada buah hatinya itu membuncah. Tapi dendam dan sakit hatinya seolah menghalanginya. Dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Sementara dari detik ke detik jiwa dan batinnya ia rasakan seperti membusuk pelan-pelan.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ada sms masuk. Dari Olga Nikolayenako. Mengabarkan ada klien istimewa dari Jepang.
"Kau sudah selesai kan? Ini ada ikan tuna dari Jepang. Istimewa. Kurasa kau yang paling tepat memasaknya. Bumbu dan resepmu pasti cocok untuk ikan istimewa ini. Mau tidak? Kalau tidak biar aku minta Mavra yang memasaknya. Segera balas."
Batin Yelena masih terasa perih. Ia melihat jam tangannya. Ya, sudah saatnya pulang. Ia punya janji pada mahasiswa Indonesia bernama Devid, untuk membantu temannya yang baru datang.
Ia telah menyanggupi meskipun tanpa bayaran. Ia merasa harus beramal untuk sedikit mengembalikan sifat kemanusiaannya. Ia takut telah ditunggu. Kasihan mahasiswa Indonesia yang baru datang itu. Kasihan kalau dia kelaparan.
Yelena pernah merasakan betapa tersiksanya kelaparan di tengah musim dingin. Kasihan juga kalau mahasiswa Indonesia itu sakit demam karena
kaget pada perbedaan musim. Ia harus pulang. Ia juga ingin berkenalan lebih dekat dengan mahasiswa itu. Ia yakin ia bukan jenis lelaki buaya seperti kliennya yang sedang keluar makan malam. Dan ia tahu mahasiswa bukan orang yang banyak uang, tujuannya ke Moskwa pun bukan untuk senang-senang.
Yelena bangkit. Ia mengenakan paltonya. Memasukkan amplop ke dalam tasnya. Lalu keluar dari kamar itu dan meninggalkan kuncinya pada resepsionis. Dengan taksi Moskvick ia meluncur ke apartemennya di kawasan Panfilovsky.
Tanpa ragu sedikit pun ia balas sms Olga Nikolayenko, dirinya tidak bisa memasak ikan tuna dari Jepang yang katanya istimewa itu.
Di tengah jalan, ia sempatkan untuk mampir ke toko makanan milik orang Uzbekistan. Ia pesan nasi plof dengan lauk jamur, bubur isi ikan smelt, kue kentang. Masing-masing dua porsi dan satu botol besar Coca Cola. Ia ingin memberikannyakepada orang Indonesia yang tinggal satu apartemen dengannya. Ya, semacam ucapan selamat datang. Kalau selama ini ia melakukan dosa, ia berharap dengan berbuat baik ada dosanya yang terhapus. Ia heran sendiri, ia sudah membuang kepercayaan adanya Tuhan, kenapa percaya dengan dosa? Ah, ia tidak mau rumit memikirkannya.
***
Yelena sampai di apartemen, ketika Ayyas sedang shalat. Suara Ayyas membaca Al-Quran ketika shalat terdengar jelas. Yelena agak tersentak.
Yang dibaca Ayyas itu pernah ia dengar, pernah begitu akrab dalam telinganya bertahun tahun yang lalu. Ia teringat bagaimana ia juga pernah rukuk dan sujud. Dulu, begitu damai. Yah itu dulu, sebelum ia dibuang dari keluarganya.
Dan sejak itu ia jadi agak benci dengan yang namanya agama. Semua agama, tak terkecuali Islam.
Suara Ayyas itu juga mengingatkan si kecil Omarov. Mungkin buah hatinya itu sekarang sudah bisa membaca ayat-ayat suci itu. Kerinduan pada darah dagingnya itu kembali hadir. Ia ingin Omarov ada di sisinya, meskipun ia tidak suka pada agama, mungkin ia akan bahagia jika Omarov yang membacakan ayat-ayat itu untuknya dan terus bersamanya.
Yelena mendengar salam Ayyas, tanda shalatnya telah selesai. Yelena menunggu beberapa saat. Keheningan tercipta. Yelena merasa sudah tiba saatnya. Ia mengetuk pintu kamar Ayyas.
Perlahan Ayyas membuka pinta kamarnya. Yang pertama kali dilihat begitu pintu terbuka adalah kecantikan wajah Yelena. Hati Ayyas berdesir.
Wajah cantik Yelena benar-benar nyaris menyihirnya. Ia gugup bertatapan muka dengan Yelena, meski itu tidak sengaja.
"Mm...hai Yelena!" Sapa Ayyas dengan kegugupan sempurna.
"E hai, siapa tadi namanya, saya lupa, maaf."
"A... A... Ayyas."
"Oh ya, hai Ayyas."
"Ba.. baru pulang?"
"Iya. Jangan gugup begitu dong." Ayyas diam membisu. Ia menata hati dan pikirannya. Ia ambil nafas perlahan-lahan untuk menghilangkan kegugupannya. Perlahan ia sudah bisa mulai menguasai diri dan pikirannya yang sempat oleng.
"Hai Ayyas, kok malah diam sih." Ucapan Yelena tiba-tiba memecah kebisuannya.
"Oh iya, ada apa?" Sambar Ayyas balik bertanyasekenanya. Kali ini dengan kegugupan yang nyaris hilang sempurna.
"Makan malam yuk. Saya membeli makanan untuk kita berdua."
Ayyas merasa ujian itu datang juga. Makan berdua dengan perempuan cantik seperti Yelena?
Ia berdoa kepada Allah agar menjaga diri dan imannya.
"Maaf saya baru saja makan, tadi sebelum shalat."
"Tolong jangan kamu tolak, ini hanya semacam ucapan selamat datang dari tetangga kamar."
"Aduh maaf Yelena."
"Tolong jangan ditolak kalau kamu menghormati orang Rusia." Tegas Yelena.
Ayyas terpaksa keluar dari kamarnya dan makan bersama Yelena di ruang tamu. Yelena mengambil tempat duduk tepat berhadapan dengan Ayyas. Pemuda yang pernah kuliah di Madinah itu banyak menunduk, ia berperang
melawan dirinya sendiri, berusaha sekuat tenaga untuk menjaga pandangan.
"Kamu orang Islam yang taat ya?" celetuk Yelena seraya mengunyah makanan yang dibawanya.
"Berusaha taat. Kalau kamu, maaf, Ortodoks ya?" Ayyas yakin dugaannya benar. Sebab mayoritas penduduk Rusia memeluk Kristen Ortodoks pasca runtuhnya rezim komunis Uni Soviet.
"Tidak. Dulu aku memang pernah memeluk suatu agama. Pernah Budha, pernah Konghucu, pernah Ortodoks, dan pernah Islam?"
"Pernah memeluk Islam?"
"Ya pernah. Itu karena mantan suamiku agamanya Islam."
"Sekarang?"
"Aku tidak memeluk agama apa pun. Aku tak percaya lagi sama agama, juga Tuhan."
Ayyas kaget bukan kepalang mendengarnya. Ia serasa disambar petir yang menggelegar dari petala langit ke tujuh. Memang, untuk urusan agama dan soal ketuhanan, Ayyas tergolongsensitif. Terhadap orang yang tidak mengakui keberadaan Tuhan di muka bumi ini, hatinya mudah mendidih. Lebih mendidih lagi terhadap orang yang menyinggung ataupun menghina agama
yang dipeluknya, Islam.
"Innalillahl" seru Ayyas.
"Kamu jangan kaget. Di sini banyak yangtidak beragama. Menurut pengalamanku, agarhidup kita mudah dan mendapat banyak kemudahan memang kita tidak memerlukan agama, juga Tuhan. Adanya agama dan Tuhan itu malah bikin masalah!"
"Itu tidak benar. Agama hadir justru untuk menyelesaikan berbagai masalah yang mendera umat manusia."
"Ah itu cuma teori, kenyataannya tidak begitu. Hampir semua masalah manusia ini selesai karena hebatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai manusia. Bukan karena Tuhan. SebabTuhan itu yang mengada-adakan juga manusia. Kalau kita sepakat Tuhan tidak ada, ya pasti tidak ada. Tuhan itu ada karena kita berpikiran dia ada." Jelas Yelena serius.
"Kau boleh mengatakan apa saja, sesukamu. Tuhan tetap ada. Meskipun seluruh penduduk bumi ini mengatakan dan memercayai Tuhan tidak ada, tetap saja Tuhan itu ada. Tuhan sudah ada sebelum alam semesta, termasuk dunia seisinya dan manusia ada. Sebab adanya Tuhan itu termasuk kebenaran postulat."
"Apa itu kebenaran postulat, aku tidak mengerti?" tanya Yelena penuh penasaran.
"Menurut Immanuel Kant, kebenaran adanyaTuhan adalah kebenaran postulat. Yaitu kebenaran tertinggi dalam tingkatan kebenaran. Kebenaran tak terbantahkan. Kebenaran yang berada di luar jangkauan indera, akal dan ilmu pengetahuan. Itulah yang disebut postulat, yaitu dalil teoretis yang berada di luar jangkauan pembuktian teoretis.
Ah Yelena, kau ini mau mengajak aku makan atau mau diskusi. Kalau mau diskusi boleh saja, tapi sebaiknya kita cari waktu yang lebih tepat. Jujur saya perlu istirahat." Jawab Ayyas serius, dengan mimik muka yang serius pula.
"Ah maaf, ayo kita makan, ini aku beli dari rumah makan Uzbekistan, dijamin halal."
"Hei, kau tahu halal?"
"Mau diskusi lagi?" Sahut Yelena, sambil tersenyum pada Ayyas. Sekilas melihat senyum Yelena hati Ayyas kembali berdesir. Kali ini desirannya
lebih keras ketimbang tadi saat bertatap muka dengan Yelena kala membuka pintu.
"Ya aku tahu. Sudah kukatakan aku pernah jadi orang Islam. Ayo makan."
"Kata teman saya, orang-orang Rusia banyak yang dingin, maaf. Tapi kamu berbeda ya."
"Ya seperti biasanya manusia. Ada yang dingin, ada yang hangat. Aku pun bisa dingin, juga bisa hangat."
"Kau benar."
"Jadi mau berapa lama di Moskwa?"
"Rencananya cuma tiga bulan. Tapi bisa mundur, paling lama lima bulan."
"Kau kursus ya?"
"Tidak. Hanya penelitian untuk tesis magisterku. Aku harus menemui salah seorang Profesor sejarah di Universitas Moskwa."
Tiba-tiba bel berbunyi.
"Itu pasti Linor. Baru pulang. Dia pasti lupa bawa kunci. Coba kulihat ya." Kata Yelena sambil beranjak ke arah pintu. Sejurus kemudian pintu terbuka. Ayyas tetap berusaha tenang menyuapkan bubur isi ikan smelt ke dalam mulutnya.
Pandangannya menunduk pada bubur yang dimakannya.
"Untung kau sudah pulang Yelena. Kalau tidak aku bisa jadi patung menunggu di luar. Kunciku ketinggalan, tadi tergesa-gesa sekali."
Kata Linor sambil melepaskan palto dan sepatu botnya.
"Sudah kuduga. Oh ya kita punya teman baru."
"Oh ya? Yang katanya dari Indonesia itu?"
"Ya."
Yelena dan Linor mendekati Ayyas. Linor menurunkan alat musik yang dibawanya. Ia menatap Ayyas yang menunduk khusyuk menikmati bubur ikan smeltnya.
"Ayyas, ini Linor. Duduklah Linor." Kata Yelena memperkenalkan.
Ayyas menaikkan pandangannya. Ia menatap Linor dan sedikit terkesiap. Yang ada di hadapannya adalah gadis yang tadi ia lihat di jalan.
Gadis yang mau masuk BMW SUV X5 hitam. Gadis yang menenteng alat musik, yang kata Devid tidak kalah dengan Kate Winslet.
Beberapa detik mata Ayyas terpaku pada wajah Linor.
"Ya kenalkan saya Linor. Lengkapnya Linor E.J. Lazarenko." Ucap Linor mengenalkan diri.
Resmi dan kaku. Dengan wajah tanpa senyum. Tanpa mengulurkan tangan untuk jabat tangan.
Ayyas merasakan kekakuan wajah Linor, meskipun cantik wajah itu kurang memancarkan aura keramahan.
"Saya Muhammad Ayyas. Mahasiswa dari Indonesia." Jawab Ayyas.
"Pasti Muslim."
"Benar."
"Ternyata benar, banyak sekali penganut agama primitif itu." Desis Linor dengan nada mencela. Kata-kata Linor membuat Ayyas tersentak bagai disengat Kalajengking. Ia sama sekali tidak mengira gadis yang baru beberapa detik ia kenal namanya itu, akan mengintimidasinya dengan kalimat yang sangat tidak bersahabat.
"Apa maksud Anda? Siapa yang Anda maksud penganut agama primitif? Orang-orang Muslim?" geram Ayyas.
Yelena tahu apa yang terjadi. Ia tahu persis watak Linor selama ini. Ia bisa memprediksi Ayyas pasti akan membela agamanya sampai mati. Siapapun kalau keyakinannya diusik tidak akan rela. Kalau dialog itu diteruskan akan jadi perang kata-kata yang sengit. Maka sebelum bibir Linor bergetar membalas ucapan Ayyas, Yelena langsung menyela,
"Linor sebaiknya kau istirahat saja di kamar. Kau pasti letih. Biarkan Ayyas menyelesaikan makan malamnya bersamaku. Setelah itu biar dia istirahat. Besok perkenalan ini bisa kita lanjutkan dengan suasana lebih jernih. Dalam kondisi letih dan capek, akal pikiran sering tidak bisa berpikir jernih. Begitu kata orang bijak."
Dengan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Linor bangkit dari duduknya, mengambil biolanya dan melangkah ke kamarnya. Saat ia mau membuka pintu kamarnya, Yelena berkata,
"Selamat istirahat Linor!"
Linor menengok dan berkata, "Kalian juga."
Lalu masuk dan menutup pintunya.
"Kelihatannya dia sangat letih, dan suasana hatinya sedang tidak baik. Maafkan kalau Linor tadi menyinggung perasaanmu." Lirih Yelena
pada Ayyas.
"Semoga temanmu itu bisa istirahat dan suasana hatinya kembali membaik." Jawab Ayyas.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar