Bumi Cinta
Karya : Habiburrahman El Shirazy
4. Pagi Yang Menakjubkan
Dua hari penuh Ayyas istirahat di apartemennya. Ia agak demam. Ingin sekali ia segera bisa jalan-jalan menelusuri Moskwa dan menyentuh butiran-butiran salju yang turun dari langit. Ia juga ingin segera melihat keindahan Lapangan Merah yang sangat terkenal itu. Ia memilih mengurungkan keinginannya. Lebih baik ia istirahat sampai benar-benar sentosa, daripada nekat kemudian jatuh sakit yang bisa membuat rencana yang telah disusunnya berantakan semua.
Ia harus berterima kasih kepada Devid yang membelikan persediaan makanan yang cukup. Dua belas bungkus mie instan buatan Vietnam, sekilo beras, satu kilo telur, empat kaleng ikan sarden, sebotol garam, saus tomat, minyak goreng dan barang-barang yang dipesannya.
Devid juga membelikan panci yang bisa ia gunakan untuk masak. Jadi ia tidak perlu keluar apartemen.
Ia juga merasa Yelena cukup ramah dan membantunya. Setiap kali mau keluar Yelena menawarinya kalau mau titip sesuatu. Selama ini ia hanya satu kali titip dibelikan air mineral. Ia merasa cukup nyaman tinggal di apartemen itu. Hanya yang agak mengganggunya, ia merasa susah menolak setiap kali Yelena mengajaknya berbincang di pagi hari sebelum Yelena berangkat kerja atau malam hari sepulangnya dari kerja. Yang membuatnya kurang nyaman adalah pakaian yang dikenakan Yelena ketika ada di apartemen. Pakaian yang menguji iman lelaki mana saja yang sehat akal dan jasmaninya.
Justru kalau di luar apartemen Yelena berpakaian sangat tertutup. Nyaris yang kelihatan cuma wajahnya. Sebab pakaian musim dingin harus benar-benar rapat. Tapi begitu Yelena masuk apartemen yang hangat, pakaian musim dingin yang rapat itu satu per satu ia tanggalkan. Dan ia hanya mengenakan pakaian yang menurutnya perlu ia kenakan.
Sikap Linor kepadanya masih dingin. Ayyas tidak tahu pasti apa sebabnya. Apa memang seperti itu wataknya? Dingin dan kaku, seperti pernah diceritakan oleh penulis dalam blognya mengenai watak orang-orang Moskwa. Atau karena belum akrab saja? Atau karena ia beragama Islam, agama yang dianggap Linor primitif.
Selama dua hari ini ia tidak memiliki kesempatan berdialog dengan Linor. Ia ingin berdiskusi dengan gadis yang bekerja sebagai pemain biola pada sebuah orkestra klasik musik Rusia itu jika ada kesempatan.
Ia ingin memberikan pandangan yang berbeda dari yang selama ini diyakini gadis itu. Ia merasa Linor berpandangan demikian burukpada Islam karena tidak ada yang memberinya informasi yang benar tentang Islam.
Linor tidak mau bergabung saat ia ngobrol sambil minum teh dengan Yelena. Kalau ketemu Linor hanya say hallo lalu masuk ke kamarnya. Kalau tidak bekerja, Linor lebih asyik main musik di kamarnya. Terkadang main piano, tetapi lebih sering main biola. Meskipun kamar Linor sudah dibuat kedap suara, tapi sayatan biolanyatetap saja terdengar dari ruang tamu yang merangkap jadi ruang tengah dan ruang makan.
Pagi itu adalah Subuh ketiga Ayyas di Moskwa. Ia merasa tubuhnya sudah benar-benar bugar. Selesai shalat Subuh, seperti biasa, ia membaca Al-Quran, zikir ma'tsurat pagi, danmembaca kitab Mudzakarat fi Manazil Ash-Shiddiqin
wa Ar-Rabbaniyyin, yang merupakan penjelas dari kalimat-kalimat penuh cahaya dari Ibnu Athaillah As Sakandary. Ia merasa shalat, membaca Al-Quran, zikir dan membaca buku adalah nutrisi jiwanya yang harus ia jaga betul betul.
Ia tidak mau sedikit pun meninggalkan kebiasaannya wiridan dan berzikir kepada Allah. Iaingat betul kata-kata Ibnu Athaillah, "Tidak ada yang meninggalkan wirid kecuali orang bodoh."
Dengan melanggengkan zikir sebagai pembuka kegiatan harian ia berharap, Allah senantiasa menjaga jiwa, raga, akal, dan akhlaknya. Ia ingin selalu bersama Allah, ingin selalu mengingat Allah dan diingat oleh Allah. Itulah kenapa setiap pagi ia tidak boleh melupakan empat hal tersebut, shalat, membaca Al-Quran, zikir dan membaca buku yang ditulis orang-orang saleh. "Jika pagi datang, orang yang lalai akan berpikir apa yang harus dikerjakannya. Sedangkan orang yang berakal akan berpikir apa yang akan dilakukan Allah kepadanya." Kata kata Ibnu Athaillah itu sedemikian kiiat tertanam dalam hatinya.
Ya, ia telah merancang program hariannya dengan sangat rapi. Tidak hanya harian. Bahkan peta hidup beberapa tahun pun telah ia rancang sedetil mungkin. Tapi setiap pagi ia merasa harus meminta kekuatan dari Allah agar dianugerahi hari yang terbaik. Ia hanya bisa merencanakan dan merancang, namun pada akhirnya Allah lah yang memutuskan hasilnya.
Ayyas siap melaksanakan apa yang direncanakannya. Ia harus menemui Profesor Abraham Tomskii hari itu. Ia harus memulai penelitiannya.
Kemarin ia sudah sempat berhubungan dengan Guru Besar Sejarah Rusia itu lewat telpon. Profesor Tomskii begitu ramah dan terbuka.
Ayyas telah berjanji untuk datang menemuinya pukul setengah sebelas pagi di Universitas Negeri Moskwa atau Moskovskyj Gosudarstvennyj Universiteit imeni Lomonosova, biasa disingkat MGU. Universitas paling tua dan paling besar di Rusia ini juga sering disebut Universitas Lomonosova. Orang-orang Moskwa sangat bangga dengan MGU. Mereka beranggapan tidak ada universitas yang lebih hebat dari MGU diatas muka bumi ini. Bahkan Harvard dan Oxford sekalipun.
Maka pagi itu, setelah semua zikir dan wiridnya selesai, ia langsung menyiapkan sarapan paginya. Ia beranjak ke dapur yang menyatu dengan ruang tamu. Ia hanya perlu mengolah ikan sardennya dan membuat telur dadar. Nasi sisa tadi malam masih bisa dimakan. Ia harus banyak berhemat. Ketika sedang asyik membuat telur dadar, Yelena keluar dari kamarnya.
"Wow, kau bisa masak ya? Wah bikin omelet ya? Aku minta dibuatkan juga kalau boleh." Sapa Yelena sambil menggerak-gerakkan tangannya memutar ke kanan dan ke kiri.
"Mau keluar ya hari ini?" Tanya Yelena sambil terus senam ringan.
"Iya. Saya harus segera mulai penelitian." Ayyas sudah selesai membuat telur dadar yang pertama. Ia langsung membuat yang kedua.
Tangannya nampak cukup terampil. Ia sudah biasa membuat telur dadar sejak masih SMP. Dan selama kuliah di Madinah dan kuliah S2 di India ia sering masak sendiri. Meskipun hasilnya tidak istimewa, ia cukup mengusai resep membuat beberapa jenis makanan.
"Hari ini kau mau ke mana?" Yelena mendekat dan berdiri di samping Ayyas.
"Ke MGU, menemui seorang Profesor." Jawab Ayyas sambil menabur sedikit garam di atas omelet yang sedang ia buat. Yelena melihat dengan mata berbinar. Bau omelet itu tercium tajam.
"Dari gerakan tanganmu, kau seperti koki yang sudah cukup profesional. Seperti koki di restoran China." Puji Yelena.
"Ah cuma bikin omelet, apa susahnya. Semua orang juga bisa."
"Tidak juga. Temanku Valda sama sekali tidak bisa masak."
"Aku yakin bukan tidak bisa masak, tapi dia tidak mau masak."
"Mungkin juga. Oh ya mau naik apa ke MGU?"
"Metro saja yang murah."
"Tahu rutenya."
"Belum. Nanti tanya sama orang."
"Kalau pertama ke Moskwa masih tetap bingung. Atau aku temani saja. Hari ini aku masuk kerja agak sore, bagaimana?"
Ayyas diam, ia tidak bisa menjawab. Mau menjawab ya, berarti akan jalan berdua sama Yelena seperti orang pacaran. Kalau bilang tidak, jujur ia belum tahu Moskwa sama sekali. Ia belum pernah keluar dari apartemen itu sejak ia datang.
Ia memang bisa bahasa Rusia, tapi tidak lancer benar. Selama ini ia berkomunikasi dengan Yelena lebih banyak dengan bahasa Inggris. Dan sebenarnya dengan ditemani Yelena ia bisa bertanya banyak hal ketika di jalan ia melihat sesuatu yang perlu ia tanyakan.
"Kok diam saja, bagaimana mau ditemani tidak, biar tidak tersesat?" Tanya Yelena lagi.
Ayyas mengangkat omelet dari penggorengan dan meletakkannya di atas piring kecil.
"Ah nanti merepotkan kamu." Gumam Ayyas.
"Sama sekali tidak. Sambil jalan nanti aku beritahu kamu banyak hal tentang metro, siapa tahu ada gunanya."
"Kalau begitu boleh. Ini omeletmu sudah siap."
"Terima kasih." Yelena mengambil omelet itu dengan senyum tersungging. Ayyas tanpa sengajamelihat senyum itu. Seketika hatinya bergetar, meskipun ia sudah berusaha menundukkan.
"Ya Allah lindungilah aku dari buruknya hawa nafsuku," Ucap Ayyas dalam hati.
***
Jalan masih sepi. Angin dingin berhembus perlahan. Salju yang menutup aspal dan tanah mencair. Ayyas keluar dari pintu utama apartemen.
Ia langsung menapaki trotoar Panfilovsky Pereulok, Yelena mengikuti di belakangnya. Ayyas bergegas cepat, Yelena mengejar agar berjalan sejajar. Melewati sebuah taman kecil, tiba-tiba Yelena berhenti. Ia melihat sesuatu yang tidak biasa dan seketika menyadari ada yang lain dengan pagi itu.
"Wow, berhentilah sejenak Ayyas, ini pagi yang menakjubkan! Baru kali ini aku melihat pagi musim dingin seindah ini. Luar biasa!" Jerit Yelena dengan wajah cerah dan mata berbinarbinar.
"Ayyas lihat, rumput-rumput itu. Ia seperti muncul dari dalam salju. Dan sinar matahari itu begitu indah. Sejak kecil sampai sekarang, belum pernah sekalipun aku melihat peristiwa alam seperti ini. Rumput-rumput kelihatan di puncak musim dingin, dan matahari menyapa dengan sinarnya. Oh tidak
mungkin! Ini keajaiban, Ayyas.
Sekali datang ke Moskwa kau menjumpai keajaiban Ayyas!"
Lanjut Yelena penuh takjub.
"Kalau Tuhan berkehendak apa pun bisa terjadi!" Sahut Ayyas.
"Ini bukan kehendak Tuhan, ini keajaiban alam." Sanggah Yelena dengan mata tetap berbinar.
"Segala keajaiban itu terjadi karena kehendak Tuhan."
"Sudahlah tak perlu berdebat, kita nikmati saja keindahan pagi ini. Oh ini pasti bisa jadi berita. Sebentar, aku telpon Linor dulu, dia harus keluar dari kamar dan turun melihat keajaiban ini. Ini bisa jadi bahan berita baginya."
Yelena mengambil ponsel dari saku paltonya dan langsung menelpon Linor. Sejurus kemudianLinor sudah menyusul dengan membawa ponsel.
Begitu melihat rumput-rumput yang muncul seolahmenyibak salju, ia menjerit lirih. "O lElohim (Elohim: Sebutan untuk Tuhan menurut orang
Yahudi) kau tunjukkan kuasa-Mu!" Wajah Linor begitu berseri-seri. Inilah kali pertama Ayyas melihat wajah Linor yang begitu cerah, tidak kaku dan dingin. Linor langsung mengabadikan fenomena alam yang menakjubkan itu dengan kamera digitalnya. Ia juga langsung lari mencari posisi yang tepat untuk memotret matahari yang menampakkan sinarnya.
"Karena baru kali ini aku merasakan suasana pagi yang sesungguhnya di Moskwa, maka aku tidak merasakan keajaiban yang kaurasakan. Bahwa aku melihat salju saja sudah seperti melihat keajaiban. Melihat fenomena alam yang berbeda dengan yang selama ini aku lihat."
"Pagi ini sungguh beda Ayyas. Kau tadi lihat kan, tidak hanya aku yang merasakan, Linor pun merasakan. Ini puncak musim dingin Ayyas. Tidak ada ceritanya di puncak musim dingin ada rumput kelihatan. Seharusnya rumput itu terpendam oleh salju satu meter tebalnya. Tapi itu kaulihat, ia kelihatan hijaunya. Dan matahari itu, seharusnya ia muncul nanti di awal Maret paling
tidak. Tapi ini sudah muncul menyapa dengan hangat sinarnya. Dan pagi ini terasa hangat bukan? Ini keajaiban Ayyas. Belum pernah terjadi yang seperti ini.
"Belum pernah?"
"Ya. Sejak aku kecil sampai sekarang ini. Ya baru sekarang ini terjadi."
"Berarti ini bukan keajaiban, tapi tanda-tanda petaka akan datang?"
"Jangan mengada-ada kau?"
"Aku tidak mengada-ada. Bisa jadi ini terjadi karena apa yang disebut oleh para ilmuwan sebagai pemanasan global. Karena suhu bumi terus naik, maka musim dingin di Moskwa pun mulai berubah. Ini fenomena yang berbahaya, ini bencana."
"Kenapa aku tidak berpikir sejauh kamu ya?"
"Karena kaum perempuan lebih tertarik memikirkan yang indah-indah mungkin?"
"Ya masuk akal. Ini karena pemanasan global."
"Sudahlah kita bahas nanti, ayo segera kita jalan. Waktunya semakin mendesak. Aku janji sama Profesor Tomskii pukul setengah sebelas."
"Kau benar. Untuk pertemuan pertama kau tidak boleh datang terlambat. Kau harus tepat waktu. Kau harus membuat Profesor itu terkesan padamu. Lebih baik menunggu satu tahun daripada terlambat satu menit." Yelena terus nyerocos sambil mengimbangi Ayyas yang berjalan cepat.
"Kita ke stasiun metro Smolenskaya?"
"Ya, kita ambil jalur ke Arbatskaya lalu perekhod (Nyebrang atau pindah jalur) ke jalurmerah menuju stasiun Biblioteka Imeni Lenina, terus ke selatan." Jelas Yelena sambil membetulkan letak syal putihnya.
"Hei belok kanan!"Kata Yelena mengingatkan. Mereka kini berjalan
di pinggir Smolenskaya Pereulok. Jalan-jalan kota Moskwa tertata rapi. Salju yang menempel di aspal sudah dibersihkan. Sebagian yang mencair mengalir ke lubang-lubang drainase yang tertata setiap seratus meter. Gedung-gedung kuno menghiasi kanan kiri jalan sepanjang mata memandang. Gedung-gedung dengan arsitektur gaya Romanesque dan Gothic itu tersusun, tertata dan terpelihara dengan baik. Indah, klasik, dan rapi. Ayyas berdecak kagum sambil terus melangkahkan kaki.
Orang Rusia begitu tinggi menghargai sejarahnya.
Kalau Indonesia, ah sungguh memprihatinkan, pikirnya. Hampir semua bangunan-bangunan tua di Indonesia menjadi tempat yang kumuh.
Bangunan-bangunan tua itu jadi sarang kelelawar. Sama sekali tidak menarik. Kota lama Jakarta tidak didesain sebagai daerah kebanggaan orang Jakarta. Hanya dijadikan semacam museum tua pelengkap kota saja: tak dikelola serius dan yang penting ada. Orang lebih suka ke Ancol daripada ke kota lama Jakarta. Ia pernah ke kota lama Semarang, kondisinya sangat memprihatinkan. Bangunan tua di sana yang telah menjadi cagar budaya hampir setiap hari digenangi air rob yang hitam dengan bau menyengat. Gentengnya banyak ambrol, catnya sudah mengelupas di sana sini. Apa menariknya?
Kira-kira tujuh menit kemudian mereka berdua sudah sampai di gerbang stasiun metro Smolenskaya. Ada logo berwarna merah berupa huruf "M" di depannya. Bangunan stasiun itu gagah dan berwibawa. Bangunan berwarna coklat muda itu khas Rusia.
Fasad dan bentuknya diukir dengan indah. Begitu serius orang Rusia membangun stasiunnya. Yelena lebih dulu masuk.
Nonik Rusia itu membelikan karcis untuk Ayyas. Mereka lalu turun ke bawah dengan eskalator. Ayyas terkagum-kagum dengan keindahan stasiun
bawah tanah Smolenskaya. Stasiun itu seumpama istana di bawah tanah. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, melihat dengan seksama interior stasiun itu. Mengagumkan. Hampir tiga perempat dindingnya dibalut marmer. Demikian
juga lantainya.
"Lihat itu, itu lambang Viktory!" Yelena menunjuk ke sebuah ornamen yang menempel di dinding dekat langit-langit. Ornamen yang sangat indah. Sebuah bintang lima yang dipadu dengan kemewahan khas ornamen gereja Ortodoks
Rusia.
"Ini belum seberapa. Ada yang jauh lebih indah dari ini. Kau pasti akan terpaku takjub jika ada di dalam stasiun Komsomolskaya. Kalau kau mengerti arsitektur, kau akan kagum pada arsitektur stasiun Kievskaya. Kalau kau seorang patriotik, kau pasti tersengat oleh semangat patriotic stasiun Park Pobedy." Terang Yelena.
"Orang Rusia membangun stasiun seperti membangun istana." Gumam Ayyas.
"Lebih dari itu. Stasiun ini dulu dibangun dengan semangat ingin mengalahkan kehebatan negara-negara kapitalis. Rezim yang berkuasa saat itu ingin membuktikan bahwa kemajuan yang diraih negara-negara kapitalis seperti Amerika bisa diraih oleh negara sosialis. Bahkan sosialis lebih baik. Tidak hanya kehebatan teknologi yang ingin ditunjukkan tapi keindahan seni
yang penuh fdosofi. Kau harus tahu, batu-batu marmer itu batu alam asli. Warnanya asli.
Didatangkan dari berbagai negara. Bahkan ada yang didatangkan dari Italia, Laut Baikal dan kawasan pegunungan Urai. Bandingkan dengan stasiun-stasiun modern negara-negara kapitalis itu, pasti hanya bernuansa beton yang kaku. Kau boleh mengatakan stasiun metro kami tak ada duanya di dunia." Yelena menerangkan panjang lebar dengan rasa bangga yang berkobar dan
mata berbinar-binar.
Sebuah metro datang. Metro itu sesak penumpang. Banyak penumpang yang turun, dan banyak pula yang naik. Yelena dan Ayyas naik di gerbong nomor tiga dari depan.
"Ini jam kerja. Maaf. Selalu padat. Kalau kau ingin nyaman naik metro sebaiknya antara jam sepuluh sampai jam sebelas pagi, setelah melewati
jam sibuk. Metro ini transportasi paling dicintai penduduk Moskwa. Selain tepat waktu, tidak macet, harga tiketnya sangat murah.
Bayangkan hanya dengan 19 rubel sekali jalan, kau bebas ke mana saja, bahkan kalau perlu menjelajah seluruh jalur metro. Tidak dibatasi jarak. Asal tidak keluar dari stasiun." Terang Yelena pada Ayyas dengan bahasa Inggris yang lancar. Beberapa pemuda Rusia memerhatikan Yelena dengan mata tak berkedip. Di antara mereka ada yang memandang kagum pada Yelena yang fasih berbahasa Inggris. Sementara Ayyas diam mendengarkan penjelasan Yelena yang begitu detil.
Sampai di stasiun Arbatkaya mereka turun. Ayyas kembali terpesona oleh keindahan interior stasiun itu. Matanya terpesona melihat mahligai mahligai yang melengkung. Lantai yang bersih, jernih, dari marmer alam cokelat tua. Lampu lampu kristal yang memancarkan cahaya yang meneduhkan. Orang-orang Rusia lalu lalang begitu saja, tidak ada yang berhenti dan melihat-lihat
dengan agak bengong seperti dirinya. Yelena mengingatkannya untuk segera pindah ke jalur merah.
Semua keterangan dalam stasiun itu ditulis dengan abjad Cyrilic, tidak dalam abjad latin. Orang yang tidak tahu cara membacanya pasti bingung dan mudah tersesat. Ayyas sudah belajar cukup banyak bahasa Rusia sejak kuliah di Madinah, membaca abjad Cyrilic biasa ia atasi. Tapi dengan adanya Yelena perjalanan lebih lancar, dan rasa gugupnya sebagai orang asing yang pertama
kali ke Moskwa sedikit hilang.
Ayyas dan Yelena masuk metro yang menuju Biblioteka Imeni Lenina. Metro itu terus melaju dengan kecepatan sedang melewati stasiun Kropotkinskaya,
Park Kukuri, Frunzenskaya, Sportivnaya, dan stasiun Vorobyovy Gori.
Sepanjang perjalanan Yelena terus ngoceh seperti burung beo. Ayyas yang berdiri di sampingnya lebih banyak diam mendengarkan.
Sesekali ia merespons dengan mengatakan, "O begitu ya." Dan Yelena terus bercerita tentang banyak hal mengenai Moskwa dan Rusia. Yelena seperti mendapatkan tempat untuk banyak bicara tentang hal yang lebih manusiawi, hal-hal yang jauh berbeda dari yang selama ini ia bicarakan dengan teman-temannya seperti Olga Nikolayenko, Rossa, Kezina dan Mavra. Selama tiga tahun ini, baru kali ini Yelena berjalan dengan pria asing yang tidak karena tujuan ranjang dan sejenisnya. Yelena merasa pagi itu memang benar benar lain.
Setelah melewati stasiun Vorobyovy Gori, Yelena mengingatkan untuk bersiap turun.
"Kita turun di depan. Di stasiun Universitet." Yelena mengingatkan.
Beberapa menit kemudian metro berhenti di stasiun Universitet. Ratusan penumpang yang sebagian besar mahasiswa turun.
Ayyas dan Yelena juga turun. Keluar dari stasiun, Ayyas menemukan bangunan universitas yang sangat besar. Benar-benar megah seperti yang diceritakan Devid dalam emailnya. Gedung itu Nampak cantik dan gagah menjulang tinggi khas bangunan keemasan rezim Stalin. Konon gedung
MGU adalah bangunan terbesar di Moskwa. Ia termasuk satu dari tujuh gedung utama pencakar langit yang dibanggakan penduduk Moskwa. Letaknya yang di atas bukit Leninsky Gori membuatnya semakin nampak berwibawa.
"Kita ini turun di belakang kampus MGU. Kalau kita memandang gedung ini dari pelataran utama akan semakin terlihat indah. Dan dari pelataran utama kita bisa melihat pemandangan kota Moskwa yang menawan." Ujar Yelena.
"Kau pernah kuliah di sini?" Tanya Ayyas.
"Tidak. Aku dulu kuliah di St. Petersburg."
"Jurusan apa?"
"Bahasa Inggris."
"Pantas bahasa Inggrismu bagus."
"Bagaimana, kita ke pelataran utama dan masuk dari depan?"
Ayyas melihat jam tangannya. "Lain kali saja. Aku harus mencari ruang kerja Profesor Abraham Tomskii dulu. Biar tenang." Jawabnya.
"Kau benar. Kampus MGU ini sangat besar. Kau perlu waktu untuk mencari ruang Profesor itu."
"Kau masih mau menemani?"
"Ei tentu tidak. Aku menemani sampai di sini saja. Kau silakan masuk menemui Profesor itu. Aku mau jalan-jalan di sekitar sini. Aku mau lihat pemandangan kota Moskwa dari atas LeninskyGori ini. Sudah lama aku tidak ke sini. Setelah itu aku akan cari stolovayau untuk makan siang. Setelah itu aku harus berangkat kerja."
Warung makan atau kantin.
"Kerjamu apa sebenarnya? Kau belum cerita."
"Aku kerja di agen wisata."
"O pantas kau bisa begitu detil cerita tentang Moskwa. Baik Yelena, aku jalan dulu."
"Ya. Sampai ketemu lagi (Semoga sukses)”, Yelena melambaikan tangan sambil tersenyum lalu balik kanan. Mereka berpisah di situ.
Ayyas melangkahkan kakinya memasuki kawasan kampus, sementara Yelena menuju pelataran depan kampus. Udara dingin berhembus.
Pohon-pohon bereozka bergoyang-goyang. Salju yang menempel di daun-daunnya berguguran. Matahari masih menampakkan sinarnya. Kabut tetap menyelimuti udara. Suhu minus tujuh derajat celsius. Orang orang
mengatakan, "Ini adalah puncak musim dingin yang sangat hangat!" Rumput-rumput yang menyembul di antara salju yang mencair nampak berseri-seri. Sesuatu yang jarang terjadi, atau bahkan belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebab puncak musim dingin di Moskwa biasanya bisa mencapai minus tiga puluh derajat celsius, dan salju akan menutupi rumput-rumput itu lebih
dari setengah meter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar