Rabu, 31 Juli 2013

A STUDY IN SCARLET ( Bab 6 TOBIAS GREGSON MEMAMERKAN KEBOLEHANNYA )

Bab 6
TOBIAS GREGSON MEMAMERKAN KEBOLEHANNYA

Surat kabar hari berikutnya penuh dengan ‘Misteri Brixton,’ begitu mereka menyebutnya. Masing-Masing memiliki cerita sendiri, dan beberapa kepala berita ditambah-tambahkan. Ada beberapa informasi yang menurutku baru. Aku masih menyimpan sejumlah kliping dan intisari mengenai kasus ini di bukuku. Berikut ini adalah beberapa ringkasannya:
Telegraf harian menyebutkan bahwa dalam sejarah kejahatan, jarang terjadi tragedi yang menonjolkan orang asing. Nama jerman dari korban, ketidakhadiran dari semua motif lain, dan ancaman yang tertulis di atas dinding, semuanya menunjukan tindakan seorang narapidana politik dan seorang revolusioner. Orang-orang sosialis memiliki banyak pengikut di Amerika, dan korban adalah salah satunya, tentu saja, meninggalkan catatan kriminal yang tak tertulis, dan jejak mereka telah dihilangkan. Sepintas-lalu menurut Vehmgericht, Aqua Tofana, Carbonari, Marchioness de Brinvilliers, teori Darwinian, prinsip Malthus, dan pembunuhan di Ratcliff Highway, artikel ini menyimpulkan, dengan anjuran pemerintah dan advokasi Inggris, untuk berwaspada terhadap orang asing.

Komnetar Standard mengenai fakta ini adalah bahwa ketidakpatuhan pada hukum biasanya terjadi di bawah pemerintahan Liberal. Mereka muncul dari penyakit masyarakat, dan kelemehan otoritas. Korban adalah orang Amerika yang tengah bermukim di sini selama beberapa minggu. Ia tinggal di rumah sewa Nyonya Charpentier, di Torquay Terrace, Camberwell. Dalam perjalanannya Ia ditemani oleh sekretaris pribadinya, Mr. Joseph Stangerson. Keduanya berpamitan kepada wanita pemilik pondokan pada hari Selasa, tanggal 4, dan pergi ke Setasiun Euston dengan mengatakan bahwa mereka akan mengejar Liverpool express. Kemudian mereka terilihat bersama-sama di platform tersebut. Tidak ada yang mengenali mereka sampai ditemukannya mayat Mr. Drebber, seperti yang tertulis, di dalam sebuah rumah kosong di Brixton Road, beberapa mil dari Euston. Bagaimana ia bisa di sana? atau, bagaimana ia bertemu ajalnya? adalah pertanyaan yang masih menyelubungi misteri ini. Tidak ada yang tahu ke mana perginya Stangerson. Kita bisa lega mengetahui bahwa Mr. Lestrade dan Mr. Gregson, dari Scotland Yard, dilibatkan dalam kasus ini, dan yakin bahwa para petugas terkenal ini akan dengan cepat memberikan pencerahan terhdap kasus ini.
Surat Kabar Harian ini mengobservasi bahwa kejahatan ini pasti menyangkut masalah politis. Kesewenang-wenangan dan kebencian Liberalisme menciptakan pemerintahan kontinental dan telah menimbulkan efek yang membuat tanah kita dipenuhi sejumlah orang-orang hebat berstatus warganegara tetap dimana mereka dibenci akibat dari sejarah yang mereka alami. Di antara orang-orang ini terdapat suatu tanda penghormatan yang kuat, dan kalau dilanggar hukumannya adalah kematian. Upaya yang harus dilakukan adalah menemukan sekretarisnya, Stangerson, untuk memastikan beberapa kebiasaan tertentu korban. Langkah hebat telah dilakukan dengan mengorek informasi dari alamat rumah sewanya yang mana seluruhnya berkat energi dan keakutan Mr. Gregson dari Scotland Yard.
Sherlock Holmes dan aku membaca berita ini bersama-sama saat sarapan, dan tampaknya mereka memberikan hiburan yang cukup pantas. “Sudah ku bilang kan…, apapun yang terjadi, yang akan mencetak score pasti Lestrade dan Gregson.”
“Itu tergantung bagaimana hasilnya.”
“Oh, bless you, tidak jadi soal sekecil apapun itu. Jika pelakunya tertangkap, kasus ini akan menjadi nilai tambah bagi kinerja mereka; jika lepas, kedengkian akan menyelimuti kinerja mereka. Aku menang dan kau kalah. Apapun yang mereka lakukan, mereka akan dibantu. ‘Un sot trouve toujours un plus sot qui l’admire.’”
“Ada apa itu?” teriak ku, karena pada seat itu terdengar sejumlah suara langkah kaki di dalam aula dan di atas tangga, dibarengi dengan ungkapan jijik dari wanita pemilik pondokan kami.
scar10
“Mereka adalah divisi Baker Street dari satuan detektif kepolisian,” kata rekanku genting; dan kala ia berbicara terjadi desak-desakkan yang memenuhi setengah ruangan yang terdiri dari setengah lusin anak jalanan dan gelandangan-gelandangan beretnis Arab yang pernah ku lihat sebelumnya.
“‘Perhatian…!” teriak Holmes, dengan nada tajam, dan enam bajingan kecil berdiri dalam satu barisan seperti patung arca kecil nan buruk rupa. “Nanti pada waktunya kalian akan mengirim Wiggins sendirian untuk memberikan laporan, dan sisanya harus menunggu di jalan. Kau sudah menemukannya, Wiggins?”
“Belum, sir, kami belum menemukannya,” berkata salah seorang dari ank-anak muda itu.
“Aku berharap sekali kau menemukannya. Kau harus terus mencarinya. Ini gajimu.” Ia memberikan mereka masing-masing satu shilling. “Sekarang, pergilah kalian semua, dan kembali dengan laporan yang lebih baik di lain waktu.”
Ia melambaikan tangannya, dan mereka terbirit-birit menuruni tangga seperti gerombolan tikus, dan kemudian kami mendengar lengkingan suara mereka memasuki jalanan.
“Masih banyak lagi tugas yang harus dikerjakan Wiggins dibandingkan teman-temannya,” kata Holmes. “Suatu kekhilafan bagi seorang pejabat - menyuruh orang untuk menyegel mulut mereka. Anak-anak muda ini, ada di mana-mana dan dengar segalanya. Pendengaran dan mata mereka setajam jarum, namun demikian; yang mereka inginkan adalah organisasi.”
“Apakah kau memanfaatkan mereka untuk kasus Brixton ini?” Tanyaku.
“Ya; ada satu hal yang ingin aku pastikan. Itu hanya soal waktu. Hullo! sekarang kita akan dengar beberapa kabar dengan sebetul-betulnya! Lihat itu… Gregson sedang berjalan menuju ke sini dengan raut muka bahagia tertulis di wajahnya. Menuju ke rumah kita, pasti… Ya…, dia berhenti. Ini dia….!”
Ada suara gemuruh bunyi bel, dan dalam beberapa detik detektif berambut pirang itu menaiki tangga, tiga langkah serentak, dan tiba-tiba masuk ke ruang tamu kami.
“Temanku yang baik…,” teriaknya, memeras tangan Holmes yang tak merespon, “beri aku selamat! Aku sudah membuat keseluruhan masalah cerah secerah hari ini.”
Terlihat olehku bayangan kegelisahan dari ekspresi wajah rekanku.
“Maksudmu kau sudah menulusuri jejak yang benar?” tanyanya.
“Jejak yang benar! Kenapa, sir, kami sudah menangkap dan mengurung pelakunya.”
“Dan namanya adalah?”
“Arthur Charpentier, sub-lieutenant angkatan laut,” teriak Gregson dengan sombong sambil menggosok tangan gemuknya dan membusungkan dadanya.
Sherlock Holmes memberi pandangan ringan dan santai dengan senyuman.
“Duduk lah…, Dan cobalah cerutu ini,” katanya. “Kami tertarik untuk tahu bagaimana kau mengerjakannya. Kau mau whisky dan air?”
“Aku tidak keberatan,” jawab sang detektif. “Usaha yang hebat yang aku lakukan sepanjang satu atau dua hari terakhir ini membuatku lelah. Tidak begitu melelahkan sih…, kau tahu, seperti kekuatan pikiran. Kau akan menghargainya, Mr. Sherlock Holmes, karena kita berdua seorang pemikir.”
“Kau terlalu memujiku,” kata Holmes, dengan genting. “Ceritakan kepada kami bagaimana kau bisa mencapai hasil yang paling memuaskan ini.”
Kemudian sang Detektif duduk di kursi lengan, dan menggelembungkan asap cerutunya seperti merasa puas. Kemudian tiba-tiba ia menampar pahanya kegirangan.
“Lucu sekali…,” teriaknya, “Lestrade yang malang, dia berpikir dirinya hebat, dia menelusuri jejak yang salah. Ia mengejar sekretaris korban ‘Stangerson’, yang belum pernah melakukan kejahatan apapun seperti bayi yang belum lahir. Aku yakin ia pasti sudah menangkap sekertaris itu sekarang.”
Gregson tertawa terkekeh sampai tercekik.
“Dan bagaimana caramu mendapatkan petunjuk?”
“Ah, Tentu saja Aku akan menceritakan semuanya kepadamu, Dr. Watson. Dan ini di antara kita saja. Kesukaran pertama yang harus lebih dulu kita hadapi adalah menemukan perusahaan Amerika. Sebagian orang akan menunggu sampai iklan mereka dijawab, atau sampai segerombolan orang datang untuk memberikan informasi cuma-cuma. Tapi itu bukan gayaku bekerja. Kau ingat topi yang ada di samping korban?”
“Ya,” kata Holmes; “by John Underwood and Sons, 129, 129, Camberwell Road.”
Gregson sungguh terlihat sangat kecewa.
“Aku tidak menyangka kau mengingatnya,” katanya. “Kau sudah ke sana?”
“Belum.”
“Ha!” teriak Gregson, dengan suara lepas; “Seharusnya kau jangan menyepelekan sebuah peluang, sekecil apapun itu.”
“Untuk berfikir hebat, jangan menganggap sesuatu itu kecil,” kata Holmes, dengan singkat dan padat.
“Well, aku pergi ke Underwood, dan menanyakan apakah mereka pernah menjual topi dengan ukuran seperti itu. Ia memeriksa bukunya, dan kembali dengan segera. Ia pernah mengirim topi itu kepada Mr. Drebber, bertempat tinggal di Charpentier’s Boarding, Torquay Terrace. Kemudian aku mengambil dan mencari alamat yang diberikannya.”
“Cerdas sekali… sungguh cerdas…!” bisik Sherlock Holmes.
“Berikutnya Aku menghubungi Madame Charpentier,” lanjut detektif tersebut. “Ketika aku bertemu dengannya, keadaannya sangat menderita dan pucat. Putrinya berada di ruangan itu juga - seorang anak perempuan yang luar biasa sehat, namun juga; matanya merah dan bibirnya bergetar ketika aku berbicara kepadanya. Tak luput dari perhatianku, aku mulai untuk menaruh curiga. Kau tahu perasaan itu kan.., Mr. Sherlock Holmes, ketika kita menelusuri jejak yang benar - semacam kegelisahan melanda jiwa. ‘Sudahkah kau mendengar tentang kematian misterius dari mantan anak kosmu Mr. Enoch J. Drebber, dari Cleveland?’ Tanyaku.
“Sang ibu mengangguk. Nampaknya dia tidak mampu berkata apa-apa. Putrinya tiba-tiba menangis. Aku semakin yakin orang-orang ini mengetahui sesuatu mengenai pembunuhan itu.
“‘Pada pukul berapa Mr. Drebber meninggalkan rumahmu untuk pergi ke stasiun?’ Tanyaku.
“‘Pukul delapan,’ katanya, seperti meneguk sesuatu ke dalam kerongkongannya untuk menjaga pergolakan jiwa. ‘Sekretarisnya, Mr. Stangerson, berkata bahwa akan ada dua kereta - satu pada pukul 9:15 dan satunya lagi pada pukul 11. Dan ia akan menumpang kereta yang pertama.’
“‘Dan kapan terakhir kau melihatnya?’
“Perubahan mengerikan terjadi di wajahnya ketika aku menanyakan pertanyaan itu. Raut wajahnya memucat. Ada beberapa detik sebelum dia bisa mengucapkan sesuatu ‘Ya’ - dan ketika dia mengucapkannya suaranya menjadi parau, nada yang tidak wajar.
“Terjadi keheningan untuk beberapa saat, dan kemudian putrinya berbicara dengan suara tenang, dan jelas. “‘Tidak baik berbohongan, ibu,’ katanya. ‘Berterus teranglah kepada tuan ini. Kami pernah melihat Mr. Drebber.’ “‘Tuhan memaafkan mu!’ teriak Madame Charpentier, melemparkan tangannya ke atas dan kembali ke kursinya. ‘kau telah membunuh saudara laki-laki mu.’
“‘Arthur lebih suka kalau kita mengatakan kebenaran,’ anak perempuan itu menjawab dengan kuat.
“‘Lebih baik kau ceritakan segalanya sekarang,’ Kataku. ‘cerita setengah-ssetengah lebih buruk dari pada tidak sama sekali. Di samping itu, kau tidak tahu sebanyak yang kami tahu.’
“‘Terserah mu, Alice!’ teriak ibunya; dan kemudian, mulai berbalik ke arahku, ‘Aku akan menceritakan semuanya kepada mu, sir. Jangan harap sikap ketakutanku seperti ini menyebabkan nama putraku terbawa-bawa dalam kengerian ini. Ia sepenuhnya tidak bersalah. Ketakutanku adalah, kalau-kalau di matamu maupun di pandangan orang lain menganggap bahwa ia mungkin telah membuat semcam perjanjian. Apapun ceritanya, mustahil terjadi. Akhlaknya yang baik, profesinya, sejarah prilakunya tidak memungkinkan dia melakukan hal-hal terlarang.’
“‘Jalan terbaik bagimu adalah mengakui semua fakta,’ Jawabku. ‘Tergantung padanya, jika putramu tidak bersalah ia akan tetap di sini.’
“‘Barangkali, Alice, sebaiknya kau tinggalkan kami berdua di sini,’ kata perempuan itu, dan putrinya menurutinya. ‘Sekarang, sir,’ dia melanjutkan, ‘Aku tidak berniat menceritakan semua ini kepadamu, tetapi karena putriku yang malang telah menyingkapnya aku tidak punya pilihan lain. Sekali memutuskan untuk bicara, aku akan menceritakan semuanya kepadamu tanpa menyembunyikan apa-apa lagi.’
“‘Ini adalah keputusanmu yang paling bijaksana,’ kataku.
“‘Mr. Drebber tinggal bersama kami selama hampir tiga minggu. Ia dan sekretarisnya, Mr. Stangerson, tengah bepergian berkeliling Benua Eropa. Aku melihat label Copenhagen di celana pendek mereka masing-masing, label itu menunjukkan tempat persinggahan mereka terakhir. Stangerson adalah orang yang tenang, dan pendim, biarpun begitu majikannya, maafkan kata-kataku, berbeda sekali dengannya. Ia orang yang kasar dan tidak berperikemanusiaan. Tiap malam dia pulang dalam keadaan mabuk, dan, tentu saja, setelah jam duabelas malam bisa dibilang hari-harinya tidak pernah tertata. Tatakrama kepada pelayan wanita memualkan. Dan yang paling buruk dari itu semua, dia menerapkan sikap itu kepada putriku, Alice, dan berbicara kepadanya dengan tidak sopan lebih dari satu kali, kebetulan, Alice terlalu lugu untuk memahaminya. Pada suatu saat ia benar-benar memeluk Alice. Kejadian itu menyakiti hati sekretarisnya sendiri dan memaksa sekertaris itu mencelanya atas tindakannya yang tidak jantan.’
“‘Tetapi mengapa kau diam saja?’ Tanyaku. ‘Ku rasa kau bisa mengusir anak kosmu jika kau mau.’ Mrs. Charpentier menjadi malu atas pertanyaanku. ‘Aku bermohon kepada Tuhan, setiap hari dari hari pertama ia datang aku selalu memberinya peringatan,’ katanya. ‘Tetapi godaan itu teramat sakit. Mereka membayarku satu pound per hari dan 14 pound seminggu, dan sekarang sedang musim serba susah. Aku seorang janda, dan anak laki-lakiku bekerja di Angkatan laut dan ia sudah banyak mengeluarkan biaya untukku. Aku enggan menghabiskan uang itu. Aku harus melakuan yang terbaik. Bayaran mereka terlalu besar, sehingga aku bersedia menampung mereka dengan bayaran seperti itu. Itulah alasan mengapa mereka masih tinggal di sini.’”
‘Well?’
“‘Jiwaku lega ketika melihat dia datang. Putraku baru saja mengambil cutinya, tetapi aku tidak menceritakan apapun kepadanya, karena sifatnya yang pemarah, dan ia juga sangat menyayangi adik perempuannya. Ketika aku menutup pintu sekilas aku merasa beban di pikiranku sedikit menghilang. Kemudian sirna kembali, ketika lebih kurang dari satu jam terdengar bunyi bel, dan aku sadar bahwa Mr. Drebber telah kembali. Ia lebih bergairah, tentu saja karena minuman keras. Ia teroyong-oyong masuki ke ruangan, dan ketika itu aku sedang duduk bersama putriku, dan dengan membuat komentar yang tidak logis tentang ketinggalan kereta. Kemudian ia mengarah ke Alice, dan di depan mataku, dia merayu putriku. “Kau sudah cukup umur,” katanya, “dan tidak ada hukum yang melarangmu. Aku punya cukup banyak uang untuk dibagi. Tak usah pedulikan perempuan tua ini, ikutlah denganku sekarang. Kau akan hidup seperti seorang putri.” Alice yang malang menjadi sangat ketakutan dan bersembunyi untuk menjauhi laki-laki itu, tetapi ia menangkap pergelangan tangannya dan mencoba menyudutkannya ke arah pintu. Aku menjerit, dan pada saat itu putraku Arthur datang ke ruangan itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi kemudian. Aku mendengar makian dan suara perkelahian. Aku terlalu takut mengangkat kepalaku. Ketika mataku terbuka aku melihat Arthur berdiri di pintu masuk dan tertawa, dengan tongkat di tangannya. “Aku kira orang ini tidak akan mengganggu kita lagi,” katanya. “Aku akan mengejarnya dan melihat apa yang akan dilakukannya.” Dengan kata-kata itu ia mengambil topinya dan mulai turun ke jalan. Pagi berikutnya kami mendengar berita kematian misterius Mr. Drebber.’
“Mrs. Charpentier mengeluarkan statemen ini langsung dari mulutnya namun dengan hembusan nafas yang terputus-putus. Kadang-Kadang dia berbicara dengan nada yang sangat rendah sehingga aku sulit untuk mengerti apa yang ingin dia sampaikan. Walaupun demikian aku telah membuat catatan stenografi atas semua yang dikatakannya, kemungkinan tidak ada kekeliruan.”
“Sungguh menarik,” Kata Sherlock Holmes, sambil menguap. “Apa yang terjadi selanjutnya?”
“Ketika Mrs. Charpentier berhenti,” lanjut sang detektif, “Aku menyadari inti dari keseluruhan kasus ini. Aku memandang simpatik ke wanita tersebut seperti yang selalu aku lakukan kala berhadapan dengan wanita, aku menanyakan kepadanya pukul berapa putranya kembali.
“‘Aku tidak tahu,’ jawabnya.
“‘Tidak tahu?’
“‘Tidak; ia punya kunci rumah ini, dan ia bisa masuk tanpa membangunkan kami.’
“‘Setelah kau pergi tidur?’
“‘Ya.’
“‘Kapan kau tidur?’
“‘Sekitar pukul sebelas.’
“‘Jadi putra mu pergi lebih dari dua jam?’
“‘Ya.’
“‘Atau mungkin empat-lima jam?’
“‘Ya.’
“‘Apa ia lakukan selama itu?’
“‘Aku tidak tahu,’ dia menjawab, seluruh bibirnya memucat.
“Tentu saja, setelah itu, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Aku segera mendapat informasi di mana Letnan Charpentier waktu itu, aku membawa dua petugas bersamaku, dan menangkapnya. Ketika aku menyentuh bahunya dan memperingatkannya untuk ikut bersama kami dengan tenang, ia menjawab dengan tidak sopan, dia berkata ‘Biarku tebak…, kau pasti menangkapku untuk kasus kematian si bajingan Drebber.’ Kami bahkan belum menyebut-nyebut soal pembunuhan kepadanya, jadi itu menandakan ia patut dicurigai.”
“Sudah semuanya,” kata Holmes.
“Ia masih membawa tongkat berat seperti yang dideskripsikan ibunya - ketika dia menyusul Drebber. Tongkat keras yang terbuat dari pohon ek.”
“Lalu, bagaimana teorimu?”
“Well, teori ku adalah bahwa ia mengikuti Drebber sepanjang Brixton Road. Ketika tiba di sana, terjadi perkelahian di antara mereka, mengakibatkan Drebber menerima pukulan dari tongkat itu, barangkali di sekitar pusar perut, yang menyebabkan dia terbunuh tanpa meninggalkan tanda apapun. Malam itu jalanan menjadi sangat basah dan tak ada seorangpun di sekitar mereka, sehingga Charpentier menyeret mayat korbannya ke dalam rumah kosong. Mengenai lilin, darah, tanda peringatan di dinding, dan cincin, boleh jadi sebagai muslihat untuk mengacaukan penyelidikan polisi.”
scar11
“Bagus sekali!” kata Holmes dengan nada memberi harapan. “Sungguh, Gregson, kau sudah berusaha sejauh ini. Kami masih ingin mendengar ceritanya lagi.”
“Aku yakin sudah menanganinya dengan rapi,” jawab sang detektif, dengan bangga. “Anak muda itu menyampaikan sebuah statemen dengan suka rela, katanya setelah mengikuti Drebber selama beberapa waktu, Drebber merasa diikuti, dan menyetop kereta kuda untuk meloloskan diri darinya. Dalam perjalanan pulang dia bertemu dengan teman sekapalnya dahulu, dan jalan bersama-sama dengan dia. Ketika ditanyai di mana teman sekapalnya tinggal, ia tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Ku pikir keseluruhan kasus sangat sesuai. Hal yang membuat ku tertawa adalah apa yang ada di kepala Lestrade, dia mengikuti petunjuk yang salah. Aku takut ia tidak mengakui kekalahannya. Kengapa…, demi Tuhan, inilah kekurangan dirinya!”
Tentu saja itu Lestrade, yang menaiki tangga selagi kami sedang berbicara, dan memasuki ruang. Ayem dan periang yang biasanya menandai tingkah laku dan pakaiannya, walupun begitu, terasa lain. Wajahnya dipenuhi pikiran kusut dan keresahan, sedang pakaiannya kusut dan berantakan. Jelas sekali ia datang dengan niat untuk berkonsultasi dengan Sherlock Holmes, karena merasa rekan kerjanya telah mempermalukannya. Ia berdiri di tengah-tengah ruangan, meraba-raba topinya dengan gugup dan tak tahu harus berbuat apa. “Ini kasus yang paling aneh,” pada akhirnya dia berbicara - “kasus yang paling sulit dimengerti.”
“Ah, kau menemukan nya, Mr. Lestrade!” teriak Gregson, seperti memenangkan sesuatu. “Ku pikir kau datang ke sini untuk sebuah kesimpulan. Sudahkah kau menemukan dan menangani si sekretaris, Mr. Joseph Stangerson?”
“Si sekretaris, Mr. Joseph Stangerson,” kata Lestrade, dengan genting, “dibunuh di Halliday’s Private Hotel sekitar pukul enam pagi ini.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar