Selasa, 05 Februari 2013

Bumi Cinta ( Part 28 )

Bumi Cinta
Karya : Habiburrahman El Shirazy

DILARANG COPY PASTE UNTUK TUJUAN KOMERSIAL !!!

28. Allah Maha Melihat

Dua perempuan itu pulang hampir bersamaan.  Yelena lebih duluan datang. Begitu ia menghempaskan tubuhnya di sofa panjang, Linor datang membuka pintu. Yelena merasa lega, ia telah melaksanakan semua petunjuk Linor. Ia berharap bahwa rencana Linor itu berjalan dengan baik dan menjadi jalan keluar bagi permasalahannya.
Ia benar-benar ingin hidup merdeka.
Ia juga ingin agar Olga Nikolayenko dan suaminya mendapat pelajaran setimpal agar tidak semena-mena.
Linor berjalan mendekati Yelena yang tetap merebahkan tubuhnya di sofa Linor duduk di sofa sebelahnya.
"Bagaimana, sudah kau kerjakan?"
"Sudah. Aku kerjakan persis seperti saranmu."
"Jadi kau letakkan di mana ponsel Sergei itu?"
"Aku letakkan di kamar mandi yang ada di dalam ruang pribadi Olga Nikolayenko, di apartemennya yang ada di Tverskaya."
"Di tempat yang benar-benar aman?"
"Sangat aman. Aku berani menjamin seratuspersen. Sebab keamanannya adalah jaminan kemerdekaan hidupku."
"Bagus. Kalau begitu sekarang giliranku untuk menyempurnakan semuanya. Eh Yelena, aku bisa minta tolong sedikit padamu?" Kata Linor dengan kening sedikit berkerut.
"Pasti bisa. Apa yang harus aku lakukanunt,ukmu?"
"Aku minta tolong, Bibi Margareta membelikan sesuatu untukku di gastronom Itu yang pertama.Yang kedua, aku minta kau carikan untukku penginapan yang layak di Kiev. Kau carikan lewat internet dari komputermu. Ini laptopku lagi ada sedikit masalah. Bisa?"
"Itu tidak susah. Segera akan dikerjakan dengan sempurna untukmu, Sahabatku."
Yelena bangkit dan memanggil Bibi Margareta di kamarnya.
"Bibi minta tolong membantu Linor ya. Dia ingin dibelikan sesuatu di gastronomi.” Ujar Yelena pelan. Bibi Margareta mengangguk dengan tersenyum. Orang tua itu lalu keluar dari kamar Yelena dan menemui Linor yang masih duduk di ruang tamu.
"Apa yang harus Bibi lakukan untukmu?" Tanya Bibi Margareta kepada Linor.
"Saya kelaparan Bibi, belikan roti hitam, trovog, kentang goreng, mayones, dan satu liter susu segar ya." Kata Linor sambil memberikan beberapa lembar rubel kepada Bibi Margareta.
"Baik."
"O ya. Bibi boleh membeli sesuatu dengan sisa uang itu."
"Terima kasih, Anakku."
Linor meminta Bibi Margareta ke gastronom sebenarnya ada tujuannya. Lebih dari sekadar untuk membelikan makanan. Demikian juga ketika ia meminta Yelena mencarikan penginapan di Kiev lewat internet. Sebenarnya ia ingin mensterilkan ruang tamu itu untuk satu aksinya yang sangat penting. Yang hanya perlu waktu beberapa detik saja. Aksinya itu tidak boleh diketahui siapa pun, termasuk Yelena dan Bibi Margareta.
Linor masih terganggu dengan pintu kamar Yelena yang masih terbuka. Kelihatannya Yelena sudah menghidupkan komputernya. Linor berdiri dan berjalan melongok ke kamar Yelena.
"Bagaimana internetnya nyala?" Tanya Linor dengan tetap berdiri di pintu.
"Ini baru aku hidupkan. Ayo masuklah. Nanti bisa kita cari berdua."
"Ah tidak. Aku harus ke kamar. Aku tunggu saja hasilnya."
"Baik. Aku akan carikan penginapan yang pas untukmu. Percayalah padaku."
"Aku percaya. Aku tutup pintunya ya?"
"Ya boleh." Linor menutup pintu kamar Yelena pelan. Ia langsung bergerak cepat. Ia menuju pintu kamar Ayyas. Ia periksa. Terkunci. Tanpa berpikir panjang ia langsung membukanya dengan sebuah alat. Dan klik! Pintu kamar Ayyas terbuka. Dengan gerakan sangat cepat ia masuk ke kamarnya dan mengambil tas ransel yang sudah lama dipersiapkannya.
Ia bawa tas ransel itu ke kamar Ayyas. Ia melihat-lihat kondisi kamar sekilas. Ia mengambil sebuah buku kecil berbahasa Arab. Ia masukkan ke dalam tas ransel itu. Dan dengan cepat ia meletakkan tas ransel itu di bawah kolong tempat tidur Ayyas.
Ia meletakkannya di bagian paling pojok dan menutupinya dengan selembar kain yang berwarna biru tua, warna yang sama dengan karpet yang membungkus seluruh lantai kamar itu.
Setelah itu Linor kembali ke ruang tamu. Ia kembali mengunci pintu kamar Ayyas seperti sedia kala. Ia merasa lega. Ia melihat jam tangannya.
Ia puas. Tak ada satu menit. Setelah itu dia ke kamarnya. Menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang empuk dan bernafas lega. Ia sangat yakin, seluruh rencana dan aksinya akan berjalan dengan sempurna. Akan ada dua kejadian
yang menggemparkan Moskwa:
Pertama, pertempuran dua mafia Rusia. Yaitu antara kelompok Voykovskaya Bratva67 yang dipimpin Boris Melnikov, dan kelompok Tushinskaya Bratva yang dipimpin oleh Vladimir Nikolayenko yang tak lain adalah suami Olga
Nikolayenko.
Linor sudah bisa membayangkan siapa yang jadi pemenangnya. Ia sangat yakin Boris Melkinovlah yang akan menang dan Vladimir akan mengalami kerugian besar jika tidak kebinasaan.
Kecuali jika di antara mereka akan ada perjanjian damai sebelum terjadi pertempuran.
Meskipun terjadi perdamaian, pasti Boris Melnikov akan memberikan syarat yang sangat merendahkan Vladimir. Dan tidak mudah bagi Vladimir untuk menerimanya. Jika menerima syarat itu, maka Vladimir tidak akan memiliki kekuasaan apa-apa lagi. Dan itu tetap menjadi jalan keluar yang baik bagi Yelena.
Dalam perhitungan Linor, keduanya mengadakan perjanjian damai itu sangat kecil.
Sebab keduanya sudah akan disulut emosi yang memuncak di awal. Pihak Boris Melnikov pasti marah besar ketika menemukan bukti bahwa ponsel Sergei Gadotov ditemukan di kamar mandi-Olga Nikolayenko. Mereka akan langsung mengambil kesimpulan, pembunuh orang penting di kelompok Voykovskaya Bratva adalah Olga Nikolayenko. Atau paling tidak Olga Nikolayenkolah yang paling bertanggung jawab. Pihak Boris Melnikov pasti akan minta supaya Olga dikirimkan kepada mereka untuk dieksekusi.
Dan sebaliknya pihak Vladimir Nikolayenko akan sangat marah dituduh melakukan sesuatu yang tidak mereka lakukan sama sekali. Apalagi yang dituduh adalah Olga Nikolayenko, istri pimpinan tertinggi kelompok mafia mereka.
Mereka tidak mungkin mau menyerahkan Olga Nikolayenko begitu saja. Vladimir akan membela mati-matian istri yang sangat dicintainya itu.
Linor sudah mengatur segalanya untuk mengadu dua kelompok mafia yang sangat menjengkelkannya itu. Di antaranya Linor mengirim surat kaleng kepada Boris Melnikov yang isinya memberitahukan pernah melihat Sergei Gadotov berjalan bersama Olga Nikolayenko memasuki sebuah apartemen di kawasan Tverskaya. Ia tahu Boris Melnikov tidak akan percaya begitu saja pada isi surat itu. Tapi tujuan Linor bukan untuk membuat Boris Melnikov mempercayainya.
Tujuannya adalah agar Boris Melnikova mengarahkan pandangannya ke Tverskaya, ke tempat di mana Olga Nikolayenko menjalankan bisnisnya. Dan pada saat Boris Melnikov mengaktifkan pelacak sinyal untuk kembali mencari
keberadaan Sergei Gadotov, terompet perang itu berbunyi dengan sendirinya, jika benar Yelena telah meletakkan ponsel milik Sergei itu di kamar mandi yang ada di dalam ruang pribadi Olga Nikolayenko.
Kejadian kedua yang akan menggemparkan Moskwa adalah pengeboman lobby Metropole Hotel yang terletak di jantung kota Moskwa, tepatnya di kawasan Teatralnaya, yang tak jauh dari Kremlin. Lobby itu akan dibom bertepatan dengan datangnya seorang pejabat penting Inggris ke sana. Seorang anak buah Ben Solomon akan masuk ke Metropole Hotel dengan menyamar berpenampilan persis seperti Ayyas.
Dan opini dunia akan digiring untuk mengatakan bahwa seorang pemuda Islam terpelajar terbukti melakukan tindakan teroris. Sebagai bukti fisik adalah ditemukannya bahan-bahan pembuat bom di kamar Ayyas. Bahan-bahan itu sama persis dengan bom yang diledakkan di Metropole Hotel.
Dengan adanya kejadian itu Rusia akan marah dan mengambil jarak dengan negara-negara Islam, negara-negara Arab utamanya. Itu karena Ayyas diketahui adalah lulusan dari Arab, akan sangat mudah Ayyas dikaitkan dengan jaringan Al Qaeda. Dan keadaan itu akan digunakan oleh Israel sebaik-baiknya. Israel bersama sekutunya akan semakin mudah menggebuk Palestina dan negara-negara Arab lainnya. Sebab Rusia yang selama ini masih sering berhubungan dengan negara-negara Arab diharapkan ikut aktif bersama barisan pendukung Israel.
Tas ransel berisi bahan pembuat bom itu sudah Linor masukkan di kamar Ayyas. Bahkan ia juga memasukkan satu buku kecil yang ada di meja Ayyas ke tas ransel itu. Pada saat polisi Rusia menggeledah kamar Ayyas dan menemukan tas itu, Ayyas sendiri akan terdiam seribu bahasa, ia tidak akan bisa membantahnya ketika ada bukunya yang juga didapati ada di dalam tas itu.
Dua kejadian itu akan jadi berita hangat di Moskwa. Bahkan di dunia. Dan sebenarnya akan ada kejadian ketiga yang tidak kalah menggemparkan, yaitu terbunuhnya putri salah seorang diplomat Syiria. Ia telah ditugasi langsung oleh Ben -Solomon untuk membunuhnya. Yang harus ia bunuh adalah seorang gadis yang masih kuliah semester dua di MGU. Gadis itu bernama Rihem.
Jika Rihem mati, menurut Ben Solomon, hal itu bisa berpengaruh pada hubungan Syiria-Rusia. Dan ia diminta agar pembunuhangadis itu sebagai kejadian kriminalitas yang mengguncang dunia. Tetapi Linor agak gamang melakukannya.
Ia tahu, gadis itu selain kuliah di MGU juga belajar musik di Moscow State Conservatory. Ia telah melihat dengan mata dan kepalanya sendiri betapa berbakatnya gadis itu memainkan biola.
Setiap kali mengawasi gadis itu dan melihat gadis itu, ia seperti melihat dirinya sendiri saat belajar bermain biola dengan didampingi oleh ibunya. Ia tidak sampai hati membunuh gadis itu, karena membunuh gadis itu seolah ia membunuh dirinya sendiri.
Akan tetapi jika ia tidak melaksanakan tugasnya, ia sendiri akan dieksekusi oleh Ben Solomon atau agen lainnya. Maka kepada Ben Solomon ia minta supaya diberi jeda waktu untuk membunuh gadis itu. Ia memberi alasan, jika ada banyak kejadian teror yang berturut-turut, ia khawatir pihak Rusia akan mencium gerakan mereka. Ben Solomon setuju dengan argumentasi Linor. Sementara ia bisa mengulur waktu, ia akan mencari cara supaya bukan dia yang membunuh gadis itu, tapi agen lain.

***

Linor mendengar suara gaduh di ruang tamu. Ia lihat layar laptopnya. Ia tersenyum dingin.
Yang datang adalah Bibi Margareta membawa bungkusan besar yang ia yakin adalah pesanannya, dan Ayyas yang juga membawa bungkusan yang nampak kelelahan. Dalam hati Linor berkata, "Sebentar lagi kau akan jauh lebih lelah Ayyas. Rambutmu yang hitam itu akan langsung beruban ketika kau digelandang polisi dan dimasukkan ke dalam penjara tanpa tahu dosa apa yang kau lakukan."
Bibi Margareta mengetuk pintu kamarnya. Linor mengganti tampilan layar laptopnya dengan gambar bunga yang dibasahi embun dari wallpaper Windows Vista. Ia lalu beranjak membuka pintu kamarnya.
"Sudah pulang Bibi?" Ramah Linor dengan berusaha tersenyum.
"Sudah. Sudah dapat semua yang kau pesan."
"Spasiba Balshoi Bibi. Ayo kita makan malam bersama lagi."
"Ayo. Kebetulan itu Ayyas sudah pulang. Tadi kami bertemu di ujung Panvilovsky Pereulok."
Linor keluar dari kamarnya dan menutup pintu kamarnya pelan. ia memandang ke arah Ayyas. Pada saat yang sama Ayyas sedang menoleh ke arahnya. Pandangan mereka bertemu. Linor berusaha tersenyum, tapi tetap terasa dingin.
"Hai, kak dela? (Apa kabar?)” Sapa Linor.
"Alhamdulillah, Ya Vso Kharasho! (Saya baik-baik saja)” Jawab Ayyas.
"Bungkusan apa yang ada di depanmu itu?"
"Biasa roti pirozkhi."
"Aku minta Bibi Margareta membeli makanan. Kita bisa makan bersama."
"Boleh. Mana Yelena?"
"Dia ada di kamarnya. Bibi tolong panggil Yelena."
Bibi Margareta melangkah ke kamar Yelena, tak lama kemudian Yelena datang.
"Linor, ini sudah aku temukan tempat menginap yang nyaman untukmu. Letaknya di jantung kota Kiev." Ujar Yelena dengan wajah berseri-seri.
"Apa nama penginapannya?"
"Sunflower B&B Hotel. Letaknya di Kostolna Street. Tak jauh dari stasiun metro Maydan Nezalezhnosti. Di sebelah utaranya, tidak begitu jauh, berdiri megah St. Michael's Monastery yang terkenal dengan kubah emasnya itu."
"Baik itu tempat menginap yang tepat."
Tiba-tiba Ayyas menyela, "Kalian mau pergi ke Kiev?"
"Hanya Linor, aku tidak." Jawab Yelena.
"Kapan kau berangkat ke Kiev Linor?" Tanya Ayyas.
"Besok siang." Jawab Linor sambil mengunyah kentang goreng yang telah ia celupkan ke cairan moyones.
"Pakai pesawat?"
"Ya."
"Ada tugas liputan ya?"
"Benar."
"Enak ya jadi wartawan, bisa ke mana-mana dan bisa bertemu banyak orang penting."
"Ya semua pekerjaan ada enaknya ada tidakenaknya."
"Berapa hari kau di sana?"
"Tiga atau empat hari. Kau sendiri bagaimana penelitianmu?"
"Lumayan. Saya sudah mendapatkan tujuh puluh lima persen dari data yang saya perlukan. Masih dua puluh lima persen lagi. Satu bulan lagi semoga sudah dapat seratus persen. Setelah itu saya bisa jalan-jalan melihat-lihat semua sudut kota Moskwa, bahkan ke kota-kota lain yang tidak kalah pentingnya."
"Jangan lupa, kamu harus mengunjungi St. Petersburg. Itu kota yang sangat indah. Pernahmenjadi ibukota Rusia sebelum revolusi 1917. Pergilah ke sana dan kamu akan menemukan pemandangan yang menakjubkan." Linor member saran.
"Linor benar, kamu harus mengunjungi kotanya para tsar Rusia itu. Banyak orang mengatakan, bahwa seseorang belumlah dianggap menginjak tanah Rusia jika belum menginjakkan kakinya di kota St. Petersburg." Yelena menguatkan.
"Ya itu sudah saya rencanakan. Ada saran kota mana lagi?"
"Kalau bisa mampirlah ke kota Novgorod, sebelum ke St. Petersburg atau mungkin sesudah dari sana. Kota Novgorod ini sangat bernilai sejarah, ia termasuk kota tua yang juga memiliki banyak peninggalan, ada kremlin juga di sana." Kata Linor.
"Kalau saya menyarankan ke Smolensk. Sebuah kota di dataran tinggi dengan pemandangan yang menakjubkan. Kalau musim semi kau bisa menyaksikan bunga-bunga yang indah bermekaran."
"Ya nanti kalau cukup waktu dan cukup biaya saya akan mengunjungi tiga kota itu insya Allah.”
Mereka makan malam sambil berbincang-bincang tentang banyak hal. Suasana bertambah hangat ketika Bibi Margareta ikut serta dengan membawa empat cangkir teh hangat. Bibi Margareta banyak bercerita tentang masa mudanya, juga percintaannya dan petualangannya sampai ke Rusia. Bibi Margareta ternyata berasal dari desa kecil di pinggir kota Voronezh, yang terletak lebih dari 511 km di selatan Moskwa. Setelah bercerita masa kecilnya Bibi Margareta banyak bertanya kepada Ayyas tentang tempat di mana Ayyas berasal. Tentang negaranya, desanya, orangtuanya dan banyak hal.
Dengan santai dan dengan senang hati Ayyas bercerita tentang Indonesia. Ayyas bercerita tentang bagaimana Indonesia merdeka. Tentang Indonesia yang terdiri atas ribuan suku dan bahasa.
Tentang Indonesia yang memiliki lebih dari tiga belas ribu pulau. Ayyas juga bercerita tentang indahnya pantai Parangtritis. Pesona Gunung Merapi yang terus mengepulkan asap. Pemandangan dataran tinggi Ketep, Dieng, yang siapa pun yang berada di sana seolah sampai di tangga langit. Ayyas juga menceritakan kehidupan desanya yang damai. Sawah-sawah yang menguning bagai taburan emas. Dan kopi tubruk yang tidak ada tandingannya di dunia ketika di minum di pagi hari dengan pisang goreng yang masih panas.
Bibi Margareta mendengar cerita Ayyas dengan mata berbinar dan mulut sedikit melongo.
Ketika Ayyas menyelesaikan ceritanya tentang Indonesia. Bibi Margareta hanya mengucapkan satu kalimat,
"Interesno (Menarik)" Malam itu berakhir dengan berakhirnya cerita Ayyas tentang sebuah negeri yang indah bernama Indonesia. Bibi Margareta sampai bermimpi ingin ke sana. Ketika semuanya hendak bangkit berdiri dan beranjak ke kamar masing-masing Bibi Margareta berkata setengah berteriak,
"Ada sesuatu yang aku hampir lupa!"
"Apa itu?" Ayyas dan Yelena menyahut hamper bersamaan.
"Tadi sebelum hari gelap ada perempuan muda ke sini. Dia mencari Ayyas." Jawab Bibi Margareta.
"Itu pasti dia." Sahut Yelena sambil mengedipkan mata pada Linor.
"Iya." Sahut Linor biasa saja.
"Dia siapa?" Ayyas penasaran.
"Yang mencium kamu di acara seminar." Jawab Yelena membuat muka Ayyas memerah.
"O jadi perempuan muda itu kekasih kamu?" Tanya Bibi Margareta dengan wajah polos saja.
"Perempuan muda itu siapa Bibi? Saya tidak tahu. Namanya siapa?" Gemas Ayyas.
"Namanya An.. Anas.. siapa ya aku agak lupa. Maklum sudah tua."
"Anastasia!?" Ayyas mengingatkan.
"Ya benar. Itu dia. Anastasia. Dia gadis yang cantik dan sopan." Puji Bibi Margareta.
"Benarkan dia yang datang?" Sahut Yelena menggoda.
Ayyas tidak menanggapi, ia malah bertanya pada Bibi,
"Ada pesan darinya?"
"Kamu diminta menemuinya. Katanya penting." Jawab Bibi Margareta.
"Segera temui dia. Dia telah menunggumu dengan ciuman yang hangat. Lebih hangat dari Vodka di musim dingin." Ledek Yelena.
"Sudahlah, kau ini berbicara apa Yelena. Sudah, ayo kita istirahat. Jangan lupa berdoa kepada Tuhan biar diberi mimpi yang indah." Ujar Ayyas sambil berjalan ke kamarnya.
"Aku ingin malam ini bermimpi pergi jalan-jalan ke Indonesia." Sahut Bibi Margareta dengan wajah bahagia.
Ayyas menyahut, "Jangan lupa ajak serta Linor dan Yelena. Dan jangan lupa mampir ke rumahku ya Bibi. Aku menunggumu dengan makanan paling enak yang telah disiapkan oleh ibuku."
"Baik. Dengan senang hati." Bibi Margareta tersenyum lebar.
Mendengar dialog itu, Yelena dan Linor juga tersenyum tanpa komentar.

***

Sampai tengah malam Linor belum juga tidur. Sesungguhnya nuraninya paling dalam tidak menyetujui semua yang ia lakukan selama ini.
Tetapi akal pikirannya selalu melibas nuraninya itu tanpa belas kasihan. Ia selalu teringat pesan ayahnya untuk berjuang menegakkan kedaulatan negeri yang dijanjikan dan memerangi kejahatan yang mengancam. Ayahnya bahkan memaksanya masuk ke dalam persaudaraan Gush Emunim.
Menurut ayahnya Gush Emunim yang artinya adalah "Blok Kaum Beriman" merupakan komunitas orang-orang yang menjalankan keagamaan Yahudi paling benar. Ayahnya sangat membanggakan Rabbi Simcha Hakohen Kook
sang pendiri Gush Emunim. Berkali-kali ayahnya memintanya untuk mengulang-ulang ucapan Rabbi Kook yang menegaskan, bahwa bangsa Yahudi berperang melawan kekuatan jahat.
Tak ada yang diperangi oleh Yahudi kecuali kejahatan. Orang-orang Palestina sampai anak-anak kecil Palestina yang ditembaki tanpa ampun oleh Yahudi Israel adalah kekuatan jahat yang memang harus dihapuskan. Seluruh orang
Palestina dan siapa saja yang mendukung Palestina adalah kejahatan yang mengancam, yang karenanya harus dihapuskan dengan segala cara, tanpa kompromi dan tanpa ampun Selama ini, setiap kali nuraninya yang paling dalam memrotes apa yang dilakukannya, ia selalu membungkamnya dengan doktrin-doktrin yang ia terima dari Gush Emunim. Dengan mengingat doktrin-doktrin itu, ia merasa segala tindakannya benar. Apa pun yang ia lakukan tidak salah. Termasuk ketika harus membunuh orang yang tidak
bersalah sama sekali.
Malam itu nuraninya kembali bicara. Nuraninya mengingatkan, Ayyas tidak seharusnya difitnah.
Ayyas orang yang baik. Yang kerjanya hanya membaca, melakukan penelitian dan beribadah. Dia tidak berhubungan dengan aktivitas apa pun yang mengancam kedaulatan negeri yang dijanjikan. Dia bahkan baik kepada siapa
pun yang ditemuinya. Bibi Margareta senang padanya. Dia juga yang menolong Yelena. Dan juga menolong dirinya ketika nyaris putus nafasnya
karena dicekik oleh Sergei Gadotov.
Linor langsung membungkam nuraninya, bahwa salahnya Ayyas adalah satu; dia tidak Yahudi. Karena tidak Yahudi maka tidak ada masalah apapun jika dikorbankan untuk kepentingan Yahudi. Doktrin Gush Emunim kembali ia gumamkan. Nuraninya kembali ingin bicara tapi cepat-cepat ia libas. Ada pergulatan dalam jiwa Linor. Tetapi setan-setan yang mendukung doktrin Gush Emunim tidak tinggal diam. Setan-setan itu samasekali tidak memberi kesempatan bagi nurani dan akal sehat Linor untuk bersuara.
Setan-setan itu malah kemudian membisikkan sesuatu yang mengusik nafsu Linor. Nafsu Linor bergerak. Linor melihat di layar laptopnya.
Ruang tamu atau ruang tengah lengang. Pintu kamar Yelena tertutup rapat. Pintu kamar Ayyas juga tertutup rapat. Linor lalu melihat kamar Ayyas. Nampak Ayyas sedang shalat.
"Inilah saatnya. Aku yakin dia belum pernah menyentuh perempuan. Aku ingin aku adalah orang yang pertama disentuhnya. Dan nanti jika dia dipenjara dia bisa menghibur dirinya pernah merasakan keindahan dengan aku. Dan dia sama sekali tidak tahu bahwa akulah yang sebenarnya menjebloskannya ke penjara." Gumam Linor sambil tersenyum tipis.
Linor mengganti pakaiannya. Ia ingin mengenakan pakaian yang beberapa waktu yang lalu gagal ia perlihatkan pada Ayyas. Ia mengenakan gaun jersey putih halus berpayet. Dengan mengenakan gaun itu ia yakin memiliki sihir yang mampu meluluhkan iman lelaki mana pun yang melihatnya. Barulah setelah itu ia menutupinya dengan mantel tidurnya yang rapat. Tidak lupa ia
menggunakan parfum terbaiknya.
Linor menuju pintu kamar Ayyas. Terkunci. Linor tersenyum. Kali ini ia tidak harus mengetuk pintu. Ia membuka pintu kamar Ayyas yang terkunci dengan alat andalannya. Perlahan pintu kamar Ayyas terbuka. Ia memasukkan kembali alat itu ke dalam mantelnya. Ayyas Nampak sedang sujud. Linor lalu mengunci pintu kamar Ayyas dari dalam sehalus mungkin. Ia melepas mantelnya dan meletakkannya di sandaran kursi dan ia duduk di kursi yang berada tepat di belakang Ayyas yang sedang shalat.
Linor menunggu Ayyas menyelesaikan shalatnya.
Saat itu Ayyas sedang sujud di rakaat terakhir dalam shalatnya. Ia merasakan ada yang memasuki kamarnya. Ia menyabarkan dirinya untuk menyelesaikan shalatnya yang tinggal ujungnya saja. Begitu mengucapkan salam. Ayyas menengokke arah belakangnya, seketika ia terperanjatkaget bukan kepalang.
"Astaghfirullah al’adzim?" Seru Ayyas.
Linor tetap duduk di tempatnya. Ia tersenyum saja melihat Ayyas kaget melihatnya. Ia menunggu Ayyas bangkit dari duduknya di lantai.
"Kau masuk kamarku tanpa izin!"
"Aku sudah izin, hanya kau tidak mendengarnya. Dan aku percaya kau
mengijinkan!"
"Bagaimana kau masuk, padahal pintu itu terkunci!?"
"Kau tidak menguncinya. Atau kau lupa menguncinya. Aku masuk begitu saja!"
"Dengan hormat aku minta kau keluar sekarang!"
"Setelah kau membantuku. Aku perlu bantuanmu!"
"Kau tidak harus memasuki kamarku kalau ingin aku membantumu."
"Justru aku ingin kau membantuku di kamarmu ini."
"Aku tidak paham maksudmu?"
"Dengan melihatku berpakaian seperti ini, kau tidak juga paham?"
"Ya aku paham?"
"Apa aku juga harus melepas semua yang ku kenakan sampai kau paham?"
Ayyas terhenyak. Ia paham maksud Linor. Dia juga lelaki normal. Jantungnya berdegup kencang. Aliran darahnya menghangat. Tidak akan ada orang yang melihat jika ia melakukan ajakan Linor. Keluarganya juga tidak akan tahu kalau ia melakukan itu.
Orang takut kehormatannya jatuh karena ketahuan melakukan perbuatan yang diharamkan itu.
Tetapi kehormatannya tidak akan jatuh, ia rasa, karena tidak akan ada yang mengetahuinya.
Ayyas melihat Linor yang perlahan bangkit dari duduknya. Ayyas juga bergerak bangkit dari duduknya di atas lantai. Saat itu akal sehat Ayyas nyaris tertutupi oleh apa yang dilihatnya.
Ayyas hampir tergelincir dalam dosa besar. Shalatnya hampir saja sia-sia belaka. Tiba-tiba ia teringat bahwa tetap ada yang melihat, tetap saja ada yang menyaksikan apa yang akan dilakukannya dengan Linor, yaitu Allah Yang Maha Melihat.
Allah Maha Melihat.
Alangkah celakanya dirinya jika sampai melakukan dosa besar yang dilarang agama itu.
Alangkah meruginya, jika ia melakukannya, dan kemudian semua amal-amal saleh yang ia jaga mati-matian selama ini kemudian menjadi terhapus
dan sia-sia belaka.
Ayyas kembali memegang kendali akal sehatnya.
"Jadi kau mau?" Lirih Linor dengan senyum penuh kemenangan.
"Mendekatlah!" Jawab Ayyas dengan suara bergetar. Linor mendekat.
"Berbaliklah, aku ingin melihat punggungmu!"
Ayyas semakin gemetar ketika Linor begitu dekat dengannya. Linor mengikuti perintah Ayyas. Perempuan muda itu membalikkan tubuhnya.
Begitu melihat punggung Linor, Ayyas langsung mengetuk satu titik di punggung Linor dengan pukulan cukup keras. Dan akibatnya, "Aaa!"
Linor menjerit keras lalu pingsan. Ayyas segera menangkap tubuh Linor supaya tidak jatuh berdebam ke lantai.
Ayyas menurunkan tubuh Linor perlahan ke lantai. Ia lalu mengambil mantel Linor yang ada di sandaran kursi. Ayyas berusaha memakaikan mantel itu ke tubuh Linor. Setelah itu Ayyas menuju pintu. Pintu itu terkunci. Kuncinya tidak ada di tempatnya. Ia berpikir sejenak. Ia menduga
Linor memasukkan kunci pintu kamarnya ke saku mantelnya. Ia cari kunci itu di saku mantel Linor. Dan benar.
Ayyas membuka pintu kamarnya, lalu menyeret tubuh Linor dan membiarkan tubuh itu terkulai begitu saja di atas karpet ruang tamu.
Setelah itu ia menutup pintu kamarnya. Menguncinya.
Dan menggeser meja di kamarnya sebagai pengganjal pintu kamarnya.
Setelah itu Ayyas menangis tersedu-sedu.
"Hampir saja ya Allah. Oh hampir saja ya Allah!" Rintihnya sambil menangis. "Rabbana zhalamna anfusana wa in lam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal khasiriin." Ayyas terus mengulang-ulang doa itu dengan airmata terus meleleh.
Ia sadar Allahlah yang menyelamatkan dirinya.
Imannya ternyata masih lemah. Kekuatan imannya belum kuat untuk menghadapi godaan setan yang tampil dalam pesona kemolekan perempuan
seperti Linor. Ia yang baru saja shalat, yang baru saja mengisi kekuatan iman, begitu setan mendatangkan Linor di kamarnya, ia langsung tidak berdaya. Kalau bukan karena Allah, maka dirinya akan benar-benar dihina oleh setan
untuk selama-lamanya.
Ia juga sadar, bahwa berhijrah ke tempat yang lebih baik, harus dilakukan secepat mungkin.
Bahkan tidak boleh ditunda sama sekali meskipun cuma satu malam. Semestinya, jika ia tetap bermalam di rumah Pak Joko setelah makan malam, dan baru kembali ke apartemennya keesokan harinya untuk merapikan dan
mengambil barang-barangnya, maka kejadiannya akan berbeda. Ia akan lebih selamat dari tipu daya setan.
Dengan adanya kejadian yang nyaris membuat dirinya terhina seumur hidup itu, keputusannya untuk segera meninggalkan tempat di mana selama ini ia tinggal semakin bulat. Ia sudah bersumpah mulai besok siang, ia tidak akan menginjakkan kakinya di apartemen itu lagi.
Setelah airmatanya mulai berhenti meleleh, ia mengambil air wudhu untuk kembali shalat dan bersujud kepada Allah. Ia harus terus minta pertolongan Allah. Ia teringat kalimat Ibnu Athaillah,
"Kalau kamu tahu bahwa setan tidak pernah melupakanmu dan terus berupaya membinasakan kamu, maka kamu janganlah lupa kepada Tuhan yang nasibmu berada di tangan-Nya."

***

Kira-kira tiga jam Linor pingsan. Menjelang pukul empat dini hari, ia siuman. Awalnya ia kaget tegeletak di lantai ruang tamu. Setelah ingatannya benar-benar pulih, ia sadar apa yang telah terjadi. Ia diminta membalikkan badan oleh Ayyas dan tiba-tiba punggungnya disodok sangat keras dan ia pingsan. Ia tidak tahu setelah itu apa yang dilakukan Ayyas kepada dirinya.
Tiba-tiba ia sangat marah. Ia ingin tahu apa yang telah diperlakukan Ayyas pada dirinya ketika pingsan. Apakah pemuda itu memperkosanya?
Jika benar, ia akan menuntut pemuda itu. Ia tidak mau hanya dijadikan boneka
oleh pemuda itu.
Linor bangkit. Punggungnya masih sedikit sakit. Ia melangkah ke kamarnya. Ia buka laptopnya. Dan ia putar ulang rekaman dari kamera yang ia pasang di kamar Ayyas. Ia melihat ulang apa yang terjadi. Mulai sejak ia masuk ke kamar itu. Ia menguncinya dari dalam. Dan seterusnya sampai ia membalikkan badan. Ayyas ternyata menotok punggungnya dengan keras.
Ayyas menjaga tubuhnya agar tidak jatuh membentur lantai. Ayyas lalu mengenakan mantel yang ia letakkan di sandaran kursi. Lalu Ayyas
menyeretnya keluar.
Kemudian Linor melihat rekaman yang di ruang tengah. Nampak dirinya diseret oleh Ayyas dan dibiarkan telentang di atas lantai begitu saja.
Ayyas lalu masuk ke kamarnya.
Pemuda itu sama sekali tidak menodai dirinya. Sama sekali. Kecantikan dirinya yang ia banggakan sama sekali tidak menarik pemuda itu. Penampilannya yang ia anggap akan meruntuhkan semua iman lelaki yang melihatnya samasekali tidak menggoyahkan iman pemuda itu. Ia nyaris tidak percaya melihatnya. Ia juga nyaris tidak percaya ada pemuda yang begitu teguh menjaga kesuciannya.
Tiba-tiba ia merasa kerdil dan hina. Ia merayu-rayu. Tapi rayuan itu samasekali tidak ada gunanya. Ia bertanya pada dirinya, apa sebenarnya tujuannya merayu pemuda itu. Kalau mau bersenang-senang dengan lelaki bukankah ia bisa ke klub-klub malam di Tverskaya? Kenapa harus melakukan perbuatan konyol seperti itu?
Dan betapa memalukan dirinya diseret seperti bangkai anjing penyakitan seperti itu. Lalu ditinggalkan begitu saja. Ia merasa dihina. Dan ia akan segera membalasnya. Tak lama lagi ia akan membuat pemuda itu diseret bagai bangkai anjing oleh para polisi yang menangkapnya. Ya, tak lama lagi setelah bom meledak di Metropole Hotel dan mengguncang kota Moskwa.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar