27. Rasa Cinta
Siang itu Anastasia duduk termenung di stolovaya Fakultas Sejarah. Ia duduk di kursi yang biasa ia duduki jika makan siang bersama Ayyas.
Ia tidak mengambil makanan apa pun. Hanya secangkir teh panas yang ada di hadapannya. Ia kembali kecewa. Siang itu adalah hari keempat Ayyas tidak datang ke MGU. Juga hari keempat Ayyas tidak memberi kabar kepadanya, sama sekali tidak mengirim sms, tidak juga izin. Biasanya jika tidak datang Ayyas memberitahunya, la sudah mengirim sms, menanyakan kabar, dan tidak ada balasan. Ia sudah berkali-kali menelpon tapi nomor yang biasa Ayyas gunakan sama sekali tidak bisa dihubungi. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia ingin Ayyas datang dan ia ingin menyampaikan apa yang telah membuncah dalam hatinya dan ingin ia sampaikan kepada
Ayyas.
Tak jauh di depannya sepasang mahasiswa makan berhadapan begitu mesra. Kelihatannya mereka sepasang kekasih. Sesekali bergurau dan tertawa. Anastasia ingin Ayyas ada di hadapannya dan makan siang bersamanya.
Ia ingin melihat Ayyas tertawa. Ia baru sadar selama ini ia belum pernah melihat Ayyas tertawa lebar seperti dua mahasiswa itu. Yang ia lihat dari Ayyas hanyalah senyum, atau tertawa yang ditahan.
Anastasia mengambil cangkir tehnya. Ia hisap teh yang masih hangat itu. Kehangatan teh itu mengalir ke seluruh tubuhnya dan membuat pikirannya terasa lebih hangat dan lebih terang.
Sekonyong-konyong ia melihat Bibi Parlova datang. Pasti orang tua itu akan mengabarinya sesuatu.
Ia berharap memberi kabar, bahwa Ayyas telah datang dan ada di ruang Profesor Tomskii.
"Masih mau berlama-lama di sini, Doktor?"
Tanya Bibi Parlova begitu ada di depan Anastasia.
"Ada apa Bibi Parlova?" Anastasia balik bertanya.
"Ada tamu penting."
"Siapa? Ayyas?"
"Doktor ini selalu saja tertuju pada anak muda itu. Bukan. Bukan dia."
Jawaban Bibi Parlova membuat Anastasia kecewa sekaligus malu. Ia jadi malu dianggap selalu memikirkan anak muda itu. Sampai Bibi Parlova mengatakan seperti itu. Tapi ia berusaha bersikap biasa saja.
"Jadi siapa?"
"Dua orang lelaki dan perempuan. Mereka bilang dari stasiun televisi pemerintah. Mereka saya persilakan menunggu di ruang Profesor Tomskii."
"Baik. Minta mereka menunggu sebentar. Aku mau menghabiskan teh hangat ini dulu."
"Baik, Doktor." Ucap Bibi Parlova sambil membenarkan letak kaca mata bundarnya. Perempuan gemuk agak pendek itu lalu bergegas meninggalkan stolovaya. Pakaiannya seperti tidak pernah diganti. Ia memakai mantel tebal cokelat tua, dan mengenakan kerudung kosinka putih lazimnya perempuan tua di desa-desa Rusia.
Anastasia Palazzo kembali meneguk teh hangatnya. Ia masih bertanya-tanya kenapa Ayyas tidak datang dan tidak memberinya kabar Sama sekali? Apakah dia sakit? Kalau hanya sakit kenapa tidak memberinya kabar seperti beberapa waktu yang lalu? Atau sesuatu yang buruk telah terjadi pada Ayyas yang menyebabkan dirinya tidak sempat memberinya kabar? Ia berharap hal itu tidak terjadi. Atau, dirinya tidak sengaja melakukan kesalahan pada Ayyas dan Ayyas marah padanya? Tapi kesalahan apa? Atau Ayyas diam-diam juga jatuh hati padanya dan setelah ia cium ia takut salah tingkah jika bertemu dengannya?
Anastasia tersenyum, meskipun tidak yakin, kemungkinan yang terakhir itulah yang kini terjadi pada diri Ayyas. Ia pernah membaca sebuah buku tentang tanda-tanda orang jatuh cinta, di antaranya adalah berpura-pura menjauh tapi sebenarnya ingin bertemu. Itulah yang kini terjadi pada Ayyas, menurut analisis Doktor Anastasia.
Ia memperkuat analisisnya itu dengan sebuah keyakinan yang tumbuh di hatinya begitu saja, bahwa pada saat cinta itu terbit di hatinya, cinta itu juga terbit di hati Ayyas. Ia tidak mungkin tidak jujur pada dirinya sendiri, bahwa ia entah kenapa bisa jatuh cinta pada pemuda yang secara fisik tidak istimewa itu. Tetapi ia mengakui, ia jatuh cinta padanya. Dan ia yakin cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ia teringat puisi Jalaluddin Rumi yang pernah dibacanya,
Apabila cinta ada di hati yang satu pasti juga cinta itu ada di hati yang lain
karena tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain.
Dengan mata berbinar dan hati berbunga Anastasia bangkit dari kursinya. Ia sudah memutuskan, jika sampai petang nanti Ayyas tidak datang, ia akan mencari pemuda itu di apartemennya. Ia memang belum pernah mengunjungi
aparteman Ayyas. Tapi ia yakin bisa menemukannya. Alamat apartemen itu ada dalam formulir resmi yang harus diisi Ayyas saat mengurus administrasi pendaftarannya sebagai visiting fellow.
Kini ia akan menemui orang-orang dari televise itu dulu. Ada apa, tiba-tiba mereka menemuinya?
Apakah akan ada wawancara seputar sejarah? Atau pihak televisi mau membuat program kerja sama dengan Fakultas Sejarah? Ada banyak pertanyaan tiba-tiba keluar begitu saja dari ubun-ubun kepalanya. Dan pertanyaan itu akan segera terjawab ketika ia menemui dua orang dari stasiun televisi itu.
"Dabro dent. (Selamat siang)” Sapa Doktor Anastasia begitu masuk ruangan Profesor Tomskii.
Dua orang dari sebuah stasiun televisi itu langsung bangkit dari duduknya dan dengan suara hampir bersamaan menjawab, "Dabro dent”
Setelah berjabat tangan mereka bertiga duduk.
"Yah kami dari stasiun televisi pemerintah. Kenalkan saya Andreyev, dan ini teman saya Mariana. Kami datang untuk sedikit merepotkan Doktor Anastasia Palazzo." Lelaki muda berbadan subur dan berkaca mata tebal memperkenalkan dirinya dan temannya, seorang perempuan yang juga muda bermuka lonjong, berhidung mancung, tapi berbibir tebal.
"Apa yang bisa saya bantu?" Kata Anastasia tenang.
"Kalau tidak salah Anda yang beberapa hari lalu jadi pembicara di seminar tentang ketuhanan?" Perempuan muda bernama Mariana membuka suara.
"Benar. Saya salah satu pembicaranya."
"Pembicara yang lain kalau tidak salah dari Indonesia. Dan dia jadi pembicara atas rekomendasi Doktor Anastasia. Benar?" Tanya Mariana lagi.
"Iya benar. Kenapa kalian menanyakan itu?"
"Tidak apa-apa. Hanya untuk meyakinkan saja. Begini Doktor Anastasia Palazzo. Kami mempunyai acara yang kami beri judul ‘Rusia Berbicara’. Doktor pasti tahu itu. Itu adalah acara live berbentuk talk show membicarakan banyak hal yang sedang hangat dan layak diperbincangkan
di Rusia. Acara seminar kemarin itu ternyata mendapat pemberitaan yang luas di koran-koran, dan banyak pemirsa meminta kami menghadirkan para pembicara seminar dalam acara talk show kami." Mariana menjelaskan
dengan kedua mata tidak lepas memandangi wajah Doktor Anastasia.
"Ooo itu bagus." Anastasia merespons.
"Kedatangan kami ini, pertama kami minta kesediaan Doktor Anastasia Palazzo menjadi nara sumber di acara talk show itu. Dan yang kedua, kami minta bantuan Doktor Anastasia Palazzo untuk bisa menghadirkan pembicara dari Indonesia itu. Sebab kami sama sekali tidak tahu kontak dan alamatnya. Atau Doktor Anastasia membukakan jalan, nanti kami yang menindaklanjutinya secara profesional."
"Boleh. Saya akan bantu. Kapan rencana acaranya?"
"Tiga hari lagi."
"Mepet sekali."
"Untuk tema-tema hangat selalu begitu Doktor. Kalau kita menunggu lebih lama lagi, sudah terlanjur basi. Dan acara itu tidak akan mendapatkan perhatian yang bagus dari pemirsa." Kali ini Andreyev yang menjawab.
"Baik. Saya paham."
"Kami berharap besok siang semuanya sudah pasti. Artinya kami sudah mendapat kejelasan mengenai pembicara dari Indonesia itu." Andreyev memberikan penegasan.
"Saya akan usahakan." Kata Anastasia mantap dengan wajah cerah. Kini ia punya alasan yang sangat kuat kenapa harus mendatangi apartemen Ayyas, jika sampai nanti petang anak muda itu tidak juga datang.
Ia yakin, Ayyas pasti akan sangat senang mendengar berita yang akan disampaikannya.
Hati Anastasia bertambah harus dipenuhi bunga-bunga kebahagiaan. Dalam hati ia mengucap puji syukur kepada Tuhan. Ia semakin yakin bahwa rasa cintanya ini memang dikaruniakan oleh Tuhan. Dan Tuhan begitu indah mengaturnya.
Tuhan mendatangkan dua orang dari stasiun televise itu untuk memberikan jalan yang lebar dan lurus baginya agar menemui Ayyas. Dalam hati ia berdoa, "Semoga Tuhan terus menolong orang-orang yang sedang jatuh cinta seperti dirinya."
***
Siang itu Ayyas menemani Pak Joko Santoso mengantarkan istrinya ke Bandara Internasional Domodedovo. Ia ditelpon Pak Jako ketika sedang asyik membaca kitab Adabud Din Wad Dunyanyz Imam Al Mawardi. Saat itu Yelena sudah pergi entah ke mana, dan Linor sudah berangkat kerja. Jadwal kepulangan istri Pak Joko tiba-tiba dimajukan sepuluh hari dari jadwal semula, jadi Ayyas akan bisa lebih cepat pindah dari apartemen yang selama ini ditinggalinya. Ia akan jauh merasa lebih aman dan lebih nyaman tinggal bersama Pak Joko Santoso yang sebangsa dan setanah air dengannya. Juga seiman dan seakidah tentunya.
Istri Pak Joko naik pesawat Emirates Airlines. Dia akan melakukan perjalanan kurang lebih delapan belas jam untuk sampai ke Jakarta.
Benar-benar perjalanan yang melelahkan. Ayyas melihat bagaimana Pak Joko meneteskan airmata melepas sang istri tercinta. Bagitu juga sang istri, nampak tidak kuat menahan isak tangisnya.
Tetapi begitulah, mereka berdua, suami istri itu memilih untuk berpisah sementara.
Dalam perjalanan pulang dari bandara, Pak Joko bercerita, istrinya terpaksa harus pulang untuk menemani ibu sang istri yang kini sendirian di Bandung. Ibu mertua Pak Joko sudah mulai sakit-sakitan. Anak perempuan satu-satunya adalah istri Pak Joko. Sang ibu mertua meminta istri Pak Joko menemaninya di Bandung, karena adik istri Pak Joko yang selama ini menemani sang ibu mertua harus tugas ke luar Jawa bersama istri dan anaknya. Ditambah lagi, ibu mertua Pak Joko sudah mulai sakit-sakitan, sehingga tidak kuat lagi mengasuh dan mengawasi dua anak Pak Joko yang selama ini dititipkan di Bandung.
"Ini demi kebaikan bersama, harus ada pengorbanan Mas Ayyas. Biarlah istri di Bandung mengasuh anak dan merawat ibunya, sementara saya di sini dulu mencari nafkah. Saya rencanakan saya akan bertahan paling lama tiga tahun
saja di Moskwa ini. Tidak mudah hidup di sini tanpa ditemani seorang istri. Semoga Allah senantiasa memberi kekuatan, ketabahan, kesehatan dan menjaga iman dan Islam saya." Kata Pak Joko agak serak sambil terus mengemudikan mobil Volga yang ia pinjam dari Pak Ismet. Dan dengan khusyuk Ayyas menjawab, "Amin."
"Mas Ayyas belum menikah kan?"
"Belum Pak Joko."
"Sudah ada calon."
"Yang benar-benar pasti belum. Saya pernah tertarik dengan seorang gadis. Saya langsung mendatangi rumahnya. Kami bertunangan. Kemudian suatu hari gadis itu membebaskan saya dari ikatan pertunangan. Jadi, statusnya saya ini tidak lagi bertunangan dengannya."
"Apa gadis itu kini sudah menikah?"
"Saya tidak tahu."
"Agak tidak jelas ya?"
"Tapi saya mengatakan akan setia padanya."
"Sebaiknya kau hubungi lagi keluarga gadis itu. Kau pertegas, kalau iya ya iya, kalau tidak ya tidak. Jangan hanya janji setia seperti itu yang tidak jelas. Meskipun gadis itu yang membebaskan ikatan pertunangan denganmu, tapi ketika kau menjanjikan akan setia padanya seolah-olah masih bertunangan. Padahal sebenarnya tidak.
Kau sendiri juga tidak jelas. Kalau kau mengharapkan gadis itu, ternyata tiba-tiba dia menikah kau tidak bisa menyalahkan dia. Kau sendiri ketika suatu saat menemukan orang yang menurutmu layak untuk kau nikahi bisa ragu, karena harus setia padanya, sebab telah berjanji untuk setia padanya. Saran saya, kau perjelas lagi saja. Meskipun jauh, di era sekarang ini dunia seperti dilipat jadi sangat dekat. Kau bisa menelpon, bisa kirim sms atau email."
"Saran Pak Joko sangat berarti bagi saya."
"Oh ya, jadi kamu akan pindah menemani aku kapan?"
"Paling cepat ya besok Pak. Tidak mungkin malam ini."
"Tapi malam ini kalau mau menginap di rumahku boleh saja.
"Iya Pak, saya pikirkan."
"Kau bisa masak?"
"Bisa Pak."
"Bagus. Kita akan punya kerja sedikit besar."
"Apa itu Pak?"
"KBRI akan kedatangan tamu-tamu pengusaha dari Tanah Air. Ada tiga puluh orang. Lha KBRI mau mengadakan jamuan makan. Sebagian sudah pesan pada restoran Rusia yang halal. Tapi untuk menambah lengkapnya KBRI mau menyediakan juga menu Indonesia, atau paling tidak yang pas untuk lidah Asia Tenggara. Soalnya nanti duta-duta dari negara-negara Asia Tenggara juga mau diundang di jamuan makan. Lha, saya sudah menyanggupi untuk membuat rendang."
"Lha bumbunya ada Pak?"
"Belum ada."
"Terus bagaimana?"
"Saya sudah melihat jadwal keberangkatan mereka dari Jakarta, dan saya sudah mendapat nama dan alamat orang-orang itu. Salah seorang di antaranya ada yang dari Bandung. Saya sudah minta istri saya untuk nitip bumbu rendang ke orang yang dari Bandung itu. Bumbu rendang yang siap saji saja tidak apa-apa."
"Lha tamu kok malah dititipi tho Pak. Apa mereka mau dititipi? Apalagi kalau ternyata mereka bos perusahaan besar."
"Ya dicoba saja. Kalau tidak ada bumbunya ya nanti kita ganti menu yang lainnya."
"Beberapa waktu yang lalu saya masuk restoran Libanon. Enak lho Pak menunya. Itu lidah Indonesia bisa masuk Pak."
"Apa namanya? Yang di mana?"
"Kalau tidak salah namanya Sindebad's. Di daerah dekat-dekat Arbat."
"Wah saya belum pernah ke sana. Apa kita makan malam di sana?"
"Jangan Pak. Lebih baik kita masak di rumah. Saya yang masak. Nanti Pak Joko cicipin rasanya."
"Boleh itu. O ya, kemarin Pak Kepala Sekolah dan seluruh guru SIM rapat. Hasilnya kita akan mengundang seorang penulis dari Tanah Air ke Moskwa ini. Untuk memberikan pembekalan menulis kepada murid-murid SIM, sampai
mereka benar-benar bisa menulis dengan baik. Kita mencari penulis yang siap di sini paling tidak satu bulan. Sekarang ini sedang mencari kandidatnya. Kalau Mas Ayyas ada usulan, atau Mas Ayyas punya kenalan seorang penulis andal, boleh?"
Mendengar penjelasan Pak Joko tentang rencana mendatangkan penulis itu, Ayyas langsung teringat pada Ainal Muna yang telah mendapatkan penghargaan tingkat nasional dari pemerintah. Ayyas membayangkan, jika Muna yang datang ke Moskwa terus bisa menikah dengannya di Moskwa, sejarah hidupnya terasa akan sangat indah. Ia hampir saja menyebut nama Muna dan menjelaskan kelebihan-kelebihannya, tapi entah kenapa ada yang menahan lidahnya untuk mengucapkan nama itu. Justu yang keluar dari mulutnya adalah jawaban yang biasa saja,
"Ya insya Allah Pak, saya akan coba ikut mencari-cari."
Mobil Volga sederhana itu terus meluncur menuju tengah kota Moskwa. Ayyas disajikan pemandangan yang indah. Kota yang tertata rapi, jalan yang lebar, bangunan zaman dulu yang masih terawat baik dan masih dipakai,, seolah tidak tergerus oleh modernisasi, dan salju yang seolah membungkus semua benda, melahirkan pesona yang berbeda di mata. Ayyas membayangkan jika Muna yang diundang datang, dan ia bisa menikah dengan gadis itu di KBRI lalu menghabiskan akhir musim dingin dan melewati musim bunga dengan seorang istri yang ia cinta.
"Ya Allah, kabulkan. Amin." Lirih Ayyas dalam hati.
***
Sampai petang tiba Ayyas tidak juga datang. Anastasia Palazzo mencoba menghubungi nomor yang pernah digunakan Ayyas untuk mengirim sms kepadanya. Tapi gagal. Nomor itu tidak bisa dihubungi. Karenanya ia merasa tidak ada pilihan lain kecuali langsung mendatangi Ayyas di kwartira (Dalam bahasa Rusia, apartemen ini disebut kwartira. Dan gedung bertingkat di mana
kwartira ini berada mereka namakan dom. Adapun ruangan atau kamar-kamar dalam apartemen itu disebut komtana) atau apartemennya.
Anastasia merasa tidak ragu untuk itu. Ia memiliki alasan yang kuat yang sama sekali tidak akan membuatnya merasa malu.
Maka petang itu, diiringi salju yang turun tipis bagai kapas, Anastasia mengemudikan mobilnya ke arah Smolenskaya. Hari sudah benar-benar gelap ketika ia merasa menemukan alamat di mana Ayyas tinggal. Doktor muda itu turun di depan dom tua yang terletak di Panvilovsky Pereulok. Sebuah bangunan zaman Stalin yang letaknya berhadapan dengan gedung mewah The White House Residence. Apartemen itu bisa dihitung dekat dengan stasiun metro Smolenskaya dan tidak jauh dari kawasan sibuk Golden Ring.
Anastasia memasuki dom itu. Di bawah sinar lampu lorong gedung apartemen itu ia melihat catatan kecilnya. Kwartira yang ditinggali Ayyas ada di lantai tiga. Ia naik ke atas dengan tidak tergesa-gesa. Tak lama kemudian ia pun sampai di depan pintu kwartira Ayyas. Anastasia menekan tombol bel dua kali.
Pintu terbuka. Seorang wanita tua menyembulkan mukanya dari balik pintu.
"Anda mau bertemu siapa?" Tanya perempuan tua itu.
"Maaf, saya mau bertemu dengan anak muda yang bernama Ayyas. Benarkah ini tempat tinggal Ayyas?"
"Ayyas yang dari Indonesia?" Perempuan itu balik bertanya.
"Ya. Benar."
"Kalau begitu Anda tidak salah kwartira. Di sini memang tempat tinggal Ayyas."
"Ayyas ada?"
"Dia sedang pergi, sejak tadi siang dan belum pulang. Saat ini saya sendirian."
"Pergi sejak siang?" Gumam Anastasia agak kecewa.
“Iya.”
"Kau tahu dia pergi ke mana?"
"Tidak. Itu bukan urusanku. Dia juga tidak memberitahukan kepadaku."
"Biasanya dia pulang pukul berapa?"
"Tidak bisa dipastikan. Dia pulang dan pergi tidak tentu waktunya. Ayo silakan masuk. Kita bisa berbincang-bincang sambil minum the seraya menunggu dia pulang."
"Tidak usah, Bibi. Karena dia tidak ada, saya harus pergi. Saya tidak bisa menunggu sampai dia pulang. Apalagi menunggu tanpa sebuah kepastian."
"Kau ada pesan untuknya? Nanti bisa saya sampaikan. Oh ya siapa namamu?"
"Maaf saya belum memperkenalkan diri saya. Saya Anastasia Palazzo, temannya Ayyas di MGU. Nanti sampaikan saja bahwa Anastasia Palazzo mencarinya, penting!"
"Baiklah."
"Saya minta diri."
"Selamat jalan. Hati-hati."
Anastasia Palazzo melangkah pergi dengan dada agak sesak. Ia menuruni tangga dengan pikiran sama sekali tidak senang. Harapannya bertemu Ayyas lagi-lagi tidak kesampaian. Ternyata Ayyas tidak sakit, juga tidak ada sesuatu yang menimpanya. Pemuda itu masih tetap beraktivitas setiap hari seperti biasa. Hanya saja tidak ke MGU. Terus ke mana saja dia selama ini?
Mengadakan penelitian di mana? Apakah dia selama ini ke Perpustakaan Negara? Atau sedang sibuk mengadakan wawancara? Atau sedang menyelesaikan urusan penting lainnya?
Hati kecilnya sebenarnya memintanya untuk menunggu saja sampai Ayyas pulang. Tetapi harga dirinya mencegahnya. Apalagi ia tidak tahu persisnya kapan Ayyas akan pulang. Jika ternyata Ayyas pulang tengah malam misalnya, apa dia harus menunggu pemuda itu sampai tengah malam? Bagaimana dengan harga dirinya sebagai perempuan terhormat kalau demikian?
Anastasia keluar dari dom tua itu. Ia hanya berharap, perempuan tua itu menyampaikan pesannya kepada Ayyas dengan baik. Dan setelah Ayyas tahu bahwa ia sampai mendatangi apartemennya, ia berharap Ayyas segera menemuinya dengan kesadarannya sendiri. Ia berharap pemuda itu paham, jika sampai ia bersusah payah mendatangi apartemennya, berarti ada sesuatu
yang sangat penting yang harus dibicarakan.
Tetapi bagaimana jika Ayyas tidak juga datang menemuinya?
Anastasia berpikir, dirinya mungkin terpaksa harus sedikit nekat dan sama sekali menanggalkan keangkuhan dirinya. Ia akan kembali mencari Ayyas ke apartemennya. Jika Ayyas pergi, ia akan menunggu di apartemennya sampai ketemu. Tak ada cara lain yang bisa ditempuhnya.
Anastasia menerobos salju tipis yang terus turun. Ia langsung masuk ke Pradonya. Dan sebentar kemudian ia meluncur pulang ke apartemennya
yang terletak tak jauh dari Galeri Tretyakov yang terkenal itu.
***
Siang itu Anastasia duduk termenung di stolovaya Fakultas Sejarah. Ia duduk di kursi yang biasa ia duduki jika makan siang bersama Ayyas.
Ia tidak mengambil makanan apa pun. Hanya secangkir teh panas yang ada di hadapannya. Ia kembali kecewa. Siang itu adalah hari keempat Ayyas tidak datang ke MGU. Juga hari keempat Ayyas tidak memberi kabar kepadanya, sama sekali tidak mengirim sms, tidak juga izin. Biasanya jika tidak datang Ayyas memberitahunya, la sudah mengirim sms, menanyakan kabar, dan tidak ada balasan. Ia sudah berkali-kali menelpon tapi nomor yang biasa Ayyas gunakan sama sekali tidak bisa dihubungi. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia ingin Ayyas datang dan ia ingin menyampaikan apa yang telah membuncah dalam hatinya dan ingin ia sampaikan kepada
Ayyas.
Tak jauh di depannya sepasang mahasiswa makan berhadapan begitu mesra. Kelihatannya mereka sepasang kekasih. Sesekali bergurau dan tertawa. Anastasia ingin Ayyas ada di hadapannya dan makan siang bersamanya.
Ia ingin melihat Ayyas tertawa. Ia baru sadar selama ini ia belum pernah melihat Ayyas tertawa lebar seperti dua mahasiswa itu. Yang ia lihat dari Ayyas hanyalah senyum, atau tertawa yang ditahan.
Anastasia mengambil cangkir tehnya. Ia hisap teh yang masih hangat itu. Kehangatan teh itu mengalir ke seluruh tubuhnya dan membuat pikirannya terasa lebih hangat dan lebih terang.
Sekonyong-konyong ia melihat Bibi Parlova datang. Pasti orang tua itu akan mengabarinya sesuatu.
Ia berharap memberi kabar, bahwa Ayyas telah datang dan ada di ruang Profesor Tomskii.
"Masih mau berlama-lama di sini, Doktor?"
Tanya Bibi Parlova begitu ada di depan Anastasia.
"Ada apa Bibi Parlova?" Anastasia balik bertanya.
"Ada tamu penting."
"Siapa? Ayyas?"
"Doktor ini selalu saja tertuju pada anak muda itu. Bukan. Bukan dia."
Jawaban Bibi Parlova membuat Anastasia kecewa sekaligus malu. Ia jadi malu dianggap selalu memikirkan anak muda itu. Sampai Bibi Parlova mengatakan seperti itu. Tapi ia berusaha bersikap biasa saja.
"Jadi siapa?"
"Dua orang lelaki dan perempuan. Mereka bilang dari stasiun televisi pemerintah. Mereka saya persilakan menunggu di ruang Profesor Tomskii."
"Baik. Minta mereka menunggu sebentar. Aku mau menghabiskan teh hangat ini dulu."
"Baik, Doktor." Ucap Bibi Parlova sambil membenarkan letak kaca mata bundarnya. Perempuan gemuk agak pendek itu lalu bergegas meninggalkan stolovaya. Pakaiannya seperti tidak pernah diganti. Ia memakai mantel tebal cokelat tua, dan mengenakan kerudung kosinka putih lazimnya perempuan tua di desa-desa Rusia.
Anastasia Palazzo kembali meneguk teh hangatnya. Ia masih bertanya-tanya kenapa Ayyas tidak datang dan tidak memberinya kabar Sama sekali? Apakah dia sakit? Kalau hanya sakit kenapa tidak memberinya kabar seperti beberapa waktu yang lalu? Atau sesuatu yang buruk telah terjadi pada Ayyas yang menyebabkan dirinya tidak sempat memberinya kabar? Ia berharap hal itu tidak terjadi. Atau, dirinya tidak sengaja melakukan kesalahan pada Ayyas dan Ayyas marah padanya? Tapi kesalahan apa? Atau Ayyas diam-diam juga jatuh hati padanya dan setelah ia cium ia takut salah tingkah jika bertemu dengannya?
Anastasia tersenyum, meskipun tidak yakin, kemungkinan yang terakhir itulah yang kini terjadi pada diri Ayyas. Ia pernah membaca sebuah buku tentang tanda-tanda orang jatuh cinta, di antaranya adalah berpura-pura menjauh tapi sebenarnya ingin bertemu. Itulah yang kini terjadi pada Ayyas, menurut analisis Doktor Anastasia.
Ia memperkuat analisisnya itu dengan sebuah keyakinan yang tumbuh di hatinya begitu saja, bahwa pada saat cinta itu terbit di hatinya, cinta itu juga terbit di hati Ayyas. Ia tidak mungkin tidak jujur pada dirinya sendiri, bahwa ia entah kenapa bisa jatuh cinta pada pemuda yang secara fisik tidak istimewa itu. Tetapi ia mengakui, ia jatuh cinta padanya. Dan ia yakin cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ia teringat puisi Jalaluddin Rumi yang pernah dibacanya,
Apabila cinta ada di hati yang satu pasti juga cinta itu ada di hati yang lain
karena tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain.
Dengan mata berbinar dan hati berbunga Anastasia bangkit dari kursinya. Ia sudah memutuskan, jika sampai petang nanti Ayyas tidak datang, ia akan mencari pemuda itu di apartemennya. Ia memang belum pernah mengunjungi
aparteman Ayyas. Tapi ia yakin bisa menemukannya. Alamat apartemen itu ada dalam formulir resmi yang harus diisi Ayyas saat mengurus administrasi pendaftarannya sebagai visiting fellow.
Kini ia akan menemui orang-orang dari televise itu dulu. Ada apa, tiba-tiba mereka menemuinya?
Apakah akan ada wawancara seputar sejarah? Atau pihak televisi mau membuat program kerja sama dengan Fakultas Sejarah? Ada banyak pertanyaan tiba-tiba keluar begitu saja dari ubun-ubun kepalanya. Dan pertanyaan itu akan segera terjawab ketika ia menemui dua orang dari stasiun televisi itu.
"Dabro dent. (Selamat siang)” Sapa Doktor Anastasia begitu masuk ruangan Profesor Tomskii.
Dua orang dari sebuah stasiun televisi itu langsung bangkit dari duduknya dan dengan suara hampir bersamaan menjawab, "Dabro dent”
Setelah berjabat tangan mereka bertiga duduk.
"Yah kami dari stasiun televisi pemerintah. Kenalkan saya Andreyev, dan ini teman saya Mariana. Kami datang untuk sedikit merepotkan Doktor Anastasia Palazzo." Lelaki muda berbadan subur dan berkaca mata tebal memperkenalkan dirinya dan temannya, seorang perempuan yang juga muda bermuka lonjong, berhidung mancung, tapi berbibir tebal.
"Apa yang bisa saya bantu?" Kata Anastasia tenang.
"Kalau tidak salah Anda yang beberapa hari lalu jadi pembicara di seminar tentang ketuhanan?" Perempuan muda bernama Mariana membuka suara.
"Benar. Saya salah satu pembicaranya."
"Pembicara yang lain kalau tidak salah dari Indonesia. Dan dia jadi pembicara atas rekomendasi Doktor Anastasia. Benar?" Tanya Mariana lagi.
"Iya benar. Kenapa kalian menanyakan itu?"
"Tidak apa-apa. Hanya untuk meyakinkan saja. Begini Doktor Anastasia Palazzo. Kami mempunyai acara yang kami beri judul ‘Rusia Berbicara’. Doktor pasti tahu itu. Itu adalah acara live berbentuk talk show membicarakan banyak hal yang sedang hangat dan layak diperbincangkan
di Rusia. Acara seminar kemarin itu ternyata mendapat pemberitaan yang luas di koran-koran, dan banyak pemirsa meminta kami menghadirkan para pembicara seminar dalam acara talk show kami." Mariana menjelaskan
dengan kedua mata tidak lepas memandangi wajah Doktor Anastasia.
"Ooo itu bagus." Anastasia merespons.
"Kedatangan kami ini, pertama kami minta kesediaan Doktor Anastasia Palazzo menjadi nara sumber di acara talk show itu. Dan yang kedua, kami minta bantuan Doktor Anastasia Palazzo untuk bisa menghadirkan pembicara dari Indonesia itu. Sebab kami sama sekali tidak tahu kontak dan alamatnya. Atau Doktor Anastasia membukakan jalan, nanti kami yang menindaklanjutinya secara profesional."
"Boleh. Saya akan bantu. Kapan rencana acaranya?"
"Tiga hari lagi."
"Mepet sekali."
"Untuk tema-tema hangat selalu begitu Doktor. Kalau kita menunggu lebih lama lagi, sudah terlanjur basi. Dan acara itu tidak akan mendapatkan perhatian yang bagus dari pemirsa." Kali ini Andreyev yang menjawab.
"Baik. Saya paham."
"Kami berharap besok siang semuanya sudah pasti. Artinya kami sudah mendapat kejelasan mengenai pembicara dari Indonesia itu." Andreyev memberikan penegasan.
"Saya akan usahakan." Kata Anastasia mantap dengan wajah cerah. Kini ia punya alasan yang sangat kuat kenapa harus mendatangi apartemen Ayyas, jika sampai nanti petang anak muda itu tidak juga datang.
Ia yakin, Ayyas pasti akan sangat senang mendengar berita yang akan disampaikannya.
Hati Anastasia bertambah harus dipenuhi bunga-bunga kebahagiaan. Dalam hati ia mengucap puji syukur kepada Tuhan. Ia semakin yakin bahwa rasa cintanya ini memang dikaruniakan oleh Tuhan. Dan Tuhan begitu indah mengaturnya.
Tuhan mendatangkan dua orang dari stasiun televise itu untuk memberikan jalan yang lebar dan lurus baginya agar menemui Ayyas. Dalam hati ia berdoa, "Semoga Tuhan terus menolong orang-orang yang sedang jatuh cinta seperti dirinya."
***
Siang itu Ayyas menemani Pak Joko Santoso mengantarkan istrinya ke Bandara Internasional Domodedovo. Ia ditelpon Pak Jako ketika sedang asyik membaca kitab Adabud Din Wad Dunyanyz Imam Al Mawardi. Saat itu Yelena sudah pergi entah ke mana, dan Linor sudah berangkat kerja. Jadwal kepulangan istri Pak Joko tiba-tiba dimajukan sepuluh hari dari jadwal semula, jadi Ayyas akan bisa lebih cepat pindah dari apartemen yang selama ini ditinggalinya. Ia akan jauh merasa lebih aman dan lebih nyaman tinggal bersama Pak Joko Santoso yang sebangsa dan setanah air dengannya. Juga seiman dan seakidah tentunya.
Istri Pak Joko naik pesawat Emirates Airlines. Dia akan melakukan perjalanan kurang lebih delapan belas jam untuk sampai ke Jakarta.
Benar-benar perjalanan yang melelahkan. Ayyas melihat bagaimana Pak Joko meneteskan airmata melepas sang istri tercinta. Bagitu juga sang istri, nampak tidak kuat menahan isak tangisnya.
Tetapi begitulah, mereka berdua, suami istri itu memilih untuk berpisah sementara.
Dalam perjalanan pulang dari bandara, Pak Joko bercerita, istrinya terpaksa harus pulang untuk menemani ibu sang istri yang kini sendirian di Bandung. Ibu mertua Pak Joko sudah mulai sakit-sakitan. Anak perempuan satu-satunya adalah istri Pak Joko. Sang ibu mertua meminta istri Pak Joko menemaninya di Bandung, karena adik istri Pak Joko yang selama ini menemani sang ibu mertua harus tugas ke luar Jawa bersama istri dan anaknya. Ditambah lagi, ibu mertua Pak Joko sudah mulai sakit-sakitan, sehingga tidak kuat lagi mengasuh dan mengawasi dua anak Pak Joko yang selama ini dititipkan di Bandung.
"Ini demi kebaikan bersama, harus ada pengorbanan Mas Ayyas. Biarlah istri di Bandung mengasuh anak dan merawat ibunya, sementara saya di sini dulu mencari nafkah. Saya rencanakan saya akan bertahan paling lama tiga tahun
saja di Moskwa ini. Tidak mudah hidup di sini tanpa ditemani seorang istri. Semoga Allah senantiasa memberi kekuatan, ketabahan, kesehatan dan menjaga iman dan Islam saya." Kata Pak Joko agak serak sambil terus mengemudikan mobil Volga yang ia pinjam dari Pak Ismet. Dan dengan khusyuk Ayyas menjawab, "Amin."
"Mas Ayyas belum menikah kan?"
"Belum Pak Joko."
"Sudah ada calon."
"Yang benar-benar pasti belum. Saya pernah tertarik dengan seorang gadis. Saya langsung mendatangi rumahnya. Kami bertunangan. Kemudian suatu hari gadis itu membebaskan saya dari ikatan pertunangan. Jadi, statusnya saya ini tidak lagi bertunangan dengannya."
"Apa gadis itu kini sudah menikah?"
"Saya tidak tahu."
"Agak tidak jelas ya?"
"Tapi saya mengatakan akan setia padanya."
"Sebaiknya kau hubungi lagi keluarga gadis itu. Kau pertegas, kalau iya ya iya, kalau tidak ya tidak. Jangan hanya janji setia seperti itu yang tidak jelas. Meskipun gadis itu yang membebaskan ikatan pertunangan denganmu, tapi ketika kau menjanjikan akan setia padanya seolah-olah masih bertunangan. Padahal sebenarnya tidak.
Kau sendiri juga tidak jelas. Kalau kau mengharapkan gadis itu, ternyata tiba-tiba dia menikah kau tidak bisa menyalahkan dia. Kau sendiri ketika suatu saat menemukan orang yang menurutmu layak untuk kau nikahi bisa ragu, karena harus setia padanya, sebab telah berjanji untuk setia padanya. Saran saya, kau perjelas lagi saja. Meskipun jauh, di era sekarang ini dunia seperti dilipat jadi sangat dekat. Kau bisa menelpon, bisa kirim sms atau email."
"Saran Pak Joko sangat berarti bagi saya."
"Oh ya, jadi kamu akan pindah menemani aku kapan?"
"Paling cepat ya besok Pak. Tidak mungkin malam ini."
"Tapi malam ini kalau mau menginap di rumahku boleh saja.
"Iya Pak, saya pikirkan."
"Kau bisa masak?"
"Bisa Pak."
"Bagus. Kita akan punya kerja sedikit besar."
"Apa itu Pak?"
"KBRI akan kedatangan tamu-tamu pengusaha dari Tanah Air. Ada tiga puluh orang. Lha KBRI mau mengadakan jamuan makan. Sebagian sudah pesan pada restoran Rusia yang halal. Tapi untuk menambah lengkapnya KBRI mau menyediakan juga menu Indonesia, atau paling tidak yang pas untuk lidah Asia Tenggara. Soalnya nanti duta-duta dari negara-negara Asia Tenggara juga mau diundang di jamuan makan. Lha, saya sudah menyanggupi untuk membuat rendang."
"Lha bumbunya ada Pak?"
"Belum ada."
"Terus bagaimana?"
"Saya sudah melihat jadwal keberangkatan mereka dari Jakarta, dan saya sudah mendapat nama dan alamat orang-orang itu. Salah seorang di antaranya ada yang dari Bandung. Saya sudah minta istri saya untuk nitip bumbu rendang ke orang yang dari Bandung itu. Bumbu rendang yang siap saji saja tidak apa-apa."
"Lha tamu kok malah dititipi tho Pak. Apa mereka mau dititipi? Apalagi kalau ternyata mereka bos perusahaan besar."
"Ya dicoba saja. Kalau tidak ada bumbunya ya nanti kita ganti menu yang lainnya."
"Beberapa waktu yang lalu saya masuk restoran Libanon. Enak lho Pak menunya. Itu lidah Indonesia bisa masuk Pak."
"Apa namanya? Yang di mana?"
"Kalau tidak salah namanya Sindebad's. Di daerah dekat-dekat Arbat."
"Wah saya belum pernah ke sana. Apa kita makan malam di sana?"
"Jangan Pak. Lebih baik kita masak di rumah. Saya yang masak. Nanti Pak Joko cicipin rasanya."
"Boleh itu. O ya, kemarin Pak Kepala Sekolah dan seluruh guru SIM rapat. Hasilnya kita akan mengundang seorang penulis dari Tanah Air ke Moskwa ini. Untuk memberikan pembekalan menulis kepada murid-murid SIM, sampai
mereka benar-benar bisa menulis dengan baik. Kita mencari penulis yang siap di sini paling tidak satu bulan. Sekarang ini sedang mencari kandidatnya. Kalau Mas Ayyas ada usulan, atau Mas Ayyas punya kenalan seorang penulis andal, boleh?"
Mendengar penjelasan Pak Joko tentang rencana mendatangkan penulis itu, Ayyas langsung teringat pada Ainal Muna yang telah mendapatkan penghargaan tingkat nasional dari pemerintah. Ayyas membayangkan, jika Muna yang datang ke Moskwa terus bisa menikah dengannya di Moskwa, sejarah hidupnya terasa akan sangat indah. Ia hampir saja menyebut nama Muna dan menjelaskan kelebihan-kelebihannya, tapi entah kenapa ada yang menahan lidahnya untuk mengucapkan nama itu. Justu yang keluar dari mulutnya adalah jawaban yang biasa saja,
"Ya insya Allah Pak, saya akan coba ikut mencari-cari."
Mobil Volga sederhana itu terus meluncur menuju tengah kota Moskwa. Ayyas disajikan pemandangan yang indah. Kota yang tertata rapi, jalan yang lebar, bangunan zaman dulu yang masih terawat baik dan masih dipakai,, seolah tidak tergerus oleh modernisasi, dan salju yang seolah membungkus semua benda, melahirkan pesona yang berbeda di mata. Ayyas membayangkan jika Muna yang diundang datang, dan ia bisa menikah dengan gadis itu di KBRI lalu menghabiskan akhir musim dingin dan melewati musim bunga dengan seorang istri yang ia cinta.
"Ya Allah, kabulkan. Amin." Lirih Ayyas dalam hati.
***
Sampai petang tiba Ayyas tidak juga datang. Anastasia Palazzo mencoba menghubungi nomor yang pernah digunakan Ayyas untuk mengirim sms kepadanya. Tapi gagal. Nomor itu tidak bisa dihubungi. Karenanya ia merasa tidak ada pilihan lain kecuali langsung mendatangi Ayyas di kwartira (Dalam bahasa Rusia, apartemen ini disebut kwartira. Dan gedung bertingkat di mana
kwartira ini berada mereka namakan dom. Adapun ruangan atau kamar-kamar dalam apartemen itu disebut komtana) atau apartemennya.
Anastasia merasa tidak ragu untuk itu. Ia memiliki alasan yang kuat yang sama sekali tidak akan membuatnya merasa malu.
Maka petang itu, diiringi salju yang turun tipis bagai kapas, Anastasia mengemudikan mobilnya ke arah Smolenskaya. Hari sudah benar-benar gelap ketika ia merasa menemukan alamat di mana Ayyas tinggal. Doktor muda itu turun di depan dom tua yang terletak di Panvilovsky Pereulok. Sebuah bangunan zaman Stalin yang letaknya berhadapan dengan gedung mewah The White House Residence. Apartemen itu bisa dihitung dekat dengan stasiun metro Smolenskaya dan tidak jauh dari kawasan sibuk Golden Ring.
Anastasia memasuki dom itu. Di bawah sinar lampu lorong gedung apartemen itu ia melihat catatan kecilnya. Kwartira yang ditinggali Ayyas ada di lantai tiga. Ia naik ke atas dengan tidak tergesa-gesa. Tak lama kemudian ia pun sampai di depan pintu kwartira Ayyas. Anastasia menekan tombol bel dua kali.
Pintu terbuka. Seorang wanita tua menyembulkan mukanya dari balik pintu.
"Anda mau bertemu siapa?" Tanya perempuan tua itu.
"Maaf, saya mau bertemu dengan anak muda yang bernama Ayyas. Benarkah ini tempat tinggal Ayyas?"
"Ayyas yang dari Indonesia?" Perempuan itu balik bertanya.
"Ya. Benar."
"Kalau begitu Anda tidak salah kwartira. Di sini memang tempat tinggal Ayyas."
"Ayyas ada?"
"Dia sedang pergi, sejak tadi siang dan belum pulang. Saat ini saya sendirian."
"Pergi sejak siang?" Gumam Anastasia agak kecewa.
“Iya.”
"Kau tahu dia pergi ke mana?"
"Tidak. Itu bukan urusanku. Dia juga tidak memberitahukan kepadaku."
"Biasanya dia pulang pukul berapa?"
"Tidak bisa dipastikan. Dia pulang dan pergi tidak tentu waktunya. Ayo silakan masuk. Kita bisa berbincang-bincang sambil minum the seraya menunggu dia pulang."
"Tidak usah, Bibi. Karena dia tidak ada, saya harus pergi. Saya tidak bisa menunggu sampai dia pulang. Apalagi menunggu tanpa sebuah kepastian."
"Kau ada pesan untuknya? Nanti bisa saya sampaikan. Oh ya siapa namamu?"
"Maaf saya belum memperkenalkan diri saya. Saya Anastasia Palazzo, temannya Ayyas di MGU. Nanti sampaikan saja bahwa Anastasia Palazzo mencarinya, penting!"
"Baiklah."
"Saya minta diri."
"Selamat jalan. Hati-hati."
Anastasia Palazzo melangkah pergi dengan dada agak sesak. Ia menuruni tangga dengan pikiran sama sekali tidak senang. Harapannya bertemu Ayyas lagi-lagi tidak kesampaian. Ternyata Ayyas tidak sakit, juga tidak ada sesuatu yang menimpanya. Pemuda itu masih tetap beraktivitas setiap hari seperti biasa. Hanya saja tidak ke MGU. Terus ke mana saja dia selama ini?
Mengadakan penelitian di mana? Apakah dia selama ini ke Perpustakaan Negara? Atau sedang sibuk mengadakan wawancara? Atau sedang menyelesaikan urusan penting lainnya?
Hati kecilnya sebenarnya memintanya untuk menunggu saja sampai Ayyas pulang. Tetapi harga dirinya mencegahnya. Apalagi ia tidak tahu persisnya kapan Ayyas akan pulang. Jika ternyata Ayyas pulang tengah malam misalnya, apa dia harus menunggu pemuda itu sampai tengah malam? Bagaimana dengan harga dirinya sebagai perempuan terhormat kalau demikian?
Anastasia keluar dari dom tua itu. Ia hanya berharap, perempuan tua itu menyampaikan pesannya kepada Ayyas dengan baik. Dan setelah Ayyas tahu bahwa ia sampai mendatangi apartemennya, ia berharap Ayyas segera menemuinya dengan kesadarannya sendiri. Ia berharap pemuda itu paham, jika sampai ia bersusah payah mendatangi apartemennya, berarti ada sesuatu
yang sangat penting yang harus dibicarakan.
Tetapi bagaimana jika Ayyas tidak juga datang menemuinya?
Anastasia berpikir, dirinya mungkin terpaksa harus sedikit nekat dan sama sekali menanggalkan keangkuhan dirinya. Ia akan kembali mencari Ayyas ke apartemennya. Jika Ayyas pergi, ia akan menunggu di apartemennya sampai ketemu. Tak ada cara lain yang bisa ditempuhnya.
Anastasia menerobos salju tipis yang terus turun. Ia langsung masuk ke Pradonya. Dan sebentar kemudian ia meluncur pulang ke apartemennya
yang terletak tak jauh dari Galeri Tretyakov yang terkenal itu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar