30. Kaulah Bayi Palestina Itu
Linor baru bangun dari tidurnya. Pagi itu salju turun perlahan di seantero kota Kiev. Salju juga turun seolah membungkus segala benda yang ada di Pyrohovo. Linor bangkit dan menuju ruang tamu. Linor melihat Madame Ekaterina sedang duduk di sofa sedang membaca buku tebal. Dan Bibi Natasha sedang menata makanan di meja makan untuk sarapan.
Linor duduk di samping Madame Ekaterina. Ia memerhatikan apa yang dibaca oleh ibunya.
Linor agak terkejut melihat buku yang dipegang ibunya.
"Bukankah yang Mama baca itu kitab sucinya orang Islam?" Tanya Linor dengan wajah mengguratkan keheranan sekaligus rasa tidak suka.
Madame Ekaterina, mengangkat mukanya dan memandang Linor dengan penuh kasih saying dan tersenyum.
Ia menjawab pelan,
"Iya. Kenapa? Apa salah kalau aku membaca kitab sucinya orang Islam?"
"Tidak Mama. Cuma, Mama hanya akan melakukan hal yang sia-sia. Lebih baik Mama membaca talmud, itu jauh lebih bermanfaat. Jauh lebih mengukuhkan jatidiri Mama sebagai orang Yahudi."
"Itu doktrin ayahmu ya?"
“Iya.”
"Sudah saatnya kau memiliki wawasan yang lebih luas. Tidak terbatas pada talmud. Sudah saatnya kau meluaskan bahan bacaan, Anakku. Dan menurutku kitab suci orang Islam ini, layak untuk kau baca. Siapa tahu kau akan menemukan kebaikan di sana."
"Mama harus hati-hati, membaca kitab suci orang Islam itu bisa membuat Mama tersesat."
"Kau memandang Mamamu ini seperti anak kecil saja, Anakku. Ingatlah, Anakku yang mengajari kamu membaca dan menulis pertama kali adalah Mamamu ini. Yang mengajari kamu pertama kali bagaimana bermain biola dengan baik juga Mamamu. Mamamu ini pernah kuliah di London, jadi jangan kau remehkan seperti itu." Kata Madame Ekaterina dengan tegas.
“tapi bisa saja..”
"Sudahlah Anakku," Madame Ekaterina memotong perkataan Linor,
"kita tidak usah berdebat tentang hal-hal seperti ini, mari kita makan pagi, setelah itu aku akan bercerita panjang kepadamu. Tentang banyak hal yang harus kamu ketahui sebelum nanti Mama keburu mati. Sebab kita tidak tahu kapan kematian itu akan datang menjemput. Sebab kematian itu selalu mengintai kita dari waktu ke waktu. Ayo kita sarapan. Bibi Natasha sudah menatanya di atas meja makan. Ayo kita ke sana!"
Linor mengikuti ajakan Madame Ekaterina.
Mereka berdua beranjak ke meja makan yang tak jauh dari sofa tamu. Bibi Natasha sudah duduk tenang di sana. Melihat menu yang dihidangkan mata Linor langsung berbinar bahagia. Ada tiga piring trovog. Ada cyorni khleb atau roti hitam yang bergelimangan di sebuah piring besar. Ada panci berisi sup ukha yang masih mengepul, menyebarkan aroma yang khas. Juga ada kentang kukus yang nampak kuning keemasan. Ada salad sayur dan buah yang diaduk dengan maionez dan minyak olive. Juga ada buah-buahan segar, anggur,
pir dan apel.
"Wah, ini pesta Mama!" Seru Linor.
"Ya, keberadaanmu di sini adalah hari raya, Anakku."
"Siapa yang membuat sup ukha-nya?"
"Ciumlah aromanya, kau akan tahu khasnya dan kau akan tahu siapa pembuatnya."
Linor tersenyum. Ia lalu mendekatkan hidungnya ke dekat panci di mana sup ukha masih mengepulkan asap. Ia memejamkan mata dan menghirupnya dengan bibir tersenyum.
"Mmm, dicium dari aromanya, ini buatan Mama." Kata Linor sambil tetap memejamkan mata dan menghirup aroma sup ukha.
"Ya, begitu bangun dari tidur Mama langsung menyiapkan sup ini untukmu."
"Spasiba balshoi, Mama."
Mereka bertiga lalu menikmati makan pagi itu dengan penuh semangat. Linor sampai menyeruput empat mangkuk sup ukha. Madame Ekaterina melihatnya dengan senyum bahagia. Sementara Bibi Natasha nampak sangat menikmati roti hitam yang ia makan dengan trovog yang juga masih hangat. Madame Ekaterina sendiri mengambil roti hitam dan memakannya bersama
dengan sup ukha.
Di apartemen itu, Linor merasa sangat lapang dada dan pikirannya. Ia terbebas dari banyak tekanan. Terutama tekanan tugas dari Ben Solomon yang menjadi pimpinan seluruh agen rahasia Israel di Rusia. Sarapan pagi itu ditutup dengan makan buah-buahan dan minum teh Long Jing kesukaan Madame Ekaterina.
Selesai sarapan Madame Ekaterina mengajak Linor ke kamarnya. Ia ingin bercerita banyak hal kepada Linor. Dengan hati diliputi penasaran Linor mengikuti ibunya ke kamar. Ia merasa ibunya kali ini berlaku sangat aneh. Memintanya menonton film dokumenter tentang pembantaian orang Palestina di kamp pengungsian Sabra dan Shatila. Memintanya untuk melihat ulang perempuan muda Palestina yang dibantai dan mati mengenaskan.
Dan lebih aneh lagi, ibunya itu meminta supaya mengingat perempuan muda yang mati mengenaskan itu sebelum tidur. Dan tadi ia baru saja melihat ibunya itu membaca Al-Quran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Ia jadi bertanya-tanya, kenapa ibunya jadi bertingkah laku aneh seperti itu?
"Duduklah, Anakku. Kita akan menonton film dokumenter itu sekali lagi. Baru setelah itu Mama akan bercerita panjang lebar, tentang hal yang harus kamu ketahui. Sebuah rahasia besar yang harus kamu ketahui. Mamamu ini tidak mau membawa rahasia itu sampai mati."
Linor diam saja, dan duduk tenang di samping ibunya. Madame Ekaterina menyalakan kaset video yang telah diputar tadi malam. Sejurus kemudian Linor dan Madame Ekaterina kembali menyaksikan pembantaian Sabra dan Shatila di layar kaca. Linor sudah setengah hafal dengan alur yang ditampilkan di layar kaca itu. Ia kembali menyaksikan gambar mengambil close up mayat seorang perempuan muda setengah telanjang yang berlumuran darah. Kerudung putih penutup kepalanya lepas tak jauh dari tubuh.
Gamisnya nampak terkoyak-koyak. Perutnya sobek, dan isinya terurai. Dahinya nampak lebam oleh pukulan benda keras. Dada perempuan Palestina itu rusak, payudaranya seperti disayat-sayat sampai hancur. Sepanjang film documenter itu diputar, Linor diam tidak berkomentar. Begitu film habis, Madame Ekaterina berkata,
"Dengarkan baik-baik, Anakku. Mama akan bercerita. Setelah bercerita Mama berharap kamu tetap mencintai Mama. Kamu tetap menyayangi Mama. Sebab di dunia ini, sekarang ini kamulah yang paling berharga bagi Mama. Kau mau berjanji Anakku?"
Linor mengangguk dan berkata, "Iya Mama, Linor berjanji akan tetap mencintai dan menyayangiMama."
"Sungguh, Anakku?"
"Sungguh Mama. Nyawa Linor taruhannya."
"Terima kasih, Anakku. Mama bahagia mendengarnya. Mama sekarang akan cerita. Sesungguhnya Mama melihat langsung pembantaian orang-orang Palestina di kamp pengungsian Sabra dan Shatila pada bulan September
1982 itu. Mama ada di sana. Saat itu Mama menjadi relawan tim medis dari London. Seperti yang kamu ketahui Mama kuliah di Fakultas Kedokteran University of London. Setelah resmi disumpah menjadi dokter Mama bekerja di sebuah rumah sakit swasta di London. Mama mempunyai banyak teman yang baik dan peduli pada kemanusiaan. Di antaranya adalah dr. Jeane Croft, dr. Alison Harowth, dan John Trondike.
"Suatu hari mereka bertiga mengajak Mama untuk menjadi sukarelawan ke Beirut. Tepatnya ke kamp pengungsian Palestina di Beirut Barat.Awalnya Mama menolak, tetapi Jeane Crofit meyakinkan Mama dengan memberikan kepada Mama data-data tentang kehidupan orang-orang Palestina yang membutuhkan bantuan kemanusiaan.Mama akhirnya ikut terbang ke Beirut.
"Saat itu Beirut baru selesai perang. Kota yang pernah mendapat sebutan pengantin timur tengah itu dalam keadaan porak poranda.
"Di Beirut Mama bertemu dengan banyak relawan dari pelbagai negara. Ada dr. Rio Spirugi, pria berkebangsaan Swiss-Italia, ada Ben Alofs dari Belanda, ada Ellen Spigel dan dr. Jill Drew dari Amerika, ada dr. Ang Swee Chai dari
Singapura, dan banyak lainnya. Para relawan itu orang yang sangat tulus menolong sesame manusia dan sangat teguh memperjuangkan harga diri sesama manusia.
"Bersama beberapa relawan Mama bekerja di bawah payung PRCS atau Palestine Red Crescent Society sebuah organisasi kemanusiaanyang sangat tidak disukai Israel. PRCS saat itu punya program menghidupkan kembali rumah sakit-rumah sakit milik orang-orang Palestina yang hancur karena dibombardir Israel. Salah satu rumah sakit itu adalah Rumah Sakit Gaza yang terletak berhimpitan dengan kamp pengungsian Sabra dan Shatila. Mama bertugas di Rumah Sakit Gaza bersama enam relawan.
"Di Rumah Sakit Gaza itu Mama bertemu dengan perempuan-perempuan Palestina yang sangat baik hati. Ada Ummu Khalid, ada Azizah Abbas, ada Nahla, dan ada dokter muda yang cantik bernama Salma Abdul Aziz. Mama sangat dekat dengan Salma. Mama kagum kepada Salma. Ia masih muda, umurnya baru dua puluh enam tahun tapi sudah menyelesaikan spesialisasinya di bidang bedah tulang, dan telah meraih gelar master di bidang jurnalistik dari Glasgow.
Saat itu ia sedang hamil tua, mengandung anaknya yang kedua.
"Tidak mudah bekerja sebagai relawan di bawah payung organisasi kemanusiaan Palestina, apalagi PRCS yang saat itu dijuluki sebagai organisasi 'para teroris' oleh Israel dan dunia internasional yang mendukung Israel. Tetapi kami tetap maju menolong anak-anak tak berdaya yang sekarat karena kena bom fosfor Israel, atau kena cluster bomb yang sengaja dijatuhkan oleh Israel di kawasan-kawasan padat penduduk.
"Kau tentu tahu apa itu cluster bomb atau fargmentation bomb. Kau pasti sudah diajari oleh Mosad saat kau dididik satu tahun di Tel Aviv.
Ah, bom jenis itu sangat mengerikan. Bom jenis itu kalau dijatuhkan di suatu tempat akan meledak dan tersebar luas dalam bentuk kepingan-kepingan kecil. Lalu kepingan-kepingan itu akan diam, sampai datang anak-anak
yang tak sengaja menyentuh atau mencungkilnya karena rasa ingin tahu. Begitu tersentuh, kepingan-kepingan itu akan meledak menjadi pecahan-pecahan kecil yang tajam dan membinasakan dalam jumlah yang tidak terhitung jumlahnya.
Siapa yang kena bom ini akan tewas atau mengalami luka yang sangat serius di wajah, mata, tulang dan organ-organ tubuh lainnya. Bom jenis ini sering dijatuhkan oleh Israel di daerah padat penduduk Palestina. Tak terkecuali Sabra dan Shatila juga Bour El Brajneh.
"Hampir setiap hari Mama melakukan operasi ringan maupun berat bersama dr. Salma Abdul Aziz. Kami menolong siapa saja yang perlu pertolongan. Kami tidak memandang ras, warna kulit, dan agama. Meskipun rumah sakit itu di
bawah payung PRCS tetapi banyak juga penduduk Libanon yang kami tolong, apa pun agamanya, termasuk Yahudi Libanon juga kami tolong.
"Salma orangnya sangat terbuka, berwawasan, dan memiliki rasa tanggung jawab yang luar biasa. Ia pernah menemani seorang perempuan Yahudi Libanon yang tinggal di dekat Sabra semalam penuh karena perempuan itu mau melahirkan.
Padahal saat itu Salma sendiri sedang hamil tua. Ia menemani perempuan itu dan membantunya melahirkan anaknya dengan selamat.
Bahkan ketika ternyata perempuan itu kekurangan darah setelah melahirkan, Salma tidak ragu mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan nyawa perempuan itu setelah melihat golongan darahnya ternyata cocok dengan perempuan itu.
"Mama tahu Salma sangat membenci kezaliman Zionis Israel. Salma tidak bisa menerima dan tidak bisa memaafkan kejahatan Yahudi Israel yang telah menghabisi ayah, ibu dan kedua kakaknya. Ia selamat karena saat itu sedang tidak ada di rumah. Ia sedang ada di rumah pamannya. Tetapi sebagai dokter Salma tetap berjiwa besar. Ia benar-benar berhati malaikat, ia menolong siapa saja, tidak memandang apa agamanya. Ia benar-benar mengamalkan sumpah yang telah diucapkannya ketika menjadi dokter, bahwa seorang dokter itu bersumpah untuk merawat para pasien tanpa memandang ras, agama, warna kulit maupun keturunan.
"Salma tidak ragu untuk menolong perempuan Yahudi Libanon, dan menyelamatkan nyawa perempuan itu dengan mendonorkan darahnya. Sejak itu Mama sangat kagum pada Salma. Mama sempat bertanya kepada Salma, bagaimana dia bisa berbuat sedemikian tinggi menjunjung nilai kemanusiaan. Salma menjawab bahwa di dalam kitab suci yang diyakininya, yaitu Al-Quran, dijelaskan bahwa menolong satu nyawa untuk tetap bisa hidup itu seolah menolong seluruh umat manusia untuk tetap hidup.
"Sejak itu ibu dekat sekali dengan Salma Abdul Aziz. Akhirnya ibu tahu perjalanan hidup Salma yang berdarah-darah. Salma lahir di pinggir selatan kota Akka, Palestina. Kampungnya diduduki oleh Israel, banyak orang Palestina yang dibantai. Termasuk keluarganya. Sejak keluarganya dibantai tentara Israel, ia ikut keluarga pamannya yang membawanya mengungsi ke Libanon. Sang paman membawanya ke daerah Shatila, Beirut Barat dan bergabung dengan banyak pengungsi Palestina di sana.
"Kau harus tahu, Linor, bagaimana sejarah orang Palestina membuat kamp pengungsian di Libanon, khususnya di Sabra dan Shatila. Dan bagaimana mereka hidup di sana. Pada tahun 1948 Zionis Israel mengusir orang-orang
Palestina yang tinggal di sebelah utara Galilea.
Banyak di antara orang Palestina yang menyeberang perbatasan utara menuju Libanon. Orang-orang dari Galilea tersebut menjadi pengungsi di Libanon. Sebagian lainnya melarikan diri ke Yordania, Mesir, Suriah, Irak dan seluruh jazirah Arab. Atlas dunia tidak lagi memuat peta Palestina, tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat orang-orang terbuang yang berjumlah 750 ribu orang ketika itu untuk mengingat Tanah Air mereka.
"Pada mulanya para pengungsi Palestina diharapkan akan membaur ke dalam komunitas negara-negara tetangga sesama bangsa Arab, sehingga akhirnya mereka mengikuti jejak bangsa-bangsa lain yang tak terhitung jumlahnya yang telah terhapus dari sejarah. PBB, bersama-sama dengan organisasi kemanusiaan dan pemberi bantuan, memasok tenda-tenda dan mendirikan
kamp-kamp bagi rakyat Palestina yang kini telah kehilangan tempat tinggal. Orang-orang Palestina dari daerah Galilea menghuni beberapa 'tenda sementara' ini di Sabra, Shatila, dan Bourj El Brajneh di pinggiran Beirut Selatan.
"Para penghuni ini tidak mau kehilangan identitas mereka sebagai orang Palestina. Mereka ingin Palestina tidak hilang dari sejarah. Maka mereka tidak bisa benar-benar berbaur karena mereka bukanlah pengungsi sungguhan. Mereka lebih tepat dikatakan orang-orang buangan, dan ada perbedaan antara dua hal itu. Sebagai orangorang buangan, mereka selalu ingin pulang ke rumah. Tenda-tenda yang disediakan PBB itu segera dirobohkan oleh orang-orang Galilea sendiri.
"Selanjutnya, di tempat-tempat pembuangan, berdasarkan kenangan dan sedikit foto rumah mereka, mereka kembali membangun komunitas sendiri. Komunitas orang Palestina. Banyak dari rumah-rumah itu dibangun sedemikian rupa agar nampak sama dengan rumah di kampung halaman mereka.
"Setelah tenda-tenda itu digantikan dengan rumah-rumah dan flat-flat dari batu bata, kamp-kamp tersebut menjadi kota-kota orang buangan, dengan masjid, taman kanak-kanak, sekolah-sekolah, bengkel-bengkel, klinik-klinik dan rumah sakit-rumah sakit. Mereka menamakan rumah sakit mereka dengan Rumah Sakit Gaza, Haifa dan Akka, seperti nama-nama kota Palestina supaya mereka tidak pernah lupa dengan akar mereka.
"Meskipun kamp-kamp itu awalnya dibangun untuk orang Palestina. Namun orang-orang Palestina itu telah mengambil pelajaran dari kesengsaraan mereka dan menerapkan sebuah prinsip nondiskriminatif yang meliputi seluruh institusinya, sehingga tidak pernah kamp itu khusus diperuntukkan orang-orang Palestina semata.
"Rumah sakit-rumah sakit yang dikelola PRCS misalnya, memberikan perawatan gratis bagi semua orang yang membutuhkan. Mereka tidak mempermasalahkan negara asal, ras, ataupun agama. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh orang-orang Palestina memberikan pendidikan gratis bagi semua orang. Institusi-institusi kejuruan dan organisasi-organisasi wanita yang mereka kelola menjalankan kebijakan pintu terbuka. Hasilnya lebih dari sepertiga penduduk Sabra dan Shatila bukan bangsa Palestina, melainkan orang-orang Libanon yang berpihak kepada rakyat Palestina atas dasar persamaan nasib, yaitu kemiskinan dan persamaan hak.
"Salma hidup sebagai orang buangan layaknya orang Palestina yang lain. Ia begitu bangga menjadi orang Palestina. Rasa bangganya sebagai orang Palestina samasekali tidak luntur meskipun ia hidup tidak di tanah kelahirannya sendiri.
"Kata Salma, menjadi perempuan Palestina hanya punya dua pilihan, tidak ada pilihan ketiga, yaitu hidup mulia sebagai pejuang yang teguh berjuang di jalan Allah, atau mati mulia sebagai syuhada yang dicintai oleh Allah.
"Sejak kecil dan remaja, sang paman sudah menggemblengnya sebagai seorang pejuang. Salma sangat cerdas. Di sekolah ia sering loncat kelas. Dengan kerja kerasnya dan bantuan pamannya ia bisa menyelesaikan pendidikannya menjadi seorang dokter dari American University in Beirut pada usia belum genap dua puluh satu tahun. Setelah itu seorang dosennya merekomendasikan namanya untuk mendapat beasiswa ke Glasgow. Ia mengambil spesialisasi bedah tulang.
Dan Salma menyelesaikan studinya dengan gemilang.
"Pulang dari Glasgow Salma langsung mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk rakyat Palestina. Ia terlibat di banyak organisasi kewanitaan yang memperjuangkan bangsa Palestina.
Meskipun usianya sangat muda, tetapi ia sangat diperhitungkan. Ia disegani oleh kawan maupun lawan.
"Ketika umurnya memasuki dua puluh empat tahun ia menikah dengan seorang pemuda berdarah Palestina-Libanon bernama Ezzuddin. Paman Salmalah yang mengenalkan dan menikahkan mereka berdua. Salma sangat hormat pada pamannya. Ezzuddin, seorang pemuda yang gagah, yang juga terlibat sebagai pejuang Palestina. Selain itu ia juga mengajar di sebuah sekolah menengah di Bour El Brajneh yang terletak di Beirut Selatan.
"Satu tahun menikah ia dikaruniai seorang anak lelaki yang ia beri nama Khalid. Satu setengah tahun berikutnya ia hamil anak yang kedua. Hidup Salma penuh liku dan tidak mudah. Ujian datang silih berganti. Toh begitu, ia tetap sabar. Ketika usia kehamilan anak keduanya memasuki bulan ke empat, Ezzuddin gugur bersama puluhan muridnya. Gedung sekolah tempat Ezzuddin mengajar dibom oleh Israel. Puluhan orang tewas dan puluhan lainnya luka berat dan ringan. Ezzuddin termasuk yang tewas.
"Salma tetap tegar. Ia tetap berjiwa mulia. Ia tidak membenci kecuali kepada kezaliman dan kejahatan. Ia tetap menolong siapa saja dengan ilmu kedokteran yang dikuasainya, termasuk menolong perempuan Yahudi Libanon itu saat usia kehamilan Salma memasuki bulan ke sembilan. Mama semakin dekat dengan Salma.
Bahkan Mama banyak belajar ketulusan dan kebesaran jiwa pada Salma.
"Sampai akhirnya, pada tanggal 10 September 1982, pagi-pagi sekali Mama dibangunkan oleh Alison Harowth untuk bergegas ke Rumah Sakit Gaza, karena Salma sedang berjuang untuk melahirkan anaknya di sana. Kami bergerak dengan cepat. Ketika sampai di Rumah Sakit Gaza, Salma sudah bukaan enam. Mama ikut membantu Salma. Setengah jam kemudian Salma melahirkan bayi perempuannya. Salma langsung meminta bayinya itu dan mengumandangkan sesuatu di telinga kanan dan telinga kiri anak itu.
Dan Salma memberi nama putrinya itu, Sofia.Mama sangat bahagia melihat Salma berhasil melahirkan anaknya dengan selamat. Si bayi Sofia begitu cantik, seumpama malaikat. Rambutnya halus pirang kecoklatan. Hidungnya indah. Matanya jeli. Dan pipinya bagai pualam.
"Salma perempuan yang tangguh. Selesai melahirkan ia minta diantarkan pulang ke rumah ibu mertuanya yang tinggal di sebuah rumah susun tak jauh dari kawasan Sabra dan Shatila. Salma memang tinggal bersama ibu mertuanya. Mereka hanya tinggal berdua. Karena semua lelaki di rumah itu telah gugur sebagai pejuang Palestina yang tidak mau hidup kecuali harus merebut kembali tanah Palestina dari penjajah Israel.
"Ibu mertua Salma adalah perempuan Libanonasli yang halus budi. Namanya Zaenab. Dia sudah tujuh puluh tahun lebih. Ia menikah dengan seorang lelaki Palestina bernama Yaser. Dari perkawinan itu lahir tujuh anak manusia yang
semuanya laki-laki dan semuanya telah gugur .membela Palestina.
"Karena ibu mertua Salma sudah tua, dan Salma sendiri masih lemah, Mama menyempatkan untuk menemani Salma barang satu atau dua hari. Dan Salma menyambutnya dengan hati gembira. Mama benar-benar seperti adik atau kakak bagi Salma. Mama seolah menjadi bagian dari keluarga Palestina yang terbuang di Libanon itu.
"Pada hari kedua setelah melahirkan, Salma masih istirahat di rumahnya, tetapi pada hari ketiga ia sudah bangkit dan kembali bekerja di Rumah Sakit Gaza yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan kamp Shatila. Ia tidak bisa tenang beristirahat sementara masih banyak pasien yang menunggu uluran tangannya.
"Dalam keadaan belum pulih benar dari melahirkan, Salma sudah harus melakukan operasi bedah ortopedis terhadap anak Palestina berusia delapan tahun bernama Fatimah. Si Kecil Fatimah, menderita luka bakar karena terkena cluster bomb yang menewaskan kedua orangtuanya.
Kedua kakinya yang mungil patah di banyak tempat karena terkena pecahan bom. Banyak luka Fatimah yang telah membusuk, sehingga diperlukan operasi ortopedis untuk mengangkat tulang yang telah mati dan membusuk. Setelah operasi selesai, flaktura-flakturanya harus diluruskan agar tidak bengkok. Salma menjalankan tugasnya sebagai dokter dengan kesabaran dan profesionalitas yang mengagumkan.
"Rabu, 14 September adalah hari yang melelahkan sekaligus membahagiakan bagi Salma. Pada hari itu, enam belas jam penuh ia bekerja di rumah sakit. Mama melihat wajah Salma yang pucat karena kelelahan. Tetapi Salma tersenyum bahagia karena pada hari itu ia berhasil menyelamatkan dua anak Palestina yang sekarat.
Dua anak Palestina itu dengan sangat terpaksa harus diamputasi kakinya, karena luka akibat terkena pecahan bom Israel telah membuat kaki mereka membusuk. Salma pulang agak larut malam. Kami berjalan kaki bersama. Melewati jalan-jalan kamp Shatila yang lengang. Masih ada satu dua orang yang terjaga. Tetapi kebanyakan penghuni kamp Shatila sedang terlelap
dalam impian mendapatkan kembali Tanah Air mereka, yaitu bumi Palestina.
"Malam itu, sebelum berpisah, entah kenapa Salma berpesan kepada Mama, kalau terjadi apa-apa pada dirinya ia minta agar bayinya Mama selamatkan dan Mama besarkan sebagai orang Palestina. Mama menyanggupi permintaan Salma. Di perempatan jalan kami berpisah. Salma berjalan lurus menuju apartemen di mana ia tinggal bersama ibu mertuanya yang sudah tua. Dan Mama belok kanan menuju apartemen Hamra, di mana Mama tinggal bersama para dokter relawan dari pelbagai negara. Sebelum tidur, entah kenapa Mama merasa sangat tidak tenang.
Rasanya Mama ingin bangun dan berlari menuju apartemen Salma lalu membawa Salma dan keluarganya meninggalkan Libanon.
"Mama membuang jauh-jauh perasaan tidak enak itu. Mama berusaha menenangkan dalam hati, bahwa akan ada kedamaian di Libanon. Sudah ada kesepakatan damai yang difasilitasi oleh PBB. Para pejuang Palestina yang sebelumnya bermarkas di Sabra dan Shatila telah bersedia dipindahkan ke luar Libanon oleh keputusan PBB. Israel dan milisi Libanon penentang Palestina telah bersedia menjaga kedamaian dan keamanan setelah para pejuang Palestina dikeluarkan dari Libanon. Yang tinggal di Sabra dan Shatila tinggal anak-anak, kaum perempuan, dan lelaki yang sudah tua renta. Karena yang menjadi mediator kesepakatan damai adalah PBB pastilah PBB akan bertanggung jawab menjaga keamanan di kawasan Beirut itu, terutama Sabra dan Shatila. Mengingat hal itu Mama sedikit tenang. Malam itu Mama tidur dengan pulas.
"Pagi harinya, tanggal 15 September 1982, Mama dibangunkan oleh deru pesawat tempur yang terbang rendah. Pesawat-pesawat tempur itu datang dari arah laut tengah menuju selatan, ke arah Beirut Barat di mana terdapat kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Mama langsung teringat rumah sakit Gaza. Tanpa berpikir panjang Mama meluncur ke rumah sakit Gaza. Begitu sampai di rumah sakit, Mama mendengar dentuman bom menggelegar bertubi-tubi. Ternyata itu adalah bom yang ditembakkan oleh serangan darat, bukan serangan udara. Mama dan para dokter yang lain naik ke lantai paling atas dan melihat betapa rumah sakit dan kamp Sabra dan Shatila telah dikepung oleh serangan darat yang hebat. Bom-bom terus berjatuhan.
"Tengah hari, bom-bom itu sudah sangat dekat dengan rumah sakit. Lalu terdengar suara meriam dan suara tembakan yang seolah tidak pernah berhenti. Sore hari, belasan orang Palestina korban peluru-peluru tajam berdatangan ke rumah sakit. Ada yang perutnya robek dari depan sampai belakang, tapi belum juga mati. Ada yang pahanya hancur. Ada perempuan muda yang siku lengannya hancur. Ia ditembak di ruang tamu rumahnya sendiri yang ada di pinggir kamp Sabra.
"Malam tiba, dan serangan itu semakin menjadi-jadi. Kami terkepung. Langit Sabra dan Shatila dipenuhi desingan peluru-peluru militer. Suara tembakan senapan mesin tidak juga berhenti. Mama teringat Salma. Sejak pagi Mama
tidak melihat Salma. Mama sangat cemas. Tetapi saat itu Mama tidak bisa berbuat apa-apa Karena Mama harus terus bekerja memberikan pertolongan
darurat pada orang-orang Palestina yang terluka, yang terus membanjiri Rumah Sakit Gaza. Jam tiga malam Mama tertidur kelelahan.
"Pagi sekali, hari Kamis 16 September 1982, Mama tergerak untuk menelusup ke rumah Salma. Ternyata suasananya jauh dari yang Mama bayangkan. Suasananya sangat mengerikan.
Mayat bergelimpangan di jalan-jalan. Dan pembantaian terus berjalan. Orang-orang Palestina yang membuka rumahnya diberondong tembakan senapan mesin. Mama nyaris tertangkap tentara pembantai, tetapi Tuhan menyelamatkan Mama. Tiba-tiba dari tempat persembunyian, Mama mendengar jeritan perempuan.
Mama melihat seorang perempuan Palestina sedang jadi bulan-bulanan tentara-tentara durjana itu. Perempuan itu terus melawan.
Dan akhirnya ia ditembak mati setelah mengalami penyiksaan yang tidak ringan. Mayat perempuan itu tergeletak begitu saja di pinggir jalan.
"Setelah para tentara itu pergi untuk mencari korban lain,
Mama merangkak perlahan mendekati mayat itu. Mama penasaran, sebab dari kejauhan Mama seperti mengenal suara perempuan itu. Ternyata benar Mama mengenalnya. Perempuan itu adalah Salma. Mama menangis, tiba-tiba Mama teringat pesan terakhir Salma sebelum berpisah malam itu. Mama teringat bayi Salma, Mama langsung bergerak untuk bisa keluar dari kamp Sabra dan
Shatila. Saat Mama berjalan sambil mengendap-endap Mama tertangkap oleh tentara. Mama dipukul dengan popor senapan. Mama langsung pingsan, tidak tahu apa yang terjadi.
"Ketika bangun Mama sudah berada di bangunan seperti gudang. Mama melihat banyak majalah dan koran berbahasa Ibrani di tempat itu.
Juga kaleng-kaleng makanan dan minuman dengan label Israel. Para tentara di situ juga menerima perintah langsung dari pejabat militer Israel.
Di situ Mama tidak sendirian, para dokter relawan dari pelbagai negara banyak yang ditawan di situ. Kami diinterogasi dan dihina. Kami ditakut-takuti mau dibunuh. Satu hari penuh kami ditahan, dan akhirnya kami dibebaskan dengan syarat harus segera angkat kaki dari Beirut dan tidak boleh lagi membantu orang-orang Palestina.
"Begitu bebas, Mama langsung berlari ke apartemen Salma. Mama merasa bayi Salma dalam bahaya besar. Apartemen Salma ada di luar kamp Sabra dan Shatila tetapi tidak begitu jauh dari kedua kamp itu. Sampai di apartemen Salma, ibu mertua Salma langsung menyerahkan bayi Salma kepada mama, dan meminta mama untuk langsung pergi.
'Segera pergi, satu detik sangat berarti untuk selamat. Cepat selamatkanlah anak Salma ini.' Kata Ibu mertua Salma dengan hati bergetar.
Saat itu Mama minta supaya orang tua itu ikut pergi, tetapi ia tidak mau. Dengan tegas ibu mertua Salma itu berkata,
'Ini adalah tanah tumpah darahku. Di sini aku lahir. Di sini aku tumbuh. Dan di sini juga aku akan mati dan dikuburkan. Aku tidak akan meninggalkan tanah kelahiranku ini, apa pun yang akan terjadi. Termasuk jika aku harus mati karenanya.'
"Mama tidak bisa memaksanya. Maka Mama terpaksa pergi hanya dengan membawa bayi itu, anak Salma. Sementara itu pembantaian di Sabra dan Shatila terus berlangsung. Selama tujuh puluh jam lebih, dari tanggal 15 sampai tanggal 18 September, kamp Sabra dan Shatila jadi lading pembantaian. Mama kira, pembantaian Sabra dan Shatila, adalah tragedi kemanusiaan terbesar, terkejam, terberingas, dan terbiadab sepanjang
sejarah.
"Seorang koresponden BBC yang datang ke kamp Sabra dan Shatila pada tanggal 19, mengatakan di Rumah Sakit Gaza ia melihat mayat yang ditumpuk-tumpuk. Dalam satu tumpukan ada sepuluh mayat bahkan lebih. Wartawan
itu sampai menangis melihat kebiadaban itu. Wartawan itu sampai mengatakan, bahwa seekor kucing pun tidak luput dari pembantaian yang dikendalikan sepenuhnya oleh Israel, meskipun yang melakukan pembantaian di lapangan adalah milisi Falangis yang tulang punggungnya adalah orang-orang dari Suku Haddad yang sangat memusuhi Palestina dan Islam.
"Kau pasti tahu, Anakku. Israel menggunakan tangan milisi Falangis untuk membantai orang-orang Palestina di Sabra dan Shatila, bukan tanpa tujuan. Ada beberapa tujuan. Dan tujuan terpentingnya menurut Mama ada dua. Pertama, dengan menggunakan tangan milisi Falangis yang jelas-jelas beragama Kristen, Israel ingin melanggengkan permusuhan umat Islam dan Kristen di Libanon dan di mana saja. Yang kedua, Israel ingin agar Libanon terus terguncang dan terintimidasi.
Mereka, tentara-tentara Israel yang merencanakan pembantaian itu, sangat sadar bahwa mereka pasti akan pergi. Akan tetapi suku Haddad dan Kata'eb adalah orang asli Libanon yang akan tetap tinggal di Libanon. Mereka tidak akan pergi. Mereka akan menjadi monster yang terus mengintimidasi orang-orang Palestina yang selamat dari pembantaian. Orang-orang Palestina akan terus ketakutan, bahkan setelah Israel mundur dari Libanon.
"Masih pada tanggal 19 September 1982,seorang wartawan yang juga kru film asal Kanada berhasil mengambil gambar mengerikan yang terjadi di Sabra dan Shatila. Termasuk gambar Salma yang berlumuran darah, dengan isi perut
terburai keluar, dan dada hancur.
"Anakku, gambar mayat seorang perempuan muda setengah telanjang yang berlumuran darah, dengan kerudung putih penutup kepalanya lepas tak jauh dari tubuh, yang perutnya sobek, dan isinya teruarai. Gambar yang baru saja kau lihat berulang-ulang itu, adalah gambar mayat Salma, Anakku. Salma yang berhati malaikat itu harus mati dengan cara yang sangat tragis dan mengenaskan. Mama selalu menangis setiap kali mengingat Salma dan apa yang terjadi padanya.
"Yang sedikit membuat Mama terhibur adalah bahwa Mama berhasil menyelamatkan anak Salma. Kalau Mama terlambat pergi dari apartemen Salma saat itu, kemungkinan besar Mama tidak akan bisa menyelamatkan anak Salma.
Bahkan bisa jadi Mama juga akan terbunuh. Sebab, setelah melakukan pembantaian habis-habisan dai Sabra dan Shatila, milisi Falangis dan tentara Israel mengadakan penyisiran di Beirut Barat. Setiap kali menemukan orang Palestina, pastilah orang Palestina itu dihabisi.
"Dalam pembantaian Sabra dan Shatila itu, orang-orang Palestina tidak bisa melakukan perlawanan apa pun. Sebab para pejuang mereka telah disingkirkan oleh PBB dari Beirut.
Dan segala senjata yang mereka miliki telah diserahkan kepada pasukan penjaga perdamaian. Dalam kondisi tanpa senjata apa-apa itulah Israel memanfaatkan situasi. Israel menghabisi orang-orang Palestina yang ada di Sabra dan Shatila tanpa ampun. Genjatan senjata dan perdamaian yang disepakati dilanggar di depan hidung pasukan perdamaian PBB yang tidak berkutik apa-apa.
"Pada tanggal 22 September 1982, Palang Merah Internasional mengumumkan jumlah mayat korban pembantaian Sabra dan Shatila sebanyak 2400, berdasarkan jumlah mayat yang mereka temukan. Menurut Mama jumlah korban sesungguhnya jauh lebih banyak dari itu. Sebab, ada wartawan yang melihat stadion yang penuh dengan mayat yang bertumpuk. Dan ada satu kenyataan penting bahwa setelah mereka selesai melakukan pembantaian, mereka membawa buldoser dan menghancurkan bangunan-banguan yang ada di Sabra dan Shatila demi menimbun mayat-mayat yang berserakan di mana-mana itu. Jadi banyak sekali mayat yang tertimbun yang tidak terhitung oleh tim Palang Merah Internasional."
"Terus bayi anak Salma itu, Mama bawa ke mana dan Mama apakan?" Tanya Linor penasaran.
"Bayi itu Mama bawa ke London, dan ke mana saja Mama pergi. Mama rawat dengan penuh kasih sayang sampai besar layaknya anak Mama sendiri." Jawab Madame Ekaterina.
"Sekarang di mana dia? Apa aku pernah bertemu dengannya?" Linor penasaran.
"Ini yang kau harus tahu Anakku. Bayi yang Mama selamatkan itu adalah kamu. Kamulah anak Salma itu. Perempuan muda yang dibantai dengan cara sangat sadis itu adalah ibu kandungmu, Anakku!"
"Bayi itu adalah aku?!"
"Ya. Benar. Kau lah bayi Palestina itu."
Mata Linor tiba-tiba berkaca-kaca. Hatinya yang selama ini keras bagai batu jika melihat orang Palestina atau mendengar nama Palestina, kini tiba-tiba melunak.
"Dan perempuan Palestina yang terbunuh itu adalah ibuku?!"
"Benar."
"Mama jangan mengada-ada!"
"Mama tidak mengada-ada. Inilah yang sesungguhnya terjadi. Kalau kau tidak percaya kau bisa test DNA. Mama punya beberapa lembar rambut Salma dan contoh darah Salma yang pernah Mama ambil beberapa saat sebelum dia melahirkan.
Mama hanya menyampaikan kebenaran yang tidak boleh Mama tutup-tutupi. Mama tidak mau mengkhianati Salma. Apa kata Salma kepada Mama, jika dia bisa hidup kembali melihat Mama menyembunyikan sejarah hidupmu dan membiarkan dirimu menjadi agen Zionis yang terus membunuhi orang-orang Palestina setiap hari, padahal kau sejatinya adalah orang Palestina. Sekali lagi Mama katakan sebenarnya kau bukan anak Mama, kau anak Salma. Tidak ada darah Yahudi yang mengalir dalam tubuhmu, yang ada sesungguhnya adalah darah Muslim Palestina."
"O tidaaak!" Tiba-tiba Linor menjerit danmenangis pilu. Pikirannya langsung teringat perempuan muda Palestina yang tewas dengan perut sobek dan dada rusak. Perempuan muda itu adalah Salma, ibunya. Ia merasa betapa jahatnya ia selama ini karena menjadi agen rahasia Israel, dan betapa jahatnya ia telah menjadi bagian dari penyebab hilangnya nyawa orang-orang Palestina yang ternyata adalah saudaranya sendiri, bangsanya sendiri. Linor menjerit dalam batin sesak antara percaya dan tidak percaya. Sebutir airmata tiba-tiba jatuh dari pipinya. Ya, hanya sebutir.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar