Rabu, 31 Juli 2013

A STUDY IN SCARLET ( Bab 5 IKLAN KAMI MENGUNDANG PENGUNJUNG )

Bab 5
IKLAN KAMI MENGUNDANG PENGUNJUNG

Aktivitas pagi kami sudah terlalu banyak, dan karena kesehatanku yang lemah, aku menjadi lelah di sore harinya. Setelah Holmes pergi ke konser, aku merebahkan diri di atas sofa dan mencoba untuk tidur beberapa jam. Namun sia-sia. Pikiranku dipenuhi oleh semua hal yang baru saja terjadi, dan khayalan yang aneh dan dugaan-dugaan yang memenuhinya. Setiap kali aku menutup mata, Aku melihat kesimpangsiuran di hadapanku, sepertinya baboon yang membunuh orang itu. Begitu menakutkan kesan yang ditimbulkan wajah mayat itu, dan sukar rasanya untuk berandai-andai kecuali berterima kasih kepadaNYa yang telah memindahkan pemilik tubuh itu dari dunia ini. Jika sekiranya ada raut muka manusia yang mencerminkan sifat buruk yang paling jahat, pastilah raut muka Enoch J. Drebber, dari Cleveland. Meskipun demikian, aku menyadari bahwa keadilan harus ditegakkan, dan dalam pandangan hukum kerusakan moral korban tidak bisa dimaafkan.
Semakin aku memikirkannya semakin luar biasa hipotesis rekanku, bahwa kelihatannya korban telah diracuni. Aku ingat bagaimana ia mengendus-endus bibir mayat itu, dan tidak diragukan lagi bahwa dia telah mendeteksi sesuatu yang menimbulkan gagasan itu. Lagi pula, jika bukan racun, hal apa lagi yang bisa menyebabkan kematian orang ini, karena tidak ada luka tanda pencekikan? Tetapi, pada sisi lain, darah siapa yang bergelinang di atas lantai? Tidak ada tanda-tanda perkelahian, maupun senjata korban yang mungkin bisa melukai musuhnya. Sepanjang semua pertanyaan ini masih belum terjawab, aku merasa bahwa tidur bukanlah hal yang gampang, baik untuk Holmes maupun diriku. Ketenangan sikapnya, meyakinkanku bahwa ia sudah membetuk teori yang dapat menerangkan semua fakta ini, meskipun demikian apa yang membuatku tidak bisa membuat dugaan-dugaan instan.
Ia terlambat pulang - sangat terlambat, konser tidak mungkin menahan dia selama ini. Makan malam sudah di atas meja sebelum ia muncul.
“Konser yang bagus sekali,” katanya, ketika dia mengambil tempat duduk nya. “Apakah kau ingat apa yang dikatakan Darwin mengenai musik? Dia meng-klaim bahwa kekuatan menilai dan menghasilkan musik sudah ada jauh sebelum kemampuan berbicara ada. Barangkali itu alasan mengapa kita menjadi sangat dipengaruhi oleh kerumitannya. Ada memori yang samar-samar di jiwa kita berabad-abad yang lalu ketika dunia masih masa kanak-kanak.”
“Gagasan yang agak luas,” Kataku.
“Gagasan seseorang harus sama luasnya seperti Alam jika mereka menginterpretasikan nya dengan Alam,” jawabnya. “Ada apa? kau tidak terlihat seperti dirimu. Apakah kejadian di Brixton Road tadi membuatmu terganggu.”
“Sejujurnya…, memang membutku terganggu…,” Kataku. “Seharusnya aku lebih kuat, terhadap kasus ini, setelah pengalamanku di Afghan. Aku melihat teman-temanku tercincang berkeping-keping di Maiwand tanpa rasa gugup.”
“Aku bisa mengerti… Ada misteri dalam kasus ini yang merangsang imajinasi; ‘tidak ada imajinasi tidak ada kengerian’. Sudahkah kau baca ‘koran sore’ hari ini?”
“belum.”
“Beritanya memberi kita peluang yang bagus menyangkut kasus ini. Beritanya tidak menyebutkan soal cincin kawin yang jatuh ke atas lantai ketika mayat itu diangkat. Memang… sebaikya tidak disebutkan.”
“Kenapa?”
“Perhatikan iklan ini,” ia menjawab. “Aku sudah kirim orang untuk memuatnya di setiap koran begitu kita meninggalkan Brixton Road tadi pagi.”
Ia melemparkan korannya kepadaku dan aku melirik ke bagian yang ditandai. Iklan itu menjadi pengumuman yang pertama di dalam ‘Telah ditemukan’ kolom. ‘Di Brixton Road, pagi ini,’ sebagai berikut, ‘sebuah cincin kawin emas, dimukan di jalan di antara White Hart Tavern dan Holland Grove Hart. Hubungi Dr. Watson, 221B, Baker Street, sekitar pukul delapan dan pukul sembilan malam ini.’
“Maafkan jika aku menggunakan namamu,” katanya. “Karena jika menggunakan namaku, orang-orang bebal ini bisa mengenalinya, dan mereka akan mengacaukan kasus ini.”
“Tak apa,” Jawabku. “Tapi…, sekiranya ada orang yang menghubungiku, dan aku tidak punya cincinnya.”
“Oh, ya, kau punya,” kata nya, mengatakannya kepada ku. “Tidak masalah… hanya sebuah facsimile.”
“Dan siapa yang kau harapkan akan menjawab iklan ini?”
“Siapa…, orang dengan jeket warna coklat - teman kemerah-merahan kita dengan tapak sepatu petak. Jika ia tidak datang sendirian…, ia akan mengirimkan suruhannya.”
“Tidakkah ia berfikir ini terlalu berbahaya?”
“Sama sekali tidak. Jika pandanganku menyangkut kasus ini benar, dan aku juga punya alasan yang kuat, orang ini lebih suka mengambil resiko apapun dari pada harus kehilangan cincinnya. Menurut dugaanku ia menjatuhkan cincin itu selagi membungkuk di atas mayat Drebber, dan pada waktu itu dia tidak merasa kehilangan. Ia baru merasa kehilangan setelah meninggalkan rumah itu dan cepat-cepat kembali, namun polisi sudah berada di dalam rumah itu dan ia menyesali kebodohannya sendiri karena telah membiarkan lilin menyala. Ia harus berpura-pura mabuk untuk menghilangkan kecurigaan yang mungkin timbul karena kemunculannya di depan gerbang. Sekarang, seandainya dirimu adalah dia. Setelah memikirkan iklan tadi, kemungkinannya, dia pasti berfikir bahwa dia telah kehilangan cincin itu di jalan setelah meninggalkan rumah itu. Apa yang ia lakukan kemudian? dia akan melihat ‘koran sore’ ini dengan penuh nafsu dan berharap akan melihat cincin itu karena ada orang yang menemukannya. Matanya, tentu saja, akan berbinar-binar. Ia akan sangat gembira. Kenapa juga ia harus takut terperangkap? Tidak ada alasan baginya untuk berfikir tentang hubungan antara kasus pembunuhan dan penemuan sebuah cincin. Ia akan datang… Ia akan datang… Kau akan melihatnya selama satu jam.”
“Dan kemudian?” Tanyaku.
“Oh, kau bisa meninggalkan kami berdua. Kau punya senjata?”
“Aku punya pistol revolver tua dan beberapa magazine.”

“Sebaiknya kau membersihkannya dulu lalu mengisinya. Ia akan menjadi orang yang menyedihkan; tapi, meskipun demikian, aku harus beranggapan bahwa dia orang yang tidak bisa diduga, dan selalu siap apapun yang akan terjadi.” Aku pergi ke kamarku dan mengikuti nasihatnya. Ketika aku kembali dengan pistol ditanganku, meja sudah dibersihkan, dan Holmes sibuk dengan posisi duduk favoritnya yaitu mengesek biola.
“Alur cerita menjadi rumit,” katanya, ketika aku masuk; “Aku baru saja menerima jawaban dari telegram Amerika ku. Pandanganku atas kasus ini ternyata benar.”
“Dan itu adalah- -?” tanyaku dengan bernafsu.
“Biolaku akan lebih baik dengan dawai-dawai baru,” katanya. “Kantongin pistolmu. Ketika orang itu datang, bicara padanya dengan cara yang biasa. Sisanya, serahkan kepadaku. Jangan menakutinya dengan pandangan yang terlalu tajam.”
“Sudah pukul delapan sekarang,” kata ku, melihat sekilas arlojiku.
“Ya. Ia mungkin akan tiba dalam beberapa menit lagi. Buka pintunya… Ya begitu… Sekarang letakkan kuncinya di bagian dalam. Terima kasih! Ini buku tua yang aneh, aku memungutnya dari stall kemarin - De Jure inter Gentes - diterbitkan dalam bahasa Latin di Liege, Lowlands, pada tahun 1642. Kepala Charles dipastikan masih ada di badannya ketika volume buku ini dihentikan edarannya.”
“Siapa pencetaknya?”
“Philippe de Croy, ntah siapapun dia…. Di halaman pertama, tintanya sudah sangat memudar, tertulis ‘Ex libris Guliolmi Whyte.’ Aku ingin tahu siapa William Whyte. Semacam pengacara pragmatical abad ke-17, mungkin saja… Tulisannya memiliki semacam suatu simpulan undang-undang. Aku rasa orang yang kita tunggu sudah datang…”
Seperti katanya tadi, terdengar suara bel yang tajam. Sherlock Holmes bangkit pelan-pelan dan memindahkan kursinya ke arah pintu. Kami mendengar si pelayan berjalan sepanjang aula, dan terdengar dengan tajam suara ‘klik’ grendel pintu ketika dia membukanya.
“Apakah Dr. Watson tinggal di sini?” dia bertanya dengan nada jelas namun kasar. Bukan jawaban si pembantu yang terdengar melainkan suara pintu menutup, dan seseorang mulai menaiki tangga. Terdengar dentuman langkah kaki seperti ragu-ragu melangkah dan terseok-seok. Wajah temanku seperti terkejut kala ia mendengarnya. Ia datang perlahan melintasi sepanjang lintasan, kemudian terdengar ketukan lemah di ambang pintu.
“Masuk,” Teriakku.
Saat ku persilahkan masuk, kami mengharapkan sesosok pria yang kejam, seorang wanita tua keriput masuk ke dalam apartemen. Kemunculannya disilaukan oleh nyala cahaya, dan setelah meletakkan sebuah curtsey, dia berdiri dan berkedip ke arah kami dengan mata yang muram dan meraba-raba sakunya dengan nervous serta jari yang gemetar. Aku melirik rekanku, dan mukanya mengasumsikan semacam ungkapan putus asa dan yang aku harus kulakukan adalah tetap tenang.
scar9
Perempuan tua itu mengeluarkan koran sore, dan menunjuk ke iklan yang kami buat. “Ini yang membawaku kemari, tuan-tuan yang baik,” katanya, meletakkan curtsey yang lain; “Cincin kawin emas yang jatuh di Brixton Road. Cincin itu kepunyaan anak perempuanku, pernikahannya masih berumur 12 bulan, suaminya seoran awak kapal Union, dan apa yang akan dikatakannya nanti jika ia pu’ pulang dan menemukan isterinya tanpa cincin ini… tidak bisa ku bayangkan, dia pemarah, terlebih lagi ketika ia minum minuman keras. Jika anda ragu, dia pergi ke sirkus semalam bersama dengan–”
“Apakah itu cincin miliknya?” Tanyaku.
“Terimakasih Tuhan!” tangis perempuan tua itu; “Sally akan menjadi perempuan yang bahagia malam ini. Itu cincin nya.”
“Dan di manakah alamat rumah anda?” tanyaku, sambil memungut pensil.
“Duncan Street, no. 13, Houndsditch. Lumayan jauh dari sini.”
“Brixton Road tidak terletak diantara Houndsditch dan sirkus manapun,” Kata Sherlock Holmes dengan tajam.
Wanita tua itu memalingkan muka dan berlutut memperhatikan Holmes dengan lingkaran merah di mata kecilnya. “Tuan ini menanyakan alamatku,” katanya.
“Sally tinggal di rumah no. 3, Mayfield Place, Peckham.”
“Dan namamu adalah–?”
“Namaku Sawyer - dan namanya adalah Dennis, Karena Tom Dennis yang menikahinya - anak laki-laki cerdas dan juga memiliki nama bersih, sepanjang ia berada di laut, dan di perusahaan itu tidak ada awak kapal yang melebihinya; tetapi ketika di pantai, sebagian untuk wanita dan sebagian untuk kedai minuman keras–”
“Ini cincin mu, Mrs. Sawyer,” Aku menyela, menuruti instruksi rekanku; “Cincin ini jelas kepunyaan putrimu, dan aku senang bisa mengembalikan cincin ini kepada pemiliknya yang sah.”
Dengan bermacam-macam celotehan pemberi berkat dan ucapan terima kasih sang wanita tua itu mengemasi cincinnya ke dalam saku, dan berjalan dengan kaki terseret menuruni tangga. Sherlock Holmes segera terperanjak setelah nenek itu pergi dan buru-buru menuju ke kamarnya. Dalam beberapa detik ia kembali dengan bungkusan ulster dan dasi. “Aku akan mengikutinya,” katanya, dengan tergopoh-gopoh; “dia pasti disuruh, dan akan membawaku kepadanya. Tunggulah sampai aku pulang.” Pintu aula terbanting keras, nenek itu sudah berada diluar sebelum Holmes menuruni tangga. Dari jendela bisa ku lihat dia berjalan di seberang jalan dengan lemah, selagi sang pemburu membuntutinya tak jauh di belakangnya. “Pasti salah satu dari teorinya salah,” pikirku, “kalau tidak ia pasti sudah sampai ke jantung permasalahan.” Tidak ada alasan baginya untuk memintaku menunggunya sampai pulang, Mustahil rasanya untuk tidur sampai aku mendengar hasil petualangannya.
Hampir pukul 9 sejak ia meninggalkan rumah. Tidak tahu berapa lama lagi ia di luar sana, aku duduk diam sambil menghisap pipa ceretuku dan membaca buku halaman 40 karangan Henri yang berjudul Vie de Boheme. Sudah jam sepuluh lewat, dan aku mendengar langkah kaki pelayan wanita yang sedang menuju ke tempat tidurnya. Pukul sebelas, dan terdengar injakan kaki wanita pemilik pondokan melewati pintuku, dengan tujuan yang sama. Hampir pukul duabelas sebelum aku mendengar bunyi yang tajam dari grendel kuncinya. Sekejap ia masuk, ku lihat wajahnya seperti wajah kegagalan. Perasaan sedih dan rasa senang tampak telihat campur aduk, dan tiba-tiba ia masuk dengan tertawa.
“Demi kebaikan, sebaiknya aku tidak memberitahu Scotland Yarders tentang masalah ini,” teriaknya, sambil menjatuhkan diri ke atas kursinya; “Aku sudah terlalu banyak memperolok mereka, mereka pasti tidak akan membiarkanku mendengar akhir cerita ini. Aku tertawa, karena aku tahu bahwa pada akhirnya aku akan bersma-sama mereka.”
“Apa yang terjadi?” Tanyaku.
“Oh, Aku tidak keberatan menceritakan kegagalanku. Makhluk itu menghilang di jalan sempit ketika dia mulai berjalan pincang dan menunjukkan tanda-tanda sakit di kakinya. Mendadak dia muncul di sebuah perhentian, dan samar-samar terlihat di antara kendaraan roda empat yang sedang lewat. Aku berusaha untuk dekat dengannya agar bisa mendengar alamatnya, tetapi aku tidak perlu memasang kuping dekat-dekat, karena suaranya cukup nyaring untuk didengar dari seberang jalan, ‘Tolong antar ke rumah no. 13, Duncan Street, Houndsditch,’ dia berteriak. Mulai kelihatan aslinya, aku pikir, dan dia terlihat aman di dalamnya, aku bertengger di belakang. Itu adalah seni yang harus dimiliki oleh setiap detektif. Well, kemudian kami berderik. Kami tiba di jalan yang dimaksud tanpa memperkencang ikatan. Aku meloncat sebelum sampai di depan pintu ruang tamu dan berjalan di jalan dengan nyantai. Aku lihat kereta kuda diberhentikan. Si kusir melompat ke bawah, dan aku melihat dia membuka pintu dengan posisi menanti. Tidak ada seorangpun keluar. Ketika aku mendekatinya, ia sedang meraba-raba ke sekeliling dengan kebingungan karena kereta kudanya kosong, dan mengeluarkan koleksi makian terbaik yang pernah ku dengar. Tidak ada jejak atau tanda-tanda dari penumpangnya, aku takut dia menghilang sebelum kami berangkat. Pada rumah Nomor 13 kami menemukan bahwa rumah itu kepunyaan Keswick, terlihat dari tulisan di depan pintu, dan tak seorangpun pernah mendengar nama Sawyer maupun Dennis di sana.”
“Maksud mu,” teriakku, dalam kekaguman, “perempuan tua lemah yang berjalan terhuyung-huyung bisa keluar dari kereta kuda selagi kereta sedang bergerak, tanpa terlihat olehmu ataupun kusir?”
“Nenek-nenek terkutuk!” Kata Sherlock Holmes, dengan tajam. “Anak muda itu pasti menyamar. Tidak diragukan lagi, Dia tahu sedang diikuti, dan berusaha mengecohku. Ini menunjukkan bahwa dia tidak bekerja sendiri, tidak seperti yang aku membayangkan, Dia punya teman yang siap mengambil resiko untuknya. Sekarang, Doktor, kau sudah mendengarnya. Turutilah nasihatku, istirahatlah…”
Aku pasti merasa sangat lelah, maka aku mematuhi nasihatnya. Aku meninggalkan Holmes duduk di depan perapian, dan sepanjang malam aku mendengar kemurungan jiwa melengking dari biolanya, dan karenanya aku tahu bahwa ia masih memikirkan masalah aneh yang masih harus ia pecahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar