Rabu, 31 Juli 2013

A STUDY IN SCARLET ( Bab 3 MISTERI LAURISTON GARDEN )

Bab 3
MISTERI LAURISTON GARDEN

Ku akui bahwa aku sangat terkejut atas bukti segar dari teori kegunaan bakat temanku ini. Rasa hormatku akan kehebatan analisanya meningkat secara menakjubkan. Masih tertinggal beberapa kecurigaan tersembunyi di dalam pikiranku, bagaimanapun, keseluruhan peristiwa tadi adalah peristiwa yang sudah diatur sebelumnya, bertujuan untuk membuatku terpesona, meskipun demikian untuk apa ia membuatku terpesona. Ketika aku memperhatikan dia; ia selesai membaca surat tadi, dan matanya mengasumsikan kekosongan, ungkapan bingung yang menunjukkan abstraksi mental.
“Apa yang membuatmu bisa tahu?” Tanyaku.

“Bisa tahu apa?” kata nya, dengan tidak sabar.
“Bisa tahu bahwa ia adalah pensiunan sersan Angkatan laut.”
“Aku tidak punya waktu untuk hal sepele ini,” ia menjawab, dengan kasar; kemudian tersenyuman, “Maafkan kekasaranku tadi. kau mengacaukan pemikiran ku; tetapi tidak apa-apa. Jadi kau benar-benar tidak bisa lihat bahwa dia seorang sersan Marinir?”
“Tidak, tentu saja tidak.”
“Lebih mudah menjelaskan cara melihatnya daripada menjelaskan mengapa aku bisa tahu. Jika kau diminta untuk membuktikan angka dua dan angka dua dibuat menjadi empat, kau mungkin akan kesusahan, tetapi kau cukup yakin hal yang menyangkut fakta. Bahkan di seberang jalan pun aku bisa lihat tato jangkar biru tua di tangannya. Yang menandakan kelautan. Ia membawa paket dari militer, ditambah lagi jambang yang merupakan praturan militer. Dan kita simpulkan bahwa ia seorang marinir. Ia adalah pria dengan sejumlah beban tugas dan perintah tertentu. kau harus mengamati caranya mengadakan kepalanya dan mengayunkan tongkatnya. Sigap, penuh hormat, setengah baya, juga, semua fakta di raut wajahnya yang membuatku yakin bahwa ia pernah berpangkat sersan.”
“Mengagumkan!” kataku dengan tiba-tiba.
“Biasa saja,” kata Holmes, meskipun demikian, kalau dilihat dari ekspresinya, ku pikir dia senang atas penghormatan dan keterkejutanku. “Aku baru saja berkata tidak ada penjahat. Nampaknya aku salah soal ini!” Ia melemparkan padaku surat yang dibawa komisaris tadi.
“Kengapa,” Aku berteriak, ketika menatapnya, “mengerikan kah?”
“Sepertinya sedikit tidak wajar,” katanya, dengan santai. “Maukah kau membacanya dengan suara keras untukku?”
Dan kemudia aku membacakan surat itu untuknya,-

“YTH. MR. SHERLOCK HOLMES: “Telah terjadi hal buruk pada pukul 3 dini hari, di Lauriston Garden, di Brixton Road. Orang kami telah melihat cahaya sekitar pukul 2 pagi ini, dan sebagai mana mestinya rumah itu selalu kosong, diduga telah terjadi sesuatu yang mencurigakan. Pintunya ditemukan terbuka, dan di ruang depan yang berisikan furnitur, diemukan sesosok mayat pria, berpakaian dengan baik, dan di dalam sakunya ditemukan sebuah kartu identitas yang menerangkan nama; Enoch J. Drebber, Cleveland, Ohio, U. S. A. Tidak ada tanda-tanda perampokan, maupun bukti yang menerangkan bagaimana kematiannya. Ada darah di dalam ruang, tetapi tidak ada luka pada korban. Kami bingung bagaimana ia bisa datang ke rumah yang kosong itu; sungguh, keseluruhan perkara menjadi teka-teki. Jika anda sempat berkunjung ke tempat kejadian perkara sebelum pukul 12, anda akan menemukan saya di sana. Saya sudah melampirkan segalanya dalam paket ini sampai saya mendengar kesediaan anda. Jika anda berkendala untuk datang, saya bersedia menyanggupi pebayaran penuh untuk anda, dan kami akan sangat menghargai kebaikan anda jika anda berkenan memberikan pendapat kepda kami.
“Hormat kami, “TOBIAS GREGSON.”

“Gregson adalah orang yang paling pandai di Scotland Yarders,” kata temanku; “Dia dan Lestrade sering berselisih. Kedua-duanya begitu cakap dan enerjik, tetapi kelewat-kolot. Mereka juga sanggup mencederai satu sama lain. Mereka saling cemburuan satu sama lain dalam hal pekerjaan. Mereka berdua akan sangat gembira jika diberikan kasus ini.”
Aku kagum atas sikap tenang yang ia tampilkan. “Tak ada waktu untuk bingung,” Aku berteriak; “haruskah aku menyetopkan untukmu kereta kuda?”
“Aku tidak yakin apakah aku harus pergi. Aku seperti kerasukan setan malas yang pernah berdiri di sepatu kulitku, di saat ketika aku memutuskan, untuk bersemangat pada waktunya.”
“Kenapa?, ini kan kesempatan yang kau tunggu-tunggu.”
“Temankuku yang baik, apa itu berarti bagiku? Serkiranya aku memecahkan keseluruhan kasus, kau mungkin yakin pasti Gregson, Lestrade, dan Co. akan mengantongi semua imbalannya. Mereka bisa menjadi seperti orang pasaran.”
“Tetapi ia memintamu untuk membantunya.”
“Ya. Dia tahu bahwa aku lebih baik dari nya, dan dia mengakuinya; tetapi ia akan memotong lidahnya ke luar sebelum ia meminta bantuan orang ke tiga. Walaupun begitu, kita sebaiknya pergi dan melihatnya sendiri. Aku akan mengerjakannya dengan caraku sendiri. Aku mungkin akan ditertawakan mereka, jika tidak mendapatkan petunjuk apa-apa. Ayo pergi!”
Ia buru-buru pada meraih mantelnya, dan sibuk menunjukkan bahwa sesuatu yang enerjik bisa mengalahkan sikap masa bodoh.
“Pakai topimu,” katanya.
“Kau ingin aku ikut?”
“Ya, kalau kau tidak sibuk.” Suatu menit kemudiannya kami sudah terlihat tampan, mengemudi sepanjang Brixton Road sambil marah-marah.
Hari itu pagi yang berkabut, dan puncak atap rumahnya diselubungi warna aneh yang mengganggu, menyerupai pemantulan warna lumpur dari jalanan. Rekanku dalam keadaan bersemangat, dan mengoceh tentang gesekan biola Cremona dan perbedaan antara Stradivarius dan Amati. Aku hanya duduk dengan tenang, karena cuaca yang membosankan dan bisnis melankolis yang membuat semangatku tertenekan.
“Sepertinya kau tidak dibebani pikiran atas kasus yang sedang kau tangani,” Pada akhirnya aku berkata, menyela uraian musik Holmes.
“Belum ada data,” ia menjawab. “Adalah keliru besar untuk berteori sebelum kita memiliki semua bukti. Bisa menimbulkan keputusan yang menyimpang.”
“Sebentar lagi juga dapat,” kataku, menunjuk dengan jari ku; “Ini Brixton Road, dan itu rumahnya, jika perkiraan ku tidak salah.”
“Ok… Stop, pak kusir, stop!” Kami masih kira-kira seratus yard, tetapi dengan tegas ia meminta untuk berhenti, dan kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.
Rumah Nomor 3, Lauriston Garden menyandang predikat buruk dan menyeramkan. Satu dari empat jalan setapak tersambung dengan jalan besar, dua sedang ramai dan dua lagi sedang kosong. Kemudian terlihat tiga deret jendela sayu terbuka, kosong dan suram, mengayun kesana-kemari “dibiarkan begitu saja” dan terlihat kartu mengembang seperti katarak di atas kaca buram. Pekarangan kecil ditaburi dengan sebaran tumbuh-tumbuhan mati yang memisahkan masing-masing rumah dengan jalan, dan dilintasi oleh jalan kecil sempit, berwarna kekuning-kuningan, dan berisikan campuran tanah liat dan kerikil. Keseluruhan tempat sangat becek disebabkan hujan semalam. Kebun dibatasi oleh tiga-sisi dinding batu bata dengan pinggiran kayu memagari puncak tembok, dan dibalik dinding ini sedang bersandar informan polisi, dikelilingi oleh sekumpulan kecil pemalas, yang menjulurkan leher mereka dan membelalakkan mata mereka demi harapan sia-sia untuk memperoleh beberapa kesalahan kerja.
Aku bisa membayangkan Sherlock Holmes akan bergegas menuju rumah dan langsung terjun menyelidiki misteri ini. Tak terlihat hal lain yang menghambat niatnya. Dengan sikap tidak ambil pusing dengan situasi sekitar, dalam keadaan seperti ini, menurutku tak ada penghalang, ia bergerak naik turun di trotoar, dan menatap hampa ke arah tanah, langit, rumah, dan baris terali pagar. Setelah menyelesaikan penelitiannya dengan cermat, ia meneruskan pelan-pelan sepanjang jalur, atau memandang agak ke bawah sepanjang pinggiran rumput, terus memperhatikn tanah. Dua kali ia berhenti, dan sesekali ku lihat dia tersenyum, dan mendengarnya mengucapkan seruan kepuasan. Ada banyak jejak kaki atas lahan yang basah; tetapi karena polisi sudah lalu lintas di sekitar sini, aku tidak dapat melihat bagaimana rekanku bisa berharap mengetahui sesuatu dari kondisi ini. Meski demikian aku sudah melihat bukti yang nyata menyangkut kecakapan perpancainderanya, yang tidak ku ragukan lagi bisa melihat sebagian besar yang hal tak mampu kulihat.
Di ambang pintu rumah, kami berhadapan dengan sesosok manusia jangkung, pucat pasi, berambut pirang, sambil memegang sebuah buku catatan, yang terburu-buru menjabat tangan rekanku dengan keras. “sungguh baik sekali kau mau datang,” katanya, “Aku sudah memastikan segala yang tertinggal agar tidak tersentuh.”
“Kecuali itu!” jawab temanku, menunjuk ke lorong. “Jika sekumpulan kerbau liar ini belum pergi, mereka akan membuat lebih banyak sampah lagi. Tidak diragukan lagi, walaupun begitu, kau mungkin sudah menggambarkan kesimpulanmu sendiri, Gregson, sebelum kau diizinkan.”
“Aku sudah melakukan banyak hal di rumah ini,” kata detektif itu mengelak. “Rekan kerjaku, Mr. Lestrade, ada di sini. Aku mempercayakan dia untuk menjaga ini.”
Holmes melihatku sekilas dan mengangkat alisnya dengan sinis. “Dengan dua manusia seperti kau dan Lestrade disekitar lantai, sedikit sekali kesempatan kita untuk menemukan petunjuk-petunjuknya,” katanya.
Gregson menggosok-gosok tangannya dengan lega. “Aku pikir kami sudah melakukan semua yang kami bisa,” jawabnya; “ini kasus yang aneh, meskipun begitu, aku percaya akan kebolehanmu menangani kasus seperti ini.”
“Kau datang ke sini dengan kereta kuda?” tanya Sherlock Holmes.
“Tidak, sir.”
“Lestrade juga tidak?”
“Tidak, sir.”
“Mari kita lihat ruangnya.” Dengan komentar yang tidak konsekuen ia melangkah ke dalam rumah dan diikuti oleh Gregson, yang mukanya nampak keheranan.
Jalan pintas yang pendek, dilapisi oleh papan dan berdebu, menuju dapur dan ruang kerja. Dua pasang daun pintu terbuka di kiri dan kanan. Salah satunya selalu tertutup selama beberapa minggu. Ruang lainnya merupakan ruang makan, ruang di mana kejadian misterius ini terjadi. Holmes masuk, dan aku mengikutinya dengan perasaan lemah di hatiku seperti kematian sedang mengawasi.
Ruang itu petak dan besar, terlihat lebih besar jika tidak dihiasi semua furnitur. Kertas yang melebar vulgar menghiasi dinding, namun sudah ditumbuhi jamur, dan di sana sini banyak yang sudah terkelupas dan tergantung, memperlihatkan plester kuning di belakangnya. Di seberang pintu terlihat perapian yang mengesankan, dikelilingi tungku lempengan yang terbuat dari pualam putih tiruan. Di salah satu sisnya tertancap lilin merah. Jendela yang tertutup terlihat sangat kotor membuat cahaya menjadi kusam dan samar-samar, memberi sedikit warna kelabu jemu ke segala tempat, yang diperkuat dengan adanya lapisan debu yang tebal yang melapisi keseluruhan apartemen.
Setelah semua detil selesai aku amati. Sekarang perhatianku aku pusatkan pada satu hal, suram, figur tak bergerak berbaring telentang di atas lantai papan, mengangak keatas, menatap ke arah langit-langit yang kotor. Orang ini berumur sekitar 46 atau 44 tahun, badan berukuran sedang, berbahu lebar, dengan rambut hitam keriting, dan pendek, Berjenggot pendek. Ia berpakaian baju tenunan, mantel berat, dan rompi, dengan celana panjang berwarna cerah, dan krag baju dan lipatan lengan tak bernoda. Topi tinggi, di sikat dengan baik dan garis hiasan, diletakkan di atas lantai di sampingnya. Tangannya mengepal tinju dan lengannya jatuh ke lantai, selagi tungkai lengannya terapit, seolah-olah perjuangannya melawan kematian begitu memilukan. Mukanya yang kaku mengekspresikan kengerian, dan, menurutku, kebencian, tidak seperti mansia pada umumnya. Hal yang membahayakan adalah tubuh yang mulai membusuk, mengkombinasikan dengan dahi yang menguak, hidung bonyok, dan rahang prognathous, memberi orang mati simious ganjil dan penampilan seperti kera, yang membuat penderitaannya menjadi-jadi, perawakan tak wajar. Aku sudah pernah melihat kematian dalam banyak bentuk, tetapi belum pernah kulihat yang menakutkan seperti ini ditambah lagi suasana gelap, apartemen kotor, yang sering terlihat di jalan utama pinggiran kota London.
scar5
Lestrade, kurus seperti musang, sedang berdiri di jalan menuju pintu, dan menyambut aku dan rekanku.
“Kasus ini akan membuat kegemparan, sir,” katanya. “Kasus ini membuatku bingung, dan aku tidak punya ide lagi.”
“Apa ada petunjuk?” kata Gregson.
“Tidak sama sekali,” Kata Lestrade setuju.
Sherlock Holmes mendekati mayat itu, dan, berlutut, menganalisanya dengan sungguh-sungguh. “kau yakin tidak ada luka?” tanyanya, menunjuk sejumlah tanda darah yang berada di sekitarnya.
“Ya!” keluh kedua detektif tersebut.
“Mungkin saja darah itu kepunyaan orang kedua yaitu pembunuhnya, jika pembunuhan memang terjadi. Hal ini mengingatkanku tentang kondisi yang menyertai kematian Van Jansen, di Utrecht, pada tahun ‘34. Apa kau ingat kasus itu, Gregson?”
“Tidak ingat, tuan.”
“Kau benar-benar perlu membacanya. Tidak ada hal yang baru di bumi ini. Semuanya pernah terjadi sebelumnya.”
Selagi ia bicara, jarinya dengan cepat dan cekatan terbang ke mana-mana, merasakan, menekan, membuka kancing, menguji, Sementara itu matanya menungkapkan ekspresi yang sama seperti yang pernah ku lihat. Cepat sekali pengujian yang di lakukannya, yang satu ini susah ditebak ketelitian yang mana yang dipakai. Akhirnya, ia mengendus-endus bibir mayat, dan kemudian melihat sekilas tapak kaki sepatu bootnya yang berliris kulit.
“Dia belum digerakkan sama sekali?” tanyanya.
“Tidak lebih dari sekedar kepentingan pengujian kami.”
“kau bisa membawanya ke kamar mayat sekarang,” katanya. “Tidak ada lagi yang bisa kita dipelajari.”
Gregson bergerak dan memanggil empat orang bawahannya. Begitu mendengar panggilan, mereka langsung masuk ke ruangan, dan orang asing itu diangkat serta dibawa keluar. Ketika mereka mengangkat mayat itu, sebuah berdering cincin mengelinding menyeberangi lantai. Lestrade merebutnya, dan matanya terlihat bingung dan terbelalak melihat cincin itu.
“Pernah ada perempuan di sini,” teriaknya. “Ini cincin kawin yang dipakaikan untuk wanita.”
Selagi ia berbicara, tangannya menengada sambil menunjukkan benda itu. Kami semua berkumpul mengelilinginya dan mengamati benda itu. Tak diragukan lagi, itu cicin emas yang menghiasi jari seorang pengantin perempuan.
“Ini masalah yang rumit,” kata Gregson. “Hanya Tuhan yang tahu, serumit apa mereka sebelumnya.”
“Kau yakin benda ini akan menyederhanakan masalah kita?” Holmes mengamatinya. “Tak ada paetunjuk dari benda ini. Apa yang kau temukan di sakunya?”
“Sudah kami amankan semuanya,” kata Gregson, menunjuk ke tumpukan objek yang ada di tangga. “Arloji emas, No. 97163, buatan Barraud, dari London. Kalung emas Albert yang berat dan padat. Cincin emas, dengan benda seperti jimat. Bros emas berkepala bull dog, dengan batu delima seperti mata. Cardcase kulit dari Rusia, dengan kartu tanda pengenal bertuliskan Enoch J. Drebber dari Cleveland, berhubungan dengan tulisan E. J. D. di bagian garisnya. Tidak ada dompet, namun kehilangan uang sejumlah tujuh pounds tigabelas sen. Decameron Boccaccio berukuran kecil dengan nama Joseph Stangerson di halaman depan buku. Dua surat, yang satunya beralamatkan E. J. Drebber dan satu lagi Joseph Stangerson.”
“Dialamatkan ke mana?”
“American Exchange, dikapalkan untuk ditinggalkan hingga ada panggailan. Kedua surat ini berasal dari Guion Steamship Company, yang memberangkatkan kapal mereka berlayar dari Liverpool. Jelas sekali orang malang ini ingin kembali ke New York.”
“Sudahkah kau periksa orang yang bernama Stangerson ini?”
“Sudah, sir,” kata Gregson. “Aku sudah pasang iklan ke semua surat kabar, dan salah satu anak buah saya sudah pergi ke American Exchange, tetapi ia belum kembali.”
“Sudahkah mereka kau kirim ke Cleveland?”
“Kami sudah mengirim telegraf kepada mereka tadi pagi.”
“Bagaimana bunyinya?”
“Kami memberi mereka detil keadaannya, dan berkata bahwa kami akan senang sekali jika mereka memberikan kita informasi yang bisa membantu.”
“Kau tidak menanyakan keterangan-keterangan khusus kepada mereka yang menurutmu krusial?”
“Aku tanya tentang Stangerson.”
“Tidak ada yang lain? Adakah kau ajukan pertanyaan lain mengenai keadaan kasus ini? Maukah kau kirimkan lagi telegraf kepada mereka?”
“Aku sudah mengatakan apa yang harus ku katakan,” kata Gregson, dengan nada seperti habis diserang.
Sherlock Holmes tertawa kecil ke dirinya sendiri, dan mulai mengeluarkan beberapa komentar, ketika Lestrade sedang berada di ruang depan sedang kami bercakap-cakap di dalam aula, kembali bergabung sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya dengan perasaan berpuas diri.
“Mr. Gregson,” katanya, “Aku baru saja membuat kesimpulan penting, dan satu yang terlewatkan adalah aku belum menganalisis dinding-dinding ini.”
Setiap pasang mata menyipit ketika ia berbicara, dan kegembiraannya terlihat jelas meluap-luap seperti menang angka atas lawannya.
“Kemari,” katanya, buru-buru kembali ke ruang, atmospir ruangan serasa lebih jelas sejak kepindahan jenazah tadi. “Sekarang, berdiri di sana!”
Ia menyalakan korek api dengan sepatu bootnya dan memeganginya menghadap dinding.
“Perhatikan itu!” katanya, dengan perasaan seperti pemenang.
Aku pernah berkata bahwa sebagian kertas (wallpaper) berjatuhan di sudut tertentu ruangan ini, sudah terkelupas menjadi potongan besar, meninggalkan plaster kuning yang kasar berbentuk persegi. Di ruang kosong dinding terdapat tulisan cakar ayam yang ditulis dengan coretan darah membentuk satu kata-
RACHE
“Apa pendapatmu?” kata sang detektif, layaknya seorang pemain sandiwara mempertotonkan pertunjukannya. “Tulisan ini tidak terlihat karena kita berada di sudut paling gelap, dan tak seorangpun mamandang ke sana. Pembunuh telah menulisnya dengan darahnya sendiri. Terlihat corengan darah menetes di sepanjang dinding! Membuat semacam gagasan bunuh diri.
scar6
Mengapa sudut ini dipilih untuk ditulis? Aku akan menjelaskannya kepada kalian. Lihat lilin yang berada di atas tungku lempengan itu. Lilin itu dinyalakan pada waktunya, dan jika dinyalakan, sudut ini akan menjadi paling terang sebagai pengganti porsi dinding paling gelap.”
“Dan apa artinya jika kau menemukan tulisan ini?” tanya Gregson dengan suara rendah.
“Arti? Kenapa, ini berarti, penulis meletakkan nama seorang wanita “Rachel”, tetapi diganggu sebelum pria atau wanita ini punya waktu untuk menyelesaikannya. Camkan kata-kataku, ketika kasus ini dipecahkan, kau akan menemukan seorang wanita bernama Rachel punya andil dalam penulisan ini. Semuanya bagus sekali untuk kau tertawakan, Mr. Sherlock Holmes. Kau mungkin sangat pandai dan cerdas, tetapi penciuman anjing tua lebih baik ketika semua sudah terungkap.”
“Aku benar-benar meminta maafmu!” kata rekanku, yang tergganggu oleh ledakan kemarahan orang kecil ini yang disusul dengan ledakan tawa. “Kau pasti akan dapat penghargaan karena telah menjadi salah satu dari orang pertama yang menemukan tulisan ini, seperti yang kau katakan, tulisan ini mencirikan partisipan lain yang hadir pada malam misteri. Aku tidak punya waktu untuk menguji ruang ini, namum dengan ijinmu aku akan melakukannya sekarang.”
Seperti katanya, ia mengeluarkan pita meteran dan kaca pembesar dari sakunya. Dengan dua peralatan ini ia berderap tanpa suara di sekitar ruangan, kadang-kadang berhenti, adakalanya berlutut, dan sesekali menempelkan mukanya. Begitu asiknya ia, hingga melupakan kehadiran kami, mengoceh sendiri sepanjang waktu, terus-menerus menyuarakan tanda seru, erangan, siulan, dan sedikit teriakan dorongan sugestif serta teriakan harapan. Ketika aku melihat dia, aku tertarik memikirkan tentang anjing foxhound berdarah murni yang terlatih mengendus-endus maju-mundur sampai ke tempat rahasia, melolong dengan penuh hasrat, sampai kemudian baunya menghilang. Selama duapuluh menit atau lebih ia melanjutkan risetnya, mengukur jarak antara tanda dengan lebih eksak, yang keseluruhnya tidak kelihatan bagiku, dan adakalanya memakai pita ukurnya untuk mengukur dinding dengan cara yang tidak dapat dimengerti. Pada suatu tempat ia mengumpulkan tumpukan debu berawarna kelabu dari lantai dengan sangat hati-hati, dan mengemasnya ke dalam amplop. Akhirnya ia menganalisa kata-kata di atas dinding dengan kaca pembesarnya, mengarah ke tiap kata dengan ketepatan menit terbanyak. Setelah selesai, ia terlihat puas, karenanya ia memindahkan pita ukur dan kaca pembesarnya ke dalam sakunya.
“Mereka berkata bahwa kegeniusan adalah suatu kapasitas tanpa batas untuk bekerja dengan hati-hati,” katanya dengan senyuman. “Adalah suatu definisi yang amat buruk, Namun berlaku bagi pekerjaan detektif.”
Gregson dan Lestrade melihat manuver rekan amatir mereka dengan anggapan aneh dan pandangan menghina. Jelas sekali mereka gagal menghargai fakta, dan aku mulai menyadarinya. Semua tindakan kecil Sherlock Holmes langsung mengarah ke beberapa defenisi dan praktiknya.
“Apa pendapat anda tentangnya, sir?” tanya mereka berdua.
“Kalian akan kehilangan penghargaan dari kasus ini jika aku mengira harus menolong kalian,” kata temanku. “Kalian sudah bekerja dengan sangat baik, sayang sekali rasanya bagi siapa saja untuk ikut campur.” sindiran yang tajam keluar dari mulutnya. “Jika kalian mau memberitahuku bagaimana hasil penyelidikan kalian,” lanjutnya, “Aku akan membantu kalian semampuku. Sementara itu aku perlu bicara kepada petugas polisi yang menemukan mayat itu. Bisakah kalian memberi tahuku nama dan alamatnya?”
Lestrade melihat sekilas buku catatannya. “John Rance,” katanya. “Ia bebas tugas sekarang. kau akan temukan dia di rumah no. 46, Audley Court, Kennington Park Gate.”
Holmes mencatat alamat itu.
“Kemarilah, Dokter,” katanya: “kita akan pergi dan mengunjunginya. Aku akan menceritakan kepada kalian satu hal yang akan membantu kalian menangani kasus ini,” lanjutnya, sambil berbalik ke kedua detektif tadi. “Telah terjadi pembunuhan, dan pembunuhnya adalah seorang pria. Tingginya lebih dari enam kaki, masih berusia remaja, kakinya kecil untuk orang setingginya, mengenakan sepatu boot bermoncong petak kasar, dan tersundut cerutu Trichinopoly. Ia datang ke sini bersama korbannya menumpang kendaraan beroda 4, yang ditarik dengan kuda yang memakai tiga sepatu tua dan satu sepatu baru di bagian kaki depannya. Kemungkinan pembunuh memiliki muka kemerah-merahan, dan kuku di jari tangan kanannya sungguh panjang. Ini hanya sedikit indikasi, tetapi bisa membantu kalian.”
Lestrade dan Gregson melihat sekilas satu sama lain dengan senyuman tidak percaya. “Jika orang ini dibunuh, bagaimana pembunuhan itu dilaksanakan?” tanya yang lebih dahulu. “Racun,” Kata Sherlock Holmes dengan kasar, dan berhenti melangkah. “Satu hal lagi, Lestrade,” ia menambahkan, sambil berputar ke ambang pintu: “‘Rache,’ adalah bahasa Jerman yang memiliki arti ‘balas dendam’; jadi jangan habiskankan waktu kalian mencari Nona Rachel.” Dengan salam perpisahan ia berjalan pergi, meninggalkan kedua saingannya melongo di belakang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar