Bumi Cinta
Karya : Habiburrahman El Shirazy
9. Pemeriksaan Polisi
Mobil BMW SUV X5 hitam itu meluncur cepat ke utara meninggalkan pusat kota Moskwa. Setelah melewati Tlmiryazevskaya mobil itu belok kanan. Seorang perempuan muda duduk di kursi sopir, di sebelahnya seorang lelaki dengan muka berdarah terkulai lemah. Bibir lelaki itu pucat menahan dingin yang luar biasa. Mobil terus berjalan kencang menembus dinginnya malam
dan salju yang tipis turun perlahan.
"T..tolong, bawa aku ke rumah sakit Linor. T..t..tolong." Rintih lelaki itu.
Linor diam seribu bahasa. Mukanya sangat dingin menyiratkan kemarahan luar biasa. Ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan pada lelaki yang ada di sampingnya.
Kali ini ia sudah tidak mungkin memaafkannya.
"Linor, bawalah aku ke rumah sakit. Aku bisa mati kedinginan! Aku tidak kuat lagi Linor!"
Lelaki itu ingin bergerak tapi seluruh tubuhnya seperti lumpuh. Tulang-tulangnya seperti telah membeku. Jika ia punya kekuatan ia ingin menghajar Linor yang sudah tidak menganggapnya sama sekali.
Di sebuah tempat yang gelap dan sepi Linor mengganti plat mobilnya dengan sangat cepat. Ia lalu kembali masuk ke mobilnya dan menjalankan mobilnya kembali ke Timiryazevskaya.
Salju terus turun perlahan. Linor membawa mobilnya terus ke utara hingga melewati hutan bereozka.
"Aaakh!" Lelaki itu mengerang pelan lalu diam. Kedua matanya melotot ke depan. Linor sama sekali tidak memerhatikannya.
Yang ada dalam benaknya adalah membawa lelaki yang kini sangat dibencinya itu ke suatu tempat untuk dihabisinya.
Ia tidak bisa melupakan rasa sakitnya saat nyaris mati dicekik oleh lelaki itu.
Mobil terus melaju. Setengah jam kemudian belok kiri memasuki jalan agak sempit yang bersalju tebal. Linor bekerja keras agar bisa melewati salju itu dengan baik. Mobil terus maju perlahan-lahan. Setengah jam kemudian Nampak bangunan gudang tua yang hitam. Atapnya tertimbun salju belasan sentimeter. Tempat itu benar-benar sunyi dan gelap. Tak ada suara yang terdengar selain mesin mobil dan desau angin malam. Linor menghentikan mobilnya di jalan depan halaman gudang itu. Ia turun dari mobilnya.
Lalu berjalan ke arah pintu depan satu. Ia membuka pintu itu dan menghardik lelaki itu,
"Hai Sergei ini saatnya kau ketemu iblis di neraka!"
Sergei diam saja. Tidak bergerak sama sekali.
"Hai mana kepongahanmu Sergei? Bicara Sergei!"
Tetap diam. Linor agak curiga. Ia periksa tubuh Sergei. Dingin dan kaku. Ia periksa nadinya, tak ada denyutnya sama sekali. Sergei yang akan dibunuhnya itu telah mati beberapa saat yang lalu. Linor agak kecewa, karena Sergei tidak mati di tangannya. Ia ingin merasakan kepuasan menghabisi orang yang ingin membunuhnya.
Orang yang sebelumnya ia cintai dan ia ajak berzina, tapi sedetik kemudian sangat ia benci setengah mati.
Linor tahu apa yang harus dilakukannya. Ia menurunkan mayat Sergei dan membiarkannya berdebam begitu saja di atas salju. Ia lalu lari ke dalam gudang. Ia mendapat beberapa pakaian bekas, kain serbet dan ember. Linor menyeret mayat Sergei, lalu melucuti semua pakaiannya. Setelah itu ia menyiram mayat Sergei dengan air, di bagian tertentu ia menggosoknya dengan kain lap. Setelah Linor yakin mayat itu aman ditinggal, tidak ada DNA dirinya yang nempel pada mayat itu, Linor memakaikan pakaian bekas pada
mayat itu. Kemudian menyeret mayat itu ke jalan beberapa puluh meter di belakang mobil. Linor meninggalkan mayat itu tergeletak begitu saja.
Linor kembali ke halaman gudang. Seluruh pakaian Sergei yang dilucutinya ia bungkus dalam sebuah kain bekas dan ia masukkan ke jok belakang mobilnya. Setelah mengembalikan ember dan beberapa kain ke tempatnya Linor menjalankan mobilnya terus ke depan. Salju turun perlahan. Lima belas menit kemudian mobil mewah itu sudah kembali menapak di jalan raya yang lebar. Jalan sudah tidak padat lagi. Linor memacu mobilnya agak kencang.
Ia tetap memasang kewaspadaan tinggi, memastikan bahwa tidak ada yang mengetahui peristiwa itu.
Linor kembali memasuki pinggir kota Moskwa, menuju kawasan Skakovaya. Ia membawa mobilnya melewati gang sempit. Salju yang menumpuk terlalu tinggi. Ia berhenti. Dengan cepat ia kembali mengganti plat nomor mobilnya.
Setelah itu ia mengambil bungkusan kain dari jok belakang. Ia tinggalkan mobilnya begitu saja. Dan dengan sedikit tergesa-gesa ia melangkah
memasuki bangunan tua yang tidak dihuni siapa-siapa.
Dengan sedikit sinar dari ponselnya yang menyala ia menemukan sebuah kotak tua di pojok ruangan. Ada senter kecil, bensin dan korek
api. Ia memeriksa bungkusan itu. Yang pertama ia ambil adalah ponsel milik
Sergei. Dari ponsel itu ia mengirim sms kepada sebuah nama, tepatnya seorang bernama Yvonna Melnikova, mengajak untuk bertemu di sebuah
cafe malam di Arbatskaya. Lalu ia mengirim sms kepada saudara tua Yvonna yang bernama Boris Melnikov, isinya minta izin berkencan dengan
adiknya di Arbatskaya. Baru setelah itu, dengan ponsel yang sama ia menelpon sebuah café malam di Arbatskaya. Ia membesarkan suara
menjadi suara lelaki dewasa. Dalam telpon ia memesan tempat untuk dua orang, namanya Sergei Gadotov dan Yvonna Melnikova.
Setelah itu Linor membakar seluruh barang milik Sergei, sampai benar-benar jadi abu, kecuali ponselnya. Sebab ia masih ingin bermain dengan ponsel Sergei Godotov itu. Setelah yakin tidak ada yang tersisa, ia kembali ke mobil dan mengendarainya dengan cepat kembali ke apartemennya.
Salju terus turun pelan-pelan. Ia tersenyum dan bahagia sekali melihat salju turun. Ia berharap bahwa salju itu akan terus turun sampai jam delapan pagi. Dengan begitu mayat Sergei akan sepenuhnya tertutup salju secara alami, dan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh roda mobilnya juga terhapus dengan sendirinya.
Sampai di apartemen ia kaget ruang tamu telah rapi. Kamar Ayyas dan Yelena gelap, berarti sudah tidur. Ia teliti dengan seksama ruang tamu itu. Bekas yang tersisa adalah noda darah yang terlihat jelas di karpet dan sofa. Linor menggeser sofa dan mengangkat karpet dengan agak susah.
Ia gulung karpet itu dan membawa ke kamarnya. Ia mengeluarkan karpet baru dari bawah kolong tempat tidurnya dan memasukkan karpet bernoda
darah itu ke sana. Karpet baru itu memiliki warna yang sama persis dengan karpet lama. Mereknya juga sama. Linor lalu memasang kapet baru itu di
ruang tamu. Ia yakin, bahkan Yelena sekalipun jika tidak teliti tak akan mengira kalau karpetnya telah diganti.
Setelah itu Linor membersihkan bercak darah yang ada di sofa dengan keterampilan khusus yang dimilikinya. Noda itu pun nyaris hilang,
meskipun tidak seratus persen. Linor kembali memeriksa kamar tamu dan dapur dengan seksama. Setelah yakin tidak ada yang mengganjal di dalam hatinya, ia masuk kamar lalu memejamkan kedua matanya. Ia yakin pagi-pagi
sekali akan ada polisi yang datang memeriksa.
Sebab ia yakin ada yang melaporkan kegaduhan yang baru terjadi, atau mungkin ada yang melihatnya membawa Sergei Gadotov yang berdarah keluar dari apartemen.
***
Ayyas terbangun setelah alarm dari ponselnya melengking-lengking hampir satu menit. Ia mendengar percakapan dua orang di ruang tamu. Suara Yelena dan Linor. Tidak biasanya mereka bangun sepagi ini. Ayyas menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu bangkit untuk mengambil wudhu dan shalat Subuh. Setelah itu berzikir dan membaca Al-Quran. Dua puluh menit kemudian Ayyas keluar dari kamarnya.
"Kak Dela (Apa kabar) Ayyas?" Sapa Yelena begitu melihat Ayyas menyembulkan kepalanya dari pintu kamarnya.
"Ya Vso Kharasyo (Saya baik-baik saja)." Jawab Ayyas.
"Mungkin sebentar lagi polisi akan datang." Kata Linor dengan wajah dingin.
"Jadi kau melaporkan aku ke polisi?" Sahut Ayyas.
"Tidak. Buat apa?" Tukas Linor.
"Ya kau mungkin tidak terima pacarmu itu aku lumpuhkan."
"Justru aku ingin dia mati saja. Kau lihat kan tadi malam dia aku lempar pakai botol sampai berdarah."
"Terus kenapa polisi datang kemari?"
"Ya mungkin ada tetangga yang melaporkan adanya kegaduhan tadi malam. Atau ada yang melihat aku membawa Sergei yang berdarah-darah."
"Kalau ada yang melaporkan adanya kegaduhan, pasti polisi datangnya langsung tadi malam kan?"
"Seharusnya begitu. Tapi tadi malam salju turun, bisa jadi polisi malas. Dan baru pagi ini mereka datang kemari."
"Terus kalau polisi datang kita harus bagaimana? Atau kalian ingin aku dipenjara?" Kata Ayyas blak-blakan.
"Tidak. Jika polisi datang biar kami yang menghadapi. Kami yang orang Rusia. Kamu sebaiknya diam saja di kamarmu. Kalau polisi masuk
juga ke kamarmu dan bertanya ini itu, pura-pura tidak bisa bahasa Rusia saja." Kali ini Yelena yang menjawab.
Dugaan Linor benar. Belum sempat mereka menambah pembicaraan, pintu diketuk berkali-kali.
Linor beranjak ke pintu dan mengintip dari lubang pintu. Ia lalu berkata dengan tanpa suara mengisyaratkan yang datang adalah polisi.
Yelena minta Ayyas masuk ke kamarnya. Ayyas menurut tanpa membantah sedikit pun, jantungnya berdegup kencang. Ia duduk dengan pasrah.
Yang ia khawatirkan adalah jiwa dua perempuan itu sepakat untuk memfitnah dan mengirimnya ke penjara. Ia sudah mulai tahu bahwa Linor sangat tidak menyukai dirinya, hanya karena dirinya seorang Muslim. Jadi, meskipun ia telah menyelamatkan nyawa Linor, tidak ada jaminan bahwa Linor telah berubah pandangan terhadapnya.
Linor membuka pintu. Dua polisi masuk dan menjelaskan maksud kedatangannya.
"Ada yang melapor kepada kami, tadi malam di sini telah terjadi kekacauan, dan ada yang terluka. Apa benar?" Tanya seorang polisi berwajah lonjong.
"Iya benar. Tapi sebenarnya cuma kekacauan kecil biasa." Jawab Linor.
"Kekacauan kecil bagaimana? Katanya ada yang berdarah-darah, ada suara minta tolong segala." Cecar polisi satunya yang lebih berumur bernama Kirsanov.
"Ah Tuan ini seperti tidak pernah muda saja. Yang bertengkar itu saya tadi malam. Saya dengan pacar saya. Biasa Tuan, karena cemburu. Saya melemparinya botol-botol vodka dan wiski. Salah satunya mengenai pelipisnya. Dia berdarah. Hanya luka kecil. Tapi kami sudah baik
lagi."
"Di mana pacar Anda itu sekarang? Namanya siapa?"
"Sekarang istirahat di rumahnya Tuan. Namanya Potseluyev. Dia tinggal di sebuah apartemen kecil di kawasan Semenovskaya. Tuan bisa mengeceknya ke sana." Jawab Linor dengan sangat yakin.
"Berarti Anda dan pacar Anda harus dibawa ke kantor polisi. Karena kalian mengganggu ketenangan." Tegas polisi Kirsanov.
"Ini kan cuma persoalan kecil anak muda Pak. Kenapa harus diperbesar, seperti Bapak tidak pernah muda atau tidak punya anak remaja saja." Bantah Linor.
"Dia benar, Pak Kirsanov. Tidak usah diperpanjang. Yang melaporkan kakek tua yang egois itu. Hampir setiap minggu dia lapor. Ada-ada saja yang dia laporkan ke polisi." Polisi berwajah lonjong memperkuat bantahan Linor.
Polisi bernama Kirsanov diam sesaat, matanya melihat ke seluruh ruang tamu. Ia mencari-cari kalau ada yang mencurigakan.
Setelah merasa tidak menemukan apa-apa, ia berkata,
"Baiklah. Kali ini kami maafkan. Lain kali kalau rebut dengan pacar jangan sampai mengganggu orang lain ya."
"Baik Tuan. Oh ya jadi memerlukan alamat pacar saya?" Kata Linor.
"Ah sudah tidak perlu." Jawab Kirsanov. Kedua polisi itu lalu pergi meninggalkan apartemen.
Yelena bernafas lega. Ayyas juga menarik nafas lega. Ia telah mendengar pembicaraan dua polisi itu dari kamarnya. Ia bisa melewati hari-hari di
Rusia dengan tenang.
Ayyas keluar dari kamarnya. Ia pura-pura bertanya,
"Bagaimana, mereka sudah pergi?"
"Tak ada masalah apa-apa. Mereka sudah pergi." Terang Yelena.
"Alhamdulillah." Jawab Ayyas.
***
10. Sakit
Tidak seperti biasanya yang agak acuh tak acuh dengan dandanannya, kali ini Anastasia Palazzo mematut-matutkan dirinya di depan cermin hampir setengah jam. Ia memoles wajahnya seanggun mungkin. Sebelumnya lima kali ia ganti setelan pakaian atas dan bawah yang pas.
Akhirnya ia memilih sweeter ketat berwarna pink yang ia beli di Amsterdam tiga bulan yang lalu, dan celana jeans merah hati yang ia beli di Berlin.
Setelah merasa yakin bahwa keanggunannya benar-benar sekelas atau sedikit di atas para tsarina, barulah ia memakai palto berkerah panjang, penutup kepala, syal, kaos tangan dan sepatu musim dinginnya. Setelah itu ia beranjak keluar meninggalkan kwartina-nya. yang terletak di sebuah gedung bertingkat tak jauh dari galeri Tretyakov yang terkenal.
Ia hampir lupa membawa sebuah buku penting tentang teori sejarah total. Ia ingin menghadiahkan buku itu kepada Ayyas. Anastasia masuk ke dalam mobil Toyota Pradonya yang berwarna putih. Sejak bisa membeli mobil ia
selalu mengendarai sendiri mobilnya. Pagi itu ia lebih bersemangat pergi ke universitas dari hari-hari sebelumnya. Ia ingin segera sampai kampus, lalu masuk ke ruang Profesor Tomskii kemudian bertemu Ayyas dan memberikan sedikit materi sejarah total kepada Ayyas. Setelah itu ia akan minta kepada Ayyas untuk pergi ke perpustakaan, sementara dirinya memberi mata kuliah
kepada mahasiswa S1. Saat makan siang ia akan memanggil Ayyas menemaninya makan sambil berdiskusi tentang tema-tema Asia Tenggara
kontemporer.
Anastasia sampai kampus lima belas menit lebih awal dari biasanya. Bibi Parlova yang seperti biasa berkerudung kozinka putih dengan cekatan menyediakan teh. Perempuan tua itu seperti tidak pernah mengganti pakaiannya. Setiap hari selalu sama.
Anastasia membaca ulang buku penting tentang teori sejarah total yang ada di tangannya. Ia larut dalam bacaannya. Tak terasa sudah satu jam lebih ia berada di ruangan Profesor Tomskii, tapi Ayyas belum juga datang. Ia melihat
jam dinding, seperempat jam lagi ia harus member mata kuliah kepada mahasiswa SI. Ia agak kecewa. Seharusnya Ayyas sudah datang empat
puluh menit yang lalu. Kenapa ia terlambat sekali, bahkan belum juga datang. Rasa kecewa itu perlahan berubah jadi amarah. Tapi ia berpikir kenapa mesti harus ada amarah yang terbit dalam dirinya? Ia merasa ada sesuatu yang aneh yang ia rasakan dalam dirinya. Keanehan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia berusaha menepisnya, tapi tak bisa. Ia juga berusaha
meredakan amarahnya, tapi gagal begitu saja.
Ayyas benar-benar tidak datang sampai Anastasia Palazzo masuk kelas.
Kali ini Anastasia mengajar tidak dengan konsentrasi penuh. Amarahnya kepada Ayyas yang ia sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba saja hadir, membuat sebagian kecerdasannya hilang. Doktor muda itu hanya bertahan dua puluh menit di kelas, selebihnya ia memberi tugas kepada mahasiswa untuk pergi ke perpustakaan dan membaca buku sejarah pendirian kota Moskwa kemudian
membuat ringkasannya.
Anastasia masih berharap Ayyas akan datang. Ia kembali ke ruang Profesor Tomskii. Ternyata tidak juga datang. Sampai waktu makan siang
tiba, Ayyas tidak juga menampakkan batang hidungnya. Anastasia benar-benar marah bercampur malu pada dirinya sendiri. Ketika ia berdandan
dan tampil seanggun mungkin, orang yang paling ia ingini untuk melihat penampilannya malah tidak datang.
Kenapa ia ingin Ayyas melihat penampilannya? Ini yang membuat dirinya malu. Ia tidak tahu sebabnya. Apakah ia jatuh cinta pada pemuda Indonesia itu? Ia tidak berani mengatakan iya. Harga dirinya mencegahnya untuk
mengakui itu. Kalau ia tidak tertarik pada pemuda itu kenapa ia ingin pemuda itu melihat penampilannya? Belum pernah ia menginginkan orang lain melihat penampilannya sebelumnya seperti yang ia inginkan pada Ayyas.
Kalau ia tertarik pada Ayyas, apa menariknya pemuda kurus itu?
Apakah ia tampan? Tidak. Para pemuda Rusia menurutnya lebih tampan dan lebih gagah.
Pemuda itu masih kalah gagah. Apakah ia cerdas? Mungkin. Tapi ada doktor Rusia yang tampan dan masih muda yang menurutnya lebih cerdas dari Ayyas. Doktor muda itu pernah mendekatinya melalui Profesor Tomskii, tapi ia samasekali tidak tertarik padanya. Ia bahkan muak mendengar suara yang keluar dari mulutnya.
Apakah karena Ayyas kaya? Jelas tidak. Ia tahu pemuda itu pasti tidak kaya, lazimnya para mahasiswa Indonesia yang hidup pas-pasan. Ia yakin Ayyas tidak jauh keadaannya dari mereka.
Terus kenapa ia tertarik pada Ayyas? Ia sendiri tidak bisa menjawabnya.
Anastasia mondar-mandir di ruang Profesor Tomskii. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mau membaca tidak lagi bisa konsentrasi. Mau makan sudah tidak berselera. Mau merampungkan tulisannya sudah tidak mood sedikit pun. Mau pulang ke apartemen belum saatnya pulang. Ia benar-benar bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Nyaris seluruh kecerdasannya
yang selama ini ia bangga-banggakan, menguap bagai asap yang ditiup udara ke angkasa raya.
Dalam geramnya diam ia memendam kebingungan dan kegalauan, kegalauan dan kebingungan.
"Ini semua gara-gara dia tidak datang. Kenapa aku bisa seperti orang dungu begini?" Kata Anastasia pada dirinya sendiri. Lalu tiba-tiba amarahnya yang belum sepenuhnya sirna kembali datang,
"Pemuda itu sama sekali tidak menghormati aku sebagai pembimbingnya. Kalau dia tidak datang seharusnya izin atau mengirim pemberitahuan, tidak seenak perutnya seperti ini. Dasar orang tidak tahu disiplin!" Umpatnya pada Ayyas lirih penuh kejengkelan yang hanya ia sendiri yang mendengarnya.
Doktor Anastasia lalu duduk dan iseng membuka ponselnya. Ada dua sms masuk. Ia buka. Yang pertama dari Profesor Lyudmila Nozdryova memintanya untuk menjadi pembicara seminar di fakultas kedokteran tentang ketuhanan, sekaligus minta supaya dicarikan satu pembicara lagi.
Yang kedua dari Ayyas. Hatinya langsung berdesir. Desiran sempurna, yang hanya dia sendiri yang bisa merasakannya. Ternyata pemuda itu telah mengirim sms sejak pukul delapan pagi, yaitu ketika ia sedang asyik berdandan di depan cermin. Ia jadi malu pada dirinya sendiri. Ia tidak tahu kalau pemuda itu telah mengirim sms. Dengan hati girang penuh penasaran,
Anastasia Palazzo membaca isi sms Ayyas,
"Yang saya hormati doktor anastasia palazzo. Sebenarnya saya ingin sekali datang ke kampus untuk menimba ilmu dari doktor.
Tetapi mohon maaf tadi malam saya mengalami kecelakaan di apartemen, pundak kiri saya sakit, saya tidak tahu apakah ada patah tulang atau cuma engselnya yang lepas tidak pada tempatnya. Yang jelas hari ini saya ingin mengobatkan pundak kiri saya itu. Maka saya mohon izin untuk tidak datang hari ini. Hormat saya, Ayyas."
Bahasanya begitu santun, rendah hati dan sangat menghormati dirinya. Itu yang mungkin membuat hatinya tertarik. Ah, bukan tertarik, tapi jatuh cinta rasanya. Namun benarkah dirinya bisa jatuh cinta? Anastasia seolah tidak percaya dengan apa yang saat ini sedang dirasakannya.
Tiba-tiba Anastasia merasa sangat menyesal kenapa ia sudah terburu-buru marah pada pemuda itu. Yang salah adalah dirinya kenapa tidak membuka ponsel sejak dari tadi. Tiba-tiba pula rasa kasihan itu menjelma menjadi iba. Dan dari iba kemudian berubah menjadi khawatir. Ya, ia menjadi khawatir dengan keadaan Ayyas. Ia semakin merasa aneh dengan dirinya sendiri.
Pemuda Indonesia itu benar-benar telah memenuhi lebih dari separo hatinya.
Kini ia sudah tahu kenapa Ayyas tidak datang. Ia berharap sakit di pundak kiri Ayyas tidak parah. Maka dengan hati bergetar ia menulis kalimat singkat di ponselnya sebagai balasan,
"Saya ikut prihatin atas kecelakaan itu. Semoga cepat sembuh. Anastasia."
Sebenarnya setelah kalimat "semoga cepat sembuh", Anastasia menulis kalimat "aku menunggumu di kampus", tapi ia hapus kalimat itu sebelum mengirim sms itu pada Ayyas.
Anastasia malu untuk mengatakan "aku menunggumu di kampus" pada Ayyas. Ia tidak ingin merendahkan dirinya dengan mengatakan kalimat itu. Meskipun ia benar-benar menunggu kedatangan Ayyas di kampus.
***
Sementara itu, pada saat yang sama Ayyas ada di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskwa yang terletak di Novokuznetskaya Ulitsa nomor 12. Tepatnya Ayyas sedang berada di kantor Sekolah Indonesia Moskwa yang memang menyatu satu komplek dengan KBRI. Sekolah Indonesia Moskwa yang biasa disingkat SIM itu berada di salah satu sudut KBRI. Gedung itu
agak kecil berbentuk L bersebelahan dengan Wisma Duta. Sekolah itu sudah ada sejak tahun 1963, bisa disebut sebagai sekolah Indonesia di luar negeri yang pertama ada.
Pundak kiri Ayyas sedang diurut oleh seorang guru Sekolah Indonesia bernama Pak Joko Santoso. Awalnya Ayyas menceritakan pundak kirinya yang sakit kepada Pak Akmal Hidayat, Atase Perdagangan.
Ayyas menanyakan apakah di KBRI ada orang yang bisa silat atau ilmu bela
diri lainnya. Pak Akmal menjawab, ada. Ayyas diminta datang langsung ke KBRI.
Sampai di KBRI Ayyas dikenalkan dengan Pak Joko Santoso, guru ilmu biologi yang merangkap guru olahraga, guru kesenian, dan guru bahasa Indonesia. Pak Joko Santoso menguasai karate sampai ban hitam, juga menguasai ilmu
memijat dan mengurut dengan baik. Dengan hanya meraba pundak Ayyas sedikit menekan, Pak Joko langsung mengerti ada engsel tulang yang tidak pada tempatnya. Meskipun Ayyas bercerita bahwa pundaknya sakit karena
kecelakaan kecil di apartemen, tapi Pak Joko tidak sepenuhnya percaya.
"Ini bukan sekadar jatuh, ini karena kena benturan benda keras, atau malah pukulan benda keras."
Kata Pak Joko sambil mulai mengurut.
"Pak Joko benar. Ini kena pukulan orang Rusia. Tadi malam saya berkelahi dengan orang Rusia. Terakhir orang Rusia itu gantian saya hantam dengan keras." Jawab Ayyas.
" Kamu harus melaporkan kejadian itu ke KBRI."
"Tidak usah, Pak. Itu cuma keributan kecil. Semua sudah selesai dengan baik."
"Jika dia ternyata anggota mafia maka tidak ada istilah keributan kecil. Semua jadi besar."
"Kelihatannya dia bukan anggota mafia. Kalau dia anggota mafia pasti setelah pergi dia akan datang lagi membawa teman-temannya untuk menggeruduk saya."
"Ya sudah. Tapi saya sarankan Mas Ayyas tidak usah cari perkara dengan orang Rusia lagi ya."
"Iya Pak, baik."
Kedua tangan Pak Joko mengurut pundak kiri Ayyas, tiba-tiba tangan kanan Pak Joko seperti mencengkeram pundak itu, sementara tangan kirinya memukul punggung bawah pundak kiri, agak keras sampai terdengar bunyi krak! Ayyas mendesis kesakitan.
"Insya Allah tulang yang lepas dari engselnya sudah kembali seperti sedia kala. Hanya beberapa otot perlu sedikit saya sentuh lagi." Gumam Pak Joko sambil masih mengurut bagian-bagian tertentu di pundak kiri Ayyas. Tujuh menit kemudian pemijitan itu selesai. Pak Joko mempersilakan Ayyas minum teh yang masih mengepulkan asap.
"Pak Joko membawa keluarga ke sini?" Tanya Ayyas.
"Iya. Saya membawa istri saya."
"Anak tidak dibawa?"
"Anak saya cuma dua. Yang satu sedang kuliah semester dua di Bandung, yang satu masih di pesantren."
"Kenapa anaknya tidak dikuliahkan di sini saja Pak?"
"Saya inginnya begitu. Tapi anak itu tidak mau. Dia lebih milih kuliah di Bandung. Kebetulan neneknya ada di Bandung. Jadi dia tinggal di rumah neneknya."
"Jadi Pak Joko asli Bandung?"
"Tidak. Yang asli Bandung istri saya. Saya sendiri asli Surabaya. Kalau Mas Ayyas?"
"Saya asli Klaten Pak."
"Dekat pusat pengecoran logam dan baja itu?"
"Iya tidak terlalu jauh."
"Adik saya kerja di PT. Sari Logam, Batur, Klaten."
"Itu tidak jauh dari rumah saya Pak Joko. Saya asli Pedan. Pedan dan Batur itu bertetangga."
"Berarti kenal sama Kiai Yunan?"
"Yang mengasuh Pesantren Raudhatush Shalihin?"
"Benar."
"Kenal baik Pak. Dia masih sepupu sama saya."
"O masya Allah, dunia ini memang benar-benar sempit. Istri Kiai Yunan itu keponakan saya. Jadi kita ini sedulur ya, meskipun jauh."
"Tidak jauh Pak, dekat. Persaudaraan yang diikat oleh laa ilaaha illallah itu kuat dan dekat."
"Benar kau Mas. Aku bahagia sekali ketemu Sampeyan."
"Saya juga Pak Joko. Saya berterima kasih sekali, Pak Joko sudah membetulkan pundak saya."
Dua orang Indonesia itu langsung benar-benar akrab. Pak Joko kemudian bertanya banyak hal kepada Ayyas, kenapa ada di Moskwa, tinggal di mana dan lain sebagainya. Ayyas menjelaskan dengan panjang lebar kenapa ia sampai di Moskwa. Ayyas juga menceritakan tempat di mana ia tinggal, dan tantangan keimanan yang dihadapinya.
Ayyas juga minta kepada Pak Joko untuk mencarikan kalau ada tempat tinggal yang terjangkau untuknya.
"Mungkin lebih baik saya berkorban materi. Menyewa tempat lain yang lebih aman, daripada iman dan Islam saya berantakan karena tidak kuat menghadapai ujian perempuan." Kata Ayyas tegas.
Pak Joko mengangguk membenarkan,
"Saya akan mencoba membantu. Sebenarnya satu bulan lagi istri saya mau pulang ke Indonesia. Dia akan lama di Indonesia. Lha saat itu kau bisa menginap di rumah saya. Begini saja, kau coba saja bertahan di situ satu bulan, nanti baru pindah ke rumah saya."
"Wah kalau satu bulan terlalu lama Pak. Kalau bisa secepatnya."
"Lha secepatnya itu tidak mudah. Tapi saya akan mencoba membantu mencarikan penginapan yang lebih aman untuk satu bulan. Kau juga coba mencari. Mungkin coba tanya sama dosenmu di MGU, siapa tahu bisa menyewa kamar di asrama mahasiswa. Coba saja. Kalau tidak dapat juga ya bersabarlah!"
"Baik Pak."
Pak Joko Santoso lalu mengajak Ayyas keluar makan siang. Pak Joko mengajak Ayyas melangkah ke arah utara KBRI. Siang itu terasa agak lebih hangat. Suhu minus sepuluh derajat.
Langit nampak lebih cerah. Salju tetap terlihat menumpuk di kanan kiri jalan. Mereka berdua berjalan menyusuri Novokusnetskaya Ulitsa. Tak lama kemudian belok kiri menyusuri Klimentovski Pereulok. Dengan jalan kaki Ayyas merasa tubuhnya lebih hangat. Mereka melewati sepasang muda-mudi yang berciuman di pinggir jalan.
"Jangan kaget, seperti itulah cara hidup sebagian besar anak muda di sini. Mereka hidup bebas. Semuanya hidup bebas, kecuali yang Muslim dan sedikit ortodoks yang menjaga kesucian hidupnya." Komentar Pak Joko sambil terus
berjalan.
"Itulah Pak ujiannya. Kalau di sini memiliki istri tidak masalah. Kalau masih bujang seperti saya bisa celaka!"
"Kalau tidak kuat, cobalah berpuasa. Dengan berpuasa jiwamu akan lebih tenang, dan nafsumu akan lebih jinak dan terkendali."
"Iya Pak Joko benar. Saya akan mencoba Pak."
"Tapi kau harus juga melihat kondisi. Kalau musim dinginnya sangat ekstrim, di atas 18 derajat celcius kau harus memperhitungkan kesehatanmu. Suhu dingin yang ekstrim bisa membuat tubuh kita mengalami dehidrasi fatal."
"Iya Pak Joko."
Mereka sampai di Pyatnitskaya Ulitsa. Mereka menyusuri jalan besar itu terus ke utara. Sampailah mereka di tepi Kanal Moskwa. Ayyas melihat pemandangan yang indah. Gedung-gedung tua yang tertata rapi. Sungai yang membelah kota.
Dan salju yang terlihat di mana-mana. Ia seperti masuk di alam mimpi.
"Kalau kita ke utara terus, tidak begitu jauh, kita akan sampai Red Square atau Lapangan Merah. Kau sudah melihat Lapangan Merah?"
"Belum Pak."
"Masih banyak waktu. Kau harus melihatnya. Bahkan kau harus melihatnya di empat waktu. Di pagi hari, siang hari, sore hari dan malam hari.
Biar mantap. Orang sini mengatakan siapa yang ke Moskwa belum sampai di Lapangan Merah berarti belum sampai Moskwa."
Ayyas hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Pak Joko mengajak Ayyas memasuki restoran Lyudi yang letaknya menghadap Kanal.
Banyak orang sedang makan di situ, tapi tidak penuh. Mereka berdua mengambil tempat di pojok ruangan, dekat jendela. Dari jendela Ayyas bisa melihat kanal dan gedung-gedung tua.
"Halal tidak Pak?" Tanya Ayyas ragu.
"Ada yang halal, dan ada yang haram. Tapi aku pilih menu yang jelas halalnya. Jangan khawatir Mas Ayyas. Salah satu koki di sini orang Kirghiztan. Dia Muslim. Aku sering ketemu dia di masjid Balsoi Tatarski dekat KBRI. Aku
tadi pesan sama dia. Dia sudah tahu." Terang Pak
Joko menepis segala keraguan Ayyas.
Pelayan restoran datang membawa dua cangkir teh panas dan dua gelas sari jeruk. Lalu pelayan kedua datang menghidangkan menu pembuka berupa salad khas Rusia berisi pelbagai sayuran dan buah-buahan yang dicampur minyak zaitun dan keju cair. Ayyas mencicipi salad itu. Rasanya agak aneh. Tapi ia tetap melahapnya pelan-pelan.
Hidangan berikutnya adalah hidangan inti, tersaji di meja, yaitu sup bors merah tanpa daging, roti baton khas Rusia, nasi plof dengan lauk jamur. Ayyas melahap semua hidangan itu tanpa sisa. Pak Joko senang sekali melihatnya. Hidangan makan siang itu ditutup dengan buah apel dan pir.
Tak terasa, hampir satu jam lamanya mereka berada di restoran itu. Ayyas melihat jam tangannya. Sudah saatnya shalat Zuhur. Mereka bangkit meninggalkan restoran.
Pak Joko membayar di kasir. Sang kasir mengucapkan terima kasih dengan senyum dingin khas Rusia.
Tepat selangkah di luar pintu Ayyas melihat orang yang tidak asing baginya. Seorang perempuan muda Rusia yang sedang digandeng lelaki hitam besar berjalan mendekati restoran. Perempuan muda itu nampak asyik bercengkerama dengan lelaki hitam besar itu, sehingga tidak tahu kalau Ayyas berdiri hanya lima meter di depannya.
"Dabro Dent (Selamat siang) Yelena!" Sapa Ayyas keras. Perempuan muda itu nampak kaget dan gugup melihat Ayyas menyapanya. Ia segera menguasai dirinya dan menjawab, "Oh Ayyas, dabro dentl Sedang apa di sini?"
"Ya makan siang-lah. Kau bersama siapa ini? Seorang wisatawan ya?" Tanya Ayyas santai.
"Iya, dia wisatawan dari Afrika Selatan. Setelah saya ajak keliling Lapangan Merah dia minta ditunjukkan tempat makan siang yang enak. Maka saya bawa kemari."
"Okay kalau begitu selamat bekerja."
"Terima kasih. O ya bagaimana pundak kirimu?"
"Sudah baik. Ini Pak Joko yang mengobati." Jawab Ayyas sambil menunjuk ke Pak Joko. Pak Joko mengangguk dingin pada Yelena.
"Baik sampai ketemu lagi." Kata Yelena seraya mengajak lelaki berkulit hitam memasuki restoran.
Begitu Yelena masuk, Pak Joko langsung bertanya kepada Ayyas, "Kau kenal dia?"
"Iya kenal Pak. Dia satu apartemen dengan saya. Cuma beda kamar."
"Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un." Kata Pak Joko spontan dengan wajah sangat kaget.
"Kenapa Pak?" Tanya Ayyas penasaran melihat reaksi Pak Joko.
"Kau tidak tahu siapa dia? Apa profesinya?"
"Yang saya tahu namanya Yelena. Katanya dia bekerja di sebuah agen pariwisata sebagai guide para wisatawan."
"Dia jujur sekaligus bohong padamu."
"Apa maksud Pak Joko."
"Mungkin nama aslinya Yelena. Tapi namanya yang populer adalah Lisa Nikolaevna. Dia pelacur papan atas. Ya, dia guide bagi wisatawan maksudnya guide plus. Belum lama ini dia dipakai seorang pejabat dari Jakarta yang berkunjung kemari."
"Bapak tidak salah orang?"
"Tidak. Kalau mau coba saja kau cari di internet nama Lisa Nikolaevna, kau akan lihat semuanya setelah masuk window khusus di situsnya. Window itu ada paswordnya, dan paswordnya adalah kata lisa dibalik."
Mendengar keterangan Pak Joko, tubuh Ayyas langsung gemetaran. Apa yang diperbuat oleh Linor yang seperti binatang jalang itu sudah ia lihat dengan mata dan kepala sendiri. Dan kini ia tahu siapa Yelena sebenarnya.
Sampai saat ini ia masih selamat. Tapi apakah ia bisa selamat jika terus tinggal bersama dua perempuan yang hidup sangat bebas seperti itu.
Ia tidak membayangkan kalau hidup di Moskwa akan seberat ini bagi yang memegang teguh iman seperti dirinya. Kalau bagi yang ingin hidup bebas
tanpa aturan moral dan agama, mungkin Moskwa adalah surganya. Sebab kota Moskwa juga dikenal sebagai surganya pecandu seks bebas dan kotanya kaum gay.
"Jadi memang benar. Kau harus pindah dari sana segera. Saya akan membantu semampu saya. Sekarang ayo kita ke masjid Balsoi Tatarski untuk shalat Zuhur." Ajak Pak Joko.
"Mari Pak. Semoga dengan shalat kita terhindar dari perbuatan keji dan munkar."
"Amin." Ucap Pak Joko sambil menengadahkan telapak tangan ke atas lalu mengusapkan kedua telapan tangannya ke mukanya.
Dalam hati Ayyas masih bisa bersyukur bahwa di kota seperti Moskwa masih ada masjid.
Masih ada orang-orang yang rukuk dan sujud kepada Allah Azza wa Jalla.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar