Kamis, 10 Januari 2013

Bumi Cinta ( Part 5 - 6 )


Bumi Cinta
Karya : Habiburrahman El Shirazy

DILARANG COPY PASTE UNTUK TUJUAN KOMERSIAL !!!


5. Pakar Sejarah Nan Jelita

Perlu waktu setengah jam bagi Ayyas untuk menemukan ruang kerja Profesor Abramov Tomskii.
Itupun setelah ia bertanya empat kali pada orang yang berbeda. Profesor Abramov Tomskii adalah Guru Besar Sejarah Asia Tengah yang sangat disegani di kalangan sejarawan Rusia. Ia pernah satu kampus dengan Profesor Najmuddin Ashgar yang kini menjadi pembimbing tesisnya, saat mereka berdua menyelesaikan program doktornya di Universitas Hamburg, Jerman. Profesor Najmuddin lah yang mengharuskannya melakukan penelitian di Rusia dan menyarankannya untuk menemui Profesor Tomskii.
Profesor Tomskii ternyata belum tiba. Janji dengannya memang pukul setengah sebelas. Dan sekarang baru pukul sepuluh lebih seperempat,
artinya ia datang lebih dulu seperempat jam. Seorang perempuan tua gemuk pendek mendekat.
Perempuan itu memakai kerudung kosinka putih lazimnya perempuan tua di desa-desa Rusia.
Kedua matanya dihiasi kaca mata yang kecil bundar.
"Kau boleh duduk di ruangan Profesor Tomskii. Ayo silakan. Profesor tadi sebenarnya sudah sampai, tapi langsung dipanggil rektor untuk rapat mendadak. Kata Profesor , pukul satu siang rapat baru selesai. Kau boleh menunggu di ruangannya. Boleh juga menunggu di tempat lain. Di ruangan Profesor ada Ensiklopedi Kebudayaan Rusia dan buku lainnya, bisa kaubaca." Kata perempuan tua berkerudung kozinka putih itu.
"Baik saya menunggu saja di ruangan Profesor."
"Ya, itu yang diminta Profesor. Aku buatkan teh hangat untukmu. Baik?"
"Boleh. Spasiba balshoi (Terima kasih banyak)



Ruang Profesor Abraham Tomskii cukup besar.
Ada satu set sofa untuk duduk bagi tamu. Ada meja rapat ukuran sedang. Meja kerja Profesor Tomskii sendiri cukup besar terletak di pojok ruangan. Di atas meja kerja itu ada monitor computer flat terbaru. Ada bola dunia. Dan beberapa tumpuk buku. Di sepanjang dinding belakang meja kerja itu, tertata rapi buku-buku tebal dalam pelbagai bahasa. Hampir semuanya buku penting
untuk referensi sejarah. Yang dengan mudah ia baca, sekilas nampak ada Ahsan al Taqasim: The Best Divisions for Knoudede of the Régions, The History of al Tabari, Al Kamilfi al Tarikh, Kitab al Futuh, Futuh al Buldan, Geschite Isfahans, Alexandrie Médiévale, L'Iran Sous les Sassnides, Ensiklopedia of World Religions, Patriarch of Constantinople, Turkestan Down to the Mongol Invasions, Tarikh Bukhara dan lain sebagainya.
Ayyas mengambil buku berjudul Seeing Islam as Other Saw It. Ia duduk di sofa. Ia mulai membaca buku pertama. Beberapa halaman ia baca cukup menarik. Buku itu menjelaskan mengenai pandangan orang-orang non Muslim terhadap Islam awal. Menjelaskan pandangan bangsa bangsa yang ditaklukkan oleh Islam. Ada yang suka, ada yang tidak suka. Ada yang sangat
memusuhi dan ada yang biasa-biasa saja. Yang jelas buku itu ditulis bukan oleh orang Islam.
Tetapi Ayyas merasa ada baiknya membaca buku itu, untuk mengetahui apa pandangan penulisnya terhadap agama yang dipeluknya dan dipeluk
oleh kebanyakan orang Indonesia.
Dari buku itu Ayyas mendapat wawasan baru mengenai suara yang paling memusuhi kedatangan bangsa Arab yang membawa Islam. Suara itu bisa ditemukan dalam sejumlah surat berbahasa Yunani dan khotbah yang disampaikan oleh Sorphorius, seorang Patriark Yerusalem yang memiliki trauma menyakitkan akan invasi Persia jauh sebelum Islam datang. Invasi Persia itu ia gambarkan sangat kejam, merusak perkotaan dan pedesaan yang diberkati Tuhan dengan belati yang membunuh. Orang-orang Persia datang
merusak Yerusalem dengan kemarahan menakutkan yang telah dimunculkan setan.
Sorphorius yang hidup saat Islam berkembang di jazirah Arab berpandangan, datangnya penguasa Arab akan sama saja dengan invasi Persia yang kejam. Sorphorius memandang orang Arab sebagai bangsa barbar yang membenci Tuhan.
Dalam suratnya Sorphorius sama sekali tidak menyoroti datangnya bangsa Arab sebagai pembawa agama baru, yaitu Islam.
Ayyas merasa, mungkin pandangan Sorphorius inilah yang menjadi awal pandangan banyak orang Barat bahwa Islam selalu disebarkan dengan pedang. Karena surat-surat Sorphorius ditulis dalam bahasa Yunani dan terus dibaca orang Barat berabad-abad setelah kematiannya.
Padahal pandangan Sorphorius penuh diselimuti trauma penaklukan Persia jauh sebelum Islam datang ke Yerusalem. Sejarah kemudian membuktikan ketidakbenaran pandangan Sorphorius. Saat Islam membuka Yerusalem, kedamaianlah yang dirasakan penduduk Yerusalem. Umar bin Khattab datang dengan penuh cinta dan hormat pada para pendeta di sana. Tak ada gereja yang dirusak. Tak ada kota dan desa yang dinistakan. Tak ada perusakan
Yerusalem dengan kemarahan menakutkan yang telah dimunculkan setan. Tak ada pembantaian seperti yang dikhawatirkan Sorphorius. Dan sejarah menulis keagungan Umar bin Khattab saat memasuki Yerusalem dengan tinta emas yang terus berkilauan.
Ayyas menemukan kenyataan, beberapa penganut Kristen saat itu sampai beranggapan bahwa datangnya bangsa Arab adalah tanda tanda akan datangnya hari Kiamat. Bahkan ada yang berpendapat, kedatangan mereka sebagai instrumen Tuhan untuk menghukum penganut Kristen karena kemerosotan moral.
Menariknya, ternyata dalam catatan sejarah tidak sedikit penganut Kristen kuno yang berpandangan baik akan kedatangan bangsa Arab yang membawa Islam saat itu. Seorang kepala biara di Qartmin yang terletak di Pegunungan Tur Abidin yang bernama Mar Gabriel, yang diakui sebagai orang suci oleh Ortodoks Syiria menganggap datangnya kekuasaan Muslim lebih terasa sebagai rahmat daripada bencana. Banyak sejarawan yang menulis, bahwa Mar Gabriel yang meninggal tahun 667 M lebih menyukai kedatangan bangsa Arab daripada penindasan rezim Byzantium.
Hal serupa juga disuarakan oleh Patriark Benyamin dari Alexandria yang hidup pada masa masuknya Islam ke Mesir. Benyamin dalam tulisannya yang berbahasa Koptik mengakui kedatangan orang Arab yang dipimpin sahabat Nabi Muhammad Saw. yaitu Amru bin Ash sebagai
"dini hari yang baru bagi kepahlawanannya", dan
"dini hari baru bagi kemerdekaan bangsanya".
Amru bin Ash dianggap sebagai pahlawan yang memerdekakan Mesir dari penindasan penguasa Cyrus, gubernur kepercayaan kaisar Byzantium yang kejam. 
Hampir satu jam Ayyas menunggu. Profesor Abramov Tomskii belum juga datang. 
Perempuan tua berkerudung kozinka putih yang katanya
mau membuatkan teh untuknya belum Nampak batang hidungnya juga. Ayyas berpikir perempuan tua itu hanya basa-basi saja. Memangnya dirinya itu siapa sampai harus dibuatkan teh oleh pegawai MGU Moskwa. Tiga detik setelah Ayyas berpikiran seperti itu, perempuan tua berkerudung kozinka putih itu muncul membawa nampan berisi dua cangkir teh. Tubuhnya yang gemuk membuat langkahnya seperti berat. Perempuan tua itu masuk ruangan dengan nafas agak tersengal-sengal.
"Maaf agak terlambat, tadi Doktor Anastasia Palazzo minta tolong digandakan soal-soal ujian, katanya mendesak. Ah kau mungkin menunggu tehnya terlalu lama. Saya mohon maaf. Profesor Tomskii sudah sampai, dia sedang berjalan kemari. Silakan diminum tehnya." Kata perempuan tua berkerudung kozinka putih ramah. Ayyas menganggukkan kepala sambil berkata,
"Spasiba balshoi."
Perempuan tua itu mengangguk sambil tersenyum, lalu menyeret kakinya pergi. Ayyas membaca istighfar, salah menyangka pada perempuan tua berkerudung kozinka putih itu.
Dalam suasana hati kurang nyaman, manusia memang paling mudah berburuk sangka. Perempuan tua berkerudung kozinka putih itu baik hatinya. Ayyas bisa merasakan ketulusannya lewat senyumnya. Ia jadi ingat sama Mbok Jum, penjual nasi sambel tumpang dekat Pesantren Kajoran saat ia mondok dulu. Perempuan tua itu memiliki dedeg dan gesture tubuh yang mirip dengan Mbok Jum. Pendek dan gemuk. Sifatnya hampir sama, ramah dan murah hati. Ia bahkan merasa banyak belajar keikhlasan dan ketulusan dengan Mbok Jum. Saking ikhlasnya Mbok Jum lebih rela rugi daripada membuat orang lain tidak nyaman hatinya.
Ia masih ingat betul kejadiannya. Kira-kira jam sembilan pagi hari Selasa. Ia dan teman teman satu kelas baru selesai olahraga. Saat itu ia diminta Pak Kiai Lukman membeli empat bungkus nasi sambal tumpang lengkap dengan tempe gembus gorengnya. Katanya untuk suguhan istimewa seorang teman lama Pak Kiai dari Surabaya, yang kalau ke Pesantren Kajoran pasti nasi sambal tumpang yang ditanya.
Ia bergegas ke tempat Mbok Jum yang masih melayani satu dua pelanggannya. Seorang bapak-bapak bermata cekung memesan dua nasi sambal tumpang dibungkus. Namanya Pak Turah. Ia menyerahkan uang lima ribu rupiah warna sambil bicara-bicara dengan seseorang yang naik sepeda.
Setelah pesanan itu jadi dan dimasukkan kantong plastik,.Mbok Jum memberikan kembalian seribu rupiah. Pak Turah itu minta tambah. 
Katanya masih kurang enam ribu rupiah.
"Lho pripun tho Pak, uang Sampeyan kan lima ribu. Harga dua bungkus nasi sambel tumpang empat ribu. Ya kembaliannya seribu."
Mbok Jum menjelaskan dengan tenang.
Tapi Pak Turah malah marah, "Lho mata Sampeyan apa picek Mbok. Aku tadi member sepuluh ribuan, bukan lima ribuan!"
"Lima ribu Pak. Ini lho uangnya, si Ayyas saksinya. Bener tho Le, lima ribu?" Kata Mbok Jum sambil memandang wajah Ayyas.
Ayyas langsung menjawab, "Iya Pak, bener Mbok Jum, tadi uangnya lima ribu." 
Bukannya selesai, Pak Turah malah tambah marah dan berkata yang tidak-tidak, "O lha santri picek. Kamu ikut sekongkol sama Mbok Jum ya. Apa begitu Kiai Lukman mengajarkan kamu selama ini!?"
Seketika Ayyas naik pitam, ia tidak terima nama kiainya dibawa-bawa dan dituding  yang bukan-bukan. Sebab Ayyas tahu persis apa yang terjadi di depan matanya, bahwa uang yang diberikan Pak Turah itu lima ribu rupiah bukan sepuluh ribu rupiah.
"Maaf Pak, tolong jangan..!"
Belum sempat melanjutkan kalimatnya Mbok Jum langsung memotong, 
"Wis Le, jangan diteruskan. Ya sudah Pak Turah, ini tambahannya
lima ribu rupiah, tidak usah marah-marah!"
Pak Turah mengambil uang itu dan langsung pergi tanpa salam, tanpa pamitan. Ayyas menanyakan kenapa Mbok Jum melakukan itu, padahal
Mbok Jumlah yang benar.
"Kalau Pak Turah itu macam-macam, akan banyak warga kampung Kajoran yang membela Mbok Jum. Orang tidak tahu diri itu harus diberi pelajaran Mbok!" Geram Ayyas. Tapi penjelasan Mbok Jum kemudian membuat Ayyas harus belajar keikhlasan darinya.
Mbok Jum menjawab, "Aku tahu Le, kalau aku yang benar dan yang pasti menang. Sebab warga kampung ini pasti lebih percaya sama aku dan kamu. Karena aku merasa benar itulah maka aku ngalah. Ya nggak apa-apa sedekah beberapa ribu rupiah. Dengan sedekah itu aku minta barokahnya rezeki, dan aku minta kepada Allah semoga Pak Turah jadi insaf dan baik. Semuanya jadi baik. Aku ingin seluruh saudaraku, tetangga-tetanggaku, kenalanku, semuanya baik dan dirahmati Gusti Allah. Intinya kita ini hidup kan untuk ibadah tho Le."
Ingatannya pada Mbok Jum seketika buyar tatkala ada seseorang menyapanya dengan suara berat bergetar, 
"Dabro Dent, (Selamat siang) Ayyas! Maaf saya terlambat!" Seorang lelaki tua
berjas rapi, tinggi besar, berkulit putih, botak dan berkaca mata tebal berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Ayyas langsung mengenali lelaki itu.
Tak lain adalah Profesor Abramov Tomskii. Ayyas langsung bangkit dari duduknya dan menjabat tangan Profesor seraya berkata dengan senyum mengembang,
"Dabro Dentl Aaa. Eta vi, Profesor? Zhmu vashu ruku!" (Selamat siang! Ini Anda ya Profesor? Aku jabat tangan Anda!)
"Wah bahasa Rusiamu sudah cukup lancar ya? Di mana kamu belajar?"
"Dulu belajar pada teman-teman dari Rusia saat kuliah di Madinah. Lalu sedikit pemantapan di Moskovskyj Linguisticeskyj Centr (Pusat Linguistik
Moskwa )di Delhi, India."
"Bagus. Profesor Najmuddin sudah banyak cerita tentang kamu. Jadi kamu sedang nulis tentang Sejarah Islam di Rusia, fokus pada Kehidupan Umat Islam Rusia di Masa Pemerintahan Stalin?"
"Benar Profesor?"
"Sebenarnya kamu tidak perlu bersusah payah mengadakan penelitian kemari. Itu cukup studi perpustakaan saja. Kau juga bisa banyak mengakses data lewat internet. Dan jika ada yang kurang kau bisa mengakses data yang ada di perpustakaan MGU ini dari India. Kenapa harus bersusah-susah, jika dengan yang mudah dan praktis kau bisa mendapatkan data yang akurat
dan bisa dipertanggungjawabkan."
"Jujur saya inginnya seperti itu Profesor Tomskii. Tapi Profesor Najmuddin tidak mau. Dia mensyaratkan saya harus pernah riset langsung ke Rusia. Harus melihat langsung Rusia. Datanya harus dari referensi pertama, tidak kedua apalagi ketiga. Referensi kedua hanya sebagai pendukung
saja."
"Aku tahu sifat pembimbingmu itu. Sejak dulu dia selalu begitu, dia sangat perfeksionis. Jadi tidak ada pilihan bagimu, kau harus benar-benar menuruti kata-katanya. Dan saranku lagi, kalau datamu benar-benar sudah lengkap, dan kau sudah mulai menulis. Setiap bab nanti konsultasikan dengan dia. Jangan sampai kau sudah nulis berpuluh lembar nanti kau diminta mengganti
total. Tapi aku mengakui dia sejarawan yang hebat." Puji Profesor Tomskii pada pembimbing Ayyas.
"Baik Profesor. Terima kasih atas sarannya."
"Baik mana surat pengantarnya?" Tanya Profesor Tomskii.
Ayyas mengambil sesuatu dari tasnya. Ia mengeluarkan stopmap lalu menyerahkannya kepada Profesor Tomskii.
"Selain surat pengantar. Ada juga surat pribadi Profesor Najmuddin untuk Profesor Tomskii." Jelas Ayyas.
Profesor Tomskii membaca surat dan berkas berkas yang ada di stopmap itu dengan seksama. Lalu dengan wajah cerah ia berkata pada Ayyas.
"Ayyas, aku paham semua yang diinginkan pembimbingmu. Jujur, sebenarnya aku ingin membimbingmu menemukan data-data terbaik dan melakukan penelitian sejarah terbaik. Aku sudah menyiapkan waktu untuk itu sebenarnya. Tapi sayang, tadi aku baru mendapatkan tugas dari rektor untuk terbang ke Istanbul. Aku diminta membantu kedutaan Rusia di Turki selama beberapa bulan, belum bisa ditentukan waktunya.
Ada masalah kenegaraan yang harus melibatkan pakar sejarah Asia Barat."
"Jadi saya harus bagaimana Profesor?"
"Tenang. Kau tetap jalankan rencanamu. Aku telah siapkan asistenku untuk membantumu. Dia nanti akan membantumu dua puluh empat jam kalau perlu. Dan selama aku pergi, kau bisa menggunakan ruangan ini untuk bekerja. Asal kau jaga kerapiannya. Bagaimana?"
"Spasiba balshoi, Profesor"
"Aku ingin urusan administrasimu selesai hari ini. Semuanya. Besok kau sudah bisa fokus pada penelitianmu. Sebentar, aku panggil asistenku."
Kata Profesor Tomskii, tangannya meraih gagang telpon di mejanya dan memanggil asistennya untuk datang segera.
"Bagaimana keadaan Indonesia? Masih banyak korupsi?" Tanya Profesor Tomskii.
Ayyas hanya tersenyum kecut.
"Kau harus berpikir untuk memperbaiki negerimu. Ingatkan pengambil kebijakannya untuk tidak menjilat Amerika, dan tidak menjilat Negara manapun. Aku pernah ke Indonesia dan aku melihatnya sebagai negara yang sangat besar di antara benua Asia dan Australia. Kekayaannya luar biasa.
Seharusnya sudah jadi macan Asia. Dari segi modal dan fasilitas yang diberikan Tuhan kepada negerimu, kalau diibaratkan, negerimu itu kelas hotel bintang lima lebih. Tetapi karena bangsamu dan para pemimpinnya tidak bisa mengurusnya, jadinya ya seperti kelas bintang melati yang memprihatinkan. Kau harus kembalikan negerimu ke posisi bintang limanya.
Kau tahu ndak, Ayyas, bahwa Jepang sangat bergantung pada negerimu, Indonesia? Bahkan saking bergantungnya dengan negerimu, sampai-sampai jika negerimu terancam stabilitasnya, atau bahasa kasarnya, kalau sampai Indonesia mau diserang negara lain, prediksiku dari data yang aku kumpulkan, Jepanglah yang pertama kali akan membela Indonesia." 
Kata Profesor Abraham Tomskii menceramahi Ayyas.
"Kenapa bisa begitu Profesor?" "Bodoh kau ini! Kan tadi sudah aku katakan
Jepang sangat bergantung pada Indonesia. Kalau Indonesia chaos, perekonomiannya ambruk, maka orang-orang Jepang tidak akan bisa makan.
Indonesialah yang menghidupkan industry Jepang. Bahan-bahan baku industri Jepang paling besar didatangkan dari Indonesia. Batu bara, biji besi, tembaga, nikel, semua dari Indonesia. Dan hasil industri Jepang paling besar dibuang ke Indonesia. Coba kau hitung berapa ribu kendaraan roda dua setiap harinya yang dibeli orang Indonesia dari Jepang. Belum kulkas, mesin cuci, televisi, telpon, dan peralatan elektronik lainnya. Indonesia adalah tempat Jepang mengeruk uang, juga tempat negara kapitalis lainnya mengambil keuntungan. Dua ratus tiga puluh juta adalah pasar yang sangat besar. Sekali lagi sangat besar. Sudah paham?"
"Sudah Profesor."
"Bagus. Kau pasti senang dibimbing asistenku. Dia bisa diandalkan. Dan yang penting dia masih muda dan cantik. Kau suka wanita cantik?"
Profesor berkepala botak dan berambut putih itu menggoda.
Ayyas hanya tersenyum.
"Dia sangat cerdas dan ramah. Tapi kerasa kepala dan sangat kuat memegang prinsip-prinsip keyakinannya yang sangat konservatif. Dia tidak
suka Vodka, jangan sekali-kali mengajaknya minum Vodka. Kalau kau bisa menaklukkan dia maka kau pemuda yang sungguh beruntung."
Tiba-tiba bel berbunyi.
"Lha itu dia datang!" Lirih Profesor Tomskii pada Ayyas dengan mengedipkan mata kirinya.
"Silakan masuk!" Serunya. Pintu terbuka. Seorang perempuan muda jelita masuk. Ayyas memandang ke arah pintu. Kedua matanya bertemu pandang dengan perempuan muda itu. Hati Ayyas berdesir. Sebuah desiran yang tidak kalah kualitasnya dengan desiran kala kali pertama bertatapan muka dengan Yelena.
Wajah Ayyas memerah. Ayyas kemudian menundukkan muka untuk menutupi perubahan wajahnya yang memerah seraya berdoa dalam hati,
"Duhai Allah, jauhkan hamba-Mu dari kejahatan dan fitnah yang ditimbulkan oleh wajah jelita nonik-nonik muda Rusia." Sementara itu, Profesor Abraham Tomskii tersenyum tipis melihat perubahan wajah Ayyas yang sempat
memerah.
"Dabro Dentf" Kata perempuan itu lembut. Ia berjalan mendekat. 
Pakaian yang membalut tubuhnya begitu serasi dengan pesona wajahnya. 
Ia mengenakan celana jeans ketat putih dan sweeter ketat putih gading. Syalnya juga putih. Mukanya segar bersih. Rambutnya yang lurus dan hitam legam ia biarkan tergerai begitu saja.
"Apa yang bisa saya bantu Profesor?" Tanya perempuan bermuka segar itu.
"Anastasia, kenalkan ini Ayyas dari Indonesia, dia mahasiswa sahabat saya Profesor Najmuddin di Aligarh. Ayyas, ini Doktor Anastasia Palazzo, asistenku, dia pakar sejarah Asia Selatan. Dia nanti yang akan menggantikan aku menjadi pembimbingmu selama kau di sini." Kata Profesor Tomskii mengenalkan keduanya satu sama lain.
"Senang bertemu dengan Anda." Kata Anastasia sambil tersenyum.
"Saya juga senang bertemu dengan Anda. Ini kali kedua saya mendengar nama Anda." Kata Ayyas.
"O ya, kau pernah mendengar namaku sebelumnya? Kapan dan di mana?" Heran Anastasia.
"Saya mendengar nama Anda dari perempuan tua berkerudung kozinka putih beberapa saat yang lalu. Dia bercerita sedang menggandakan soal ujian yang Anda minta." Jawab Ayyas tenang.
"Ah dari Bibi Parlova, saya kira pernah mendengar di mana, Anda bisa saja bercanda." Tukas Anastasia tersenyum, seketika dua pipinya dihiasi lesung pipi yang mampu menarik lelaki manapun untuk berlama-lama menatapnya.
"Puji Tuhan! Baru bertemu kalian sudah langsung akrab. Apa ini tanda-tanda jodoh hehehe." Profesor Tomskii berkelakar.
"Profesor bercanda terus." Sahut Anastasia.
Sementara Ayyas sedikit tersipu malu mendengar ucapan Profesor Tomskii. Sekilas matanya melirik ke arah Anastasia Palazzo.
Pakar sejarah asisten Professor Tomskii itu memang terlihat segar dan jelita. Hati Ayyas berdesir halus. Tapi ia segera menguasai dirinya.
"Sebagai guru besar, beban saya untuk serius lebih besar dari kalian, maka saya harus mengimbanginya dengan sering bercanda dan rileks, biar pikiran terus segar. Saya tidak mau seperti Profesor Betrishchev yang serius terus. Saat santai pun serius, susah tersenyum dan tertawa. Seolah guru besar tidak boleh bercanda. Akibatnya ya kamu tahu sendiri Anastasia. Dia tidak bisa berumur panjang. Baru lima puluh satu tahun sudah meninggal. Aku ini sudah enam puluh empat, jauh lebih tua dari Betrishchev, tapi masih kuat berenang sejauh dua ratus meter." Kata Profesor Tomskii.
"Wah resep Profesor boleh juga." Tukas Ayyas.
"Mm, jadi apa yang bisa saya bantu Profesor?" Tanya Anastasia Palazzo.
"Ini jawabanku yang kedua kalinya. Ayyas ini sedang menulis tesis. Dia harus melakukan penelitian di sini. Seharusnya aku yang harus menjadi pembimbingnya selama dia di sini. Tapi besok aku harus terbang ke Istanbul. Jadi kau aku minta menggantikan aku menjadi pembimbingnya." Jelas Profesor Tomskii.
"Kenapa harus saya Profesor, kenapa tidak guru besar yang lain yang lebih senior?" Tanya Anastasia.
"Kalau yang lain nanti urusannya rumit dan berbelit. Banyak birokrasi. Maka harus kamu Anastasia, kamu siap?"
"Saya siap dan tidak ada masalah kalau begitu. Masalahnya yang dibimbing mau tidak? Semestinya dia dibimbing Profesor Abraham Tomskii, bukan Anastasia." Jawab Anastasia.
Profesor Tomskii langsung menoleh pada Ayyas, 
"Bagaimana Ayyas jika dibimbing dia?"
"Dibimbing siapa pun saya tidak masalah. Yang penting semuanya berjalan dengan baik dan saya bisa segera menyelesaikan tesis saya dengan hasil terbaik."
"Berarti tidak ada masalah. Aku bisa terbang ke Istanbul dengan tenang." Kata Profesor Tomskii dengan senyum mengembang. 
Setelah itu Profesor Tomskii memberi pengarahan kepada Anastasia Palazzo. Profesor Tomskii ingin agar Ayyas benar-benar mendapatkan kemudahan dan
fasilitas yang cukup. Juga agar Ayyas dianggap sebagai fellow reseacher dan mendapat tunjangan beasiswa selama melakukan penelitian.
Anastasia berjanji akan membantu sebaik baiknya. 
Siang itu pertemuan ditutup dengan makan siang di stolovaya atau kantin MGU. 
Ayyas memilih menu terdiri atas kentang, kotlety, yaitu sejenis perkedel yang terbuat dari daging giling tanpa kentang dengan sup Borsh (Semacam sup
ayam, di dalamnya terdapat irisan berwarna merah dan setangkup roh berbentuk bulat yang disebut Lipyoshka) khas Rusia serta secangkir teh hangat. Sedangkan Profesor Tomskii dan Anastasia memilih makan dengan sup ukha (Sup ikan kegemaran orang Rusia), sepiring daging kambing asap, roti hitam, dan secangkir teh hijau panas.
Sebelum berpisah, Anastasia Palazzo berkata kepada Ayyas, "Besok kita ketemu jam sepuluh di ruangan Profesor Tomskii, saya ingin tahu lebih detil apa yang sudah dicapai dalam penelitian Anda."
Dengan agak bergetar Ayyas menjawab,
"Baik, Doktor."
Siang itu Moskwa terasa lebih cerah dari biasanya.
Matahari menampakkan sinarnya meskipun tidak bisa menghilangkan kabut musim dingin yang menyelimuti bumi. Keluar dari kampus MGU Ayyas langsung bergegas mencari tempat untuk sujud dan rukuk. Ia hampir lupa shalat Zuhur. Setelah lebih tiga hari di Moskwa, keringanan untuk menjamak dan mengqashar sudah tidak ada lagi.
Waktu shalat Zuhur hampir habis dan Ayyas belum juga menemukan tempat untuk shalat. Ia tahu, mencari masjid di Moskwa tidak semudah mencari masjid di Jakarta atau di New Delhi India.
Dari data yang ia punya, hanya ada lima masjid di Moskwa, yang kalau ia mengejar untuk shalat di salah satunya, maka waktu shalat Zuhur sudah habis. Akhirnya ia nekat, ia masuk stasiun Universitet dan mencari sudut untuk bisa sujud kepada Allah Azza Wa Jalla.
Ketika ia shalat banyak orang melihatnya dengan terheran-heran. Dan ia tetap tidak bergeming, ia tetap khusyuk dalam shalatnya. Selesai shalat seorang polisi mendekatinya, memeriksa dokumennya dan menanyakan apa yang baru saja dilakukannya. Ayyas menjawab ia baru saja shalat, beribadah kepada Tuhannya.
Polisi itu memberinya peringatakan agar jangan sekali-kali melakukan ritual di tempat umum lagi, sebab tempat ibadah masing-masing agama sudah disediakan di Moskwa. Ayyas hanya menjawab,
"Da, da"
Polisi itu nampak puas mendengar jawaban
Ayyas yang tidak membantah sedikit pun. Ayyas langsung angkat kaki, tujuannya KBRI untuk lapor diri secara resmi, meskipun ia sudah memberitahukan keberadaannya kepada pihak Konsuler KBRI melalui email di hari pertama ia tiba.
Ayyas membuka map metro Moskwa yang ia cetak dari internet. Sesaat kemudian ia sudah tahu bagaimana caranya sampai ke stasiun Tretyakovskaya, stasiun metro yang paling dekat dengan KBRI. Setelah itu ia akan jalan kaki saja ke KBRI yang terletak di Novokuznetskaya Ulitsa nomor 12.
"Mudah, insya Allah" lirihnya dalam hati.
***

6. Jiwa Yang Terusik
Yelena sampai apartemen ketika salju kembali turun. Udara di luar apartemen perlahan-lahan bertambah dingin. Angin berhembus perlahan dari utara ke selatan, dari selatan ke utara. Yelena langsung masuk kamarnya dan mandi dengan air hangat. Ia merasa sangat lelah. Dari jam dua siang sampai jam tujuh petang ia harus melayani tiga klien dengan profesional. Ia kembali merasa dirinya bukan lagi seorang manusia. Setan seakan telah menjamah seluruh tubuhnya, dan kini ia merasa dirinya tak ubahnya adalah setan.
Entah mengapa, dengan mandi, sentuhan air dari ujung rambut sampai ujung kakinya seolah menjadikannya lebih bersih. Seolah bekas-bekas sentuhan setan di sekujur tubuhnya hanyut terbawa air. Ia lebih segar, pikirannya lebih terang dan perasaannya sebagai manusia sedikit tumbuh.
Dari mantan suaminyalah ia mendapat pengetahuan mandi untuk menyucikan tubuh dan batin.
Meskipun ia tidak percaya kepada Tuhan dan kepada jenis agama apa pun, tapi ia percaya bahwa mandi bisa menyegarkan pikiran dan meremajakan otot dan syaraf-syaraf tubuhnya. Dan setelah mandi ia merasa jiwanya sedikit lebih tenang, perasaannya lebih nyaman. Ia telah membuktikannya. Menurutnya kenyataan itu tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran agama seperti yang pernah diutarakan suaminya padanya, tapi itu adalah satu kenyataan ilmiah. Secara ilmiah air yang bersih dan jernih itu menyehatkan. Tubuh manusia sangat memerlukan air. Baik untuk minum atau pun untuk membersihkan kulitnya dari berjenis-jenis kotoran yang halus dan rumit. Tak perlu ajaran Tuhan, ilmu pengetahuan yang menjelaskan semuanya. 
Begitulah
cara berpikir perempuan muda Rusia bernama Yelena ini.
Selesai mandi ia memakai pakaian yang hanya pantas dipakainya di dalam kamarnya saja. Hanya aurat terpentingnya yang benar-benar tertutup.
Ia dan Linor biasa berpakaian seperti itu, apalagi di musim semi dan musim panas. Mereka berdua dan kebanyakan gadis Rusia memakai pakaian yang rapat menutup seluruh tubuh hanya ketika musim dingin tiba, itu pun ketika keluar dari tempat tinggalnya. Ketika di dalam rumah yang seluruh ruangannya hangat oleh pemanas ruangan, sebagian mereka tetap lebih suka membiarkan bagian-bagian tubuhnya terbuka. Di puncak musim dingin seperti malam itu, biasanya Yelena tetap lebih suka memakai swieter tipis dan celana panjang jika ada di dalam apartemen.
Tetapi malam itu ia memilih memakai pakaian yang membiarkan sebagian besar kulitnya terbuka. 
Jika Ayyas pulang, ia ingin ngobrol dengan pemuda dari Indonesia itu, dan ia ingin memamerkan keindahan kulitnya kepada Ayyas lalu mendengar komentarnya, lebih tepatnya ia ingin mendengar pujian darinya.
Yelena duduk lalu rebahan di atas sofa panjang, kedua matanya terpaku pada layar kaca televisi. Sesekali tangan kanannya meraih gelas di atas meja berisi vodka martini. Ia melihat jam dinding, sudah hampir jam sembilan. Entah kenapa tiba-tiba ada rasa khawatir menelusup ke dalam hatinya, 
"Jangan-jangan dia tersesat, tidak bisa pulang. Informasi jalur metro tertulis dalam huruf Cyrilic, bukan latin. Jangan-jangan dia tidak bisa membaca huruf itu dan tersesat di bawah tanah tidak bisa keluar di stasiun Smolenskaya. Kasihan anak itu, dia masih baru di sini." 
Katanya dalam hati. Yelena bangkit ke kamarnya dan mengambil ponselnya. Ia mencoba menelpon Ayyas, tapi tidak bisa tersambung. Rasa khawatirnya semakin kuat.
"Atau jangan-jangan ia bertemu kelompok rasialis yang ekstrim, yang tidak
menyukai bangsa ber-ras non Rusia. Ia bisa celaka kalau ketemu kelompok itu." Gumamnya dalam hati. Yelena kembali duduk di sofa. Tiba-tiba bel berbunyi. 
Yelena terkesiap bahagia. "Ini dia yang datang." Pekiknya lirih penuh harap.
Terdengar suara pintu terbuka. Ada orang masuk.
Dari pintu foyer yang terbuat dari kaca ia bisa melihat siapa yang datang. Ia sedikit kecewa, ternyata bukan Ayyas, tapi Linor.
"Wah di luar dingin banget. Sudah kembali normal musim dinginnya. Sekitar minus lima belas derajat mungkin, sudah tidak hangat lagi seperti tadi pagi." Kata Linor sambil meletakkan tas berisi biolanya. Gadis itu langsung menuju dapur dan menuangkan vodka ke dalam gelas. Ia lalu duduk di samping Yelena.
"Begitu cepat suhu udara naik turun. Tadi pagi tujuh derajat, malam ini sudah lima belas derajat." Sahut Yelena.
"Efek pemanasan global. O ya Yelena si Muslim Brengsek dari Indonesia itu ada di kamarnya?" Tanya Linor.
"Jangan menyebut dia begitu. Kalau terdengar dia tidak enak. Dia mengerti bahasa Rusia. Dan dia tidak brengsek. Dia belum pulang. Tadi dia ke MGU, aku menemaninya." Jawab Yelena.
"Wow, jadi kamu mulai jalan bareng sama orang itu? Mulai tertarik pada manusia purba ya?" Tukas Linor dengan nada merendahkan.
"Kau terlalu mengada-ada Linor. Aku hanya berusaha menolongnya. Kasihan dia masih belum tahu apa-apa tentang Moskwa ini."
"Kalau boleh memberi saran, sebaiknya kau jauhi si Brengsek itu. Kau harus ingat masa lalumu. Orang Islam itu di mana-mana kerjanya membuat onar, sangat berbahaya. Mereka seperti tidak punya otak dan belas kasihan. Bahasa mereka bahasa kanibal. Mereka lebih kejam dari tentara Tartar yang membantai umat manusia beberapa abad yang lalu." Linor berkata serius kepada Yelena sambil sesekali meneguk vodkanya.
Yelena mengambil nafas panjang dan menjawab,
"Tapi dia baik. Aku yakin dia baik." Yelena tidak ingin mendebat Linor. Ia tahu persis sebesar apa ketidaksukaan Linor kepada orang Islam. Dalam beberapa artikelnya di koran, gadis itu sampai membuat kesimpulan orang-orang Islam tidak layak hidup di atas muka bumi. Menurut Linor, adanya orang Islam hanya membuat kehidupan di atas bumi ini tidak nyaman dan tidak aman. Maka Yelena hanya menjawab singkat dan samasekali tidak mendebat Linor.
Meskipun ia tidak percaya pada agama, tapi menurutnya manusia di mana-mana sama. Tidak pandang ras, warna kulit dan agamanya. Di manamana
manusia itu sama, ada yang baik dan ada yang tidak baik.
"Terserah kamu. Yang penting aku sudah mengingatkanmu. Dan aku tidak akan diam begitu saja jika si Brengsek itu macam-macam di sini!" Tukas Linor.
"O ya, bagaimana rencana konsermu?" Yelena mengalihkan pembicaraan.
"Semakin matang."
"Baguslah."
"Baik. Aku masuk kamar dulu. Istirahat."
"Spakoinoi Nochi, (Selamat malam atau selamat tidur) Linor." Sahut Yelena. Linor menjawab dengan senyum mengembang kepada Yelena lalu masuk dan menutup pintu kamarnya.
Mata Yelena kembali menatap layar kaca yang menyiarkan terjadinya badai salju yang ekstrim di daerah Vyatka. Beberapa pohon tumbang dan ada rumah yang rusak parah. Listrik sempat mati selama empat jam. Tetapi pemerintah kota Vyatka terlihat sangat tanggap sehingga listrik mati tidak terlalu lama. Jika listrik mati lama, maka bisa dipastikan sebagian penduduk Vyatka akan
sangat menderita kedinginan, karena alat pemanas ruangannya tidak bisa menyala. Dan tidak semua rumah siap untuk menyalakan tungku pemanas.
Bel berbunyi lagi. Yelena yakin kali ini pasti Ayyas. Tak lama kemudian pintu terbuka. Dan benar, Ayyas. Ayyas nampak menggigil kedinginan.
Pemuda bertubuh agak kurus itu melepas sepatunya lalu masuk ke ruang tamu. Ia kaget bukan main ketika melihat Yelena duduk di
ruang tamu dengan pakaian yang tidak genap menutup aurat. 
Ia langsung menundukkan pandangannya.
Ia merasa bahwa ruangan itu penuh sesak oleh setan bertepuk tangan menyambutnya.
"Hei, baru pulang, sukses urusannya?" Tanya Yelena sambil tersenyum.
Tanpa melihat Yelena dan dengan tetap berjalan menuju kamarnya Ayyas menjawab, "Ya sukses. Spakoinoi Nochi, Yelena!"
Yelena bangkit dan berkata, "Hei tunggu, duduklah sini sebentar. Hangatkan tubuhmu dengan Vodka ini. Temani aku berbincang-bincang sebentar."
"Maaf Yelena, aku sangat letih, aku harus istirahat."
"Duduklah, lima belas menit saja."
"Maaf Yelena, aku tidak bisa. Sebaiknya kau istirahat saja." Kata Ayyas dengan tetap menahan untuk tidak memandang ke arah Yelena. Ia sebenarnya ingin sedikit mengarahkan mukanya ke wajah Yelena untuk menghormati lawan bicaranya.
Tapi ia tidak berani, karena takut imannya goyang. Begitu selesai mengucapkan kata-katanya Ayyas langsung masuk ke kamarnya dan menguncinya dari dalam.
"Dasar brengsek!" Umpat Yelena. Ia sangat kecewa pada Ayyas. Sebenarnya ia hanya ingin ditemani ngobrol, dan berbincang tentang banyak hal. Ya, banyak hal yang lebih manusiawi. Hal-hal yang berbeda dengan rutinitas yang dilaluinya bersama teman-temannya di daerah Tverskaya yang membuat batinnya merintih dan membuat dirinya terasa hampa. Yelena mematikan televise dan masuk kamar dengan membanting pintunya agak keras.
Ayyas mendengar bunyi pintu yang dibanting itu. Ia yakin itu Yelena yang kesal padanya. Ayyas mengabaikannya. Ia tidak mau ditertawakan
oleh setan yang menginginkan manusia selalu berbuat maksiat dan menuruti hawa nafsunya.
Ia pemuda yang sehat dan normal. Ia bisa meraba kekuatan imannya sendiri. Iman yang ada dalam dirinya ia rasa belum kuat menghadapi godaan kecantikan perempuan Rusia yang hidup tanpa aturan agama dan moral seperti Yelena.
Karena itu ia harus menyelamatkan dirinya dengan segera masuk kamar dan mengunci pintunya kuat-kuat.
Ayyas langsung mandi dengan air hangat. Mengambil wudhu, lalu shalat. Setelah shalat Ia membaca Al-Quran satu halaman. Lalu merebahkan dirinya untuk tidur. Ia benar-benar lelah.
Ia melakukan perjalanan satu hari penuh. 
Dari universitas, KBRI, ke masjid Basoi Tatarski yang tidak jauh dari KBRI, setelah itu ke rumah Atase Perdagangan, Pak Akmal Hidayat, SE. MBA. yang ia kenal di KBRI. Sekali kenal langsung akrab, karena Pak Akmal ternyata orang Piyungan Yogyakarta bertetangga dengan Budenya yang asli Piyungan. Sebenarnya sampai di KBRI ia sudah sangat kedinginan, beruntung Pak Akmal meminjaminya mantel palto tebal. Pak Akmal punya tiga palto di kantornya. Ayyas sangat bahagia, Pak Akmal yang sudah satu tahun di Moskwa kelihatannya sangat religius dan siap membantu dirinya selama melakukan penelitian di Moskwa.
Ayyas sudah memejamkan kedua matanya. Ia ingin segera lelap. Tetapi bayangan Yelena dengan segala keindahan tubuhnya, yang baru saja dilihatnya meskipun sekejap, seolah hadir di pelupuk matanya. Bayangan wajah cantik Anastasia Palazzo juga menari-nari di pelupuk matanya. Darah mudanya menghangat. Ayyas berusaha menepis bayangan itu tetapi tidak
mudah. Bayangan itu seperti telah tersimpan dan menempel erat di salah satu sudut hatinya. Seperti virus di komputer yang tidak mudah dihilangkan.
Ayyas merasa ujian keimanan ini terasa lebih berat dari musim dingin yang paling menggigit sekalipun.
Rasa dingin yang menggigil itu bisa hilang begitu saja ketika ia masuk di kamarnya yang hangat oleh pemanas. Tetapi virus moleknya Yelena dan cantiknya Anastasia tidak mudah dihilangkan.
Meskipun ia telah shalat dan membaca Al-Quran, virus itu tidak juga ter-delete sempurna, masih tersisa, hanya bisa dijinakkan. Ayyas membaca istighfar berulang kali. Lebih dari tujuh puluh kali. Dalam istighfar ia teringat pesan Kiai Lukman Hakim, saat ngaji di Pesantren Kajoran Magelang dulu,
"Eling-elingo yo Ngger, endahe wanojo iku sing dadi jalaran batok toponingporo santri lan sat'rio agung!” Lalu kiai Lukman menguraikan hadis tentang ujian terbesar bagi kaum lelaki beriman adalah pesona perempuan.
Ayyas terus berzikir dan beristighfar sampai tertidur. Dalam tidurnya yang pulas, Ayyas bermimpi ada dua ekor ular masuk ke dalam kamarnya dan memburunya. Ia mati-matian menghindari patukan dua ular itu. Ia mencari-cari alat untuk bisa membinasakan kedua ular itu tapi tidak ketemu. Akhirnya dengan kehati-hatiannya ia bisa lolos dari sergapan kedua ular itu. Ia kemudian lari ke jalan, dan di jalan juga ia temukan banyak ular. Ia lari menghindari ular ular itu, hampir ada yang bisa mematuk, tapi ia bisa melompat. Ia kelelahan, ular-ular itu terus memburu. Ia kehabisan nafas dan kakinya sudah tidak mampu ia gerakkan, ular-ular itu semakin dekat. 
Ia kehabisan cara untuk menyelamatkan diri. Ketika ular-ular itu hendak mematuk dirinya ia berteriak keras, "Allaahu akbari" Dan seketika ia terbangun dari tidurnya. Ayyas bangun dengan nafas tersengal-sengal. Mimpi itu seolah-olah nyata. Sekujur tubuhnya dibasahi keringat dingin.
"Mimpi yang tidak menyenangkan," lirih Ayyas.
Seketika ia teringat ajaran Rasulullah Saw.
ketika seseorang bermimpi tidak baik. Ayyas meludah ke kiri tiga kali dan membaca isti'adzah, memohon perlindungan Allah dari gangguan setan yang terkutuk. Ayyas lalu bangkit dari tempat tidurnya dan melihat jam dinding. Pukul setengah tiga dini hari. Ia bangkit mengambil wudhu lalu shalat Tahajud. Setelah berdoa untuk dirinya, kedua orangtuanya, dan untuk kebaikan umat manusia, Ayyas kembali merebahkan tubuhnya.
Ia memasang alarm di ponselnya. Ia harus benar-benar detil mempersiapkan
segala hal yang membuatnya tidak meninggalkan kewajibannya shalat lima waktu. Jika selama kuliah di Madinah dulu azan berkumandang setiap kali masuk waktu shalat, tanpa memasang alarm pun ia bisa terjaga dan sadar untuk shalat.
Tetapi di Moskwa tidak ada azan seperti Madinah, dia sendiri yang harus berjuang bisa mendirikan shalat tepat pada waktunya.
Ia merasa harus semakin merapat kepada Allah. Tak ada yang benar-benar mampumenyelamatkan imannya kecuali Allah. Moskwa bukan Madinah. Jika di Madinah aroma kesucian orang-orang saleh begitu terasa, di Moskwa yang
ia rasakan adalah aroma perempuan cantik Rusia seperti Yelena dan Anastasia Palazzo yang mengusik ketenangan jiwa.
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar